Laura berlari di lorong rumah sakit, sesuai dengan arahan yang diberikan dia datang ke sebuah ruangan VIP di lantai paling atas.
Laura berhenti tepat di depan sebuah pintu bersekat kayu dengan perasaan was-was yang merenggut ketenangannya. Di dalam sana, ayahanda terbaring entah bagaimana keadaannya. Mamanya tak memberi kepastian, ajudan yang menjemput Laura pun berkata kalau dia tak tahu apapun. Tugasnya hanya membawa Laura ke rumah sakit dengan selamat.
Laura mengetuk pintu. Perlahan-lahan membukanya dengan tangan gemetar. Di dalam ruangan, mamanya duduk di sisi ranjang rumah sakit dan ayahnya terbaring dalam kondisi tak nyaman dipandang mata.
"Laura?" Desi adalah nama wanita tua itu. Dia bangun dari tempat duduk, lalu menghampiri Laura.
"Kemarilah, Nak," ucap Desi merenggut posisi Laura di tempatnya.
Laura dituntun berjalan mendekat, ternyata pengacara papanya juga ada di pojok ruangan. Dia sibuk dengan aktivitasnya di sana.
"Ma, papa ...." Laura terbata-bata setelah melihat ujung selang infus menebus kulit papanya.
"Papa hanya pamit mau bisnis di Amerika," ucap Laura kemudian. "Kenapa ...." Laura tak sanggup berkata-kata. Hatinya hancur, dia menjadi gadis kecil yang kehilangan semangatnya.
Laura memandang Desi. "Apa yang terjadi?" tanya Laura berusaha kuat.
Desi tersenyum kecut. Saat Laura datang, setengah mati Desi menahan air matanya. Tidak mau melukai Laura.
"Mendekatlah, Laura." Desi memerintah. "Papa bisa mendengarkan kamu."
Laura bergeming. Masih tidak percaya dengan kondisi papanya.
"Bukan kecelakaan kan, Ma?" tanya Laura. "Laura tidak menemukan luka baru di tubuh papa," bisiknya.
Desi mengulum ludah. Melihat kecemasan Laura, hatinya bergemuruh hebat. Desi memalingkan wajah, menyembunyikan air mata.
Seakan tahu ketidakberdayaan Desi, seorang pria berjas rapi berjalan mendekati Laura. Berdiri di depan Laura, terbatas oleh ranjang yang ditempati Faisal, ayah Laura.
"Nona Laura," panggilnya tiba-tiba. Dialah yang paling tega memandang mata Laura di sini.
Desi tau putrinya akan hancur mendengar semua kenyataan yang dia sembunyikan selama berbulan-bulan dari Laura. Nyatanya, Faisal tidak pernah pergi ke luar negeri untuk bisnis.
"Pak Danu," sahut Laura. Dia kenal pria ini, suka wira-wiri di kantor papanya kalau Laura datang. "A--ada apa ini?" Laura kebingungan. Dia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
"Pak Faisal dalam kondisi kritis, Nona Laura."
Hati Laura langsung hancur berkeping-keping. Ada luka besar lewat kata-kata itu, tetapi Laura tidak bisa menunjukkan rasa sakitnya.
"Aku ...." Laura diam, memandang keadaan papanya. "Aku tidak mengerti apapun."
Laura memandang Desi, menarik tangannya dengan paksa. "Mama, tolong jelaskan!"
Desi berbalik. Dia memilih memunggungi Laura. Tak tahan menahan kesedihan yang bertubi-tubi.
"Ma!" Laura merenggek. "Kenapa ini? Ada apa?" paksa Laura. "Jelaskan!"
Danu mengambil alih. "Pak Faisal terkena kanker stadium akhir, Nona Laura."
Laura kembali memandang Danu. Tak percaya, bercampur terkejut yang luar biasa. "Tidak mungkin! Papa sehat-sehat saja!"
Laura memandang papanya. "Dua bulan lalu, Papa pamit sama Laura mau ke Singapura lalu ke Amerika." Laura meraih tangan papanya yang begitu dingin. "Kenapa Papa malah di sini?" ujarnya. Laura menggoncang pelan tubuh Papanya. "Papa jangan pura-pura!"
"Laura!" Desi membentak. Membuat Laura menatap padanya. "Papamu sekarat, kamu malah begitu?"
"Kenapa Mama menyembunyikan ini?" pekik Laura. Dia berjalan mendekati Desi. "Semuanya bohong?" lirih Laura. "Papa tidak pernah pergi ke luar negeri? Tidak ada bisnis?"
Desi bergeming lagi.
"Papa dirawat di rumah sakit selama ini?" Laura terus mendesak. Dia meraih bahu Desi. "Jawab, Ma!"
"Dokter sudah menyerah, Nona Laura." Danu menguasai pembicaraan lagi. "Kita harus merelakan Pak Faisal," ucap Danu.
Laura menggelengkan kepalanya. Dia kembali mendekati Faisal. "Papa, semuanya bohong kan?" Laura mencoba menyadarkan papanya. "Papa harusnya bangun! Katakan pada Laura kalau ini hanya hukuman untuk Laura karena Laura membandel selama ini!"
"Ini serius, Laura," jawab Desi lagi. Matanya sudah dipenuhinya air mata. "Papamu akan meninggalkan kita," bisiknya dengan pasrah.
Laura diam. Air mata bercucuran begitu saja. Laura tidak bisa membendung rasa sakit, kekecewaan, kemarahan, dan kehancuran yang menghantam dirinya secara bersamaan.
"Pak Faisal meninggalkan wasiat terakhirnya, Nona Laura," ucap Danu. Di saat yang bersamaan, jari jemari Faisal bergerak perlahan-lahan. Tentu saja itu menyita fokus semua orang yang ada di sekitarnya.
Laura mendekati Faisal, begitu juga Desi. Meksipun Desi tahu harapan hidup sudah tidak ada lagi.
"La--Laura ...." Faisal memanggil lirih.
Laura diam, membeku begitu saja.
"De--dengarkan a--pa kata ma--mama dan ...." Faisal terengah-engah saat berbicara. Laura diam, begitu juga Desi dan Danu. Mungkin ini adalah saat terakhir Laura bisa mendengar suara papanya.
"Danu ...."
Laura menundukkan kepalanya. Tak berpikir panjang, rasa bersalah datang memenuhi hatinya. "Laura akan mendengarkan," ucapnya ikut pasrah.
Danu memulai setelah mendapat lirikan dari Faisal. "Pak Faisal ingin kamu menikah dan hidup dengan pria pilihannya, Nona Laura."
Laura merinding bukan main. Lidahnya kelu, tak sanggup berbicara.
"Hanya dengan cara seperti itu, Pak Faisal bisa meninggalkan kita dengan tenang," imbuh Danu. "Pak Faisal ingin memastikan kamu hidup dengan orang yang tepat, Nona Laura."
"Bagaimana bisa aku menikah? Aku masih SMA sekarang!" Laura menolak mentah-mentah. "Aku juga punya kekasih!"
"Laura." Desi memotong. "Tolong dengarkan papa kamu sekali ini saja!"
Desi menatap putrinya. "Dokter bilang dia tidak bisa meninggalkan kita karena ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya," ucap Desi.
"Itulah sebabnya kita memanggil kamu kemarin karena kita pikir keinginan papa kamu yang terakhir adalah ganjalan di dalam hatinya agar dia bisa melepaskan semua rasa sakitnya," imbuhnya lagi. Desi mendekati Laura dan memohon.
Laura menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa! Aku tidak mau menikah karena aku belum cukup umur untuk melakukan itu!" Laura keras kepala.
Gadis itu kembali memohon pada papanya. "Laura janji, Laura akan memperbaiki sikap Laura. Laura akan hidup lebih mandiri dan tidak manja lagi," pintanya. "Tapi, tidak untuk menikah, Pa."
"Laura tidak mau menikah," katanya. Merengek.
"Itu adalah permintaan Pak Faisal untuk yang terakhir kalinya, Nona Laura. Saya harap, Nona Laura mau memahaminya." Danu menyela. "Berbaktilah untuk yang terakhir kalinya, Nona."
Laura memandang keadaan. Dia seakan dipojokkan mengingat semua sikapnya selama ini.
"Laura, Mama mohon," balas Desi. "Pilihan Papa kamu tidak pernah salah."
Laura menghela nafas. "Laura saja tidak tahu siapa yang akan Laura nikahi," tandas Laura. "Daffa juga tidak akan mau menikahi Laura untuk saat ini."
Desi mengambil tangan Laura dan menggenggamnya. "Mama sudah memanggilnya kemari. Dia sedang datang bersama ibunya dan adik perempuannya," jawab Desi.
Laura menggelengkan kepalanya. "Tapi, Ma!"
"Laura, Mama mohon sekali ini saja." Desi nampak khawatir. "Biarkan papa melepaskan semua rasa sakitnya."
Laura belum sempat menjawab, ketukan pintu memotong pembicaraan mereka. Tak berselang lama, seorang laki-laki masuk ke dalam bersama perempuan tua dan adik perempuannya.
Laura terkejut melihat siapa yang datang. "Pak Adam?"
Next.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Keyboard Harapan
yeaay adam kah yang di jodohkan dengan laura
2023-01-11
1