NovelToon NovelToon

Pesona Neraka Dari Istriku

1. Laura membenci Jakarta

"Daf, aku hamil," kata Laura. Dia mengulangi untuk yang kesekian kali. "Aku bilang aku hamil anak kamu."

Daffa memberi respon tak terduga, dia menyunggingkan senyum sembari tertawa kecil. "Kamu yakin itu anakku, Ra?"

Kesedihan sekaligus kekecewaan di dalam hati Laura meledak begitu saja. Dia menatap kosong jalanan yang basah oleh tetesan air hujan malam ini.

"Kita melakukannya, Daffa." Laura menegaskan. "Malam itu ... di penginapan punya teman kamu," imbuhnya lagi.

Daffa menggelengkan kepalanya yakin. "Kamu melakukannya bersama banyak pria. Aku tahu itu, Laura. Kamu pelacur."

Laura mengerutkan kening. Dia menggelengkan kepalanya, tanpa sanggup berkata-kata.

Mulai malam ini, Laura akan membenci Jakarta. Amarah yang menggebu di dalam dadanya, menarik air mata yang sedari tadi terkepung di dalam kelopak mata Laura. Dadanya terasa sakit bercampur lega setelah dia percaya diri untuk menangis di depan Daffa, kekasihnya.

"Kamu mengunjungi setiap klub malam di Jakarta dan bertemu banyak laki-laki. Lantas sekarang aku yang harus bertanggungjawab atas kehamilanmu itu?" Daffa menyanggah Laura yang terus diam.

Tatapan Laura tak fokus, tak ada emosi di dalam raut wajahnya. Hidupnya hancur setelah dia tahu ada kehidupan di dalam perutnya. Menolak dan melawan takdir sudah tidak bisa dia lakukan lagi.

"Laura, aku tidak bisa bertanggung jawab," kata Daffa melirih.

Daffa meraih tangan Laura dan menggenggamnya. "Lebih tepatnya aku tidak mau hidupku hancur dan berhenti sampai di sini jika aku menikahimu."

Laura meneteskan air matanya. Hatinya terluka. Pukulan hebat diberikan Daffa lewat kata-katanya. Hujan malam ini seakan mewakili kesedihan yang Laura alami. Langit mendukung suasana itu.

"Lalu aku harus bagaimana, Daffa?" Laura menyerah tanpa perdebatan.

Laura cukup frustasi sejak siang tadi. Tes kehamilan membuatnya menyesali tindakan itu.

"Gugurkan saja, Laura. Kita mulai semuanya dari awal," pinta pemuda itu. "Entah itu anakku atau bukan, aku tidak peduli. Kita tidak bisa menikah, Laura."

Laura mendorong tubuh Daffa menjauh darinya. "Ini anak kamu, Daffa! Aku berani bersumpah atas nama Tuhan!"

"Bahkan Tuhan tidak akan mengampuni dan menerima sumpahmu, Laura!" Daffa langsung menyahut. Gejolak di dalam hatinya tidak kalah besarnya dari milik Laura.

Daffa mendekati Laura lagi, perlahan-lahan. "Laura, dengarkan aku ...." Dia mencoba meluluhkan kegilaan di dalam hati Laura. "Aku tahu apa yang kamu rasakan malam ini, aku tahu situasinya."

"Kalau begitu nikahi aku, Daffa. Aku butuh pertanggungjawaban dari kamu." Laura menatapnya teduh. Genangan air mata di dalam kelopak matanya, membuat bayangan Daffa yang ada di depannya setengah kabur.

Daffa menunduk. "Kita masih SMA, Laura." Daffa menegaskan lagi. Mata elangnya memblokir Laura di tempatnya. "Kita harus kuliah, kita masih punya mimpi, dan kita masih bisa melakukan banyak hal di luar sana. Intinya ... kita masih muda."

"Kamu tidak mau bertanggung jawab?" Laura cepat menyimpulkan. "Kamu pengecut!"

"Aku akan bertanggung jawab jika usia kita sudah cukup untuk menikah, Laura." Daffa terus membujuk Laura. "Setidaknya biarkan aku masuk universitas yang aku impikan."

"Lalu aku bagaimana?" Laura seperti orang linglung di depan Daffa. Matanya tak fokus dalam satu titik, sesekali menatap Daffa lalu keluar ke jalanan yang ada di depannya.

"Papa dan mamaku akan membunuhku," gumam Laura dengan gemetar. "Aku akan mati di tangan mereka jika tahu aku hamil."

Laura berbalik badan. Memunggungi Daffa yang kikuk di tempatnya. Daffa tak punya jalan keluar untuk masalah Laura yang satu ini. Padahal sebelumnya dia pantas untuk diandalkan.

"Seharusnya kita tidak pernah melakukan itu, Daffa," seloroh Laura mulai cemas.

Gadis bersurai panjang ikal itu menggigiti satu persatu kuku jari jemarinya. Dia hampir gila dengan semua kemungkinan buruk yang ada di dalam kepalanya. Pada faktanya, Laura dan Daffa tidak pernah mendapat restu dari orang tua Laura.

Daffa anak orang miskin. Hidupnya amburadul, tak tentu arah dan tujuan. Orang tua Daffa bercerai lima tahun lalu, setelah ibunya menangkap basah perselingkuhan ayah Daffa dengan seorang gadis muda.

Ah, mungkin benar bahwa buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Daffa mengikuti jejak keberengsekan sang ayahanda.

"Laura," panggil Daffa sembari menarik tangan Laura. Membuat gadis cantik itu menatapnya lagi.

Daffa menghela napas lelah, padahal sejak satu jam lalu mereka hanya mondar mandir di tempat yang sama.

"Pulanglah dulu. Nanti aku—"

"Kamu mau menyuruh aku pulang, Daff?" Laura memicingkan mata. Tak percaya Daffa mengampangkan ini begitu saja. "Kamu pikir apa yang akan terjadi padaku jika aku menemui papa dan mama?"

"Perutmu belum membesar, Laura." Daffa berusaha bijak. "Baru Lima minggu kan?" tanya Daffa mengkonfirmasi.

Laura diam di tempatnya, tak ada bantahan.

"Sebelum dua bulan, aku akan mencarikan tempat aborsi yang aman dan—"

"Aku tidak mau diaborsi!" Laura berteriak kesetanan. "Sudah berapa kali aku bilang, aku takut!"

"Aku akan melindungi mu dan aku akan berada di sisimu, Laura." Daffa terus berusaha menyakinkan Laura, sama seperti malam itu. Tatapan Daffa sekarang, membawa kembali ingatan Laura pada malam yang begitu menggairahkan untuk mereka.

Daffa memejamkan rapat matanya. "Maaf karena membentakmu lagi, Ra."

"Katakan saja jika kamu memang tidak mau bertanggung jawab dan ingin lari sebagai pengecut, Daffa." Laura menyeka air matanya. "Kamu memang begitu sejak dulu."

Daffa memandang Laura. "Jadi orang tua tidak mudah, Ra. Apalagi aku bukan dari keluarga kaya."

"Mama dan papa yang akan membantu kita," kata Laura. "Mereka akan membayar semua tanggungan hidupku. Kamu hanya perlu ...."

"Aku tidak suka dengan orang tuamu, Laura." Daffa mulai blak-blakan.

Laura langsung diam, seakan hatinya kembali dihantam batu besar.

"Setiap kali aku datang ke rumahmu, orang tuamu selalu saja memandang aku remeh karena aku tidak sama dengan kalian," terang Daffa. "Lalu kamu mau aku bergantung pada orangtuamu setelah kita menikah?"

Daffa tertawa gila dengan kalimatnya sendiri, sedangkan Laura masih diam membisu di tempatnya. Tidak percaya, malam ini Daffa menunjukkan sisi yang mengerikan untuk dirinya.

Laura tersenyum kecut. "Kamu memang bajingan, Daffa," bisik Laura dengan pandangan kosong. "Aku tidak seharusnya mencintai kamu sejak awal."

"Laura, aku hanya ingin yang terbaik untuk kita." Daffa tak menunjukkan raut wajah bersalah. "Ini demi masa depan kita, Ra."

Daffa kembali menarik tangan Laura dan menggenggamnya. "Kita sudah punya masa depan, sedangkan anak ini belum."

"Kita tidak bisa merelakan masa depan kita hanya untuk seorang anak yang kita tidak bisa menjamin dia akan lahir dengan selamat," kata Daffa lagi. "Jadi relakan dia, Laura."

Laura menampar Daffa atas kalimat itu. Pandangan matanya dipenuhi amarah dan protes padanya.

"Syukurlah jika kamu menolaknya malam ini, Daffa. Kamu menang tidak pantas menjadi ayah!" Laura mengepalkan tangannya. "Kamu psikopat gila!"

"Kamu mirip ayah kamu yang brengsek itu!" Setelah menyelesaikan kalimatnya, Laura pergi dari hadapan Daffa.

Sayangnya, Daffa menghentikan Laura. Menarik tangannya dengan kasar. "Apa yang kamu bilang tadi?" tanya Daffa dengan amarah.

"Beraninya kamu membandingkan aku dengan dia!" pekiknya. "Kamu saja yang murahan, Laura!" teriak Daffa membalas Laura. Tamparan mendarat di pipi Laura begitu saja. Membuat Laura terpelanting.

"Hei, kamu! Apa yang kamu lakukan!" Seseorang tiba-tiba saja menghentikan aksi Daffa. Dia datang dari kegelapan malam, menerjang hujan yang turun.

Laura menatapnya, begitu juga dengan Daffa.

"Dia ...." Laura bergumam lirih. "Wajahnya ...."

Next.

2. Malam yang singkat

Tubuhnya jangkung, tinggi besar sewajarnya pria dewasa. Wajah tampan bersih, dengan kumis tipis di bawah hidung mancungnya, menjadi fokus pandangan Laura sekarang ini. Sepasang mata teduhnya seakan tidak asing memandang dirinya.

"Ini sudah malam, hujan lagi," katanya tiba-tiba. "Kalian tidak boleh berduaan di tempat gelap begini. Nanti menimbulkan fitnah."

Suaranya begitu lembut. Menenangkan hati Laura yang sedang bergemuruh hebat. Layaknya senandung di tengah riuhnya suasana kota di siang hari.

"Mas ini siapa? Atas hak apa, Mas ikut campur?" Daffa bersungut-sungut. Marahnya disalurkan lewat kata-kata dan raut wajahnya.

Daffa menarik tangan Laura. "Dia pacarku dan bukan urusan kamu tentang apa yang terjadi sama kita malam ini," tandas Daffa. Dia hampir membawa Laura pergi dari hadapannya.

"Tunggu dulu!" Pria itu mencegah. Hampir menarik tangan Laura, tetapi hatinya mencegah itu. Dia diam sejenak, cukup lama berpikir.

"Apa?" Daffa ketus sembari menatapnya. "Mau ikut campur?"

"Dia menangis, sepertinya kamu kasar padanya." Pria itu menatap Laura yang langsung memalingkan wajahnya. Sepertinya dia tertangkap basah dengan kekacauan di raut wajahnya.

"Bukan urusan kamu!" Daffa menyahut. "Ini urusan kami!"

"Aku akan lapor polisi kalau kamu nekat membawanya pergi!" Ternyata pria itu tidak menyerah, berusaha melawan Daffa yang asing baginya. Fokusnya hanya untuk Laura. Dia iba padanya.

Daffa melepaskan genggaman tangan dari Laura. Menghampiri pria asing dengan kemeja rapi seperti layaknya orang baru pulang melamar kerja, bedanya wajah tampan itu tidak mengisyaratkan rasa lelah yang luar biasa.

"Kamu ini siapa?" gumam Daffa berdiri di depannya. "Dia pacarku dan dia adalah milikku. Aku berhak melakukan apapun padanya dan kamu!" Daffa meletakkan telunjuk di depan dada pria itu. "Kamu tidak berhak ikut campur!"

"Antarkan dia pulang karena ini sudah malam. Di luar hujan dan aku yakin orang tuanya pasti mengkhawatirkan dia," sahut pria itu dengan nada tenang sembari perlahan-lahan menurunkan jari Daffa dari depan dada bidangnya.

Pria itu menghela napas. "Itu saran dariku, Nak."

Setelah berdebat kecil, dia memutuskan untuk pergi. Setidaknya memastikan Laura tidak jadi mendapat tamparan dari kekasihnya itu.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik oleh Laura. Menghentikan langkah kaki pria itu kemudian.

"Tolong antar aku pulang," pinta Laura dengan ekspresi wajah sedih. Kecemasan memenuhi mata sayunya. "Aku ingin pulang."

"Laura!" Daffa menyentak. Menarik tubuhnya dengan kasar. "Urusan kita belum selesai."

"Dia bukan kekasihku," sambung Laura menatap Daffa. Senyum picik merekah di atas bibirnya. "Dia mencampakkan aku beberapa menit yang lalu dan dia melupakan aku setelahnya."

Kebingungan luar biasa melanda pria jangkung itu. Pertanyaan demi pertanyaan mendesak untuk segera dijawab di dalam kepalanya, tetapi dia bahkan tidak mengenal dua pemuda di depannya ini. Lantas, mau memaksa bagaimana?

"Aku akan membesarkan anak ini sendiri dan aku akan berjuang untuk anak ini sendiri!" Laura memandang Daffa dengan tembakan di dalam mata yang penuh amarah. "Aku tidak butuh kamu, Daffa!"

"Laura. Dengarkan aku dulu ...."

"Aku sudah cukup mendengarkan kamu, Daff. Sekarang saatnya aku memutuskan apa yang harus aku lakukan!" Laura bersikeras. Dia masa bodoh meksipun ada orang asing yang mendengar kabar kehamilannya ini.

Laura menepuk dadanya. "Ini tubuhku! Ini anakku! Dan ini keputusanku!"

"Kamu benar!" Laura menyeringai. "Tuhan mungkin membenci aku dan tidak akan mengampuni dosaku, tetapi setidaknya aku harus mengampuni diriku sendiri, Daffa."

"Aku tidak mau menjadi pembunuh," pungkas Laura menutup kalimatnya.

"Laura, aku bukannya—"

"Kamu bisa pergi sekarang, Daffa. Aku tidak mau melihat kamu lagi." Laura tidak mengizinkan Daffa untuk berbicara. "Mulai sekarang jangan mengenal aku dan jangan menemui aku lagi. Aku muak lihat muka kamu!"

Laura pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia menerjang gerimis kota malam ini. Daffa yang hendak mengejarnya, dicegah oleh pria asing itu. Dada bidangnya dihentikan dengan telapak tangan miliknya.

"Biarkan dia pergi. Dia milik orang tuanya, bukan milik kamu, Nak," katanya. Pria itu menyusul Laura setelah mendiamkan Daffa di tempatnya.

Daffa menyerah, tanpa mau berjuang lebih banyak lagi. Setidaknya kemarahan dan kepergian Laura sedikit menguntungkan untuk dirinya. Sisanya, akan Daffa urus besok jika situasi jauh lebih mendukung dirinya.

>>><<<

"Hei, kamu!"

Laura menoleh. Pria jangkung itu mengikuti dirinya rupanya. Laura mengira dia akan pergi dan tak akan mau peduli lagi.

"Pakai payung," katanya seraya menyodorkan payung lipat untuk Laura.

Laura kikuk di tempatnya. Memandang kosong uluran tangan pria itu. Tak ada ekspresi di wajahnya. Kedua tangan Laura pun hanya meremas kedua bahu, untuk memeluk dirinya sendiri. Hujan gerimis membawa hawa dingin yang begitu menusuk.

"Adam," katanya tiba-tiba. "Itu namaku."

Laura menatapnya heran. Perlahan-lahan kerutan muncul di atas dahinya. "Siapa yang tanya nama kamu, Pak?"

"Pak?" Adam terkekeh. "Kamu memanggilku dengan sebutan Pak?" Dia memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.

Jujur saja, Adam membenci hujan. Selain tak suka hawa dingin dan basah di tubuhnya, Hujan sangat merepotkan untuk Adam. Dia pria yang sederhana, tetapi kalau urusan penampilan, tidak ada yang boleh merusaknya.

"Aku yakin umurku tidak jauh darimu," kekeh Adam. "Panggil nama juga boleh. Itu sedang tren di Jakarta."

Laura menghela napas. Dia tidak menjawab. Baginya, Adam itu aneh. Dia terlihat pria baik-baik dengan penampilan super rapi meskipun ini adalah jam rawan untuk merusak penampilan karena keadaan. Adam juga punya tata bicara dan seni menghadapi gadis muda yang baik. Namun, Laura punya perasaan buruk terhadap Adam.

"Ambil payungnya. Aku tidak butuh," jawab Laura pada akhirnya. Dia melenggang pergi, hampir meninggalkan Adam.

"Tunggu!" Adam mencegah Laura tanpa menyentuhnya. Ajaran yang diberikan mendiang ayah dan ibunya adalah untuk tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Adam harus menghargai privasi orang lain.

Laura berbalik. "Apa lagi? Kamu tidak lihat aku ingin pulang sekarang?"

"Daffa cukup menjengkelkan, jadi aku mohon kerja samanya." Laura memungkasi dengan wajah jengkel. Dia lelah, hidupnya dipontang-pantingkan tak tentu arahnya.

"Katanya minta diantar pulang," kata Adam dengan lembut. "Di mana rumah kamu?"

Laura terkekeh. Dia menatap Adam dari atas sampai bawah. "Aku sudah hamil, kamu mau memperkosa aku juga?"

Adam langsung diam. Dia tidak pernah mendengar kalimat 'sengeri' itu muncul dari bibir yang begitu cantik milik gadis seperti Laura ini.

"Apa untungnya?" tanya Laura tak acuh. "Aku tidak menjual diriku," pungkas Laura menutup pembicaraan.

"Bukan begitu. Aku hanya—"

"Mas Adam!" Ucapan Adam disela oleh kedatangan seorang wanita berhijab yang berlari ke arahnya. Dia melambai dengan antuasias.

Laura tersenyum picik. "Istrimu cantik, kenapa masih menginginkan aku?" kekeh Laura dalam kebingungan Adam di tempatnya.

"Ah, penampilanmu benar-benar menipuku," gumamanya. Laura pergi meninggalkan Adam setelah itu.

Next.

3. Guru Baru

SMA Menjura Jakarta.

"Laura, come on!" Belen melambai-lambai, berharap Laura mempercepat aksinya sebelum mereka tertangkap basah oleh penjaga sekolah.

Laura melirik Belen, dia adalah gadis seusia dengannya yang menjadi teman sebangku Laura sejak kali pertama datang ke sekolah ini.

"Kamu pikir gampang manjat dinding SMA ini?" Laura memprotes seraya turun dari pagar dengan hati-hati. Dia patut bersyukur sebab gudang belakang sekolah menyediakan akses secara tidak langsung dengan tumpukan kursi dan meja tak terpakai di sisi tembok besar pembatas sekolah.

Laura menapakkan ujung sepatunya. "Aku sudah berusaha," gumamnya.

Belen berkacak pinggang. "Kalau tidak mampu, setidaknya jangan terlambat!" gerutunya memprotes.

"Aku juga tidak mau terlambat!" Laura tak mau disalahkan. Dia melirik Belen lagi, lalu membenarkan seragamnya. "Siapa yang mau bangun kesiangan di jam sekolah begini? Itu merepotkan."

"Sudahlah, percuma aku berdebat sama kamu. Kamu itu keras kepala." Belen merangkul Laura. Seakan menuntunnya berjalan, mereka melangkah beriringan.

Laura bisa dikatakan sebagai primadona sekolah ini. Seluruh penghuni Menjura mengakui kecantikan dan kemolekan gadis ini. Laura punya tubuh dengan siluet yang sempurna, jenjang tak terlalu kurus apalagi gemuk.

Wajah Laura cantik dihiasi sepasang mata bulat dan hidung mancung dengan bibir merah delima yang ranum. Kulitnya putih susu, tak ada noda dan luka untuk dicela. Tuhan melukiskan kesempurnaan dalam diri gadis bersurai panjang ikal itu.

"Sudah belajar?" Belen menyela hening mereka. Dia melirik Laura yang tak seperti biasanya.

Laura akan mengomeli siapa pun untuk melampiaskan hari buruk seperti Selasa ini. Setidaknya dia butuh Daffa, sang kekasih, untuk menggerutu. Namun, sekarang ini Laura jadi banyak diam.

"Aku tidak sempat belajar," sahut Laura sedang. Tidak mau banyak berbicara. Perasaannya tidak sedang baik-baik saja sekarang.

Belen memicingkan matanya. "Sepertinya ada hal buruk yang terjadi sama kamu, Ra?" Dia mencoba menyimpulkan.

"Coba cerita!" Belen menarik tangan Laura agar mereka berhenti di sana. "Sebelum masuk kelas, kamu harus menghilangkan perasaan buruk itu."

Laura diam, memandang Belen yang berharap kejujuran darinya.

"Ra?" Belen memanggilnya sembari mengerakkan telapak tangan di depan wajah Laura untuk mengambil fokusnya. "Are you okay?"

Laura memalingkan wajahnya. Menghela nafas panjang tak beraturan. "Lupakan saja. Aku lagi capek aja," jawab Laura.

"Kamu merahasiakan sesuatu dari aku?" tanya Belen.

Belen merengek di depan Laura. "Come on, Ra! Kita adalah teman dekat. Kamu tidak biasanya begini."

Laura bergeming seraya memandang Belen. Bahkan untuk Belen, sahabatnya, kejujuran tentang kehamilan Laura pagi ini begitu sulit. Laura tidak bisa memasrahkan rahasia besar ini pada Belen.

"Ra? Kamu serius akan merahasiakannya dari aku?" Belen memungkasi diamnya Laura. "Kamu menganggap aku sebagai sahabat?"

"Nanti aku ceritakan, tidak sekarang," tutur Laura sedikit ketus.

Belen hampir berbicara, tetapi kedatangan seseorang mengejutkan mereka.

"Kalian tidak masuk kelas?" ucap seorang pria.

Belen menoleh, begitu juga dengan Laura. Langkah kaki seorang pria jelas menuju ke arah mereka. Untuk Belen, dia begitu asing. Namun, tidak untuk Laura. Wajah dan perawakan itu masih terekam jelas di dalam memorinya.

"Ba--bapak ini siapa?" Belen tergagap-gagap sembari memandangi penampilan pria di depannya.

Dia tersenyum pada Belen. "Guru kamu," ucapnya ringan. "Kalian tidak masuk ke kelas kalian?" tanyanya dengan pengertian.

Belen melirik Laura yang membisu. Pandangan mata Laura dipenuhi keraguan. Mungkinkah Adam punya saudara kembar? Kenapa mereka dipertemukan lagi?

"Laura?" Adam tersenyum padanya. "Kenapa menatapku begitu?"

"Bapak kenal Laura?" Belen jadi orang kikuk di sini. Dia sama sekali tidak bisa berkomentar banyak. Sedangkan Laura masih saja memilih diam.

Adam tersenyum pada Belen. "Namanya Laura Mentari kan?"

Laura ingat kalau kemarin dia tidak menyebutkan namanya.

"Bagaimana bisa Bapak ...." Ucapan Belen dihentikan dengan jari telunjuk Adam yang menunjuk sisi seragam Laura.

Belen manggut-manggut. "Ah, name-tag!" kekehnya.

Adam kembali pada topik pembicaraan awal mereka. "Aku memang guru baru di sini, tetapi aku berhak menyuruh kalian untuk masuk kelas bukan?" tanya Adam. Dia tersenyum manis pada Belen dan Laura.

"Te--tentu saja." Belen menyenggol bahu Laura. Bukan hal yang aneh jika Laura menggampangkan guru baru di depannya, dia bahkan terkadang tidak punya sopan santun pada guru lama. Namun, bagi Belen hari ini Laura benar-benar terasa asing untuknya.

"Kalau begitu ... kita pergi dulu, Pak." Belen memaksa Laura untuk membungkuk dengan menekan punggung Laura.

Adam manggut-manggut. "Jangan membolos."

Belen manggut-manggut. Setelahnya dia membawa tubuh kaku Laura untuk pergi dari hadapan Adam. Mereka berjalan menjauhinya.

"Ra!" Belen menyenggol tubuh Laura, berharap kesadarannya datang kembali.

Laura menoleh pada Belen. "Huh?"

"Kamu ini sebenarnya kenapa?" Belen masih menagih penjelasan dari Laura. "Dari tadi kamu itu seperti orang asing untukku, kalau ada masalah lebih baik kamu cerita."

Laura menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya kurang istirahat aja," imbuh Laura tersenyum kecut.

"Kamu terpana sama ketampanan guru baru tadi? Kamu terus melihat ke arahnya," kekeh Belen, berusaha menyeimbangkan suasana.

Laura menggeleng lagi. "Bukan gitu." Dia ingin berkata jujur, menceritakan apa yang terjadi semalam dan bagaimana dia bisa bertemu dengan Adam. Namun, Laura belum punya keberanian sebesar itu.

"Ingat kalau kamu itu pacarnya Daffa." Belen mencubit Laura manja. "Jangan buat masalah dengannya. Terakhir kali Daffa memukuli habis anak kelas sebelah yang menggoda kamu."

Laura memaksakan senyum di atas bibirnya. Sejauh ini hanya dirinya dan Daffa yang tahu kalau mereka sudah tidak punya hubungan apapun.

"Belen," panggil Laura lagi.

Belen menoleh seraya mengerutkan kening. "Ada apa?"

"Aku mau istirahat di UKS, aku—"

"Kamu sakit?" Belen dihujani kepanikan tiba-tiba. "Itu alasannya kamu banyak diam sejak tadi?"

"Bukan gitu," jawab Laura sedikit ragu. "Aku butuh tidur sebentar. Jadi, bisa izinkan aku untuk pelajaran matematika?"

Belen memandang Laura. Sebenarnya dari raut wajahnya sudah mengisyaratkan kalau Laura tidak baik-baik saja hari ini.

"Please," pinta Laura lagi.

Belen terpaksa mengalah. "Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?"

Laura tersenyum. "Tentu. Kamu duluan aja," ucapnya.

Belen menuruti Laura. Dia pergi meninggalkan Laura sendirian di belakang sekolah.

UKS? Tentu bukan itu tujuan Laura. Setelah memutar langkah kaki, Laura berlari kembali ke tempat sebelumnya. Berharap dia bisa bertemu dengan Adam.

Sayang sekali, Adam sudah tidak ada di sana. Laura hanya mendapati kekosongan di tempat ini.

"Mencariku?" Adam tiba-tiba muncul di balik punggung Laura. Suara teduhnya itu menarik fokus Laura.

Adam mendekatinya. Tersenyum pada Laura yang memandangnya dalam diam. "Sepertinya ada yang ingin kamu katakan, Laura?"

Laura manggut-manggut ragu. "Bisa bicara sebentar?"

Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Aku sibuk."

Next.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!