Panggilan Abah Ghoni

Pak Moh terkekeh melihat istri dan anaknya melongo melihatnya. Dia akhirnya berdehem dan menetralkan wajahnya sendiri.

"Maksud Bapak?" tanya Nada seperti curiga dengan perkataan bapaknya tadi.

"Agak apa-apa Nduk," jawab pak Moh sambil mengelengkan kepalanya.

"Ehhh Bapak... Beneran tadi Nada tuh denger suara tanpa wujud!" Nada ngotot dengan apa yang dia ceritakan.

"Ya wes, benar kok. Tapi suara itu bukan Gendruwo," kata pak Moh, masih tetap pada perkataannya yang tadi.

"Oh... " Ibu Aminah akhirnya sadar jika Nada, anaknya itu salah paham.

"Apa Bu?" tanya Nada ingin tahu.

"Gak apa-apa. Ya sudah sana belajar. Ibu mau nidurin Wawa dulu. Nisa, ayo tidur juga!" Ibu Aminah mengajak kedua anaknya, Nisa dan Wawa untuk masuk ke dalam kamar.

Nisa turun dari bale tempatnya tiduran. Sedangkan Wawa di gendong ibu Aminah dalam keadaan sudah hampir tertidur.

"Sudah ya, sekarang Kamu belajar Nada! Makanya besok-besok jangan main-main waktu mau magrib. Untung saja bukan Gendruwo yang benar-benar datang dan minta buah salamnya." Pak Moh menasehati Nada sambil melepas baju koko panjangnya. Kini dia hanya memakai kaos oblong polos warna putih yang biasa dia pakai untuk dalaman.

Nada hanya diam menurut. Dia mengambil tas sekolah, dan mulai belajar untuk pelajaran hari esoknya.

Beberapa menit kemudian, ibu Aminah keluar dari dalam kamar anak-anaknya. Dia pergi ke arah dapur, kemudian menyeduh teh untuk suaminya, pak Moh.

Aroma teh tubruk begitu kuat tercium sampai ke ruang tengah, dimana Nada dan pak Moh berada.

Nada yang sedang belajar, dan pak Moh membaca kitab yang dia ambil dari rak buku, di samping meja belajar Nada.

"Buk... Ibuk. Nada juga mau dong tehnya!" teriak Nada pada ibunya, yang masih berada di dapur. Dia juga ingin dibuatkan teh. Mungkin karena mencium aroma teh yang begitu nikmat di indra penciumannya.

"Jangan berteriak. Pergi ke dapur sebentar sana! Nanti kalau adik-adik Kamu bangun, kemudian rewel, justru Kamu yang dimarahi ibu." Pak Moh berkata pada Nada, tanpa mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang dia baca.

Dengan tersenyum senang, Nada segera beranjak dari tempat duduknya, kemudian melangkah ke arah dapur. Untuk meminta teh pada ibunya.

"Buk, Nada juga mau ya tehnya!" Nada meminta pada ibunya untuk dibuatkan teh juga. Sama seperti bapaknya.

"Kamu ini lho, ngikut saja sama bapakmu. Sekali-kali gak usah ngikutin kenapa sih?" Ibu Aminah mengeleng, mendengar permintaan anaknya yang paling besar itu.

"Memangnya tadi bapak minta dibuatkan teh? Kayaknya Nada gak dengar tuh buk!"

"Ya gak usah minta, ibu sudah hafal kan?" ibu Aminah memberitahu pada Nada.

"Oh iya, kan sudah terbiasa ya Bu," jawab Nada tersenyum senang.

"Berarti seharusnya, tanpa Nada minta juga ibu sudah hafal dong? Kan Nada ngikut bapak juga," kata Nada melanjutkan kata-katanya yang tadi. Dia berkata dengan bangganya di depan ibunya sendiri.

"Apa gitu maksudnya?" tanya ibu Aminah bingung.

"Hehehe, pokoknya kalau Ibu buat minum atau apapun untuk bapak, Nada juga mau dibuatin. Hehehe..." jawab Nada terkekeh, sambil mengaduk tehnya yang sudah diseduh dan di beri gula oleh ibunya.

Nada segera membawa gelas teh miliknya sendiri, dengan piring kecil sebagai tatakannya. Ini supaya tangganya sendiri tidak merasakan panas, akibat air teh yang ada di gelas.

Ibu Aminah membawa teh milik suaminya, pak Moh. Dia membawa teh panas itu dengan nampan bersama sepiring singkong, yang baru saja dia rebus selepas waktu shalat magrip tadi.

"Ini Pak, tehnya sama singkong." Ibu Aminah meletakkan nampan yang dia bawa, di atas meja dekat dengan suaminya yang sedang membaca kitab.

"Iya Bu. Terima kasih. Ini sebentar lagi," jawab pak Moh melihat ke arah istrinya, ibu Aminah.

"Nada mau dong singkongnya," pinta Nada, menginginkan singkong rebus yang ada di piring.

"Ambil sini!" jawab ibunya melambai.

Nada segera berjalan ke arah meja, kemudian mengambil sepotong singkong yang masih terasa hangat.

Tilulit....

Tilulit....

Tilulit...

Handphone jadul milik pak Moh berdering. Ada seseorang yang sedang menelpon dirinya. Entah untuk urusan apa, malam-malam begini menelpon seseorang.

Pak Moh segera menutup kitab yang dia baca. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju rak buku. Di sana, handphone miliknya berada.

"Abah Ghoni," guman pak Moh, begitu melihat nama penelpon yang tertera layar handphone miliknya.

"Assalamualaikum Warahmatullah," sapa pak Moh begitu panggilan dia terima.

"Waallaikumsalam Warahmatullah," jawab seseorang diseberang sana.

"Wonten nopo Bah?" tanya pak Moh pada orang yang sedang dia ajak bicara dengan telpon sekarang ini.

Ternyata yang sedang menelpon pak Moh saat ini adalah Abah Yai, Kyai haji Abdullah Ghoni, bapaknya pak Moh.

"Besok bisa sowan?" tanya Abah langsung pada maksudnya menelpon malam-malam.

"Insyaallah Bah," jawab pak Moh takzim.

"Usahakan pagi ya! Abah ada perlu denganmu segera." Abah Ghoni menyampaikan permintaannya.

"Njeh Bah. Moh usahakan bisa sepagi mungkin." Pak Moh menjawab permintaan abahnya.

"Ya sudah kalau begitu." Abah Ghoni hampir menutup teleponnya, tapi urung begitu mendengar suara Nada. Cucu pertamanya.

"Pak, sinten yang telpon?" Nada tiba-tiba bertanya pada bapaknya, tentang siapa yang sedang bicara di telpon.

"Moh. Moh, itu Nada?" tanya Abah Ghoni memastikan pendengarannya.

"Njeh Bah. Itu Nada," jawab pak Moh mengiyakan.

"Mana? Abah mau bicara dengannya," pinta Abah Ghoni pada pak Moh.

"Nada, Abah yai mau ngomong," kata pak Moh memanggil Nada agar mendekat.

"Hore Abah yai Ghoni!" teriak Nada kegirangan. Nada segera beranjak dari tempat duduknya, kemudian mendekati bapaknya yang duduk di bale-bale bersama ibunya.

"Halo Abah yai Ghoni. Assalamualaikum Warahmatullah..." Nada memberi salam pada simbahnya, Abah Ghoni.

"Waallaikumsalam Warahmatullah," jawab simbahnya di seberang sana.

"Wah... Abah lama gak telpon Nada," kata Nada mengingat-ingat.

"Lah kok Abah yang salah? Kamu itu yang seharusnya menelpon atau main ke tempat Abah. Jangan main ke sungai lama-lama, ingat waktu ya!" Abah yai mengingatkan Nada pada kejadian sebulan yang lalu.

"Mana berani Nada sowan sendiri ke rumah Abah yai!" Nada mengelak dari perkataan Abah yai.

"Ya sudah, besok kamu ikut saja jika bapakmu itu kesini," kata Abah yai Ghoni pada cucunya.

"Kapan?" tanya Nada cepat dan antusias.

"Besok pagi," jawab Abah yai cepat.

"Nada kan sekolah Abah yai," kata Nada mengingatkan Abah yai, dengan nada kecewa.

"Oh iya. Abah kok malah lupa ini! hehehe..." Abah yai Ghoni terkekeh, mengingat jika dia sudah sering lupa akhir-akhir ini.

"Ya sudah tidak apa-apa. Minggu besok saja kalau begitu." Abah melanjutkan kata-katanya yang tadi.

"Besok kalau bisa Nada ikut. Tapi kalau gak bisa kapan-kapan saja Nada minta bapak, buat antar Nada." Nada membuat tawaran.

"Ya, begitu juga lebih baik." Abah yai menangapi semua perkataan cucunya, dengan antusias. Nada jadi merasa senang karena mendapatkan perhatian dari simbahnya, yang selalu sibuk di dunianya sendiri. Yaitu ceramah kesana-kemari.

Terpopuler

Comments

Lenkzher Thea

Lenkzher Thea

Keren

2022-12-19

1

Bagus Effendik

Bagus Effendik

waduh aroma teh tubruk ya hem baunya ampek kesini

2022-12-18

0

lina

lina

kiyai terjenal nih kayaknya mah

2022-12-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!