NovelToon NovelToon

Karena Warisan

Guru Ngaji

Desa Gantang adalah sebuah desa di kaki pegunungan kota Rawa. Suasana desa yang masih kental dengan sawah-sawah berundak, karena ketinggian tanah yang berbeda-beda, membuat pemandangannya menjadi sangat indah.

Dengan adanya sungai-sungai kecil yang ada di tengah persawahan, membuat pemandangan tersebut bak lukisan yang abadi di kanvas sang Pencipta.

"Ayo pergi ngaji Cung! Ini sudah selesai waktunya ashar lho!" Suara bu Nur, memberi peringatan pada anaknya yang masih asyik membuat ketapel dari ranting pohon salam.

"Sebentar lagi Bu! Tanggung ini," jawab anaknya, Karim, tanpa menoleh.

"Awas nanti kalau telat, bisa-bisa Kamu di suruh nyapu kebun kelapa sama pak Moh lho Cung!" ancam bu Nur mengingatkan.

*Cung adalah sebutan untuk anak laki-laki.

Mungkin Bu Nur ingat, jika sebulan yang lalu, anaknya itu di hukum menyapu kebun kelapa miliknya pak Moh. Karena pada saat itu, Karim terlambat datang ngaji, dan tidak bisa fasih saat gilirannya tiba.

***

Pak Moh, begitu biasanya dia dipanggil. Nama aslinya adalah Mohammad Suyuti Abdullah. Putra pertama dari kyai haji Muhammad Abdullah Ghoni.

Tapi penampilannya jauh, jika dibandingkan dengan penampilan para ustadz ataupun kyai.

Dia juga tidak mau jika di panggil dengan sebutan seperti itu. Bahkan saat masih muda, dia juga tidak mau dipanggil dengan sebutan Gus. Tapi lebih suka dipanggil lek Moh, atau kang Moh.

Sekarang Pak Moh, berprofesi sebagai seorang petani biasa, yang kadang kala bekerja sebagai tukang kayu. Kadang-kadang juga membuat jenang, jika ada penduduk yang punya hajat, atau mantu.

Pak Moh memang tidak berdomisili di tempat bapaknya. Meskipun masih sama-sama di kota Rawa, tapi mereka beda kecamatan.

Sedari muda, dia sudah diminta untuk ikut mengurus pondok pesantren milik bapaknya. Tapi dia menolaknya.

Pak Moh muda lebih suka berkelana, dari pondok pesantren satu ke pondok pesantren lain di daerah Jawa Timur. Mengabdi di berbagai ponpes yang dia singgahi adalah hobinya dulu.

Terakhir kali, pak Moh mengabdikan diri di ponpes milik kyai haji Kholil, yang ada di daerah kota Rembang. Kemudian menikah dengan salah satu santriwati, yang ada di daerah itu juga. Namanya Siti Aminah.

Siti Aminah adalah anak seorang janda tua, yang kebetulan sering membantu di dapur ponpes jika ada acara besar, di ponpes kyai Kholil.

***

"Yang sudah belajar dan fasih maju lebih dulu, yang belum di belakangnya, sekalian deres biar lancar," kata pak Moh, di saat mulai mengajar ngaji pada anak-anak di sebuah mushola kecil di samping rumahnya.

*Deres adalah belajar mengeja huruf Hijaiyah.

Bangunan Mushola itu didirikan Pak Moh, dengan seadanya. Masih berupa bata merah, dengan papan-papan yang disusun pada bagian depannya.

Pak Moh biasa mengajar ngaji sewaktu lepas ashar. Mereka yang mengaji adalah anak-anak, baik anak laki-laki dan juga perempuan.

Mereka mempunyai buku, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan belajar mengaji mereka. Jika ada yang kurang besoknya harus bisa memperbaiki.

Lima hari mengaji dibagi menjadi dua metode belajar. Untuk periode pertama, Ahad, Senin dan Selasa, mereka mengaji huruf Hijaiyah dan mengeja Al-Qur'an bersama tajwidnya.

Periode kedua, Rabu, kamis belajar huruf latin untuk menunjang belajar mengaji mereka. Sebab huruf latin juga menunjang kefasihan ejaan huruf Hijaiyah, yang akan mereka pelajari saat sudah mulai belajar Al-Qur'an nantinya.

Anak-anak yang sudah besar dan bisa membaca huruf latin serta Hijaiyah, waktu mengajinya selepas Maghrib. Mereka sudah membaca Al-Qur'an setiap harinya, meskipun kadang diselingi dengan belajar tafsir dan juga shorof.

Waktu libur mengaji ada di hari Jumat dan Sabtu. Ini digunakan anak-anak yang tidak biasa bermain, untuk latihan rebana dengan alat seadanya.

"Alip, Bak..." Anas, salah satu anak yang mengaji mulai membaca.

"Alief. Bukan Alip." Pak Moh membetulkan ejaan yang salah pada huruf pertama Al-Qur'an.

Anas yang masih berumur 8 tahun, melongo melihat ke arah pak Moh. Mungkin saat belajar di rumah tadi, dia terbiasa dengan menyebut Alip, dan tidak ada yang menegurnya untuk memberitahu.

"Tadi di rumah belajar tidak?" tanya pak Moh pelan.

"Belajar," jawab Anas polos.

"Tidak ada yang mengingatkan?" tanya pak Moh lagi.

Anas tampak mengelengkan kepalanya. Dia tadi memang belajar di rumah. Tapi sendirian dan tidak ada orang yang mengingatkan, apalagi membimbingnya.

Bapaknya yang bekerja sebagai karyawan pembuat tahu, sering pulang malam. Sedangkan ibunya bekerja di kebun dan sawahnya sendiri, juga orang awam yang tidak bisa melafalkan huruf Hijaiyah dengan baik dan benar.

"Besok belajarnya sesuai yang pak Moh ajarkan ya! Terus Kamu yang rajin ngajinya, biar cepat bisa dan menyusul teman yang lain ke jilid yang berikutnya."

Anas mengangguk senang. Dia tidak malu saat diingatkan oleh pak Moh. Dia terlihat sangat bersemangat saat dibilang bisa menyusul temannya yang sudah jilid berikutnya.

Pak Moh biasa mengatakan itu untuk memberikan semangat pada anak didiknya yang agak lamban. Karena Anas memang tidak seperti anak-anak pada umumnya.

"Pak Moh. Pak Moh!"

Seseorang datang memanggil dari arah luar musholla.

"Sebentar ya anak-anak," kata pak Moh meminta anak-anak yang ngaji diam, dan tidak membuat keributan saat dia keluar menemui orang yang sedang memangilnya.

"Assalamualaikum... Ada apa Pak Min?" Pak Moh sudah sampai diluar, dan menemui pak Min yang tadi memanggil namanya.

"Waallaikumsalam. Maaf Pak Moh, saya terburu-buru jadi lupa mengucapkan salam," jawab pak Min terlihat rikuh karena malu.

"Tidak apa-apa. Tadi kenapa, kok memanggil-manggil dan terburu-buru?" tanya pak Moh menanyakan tujuan pak Min mencarinya.

"Oh itu. Ada ular besar masuk ke kandang sapi Saya pak Moh. Saya kuatir, kalau ular itu membuat sapi Saya mati nantinya," jawab pak Min, menjelaskan tentang tujuannya datang mencari pak Moh.

"Ular besar?" tanya pak Moh kaget.

"Iya. Mungkin sebesar kaki sapi saya," jawab pak Min dengan wajah cemas.

"Apa sapinya sudah diamankan?" tanya pak Moh ingin tahu.

"Justru itu pak Moh. Sapinya ada di pojok kandang, sedangkan ularnya ada di tengah-tengah kandang. Kami semua takut masuk kandang," jawab pak Min dengan wajah yang terlihat semakin cemas.

Pak Moh berpikir sejenak, kemudian bertanya, "Ada berapa orang di sana?"

Mungkin dengan adanya orang-orang yang ada di sana, dia bisa meminta bantuan untuk menangani masalah ular yang ada di kandang sapi milik pak Min.

"Ada tiga orang Pak," jawab pak Min setelah berpikir beberapa detik.

"Baiklah. Pak Min balik dulu. Saya akan meminta anak-anak untuk belajar sendiri sebentar."

Pak Min mengangguk, kemudian melangkah untuk pulang terlebih dahulu. Pak Moh kembali ke dalam Mushola, dan berpesan pada anak-anak yang sedang mengaji. "Kalian belajar sendiri dulu ya. Yang sudah bisa, nyemak temannya. Saling semak saja biar adil. Bapak mau ada urusan sebentar."

*Nyemak atau semaan adalah tradisi membaca, menyimak dan mendengarkan pembacaan Al quran.

Anak-anak mengangguk mengerti. Mereka tidak banyak bertanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh pak Moh, yang tiba-tiba meninggalkan tempat mengaji dan berpesan jika ini hanya sebentar saja.

Mlungsungi

Pak Moh bergegas menuju ke rumah pak Min, setelah berpamitan pada anak-anak didiknya. Dia khawatir jika ular itu berbahaya atau membuat sapi pak Min terkena racun bisanya.

Setelah sampai di rumah pak Min, dia bingung di mana kandang sapinya. Dia tadi lupa bertanya.

Akhirnya, pak Moh berjalan ke arah belakang rumah. Siapa tahu kandang sapinya ada di sana. Tapi ternyata tidak ada juga.

"Pak Moh, di sini!" Suara panggilan seseorang mengagetkan pak Moh. Ternyata itu suara pak Min.

Pak Moh segera berjalan di mana pak Min berada. Ternyata ada di seberang sungai.

Jadi di belakang rumah pak Min ini ada sungai kecil, sedangkan kandang sapinya ada di seberang sana. Jembatan bambu yang disusun sedemikian rupa seperti jembatan, menjadi alat untuk menuju ke kandang tersebut.

Beberapa orang laki-laki tampak sudah siap dengan batang bambu di tangan masing-masing. Mereka mengunakan bambu, karena menurut mitos dan ceritanya, batang bambu membuat ular melemas dan tidak berdaya. Seperti kerupuk terkena air. Begitulah kepercayaan masyarakat pada umumnya.

"Lihat pak Moh, ularnya masih diam di tengah-tengah kandang!" kata pak Min melapor.

Di tengah kandang sapi pak Min, terlihat seekor ular besar yang lurus memanjang. Kira-kira panjangnya lebih dari tiga meter. Tidak bergerak tapi masih hidup. Sepertinya dia juga kaget karena kepergok oleh orang-orang yang melihatnya.

"Tadi mau Kami hajar saja, tapi pak Min melarang kami dan bilang mau meminta bantuan pak Moh," kata salah satu dari mereka yang ada.

Pak Moh tampak mengangguk dan tersenyum pada semua orang yang ada, yaitu tiga laki-laki, yang sudah siap untuk menghajar ular tersebut. Dengan bambu yang ada ditangan mereka.

"Sepertinya dia mau puasa," kata pak Min memicingkan matanya, ke arah ular tersebut.

"Puasa?" tanya orang-orang yang ada di kandang itu serempak.

"Masa ular ada puasa pak Moh?" tanya salah satunya ingin penjelasan.

"Dari tadi ular itu diam dan pada posisi seperti itu kan, tidak ada pergerakan?" tanya pak Moh pada mereka semua.

Semua orang yang ada mengangguk mengiyakan. Mereka memang tidak melihat ular itu bergerak sedari tadi, tapi tetap saja mereka takut untuk mendekat. Meskipun sudah memegang batang bambu sebagai senjatanya.

"Iya dia puasa. Mau berganti kulit," jawab pak Moh memberitahu.

"Oh..."

"Mlungsungi ya..."

*Mlungsungi adalah proses seekor ular berganti kulit luarnya.

Mereka baru mengerti yang dimaksud oleh pak Moh, dengan puasa bagi ular itu. Pak Moh mengangguk mengiyakan.

"Dia hanya mencari tempat yang aman untuk berganti kulit. Sayangnya malah ketahuan sebelum berganti. Sebaiknya kita pindahkan saja ke alas biar aman."

Alas adalah sebutan kebun yang ada di belakang kampung. Alas ini ditumbuhi berbagai macam tumbuhan yang besar dan ada juga buah-buahan dan itu milik desa bukan perorangan.

"Bagaimana cara mindahin ularnya pak Moh?" tanya salah satu dari mereka yang ada.

"Kita masukkan karung kemudian diangkut pake kletek," jawab pak Moh mengusulkan.

Kletek adalah gerobak yang di dorong ataupun ditarik seperti milik para pemulung kebanyakan.

"Pak Min punya kletek kan?" tanya pak Moh pada pak Min, yang punya kandang sapi.

Pak Min mengangguk cepat dan segera keluar, untuk mengambil kletek miliknya. Setelah pak Min kembali dengan kletek-nya, Pak Moh mendekat ke tempat ular itu berada.

"Pak Moh. Tapi saya tidak punya karung besar yang muat untuk ular itu," kata pak Min memberitahu.

"Ya sudah tidak apa-apa. Tidak usah pakai karung, tapi tetap waspada ya, dan jangan sampai banyak orang yang melihatnya nanti," jawab pak Moh memberi pesan.

Semua orang mengangguk setuju meskipun mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pak Moh dengan pesannya tadi.

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Pak Moh tampak berdoa dan meminta satu batang bambu milik orang yang ada disitu, kemudian melangkah mendekat ke arah ular, dengan meletakkan bambu tersebut di sebelahnya.

Sekarang pak Moh meminta semua orang, untuk ikut mengangkat tubuh ular, sama posisi seperti mengangkat orang pingsan. Dia sendiri ada di posisi kepala ular dengan masih terus melafalkan doa-doa, agar ular tersebut diam dan tidak memberontak.

Ular besar itu tampak pasrah dan juga diam tanpa banyak bergerak. Dia hanya terlihat mengedip-ngedipkan matanya, entah dengan maksud apa. Mungkin dia berterima kasih pada pak Moh, yang sudah menyelamatkan dirinya dari amukan orang-orang yang ingin memukulinya.

Sekarang mereka berlima membawa ular besar itu ke arah alas desa, dengan kletek.

Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, mereka sampai juga di alas yang dituju. Mereka terus masuk ke dalam alas sesuai permintaan pak Moh.

"Kita cari pohon besar yang rindang dan terlindung dari sinar matahari. Kalau ada yang berlubang, biar tidak diketahui oleh orang yang lewat."

Mereka semua kini menyebar untuk menemukan pohon yang di maksud oleh pak Moh. Sedang pak Moh menunggu kletek yang berisi ular tadi.

"Pak Moh, di sana ada pohon jati yang besar. Tapi tidak ada lubang yang cocok," kata salah atau dari mereka melaporkan.

"Ya sudah tidak apa-apa. Kita bawa ular ini ke sana." Pak Moh ikut mendorong kletek tersebut, menuju pohon yang di maksud.

Setelah sampai pada pohon jati yang besar, mereka semua berhenti dan melihat-lihat keadaan.

"Sepertinya aman ya Pak?" tanya pak Min pada pak Moh.

"Insyallah," jawab pak Moh mengangguk mengiyakan.

"Ayo kita angkat seperti tadi ya?" ajak pak Moh, meminta pada semua orang untuk ikut mengangkat ular itu lagi.

Setelah ular tersebut di letakkan di tempat yang aman, pak Moh mencari beberapa daun kering untuk menutupi tubuh ular. "Ayo kita tutup tubuhnya agar dia tidak merasa terabaikan puasanya, dan untuk keamanan tempat ini juga," ajak pak Moh pada yang lain. Semuanya patuh dan ikut mencari daun-daun kering, untuk menutupi badan ular.

Setelah selesai, semuanya pulang ke rumah masing-masing.

Tapi pak Moh berpesan, untuk tidak menceritakan semuanya pada orang lain, dan semuanya mengangguk mengiyakan pesan itu.

"Pak Moh. Matur suwun banget ya sudah membantu saya. Sapi saya akhirnya bisa aman." pak Min mengucapkan terima kasih atas bantuan pak Moh.

"Iya sama-sama pak Min," jawab pak Moh.

"Saya langsung ke mushola lagi ya," pamit pak Moh pada pertigaan jalan desa.

"Lho, mampir dulu pak Moh. Saya belum membawa bekal tadi," kata Min merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa pak Min. Kayak sama siapa saja. Saya senang bisa membantu. Ya, sudah ya, saya langsung balik ke mushola," kata pak Moh, kemudian bersalaman.

"Assalamualaikum..." pamit pak Moh, kemudian menyeberang jalan, menuju ke arah kerumahnya.

"Waallaikumsalam..." jawab pak Min mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya dengan menarik kletek.

Anak-anak Pak Moh

Saat kembali ke mushola tempatnya mengajar ngaji, anak-anak masih sibuk deres atau belajar satu sama lainnya. Dengan cara saling mengingatkan.

Tapi dari sekian banyak anak-anak yang ada, pak Moh tidak menemukan anaknya sendiri.

"Kemana Nada?" tanya pak Moh pada anak-anak yang lain.

"Mbak Nada..."

"Hush diem!"

"Jangan bilang-bilang."

Anak-anak saling bersahutan tapi tidak ada yang menjawab pertanyaan dari pak Moh.

"Kemana Nada?" tanya pak Moh sekali lagi.

Semuanya terlihat saling pandang satu sama lain. Tapi tetap tidak ada yang menjawab pertanyaan dari pak Moh. Mungkin mereka takut jika menjawabnya, maka besoknya akan didiamkan oleh Nada.

Siti Taskiyatun Nada Abdullah, atau biasa disebut Nada. Dia adalah anak pertama Pak Moh dengan istrinya, Siti Aminah.

Nada yang masih berumur kurang dari delapan tahun, sangat senang jika bermain ke sungai. Kadang-kadang pergi ke kebun atau alas, untuk memanjat pohon jambu dan mencari buah salam yang matang. Untuk dimakan dan dibagi-bagi dengan teman-temannya yang lain. Dia anak perempuan, tapi berkelakuan mirip anak laki-laki.

Nada Lebih suka memakai celana, dari pada rok seperti layaknya anak-anak perempuan yang lain. Jika anak-anak seusianya lebih suka main boneka dan masak-masakan, Nada lebih suka main kelereng, layangan maupun memancing ke sungai. Bahkan dia sering meminta ikut pak Moh jika pergi nyuloh. Yaitu mencari ikan pada malam hari di sungai, atau belut di sawah yang berair.

Pak Moh sudah sering melarang, tapi Nada selalu punya cara untuk bisa ikut tanpa perlu meminta ijin. Dia selalu bisa membuat pak Moh untuk menganggukkan kepala, untuk setiap permintaannya, dari pada mengeleng untuk menolaknya.

Itulah sebabnya banyak anak-anak yang segan dan terkesan takut padanya. Padahal sebenarnya Nada tidak pernah marah. Dia hanya akan marah jika ada yang memanggil dirinya Ning. Nada juga sama seperti bapaknya sewaktu muda, tidak suka dipanggil Gus, dan lebih suka dipanggil mbak atau Nada tanpa embel-embel lain.

"Tidak ada yang mau menjawab?" tanya pak Moh sekali lagi.

Anak-anak terlihat mengeleng dengan kompaknya. Mereka semua diam dan tidak mengatakan ke mana Nada pergi. Tapi pak Moh sepertinya tahu, di mana anaknya itu sekarang berada.

"Ya sudah, kita lanjutkan mengaji saja. Tapi karena waktunya sudah mendekati magrib, kita ngajinya barengan. Menghafal surat-surat pendek saja ya," kata pak Moh mengusulkan.

Anak-anak mengangguk setuju. Sebab waktu magrib memang sebentar lagi. Mereka juga lebih senang jika ngaji bareng, jadi yang bacaannya tidak begitu lancar, tidak ketahuan. Mungkin begitu pikir mereka.

Usai mengajar ngaji dan waktu magrib tinggal menunggu waktunya, pak Moh pulang terlebih dahulu untuk mencari Nada. Siapa tahu sudah pulang dan ada di rumah, karena takut kembali ke mushola.

"Assalamualaikum Warahmatullah..." Pak Moh mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah.

"Waallaikumsalam Warahmatullah," jawab istrinya, yang sedang mengendong anaknya yang paling kecil. Siti Najwa Abdullah, biasa dipanggil Najwa atau Wawa. Dia masih berusia satu tahun.

Ada satu lagi anaknya yang berusia empat tahunan, Siti Anisa Abdullah, biasa dipanggil Nisa. Sekarang ini Nisa sedang duduk di bale-bale dekat ibunya, yang sedang mengendong Wawa.

Jadi anak-anak pak Moh ada tiga dan semuanya adalah perempuan. Tapi pak Moh sudah sangat bahagia, sebagaimana sebuah hadits menyebutkan jika, di memiliki anak perempuan itu juga mendatangkan kebahagiaan dan pintu masuk surga. Bukan hanya keutamaan anak laki-laki saja.

***

Sebuah kisah menyebutkan jika, Jabir ibn Abdullah melaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW kembali bersabda: "Siapa pun yang memiliki tiga anak perempuan dan dia mengakomodasi mereka, menunjukkan belas kasihan kepada mereka, dan mendukung mereka, surga pasti dijamin untuknya."

Ini bukan hanya untuk tiga anak perempuan, tapi dua atau satu sama saja. Asalkan cara mendidiknya benar menurut ajaran Islam.

Salah satu peran ayah menurut islam untuk anak perempuan, adalah menjadi panutan yang memiliki kasih sayang.

Ayah dan ibu memiliki peran penting masing-masih dalam tumbuh kembang anak-anaknya. Bila ayah menunjukkan dunia, ibu akan memberikan cara bagaimana untuk hidup di dunia. Jika ibu tampil dengan sosok lembut, ayah biasanya akan tampak memiliki karakter yang bijaksana dan penyayang.

Dalam islam, ayah memiliki peran khusus untuk anak perempuan. Di sinilah perlu kedekatan spiritual, emosi, dan juga fisik dengan seorang ayah. Idealnya, ayah selalu dekat dengan anak perempuan sehingga anak merasa aman, nyaman, dan bisa berkomunikasi dengan harmonis. Seorang gadis akan terarah kehidupan akhirat dan dunianya, ketika ayahnya selalu dekat di hatinya.

Syaikh Abdul Mun’im Ibrahim dalam kitabnya Tarbiyatul Banaat fil Islam mengatakan, salah satu cara orang tua memenuhi kebutuhan emosional anak perempuan, adalah seperti yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Yaitu memberikan keyakinan kepada anak perempuan, bahwa dirinya adalah bagian dari sang ayah.

Ketika si anak marah karena sesuatu yang benar, maka sang ayah juga akan mendukungnya, jika si anak bahagia, maka sang ayah juga akan merasa bahagia. Begitu seterusnya.

Itulah kenapa, seorang anak perempuan juga bisa menjadikan jalan menuju surga bagi kedua orang tuanya kelak pada hari akhir.

***

"Nada kemana Bu?" tanya pak Moh begitu melihat-lihat seisi rumah, tapi tidak terlihat juga anaknya yang besar.

"Lho, tadi kan pergi ngaji Pak," jawab istrinya bingung.

"Berarti tidak ada di rumah ya?" tanya pak Moh lagi, tanpa meminta penjelasan lebih.

"Ya sudah. Aku mau cari Nada dulu, Assalamualaikum Warahmatullah," pamit pak Moh, kemudian melangkah keluar rumah lagi.

"Waallaikumsalam Warahmatullah," jawab ibu Aminah dengan mengelengkan kepalanya. Dia tahu jika Nada pasti berbuat ulah, dan tidak datang ke musholla untuk ikut mengaji.

"Ke sungai apa kebun ya? Atau ke sawah?" pak Moh bingung, harus mencari ke mana dulu anaknya itu.

Dia ingin pergi ke sawah, tapi itu terlalu jauh. Jadi dia putuskan untuk pergi ke kebun kelapa miliknya. Di sana banyak tumbuh pohon salam yang sedang berbuah. Mungkin saja Nada pergi naik pohon salam, untuk mengambil buahnya yang sudah matang dan memerah dengan sempurna. Sungguh mengiurkan Nada pastinya.

Sesampainya di kebun kelapa, pak Moh mengedarkan pandangannya ke atas. Di antara pohon salam, yang banyak tumbuh dengan lebatnya.

Ternyata memang ada Nada di atas sana. Dia asyik memetik buah salam, dan dimasukkan kedalam kantong plastik besar yang dia bawa.

"Ada yang bisa kasih bapak buah salam?" tanya pak Moh, dengan suara yang dibuat seseram mungkin. Dia juga berlindung di balik pohon kelapa yang masih pendek, jadi tubuhnya tertutup daun kelapa, dan tidak terlihat oleh Nada dari atas sana.

Nada yang sedang asyik dengan aktivitasnya, tentu saja sangat kaget. Dia juga baru sadar jika hari sudah menjelang magrib. Dia takut jika suara yang dia dengar itu adalah suara makhluk penunggu kebun, seperti yang sering diceritakan oleh orang-orang kampung.

Dengan gerakan cepat, Nada segera turun dan berlari ke arah rumahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!