SMA Menjura Jakarta.
"Laura, come on!" Belen melambai-lambai, berharap Laura mempercepat aksinya sebelum mereka tertangkap basah oleh penjaga sekolah.
Laura melirik Belen, dia adalah gadis seusia dengannya yang menjadi teman sebangku Laura sejak kali pertama datang ke sekolah ini.
"Kamu pikir gampang manjat dinding SMA ini?" Laura memprotes seraya turun dari pagar dengan hati-hati. Dia patut bersyukur sebab gudang belakang sekolah menyediakan akses secara tidak langsung dengan tumpukan kursi dan meja tak terpakai di sisi tembok besar pembatas sekolah.
Laura menapakkan ujung sepatunya. "Aku sudah berusaha," gumamnya.
Belen berkacak pinggang. "Kalau tidak mampu, setidaknya jangan terlambat!" gerutunya memprotes.
"Aku juga tidak mau terlambat!" Laura tak mau disalahkan. Dia melirik Belen lagi, lalu membenarkan seragamnya. "Siapa yang mau bangun kesiangan di jam sekolah begini? Itu merepotkan."
"Sudahlah, percuma aku berdebat sama kamu. Kamu itu keras kepala." Belen merangkul Laura. Seakan menuntunnya berjalan, mereka melangkah beriringan.
Laura bisa dikatakan sebagai primadona sekolah ini. Seluruh penghuni Menjura mengakui kecantikan dan kemolekan gadis ini. Laura punya tubuh dengan siluet yang sempurna, jenjang tak terlalu kurus apalagi gemuk.
Wajah Laura cantik dihiasi sepasang mata bulat dan hidung mancung dengan bibir merah delima yang ranum. Kulitnya putih susu, tak ada noda dan luka untuk dicela. Tuhan melukiskan kesempurnaan dalam diri gadis bersurai panjang ikal itu.
"Sudah belajar?" Belen menyela hening mereka. Dia melirik Laura yang tak seperti biasanya.
Laura akan mengomeli siapa pun untuk melampiaskan hari buruk seperti Selasa ini. Setidaknya dia butuh Daffa, sang kekasih, untuk menggerutu. Namun, sekarang ini Laura jadi banyak diam.
"Aku tidak sempat belajar," sahut Laura sedang. Tidak mau banyak berbicara. Perasaannya tidak sedang baik-baik saja sekarang.
Belen memicingkan matanya. "Sepertinya ada hal buruk yang terjadi sama kamu, Ra?" Dia mencoba menyimpulkan.
"Coba cerita!" Belen menarik tangan Laura agar mereka berhenti di sana. "Sebelum masuk kelas, kamu harus menghilangkan perasaan buruk itu."
Laura diam, memandang Belen yang berharap kejujuran darinya.
"Ra?" Belen memanggilnya sembari mengerakkan telapak tangan di depan wajah Laura untuk mengambil fokusnya. "Are you okay?"
Laura memalingkan wajahnya. Menghela nafas panjang tak beraturan. "Lupakan saja. Aku lagi capek aja," jawab Laura.
"Kamu merahasiakan sesuatu dari aku?" tanya Belen.
Belen merengek di depan Laura. "Come on, Ra! Kita adalah teman dekat. Kamu tidak biasanya begini."
Laura bergeming seraya memandang Belen. Bahkan untuk Belen, sahabatnya, kejujuran tentang kehamilan Laura pagi ini begitu sulit. Laura tidak bisa memasrahkan rahasia besar ini pada Belen.
"Ra? Kamu serius akan merahasiakannya dari aku?" Belen memungkasi diamnya Laura. "Kamu menganggap aku sebagai sahabat?"
"Nanti aku ceritakan, tidak sekarang," tutur Laura sedikit ketus.
Belen hampir berbicara, tetapi kedatangan seseorang mengejutkan mereka.
"Kalian tidak masuk kelas?" ucap seorang pria.
Belen menoleh, begitu juga dengan Laura. Langkah kaki seorang pria jelas menuju ke arah mereka. Untuk Belen, dia begitu asing. Namun, tidak untuk Laura. Wajah dan perawakan itu masih terekam jelas di dalam memorinya.
"Ba--bapak ini siapa?" Belen tergagap-gagap sembari memandangi penampilan pria di depannya.
Dia tersenyum pada Belen. "Guru kamu," ucapnya ringan. "Kalian tidak masuk ke kelas kalian?" tanyanya dengan pengertian.
Belen melirik Laura yang membisu. Pandangan mata Laura dipenuhi keraguan. Mungkinkah Adam punya saudara kembar? Kenapa mereka dipertemukan lagi?
"Laura?" Adam tersenyum padanya. "Kenapa menatapku begitu?"
"Bapak kenal Laura?" Belen jadi orang kikuk di sini. Dia sama sekali tidak bisa berkomentar banyak. Sedangkan Laura masih saja memilih diam.
Adam tersenyum pada Belen. "Namanya Laura Mentari kan?"
Laura ingat kalau kemarin dia tidak menyebutkan namanya.
"Bagaimana bisa Bapak ...." Ucapan Belen dihentikan dengan jari telunjuk Adam yang menunjuk sisi seragam Laura.
Belen manggut-manggut. "Ah, name-tag!" kekehnya.
Adam kembali pada topik pembicaraan awal mereka. "Aku memang guru baru di sini, tetapi aku berhak menyuruh kalian untuk masuk kelas bukan?" tanya Adam. Dia tersenyum manis pada Belen dan Laura.
"Te--tentu saja." Belen menyenggol bahu Laura. Bukan hal yang aneh jika Laura menggampangkan guru baru di depannya, dia bahkan terkadang tidak punya sopan santun pada guru lama. Namun, bagi Belen hari ini Laura benar-benar terasa asing untuknya.
"Kalau begitu ... kita pergi dulu, Pak." Belen memaksa Laura untuk membungkuk dengan menekan punggung Laura.
Adam manggut-manggut. "Jangan membolos."
Belen manggut-manggut. Setelahnya dia membawa tubuh kaku Laura untuk pergi dari hadapan Adam. Mereka berjalan menjauhinya.
"Ra!" Belen menyenggol tubuh Laura, berharap kesadarannya datang kembali.
Laura menoleh pada Belen. "Huh?"
"Kamu ini sebenarnya kenapa?" Belen masih menagih penjelasan dari Laura. "Dari tadi kamu itu seperti orang asing untukku, kalau ada masalah lebih baik kamu cerita."
Laura menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya kurang istirahat aja," imbuh Laura tersenyum kecut.
"Kamu terpana sama ketampanan guru baru tadi? Kamu terus melihat ke arahnya," kekeh Belen, berusaha menyeimbangkan suasana.
Laura menggeleng lagi. "Bukan gitu." Dia ingin berkata jujur, menceritakan apa yang terjadi semalam dan bagaimana dia bisa bertemu dengan Adam. Namun, Laura belum punya keberanian sebesar itu.
"Ingat kalau kamu itu pacarnya Daffa." Belen mencubit Laura manja. "Jangan buat masalah dengannya. Terakhir kali Daffa memukuli habis anak kelas sebelah yang menggoda kamu."
Laura memaksakan senyum di atas bibirnya. Sejauh ini hanya dirinya dan Daffa yang tahu kalau mereka sudah tidak punya hubungan apapun.
"Belen," panggil Laura lagi.
Belen menoleh seraya mengerutkan kening. "Ada apa?"
"Aku mau istirahat di UKS, aku—"
"Kamu sakit?" Belen dihujani kepanikan tiba-tiba. "Itu alasannya kamu banyak diam sejak tadi?"
"Bukan gitu," jawab Laura sedikit ragu. "Aku butuh tidur sebentar. Jadi, bisa izinkan aku untuk pelajaran matematika?"
Belen memandang Laura. Sebenarnya dari raut wajahnya sudah mengisyaratkan kalau Laura tidak baik-baik saja hari ini.
"Please," pinta Laura lagi.
Belen terpaksa mengalah. "Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?"
Laura tersenyum. "Tentu. Kamu duluan aja," ucapnya.
Belen menuruti Laura. Dia pergi meninggalkan Laura sendirian di belakang sekolah.
UKS? Tentu bukan itu tujuan Laura. Setelah memutar langkah kaki, Laura berlari kembali ke tempat sebelumnya. Berharap dia bisa bertemu dengan Adam.
Sayang sekali, Adam sudah tidak ada di sana. Laura hanya mendapati kekosongan di tempat ini.
"Mencariku?" Adam tiba-tiba muncul di balik punggung Laura. Suara teduhnya itu menarik fokus Laura.
Adam mendekatinya. Tersenyum pada Laura yang memandangnya dalam diam. "Sepertinya ada yang ingin kamu katakan, Laura?"
Laura manggut-manggut ragu. "Bisa bicara sebentar?"
Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Aku sibuk."
Next.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments