Tubuhnya jangkung, tinggi besar sewajarnya pria dewasa. Wajah tampan bersih, dengan kumis tipis di bawah hidung mancungnya, menjadi fokus pandangan Laura sekarang ini. Sepasang mata teduhnya seakan tidak asing memandang dirinya.
"Ini sudah malam, hujan lagi," katanya tiba-tiba. "Kalian tidak boleh berduaan di tempat gelap begini. Nanti menimbulkan fitnah."
Suaranya begitu lembut. Menenangkan hati Laura yang sedang bergemuruh hebat. Layaknya senandung di tengah riuhnya suasana kota di siang hari.
"Mas ini siapa? Atas hak apa, Mas ikut campur?" Daffa bersungut-sungut. Marahnya disalurkan lewat kata-kata dan raut wajahnya.
Daffa menarik tangan Laura. "Dia pacarku dan bukan urusan kamu tentang apa yang terjadi sama kita malam ini," tandas Daffa. Dia hampir membawa Laura pergi dari hadapannya.
"Tunggu dulu!" Pria itu mencegah. Hampir menarik tangan Laura, tetapi hatinya mencegah itu. Dia diam sejenak, cukup lama berpikir.
"Apa?" Daffa ketus sembari menatapnya. "Mau ikut campur?"
"Dia menangis, sepertinya kamu kasar padanya." Pria itu menatap Laura yang langsung memalingkan wajahnya. Sepertinya dia tertangkap basah dengan kekacauan di raut wajahnya.
"Bukan urusan kamu!" Daffa menyahut. "Ini urusan kami!"
"Aku akan lapor polisi kalau kamu nekat membawanya pergi!" Ternyata pria itu tidak menyerah, berusaha melawan Daffa yang asing baginya. Fokusnya hanya untuk Laura. Dia iba padanya.
Daffa melepaskan genggaman tangan dari Laura. Menghampiri pria asing dengan kemeja rapi seperti layaknya orang baru pulang melamar kerja, bedanya wajah tampan itu tidak mengisyaratkan rasa lelah yang luar biasa.
"Kamu ini siapa?" gumam Daffa berdiri di depannya. "Dia pacarku dan dia adalah milikku. Aku berhak melakukan apapun padanya dan kamu!" Daffa meletakkan telunjuk di depan dada pria itu. "Kamu tidak berhak ikut campur!"
"Antarkan dia pulang karena ini sudah malam. Di luar hujan dan aku yakin orang tuanya pasti mengkhawatirkan dia," sahut pria itu dengan nada tenang sembari perlahan-lahan menurunkan jari Daffa dari depan dada bidangnya.
Pria itu menghela napas. "Itu saran dariku, Nak."
Setelah berdebat kecil, dia memutuskan untuk pergi. Setidaknya memastikan Laura tidak jadi mendapat tamparan dari kekasihnya itu.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik oleh Laura. Menghentikan langkah kaki pria itu kemudian.
"Tolong antar aku pulang," pinta Laura dengan ekspresi wajah sedih. Kecemasan memenuhi mata sayunya. "Aku ingin pulang."
"Laura!" Daffa menyentak. Menarik tubuhnya dengan kasar. "Urusan kita belum selesai."
"Dia bukan kekasihku," sambung Laura menatap Daffa. Senyum picik merekah di atas bibirnya. "Dia mencampakkan aku beberapa menit yang lalu dan dia melupakan aku setelahnya."
Kebingungan luar biasa melanda pria jangkung itu. Pertanyaan demi pertanyaan mendesak untuk segera dijawab di dalam kepalanya, tetapi dia bahkan tidak mengenal dua pemuda di depannya ini. Lantas, mau memaksa bagaimana?
"Aku akan membesarkan anak ini sendiri dan aku akan berjuang untuk anak ini sendiri!" Laura memandang Daffa dengan tembakan di dalam mata yang penuh amarah. "Aku tidak butuh kamu, Daffa!"
"Laura. Dengarkan aku dulu ...."
"Aku sudah cukup mendengarkan kamu, Daff. Sekarang saatnya aku memutuskan apa yang harus aku lakukan!" Laura bersikeras. Dia masa bodoh meksipun ada orang asing yang mendengar kabar kehamilannya ini.
Laura menepuk dadanya. "Ini tubuhku! Ini anakku! Dan ini keputusanku!"
"Kamu benar!" Laura menyeringai. "Tuhan mungkin membenci aku dan tidak akan mengampuni dosaku, tetapi setidaknya aku harus mengampuni diriku sendiri, Daffa."
"Aku tidak mau menjadi pembunuh," pungkas Laura menutup kalimatnya.
"Laura, aku bukannya—"
"Kamu bisa pergi sekarang, Daffa. Aku tidak mau melihat kamu lagi." Laura tidak mengizinkan Daffa untuk berbicara. "Mulai sekarang jangan mengenal aku dan jangan menemui aku lagi. Aku muak lihat muka kamu!"
Laura pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia menerjang gerimis kota malam ini. Daffa yang hendak mengejarnya, dicegah oleh pria asing itu. Dada bidangnya dihentikan dengan telapak tangan miliknya.
"Biarkan dia pergi. Dia milik orang tuanya, bukan milik kamu, Nak," katanya. Pria itu menyusul Laura setelah mendiamkan Daffa di tempatnya.
Daffa menyerah, tanpa mau berjuang lebih banyak lagi. Setidaknya kemarahan dan kepergian Laura sedikit menguntungkan untuk dirinya. Sisanya, akan Daffa urus besok jika situasi jauh lebih mendukung dirinya.
>>><<<
"Hei, kamu!"
Laura menoleh. Pria jangkung itu mengikuti dirinya rupanya. Laura mengira dia akan pergi dan tak akan mau peduli lagi.
"Pakai payung," katanya seraya menyodorkan payung lipat untuk Laura.
Laura kikuk di tempatnya. Memandang kosong uluran tangan pria itu. Tak ada ekspresi di wajahnya. Kedua tangan Laura pun hanya meremas kedua bahu, untuk memeluk dirinya sendiri. Hujan gerimis membawa hawa dingin yang begitu menusuk.
"Adam," katanya tiba-tiba. "Itu namaku."
Laura menatapnya heran. Perlahan-lahan kerutan muncul di atas dahinya. "Siapa yang tanya nama kamu, Pak?"
"Pak?" Adam terkekeh. "Kamu memanggilku dengan sebutan Pak?" Dia memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.
Jujur saja, Adam membenci hujan. Selain tak suka hawa dingin dan basah di tubuhnya, Hujan sangat merepotkan untuk Adam. Dia pria yang sederhana, tetapi kalau urusan penampilan, tidak ada yang boleh merusaknya.
"Aku yakin umurku tidak jauh darimu," kekeh Adam. "Panggil nama juga boleh. Itu sedang tren di Jakarta."
Laura menghela napas. Dia tidak menjawab. Baginya, Adam itu aneh. Dia terlihat pria baik-baik dengan penampilan super rapi meskipun ini adalah jam rawan untuk merusak penampilan karena keadaan. Adam juga punya tata bicara dan seni menghadapi gadis muda yang baik. Namun, Laura punya perasaan buruk terhadap Adam.
"Ambil payungnya. Aku tidak butuh," jawab Laura pada akhirnya. Dia melenggang pergi, hampir meninggalkan Adam.
"Tunggu!" Adam mencegah Laura tanpa menyentuhnya. Ajaran yang diberikan mendiang ayah dan ibunya adalah untuk tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Adam harus menghargai privasi orang lain.
Laura berbalik. "Apa lagi? Kamu tidak lihat aku ingin pulang sekarang?"
"Daffa cukup menjengkelkan, jadi aku mohon kerja samanya." Laura memungkasi dengan wajah jengkel. Dia lelah, hidupnya dipontang-pantingkan tak tentu arahnya.
"Katanya minta diantar pulang," kata Adam dengan lembut. "Di mana rumah kamu?"
Laura terkekeh. Dia menatap Adam dari atas sampai bawah. "Aku sudah hamil, kamu mau memperkosa aku juga?"
Adam langsung diam. Dia tidak pernah mendengar kalimat 'sengeri' itu muncul dari bibir yang begitu cantik milik gadis seperti Laura ini.
"Apa untungnya?" tanya Laura tak acuh. "Aku tidak menjual diriku," pungkas Laura menutup pembicaraan.
"Bukan begitu. Aku hanya—"
"Mas Adam!" Ucapan Adam disela oleh kedatangan seorang wanita berhijab yang berlari ke arahnya. Dia melambai dengan antuasias.
Laura tersenyum picik. "Istrimu cantik, kenapa masih menginginkan aku?" kekeh Laura dalam kebingungan Adam di tempatnya.
"Ah, penampilanmu benar-benar menipuku," gumamanya. Laura pergi meninggalkan Adam setelah itu.
Next.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Keyboard Harapan
Adam baik kayaknya nih
2023-01-11
1