Pesona Neraka Dari Istriku
"Daf, aku hamil," kata Laura. Dia mengulangi untuk yang kesekian kali. "Aku bilang aku hamil anak kamu."
Daffa memberi respon tak terduga, dia menyunggingkan senyum sembari tertawa kecil. "Kamu yakin itu anakku, Ra?"
Kesedihan sekaligus kekecewaan di dalam hati Laura meledak begitu saja. Dia menatap kosong jalanan yang basah oleh tetesan air hujan malam ini.
"Kita melakukannya, Daffa." Laura menegaskan. "Malam itu ... di penginapan punya teman kamu," imbuhnya lagi.
Daffa menggelengkan kepalanya yakin. "Kamu melakukannya bersama banyak pria. Aku tahu itu, Laura. Kamu pelacur."
Laura mengerutkan kening. Dia menggelengkan kepalanya, tanpa sanggup berkata-kata.
Mulai malam ini, Laura akan membenci Jakarta. Amarah yang menggebu di dalam dadanya, menarik air mata yang sedari tadi terkepung di dalam kelopak mata Laura. Dadanya terasa sakit bercampur lega setelah dia percaya diri untuk menangis di depan Daffa, kekasihnya.
"Kamu mengunjungi setiap klub malam di Jakarta dan bertemu banyak laki-laki. Lantas sekarang aku yang harus bertanggungjawab atas kehamilanmu itu?" Daffa menyanggah Laura yang terus diam.
Tatapan Laura tak fokus, tak ada emosi di dalam raut wajahnya. Hidupnya hancur setelah dia tahu ada kehidupan di dalam perutnya. Menolak dan melawan takdir sudah tidak bisa dia lakukan lagi.
"Laura, aku tidak bisa bertanggung jawab," kata Daffa melirih.
Daffa meraih tangan Laura dan menggenggamnya. "Lebih tepatnya aku tidak mau hidupku hancur dan berhenti sampai di sini jika aku menikahimu."
Laura meneteskan air matanya. Hatinya terluka. Pukulan hebat diberikan Daffa lewat kata-katanya. Hujan malam ini seakan mewakili kesedihan yang Laura alami. Langit mendukung suasana itu.
"Lalu aku harus bagaimana, Daffa?" Laura menyerah tanpa perdebatan.
Laura cukup frustasi sejak siang tadi. Tes kehamilan membuatnya menyesali tindakan itu.
"Gugurkan saja, Laura. Kita mulai semuanya dari awal," pinta pemuda itu. "Entah itu anakku atau bukan, aku tidak peduli. Kita tidak bisa menikah, Laura."
Laura mendorong tubuh Daffa menjauh darinya. "Ini anak kamu, Daffa! Aku berani bersumpah atas nama Tuhan!"
"Bahkan Tuhan tidak akan mengampuni dan menerima sumpahmu, Laura!" Daffa langsung menyahut. Gejolak di dalam hatinya tidak kalah besarnya dari milik Laura.
Daffa mendekati Laura lagi, perlahan-lahan. "Laura, dengarkan aku ...." Dia mencoba meluluhkan kegilaan di dalam hati Laura. "Aku tahu apa yang kamu rasakan malam ini, aku tahu situasinya."
"Kalau begitu nikahi aku, Daffa. Aku butuh pertanggungjawaban dari kamu." Laura menatapnya teduh. Genangan air mata di dalam kelopak matanya, membuat bayangan Daffa yang ada di depannya setengah kabur.
Daffa menunduk. "Kita masih SMA, Laura." Daffa menegaskan lagi. Mata elangnya memblokir Laura di tempatnya. "Kita harus kuliah, kita masih punya mimpi, dan kita masih bisa melakukan banyak hal di luar sana. Intinya ... kita masih muda."
"Kamu tidak mau bertanggung jawab?" Laura cepat menyimpulkan. "Kamu pengecut!"
"Aku akan bertanggung jawab jika usia kita sudah cukup untuk menikah, Laura." Daffa terus membujuk Laura. "Setidaknya biarkan aku masuk universitas yang aku impikan."
"Lalu aku bagaimana?" Laura seperti orang linglung di depan Daffa. Matanya tak fokus dalam satu titik, sesekali menatap Daffa lalu keluar ke jalanan yang ada di depannya.
"Papa dan mamaku akan membunuhku," gumam Laura dengan gemetar. "Aku akan mati di tangan mereka jika tahu aku hamil."
Laura berbalik badan. Memunggungi Daffa yang kikuk di tempatnya. Daffa tak punya jalan keluar untuk masalah Laura yang satu ini. Padahal sebelumnya dia pantas untuk diandalkan.
"Seharusnya kita tidak pernah melakukan itu, Daffa," seloroh Laura mulai cemas.
Gadis bersurai panjang ikal itu menggigiti satu persatu kuku jari jemarinya. Dia hampir gila dengan semua kemungkinan buruk yang ada di dalam kepalanya. Pada faktanya, Laura dan Daffa tidak pernah mendapat restu dari orang tua Laura.
Daffa anak orang miskin. Hidupnya amburadul, tak tentu arah dan tujuan. Orang tua Daffa bercerai lima tahun lalu, setelah ibunya menangkap basah perselingkuhan ayah Daffa dengan seorang gadis muda.
Ah, mungkin benar bahwa buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Daffa mengikuti jejak keberengsekan sang ayahanda.
"Laura," panggil Daffa sembari menarik tangan Laura. Membuat gadis cantik itu menatapnya lagi.
Daffa menghela napas lelah, padahal sejak satu jam lalu mereka hanya mondar mandir di tempat yang sama.
"Pulanglah dulu. Nanti aku—"
"Kamu mau menyuruh aku pulang, Daff?" Laura memicingkan mata. Tak percaya Daffa mengampangkan ini begitu saja. "Kamu pikir apa yang akan terjadi padaku jika aku menemui papa dan mama?"
"Perutmu belum membesar, Laura." Daffa berusaha bijak. "Baru Lima minggu kan?" tanya Daffa mengkonfirmasi.
Laura diam di tempatnya, tak ada bantahan.
"Sebelum dua bulan, aku akan mencarikan tempat aborsi yang aman dan—"
"Aku tidak mau diaborsi!" Laura berteriak kesetanan. "Sudah berapa kali aku bilang, aku takut!"
"Aku akan melindungi mu dan aku akan berada di sisimu, Laura." Daffa terus berusaha menyakinkan Laura, sama seperti malam itu. Tatapan Daffa sekarang, membawa kembali ingatan Laura pada malam yang begitu menggairahkan untuk mereka.
Daffa memejamkan rapat matanya. "Maaf karena membentakmu lagi, Ra."
"Katakan saja jika kamu memang tidak mau bertanggung jawab dan ingin lari sebagai pengecut, Daffa." Laura menyeka air matanya. "Kamu memang begitu sejak dulu."
Daffa memandang Laura. "Jadi orang tua tidak mudah, Ra. Apalagi aku bukan dari keluarga kaya."
"Mama dan papa yang akan membantu kita," kata Laura. "Mereka akan membayar semua tanggungan hidupku. Kamu hanya perlu ...."
"Aku tidak suka dengan orang tuamu, Laura." Daffa mulai blak-blakan.
Laura langsung diam, seakan hatinya kembali dihantam batu besar.
"Setiap kali aku datang ke rumahmu, orang tuamu selalu saja memandang aku remeh karena aku tidak sama dengan kalian," terang Daffa. "Lalu kamu mau aku bergantung pada orangtuamu setelah kita menikah?"
Daffa tertawa gila dengan kalimatnya sendiri, sedangkan Laura masih diam membisu di tempatnya. Tidak percaya, malam ini Daffa menunjukkan sisi yang mengerikan untuk dirinya.
Laura tersenyum kecut. "Kamu memang bajingan, Daffa," bisik Laura dengan pandangan kosong. "Aku tidak seharusnya mencintai kamu sejak awal."
"Laura, aku hanya ingin yang terbaik untuk kita." Daffa tak menunjukkan raut wajah bersalah. "Ini demi masa depan kita, Ra."
Daffa kembali menarik tangan Laura dan menggenggamnya. "Kita sudah punya masa depan, sedangkan anak ini belum."
"Kita tidak bisa merelakan masa depan kita hanya untuk seorang anak yang kita tidak bisa menjamin dia akan lahir dengan selamat," kata Daffa lagi. "Jadi relakan dia, Laura."
Laura menampar Daffa atas kalimat itu. Pandangan matanya dipenuhi amarah dan protes padanya.
"Syukurlah jika kamu menolaknya malam ini, Daffa. Kamu menang tidak pantas menjadi ayah!" Laura mengepalkan tangannya. "Kamu psikopat gila!"
"Kamu mirip ayah kamu yang brengsek itu!" Setelah menyelesaikan kalimatnya, Laura pergi dari hadapan Daffa.
Sayangnya, Daffa menghentikan Laura. Menarik tangannya dengan kasar. "Apa yang kamu bilang tadi?" tanya Daffa dengan amarah.
"Beraninya kamu membandingkan aku dengan dia!" pekiknya. "Kamu saja yang murahan, Laura!" teriak Daffa membalas Laura. Tamparan mendarat di pipi Laura begitu saja. Membuat Laura terpelanting.
"Hei, kamu! Apa yang kamu lakukan!" Seseorang tiba-tiba saja menghentikan aksi Daffa. Dia datang dari kegelapan malam, menerjang hujan yang turun.
Laura menatapnya, begitu juga dengan Daffa.
"Dia ...." Laura bergumam lirih. "Wajahnya ...."
Next.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Ayu Ap
wah seru nih
2023-02-27
0
Keyboard Harapan
Semangat kak kila, momy hadir, 💪💪💪
2023-01-11
1