...Masih di karya ke empatku. Jangan lupa rating bintang nya untuk karya ini....
...like dan komen agar author semangat buat nulis.. ...
...selamat membaca...
Flashback of
Pagi menjelang siang, Yara dan Afkar bersiap pergi ke rumah orang tua Afkar yang tak jauh dari rumah mereka. Dhiya yang ikut pun terlelap dalam dekapan Yara, jarak tempat tinggal mereka hanya terpisah satu desa.
Satu jam perjalanan mereka tempuh, sambil sesekali mengobrol dan bercanda seperti yang mereka lakukan. Motor matic andalan Afkar pun telah memasuki rumah berpagar besi yang berdiri kokoh di desanya, tempatnya dibesarkan dari kecil. Di samping rumah tersebut berdiri satu bangunan besar tempat penggilingan padi. Salah satu usaha yang keluarga Afkar punya dari dulu sampai sekarang. Usaha penggilingan padi itu sangat terkenal di desanya.
Para petani di desa itu banyak yang menggunakan jasa penggilingan padi milik Pak Setyo bapak dari Afkar. Pa Setyo terkenal orang yang dermawan dan ramah. Halaman yang luas terpampang di depan rumah tersebut. Lahan tersebut biasa digunakan untuk menjemur gabah padi sebelum masuk penggilingan.
“Assalamualaikum,” ucap Afkar ketika memasuki pekarangan rumahnya.
“Waalaikumusalam,” jawab seseorang dari pekarangan, ia terlihat memakai topi yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut ditemani beberapa orang yang sedang membantunya menghamparkan gabah padi untuk dijemur.
Penggilingan padi ini menyediakan jasa menggiling gabah bagi petani di wilayah sekitarnya. Usaha ini tidak membeli gabah petani lalu menjualnya dalam bentuk beras, namun hanya menyediakan jasa penggilingan bagi gabah yang dibawa oleh petani. Ongkos giling dibayar berdasarkan jumlah gabah yang digiling.
Usaha ini memiliki lantai jemur yang disediakan bagi petani yang ingin menjemur gabahnya tanpa dipungut biaya pengeringan. Namun kebanyakan petani (sekitar 60%) datang membawa gabah dalam keadaan kering siap giling.
Kebiasaan petani sekitar adalah membawa gabah dalam jumlah kecil, Tidak seluruh gabah hasil panen langsung digiling, namun digiling sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan konsumsi.
“Duh cucu Mbah kung, datang,” sapa Pak Setyo seraya membuka penutup kepala yang bertengger di atas kepalanya. Pak Setyo menghampiri Afkar dan Yara. Ketika mereka akan berjabat tangan mencium tangan Pak Setyo, beliau menahannya.
“Tunggu dulu!" Cegah Pak Setyo. “Kalian langsung masuk saja ke dalam. Kasian cucuku kalau di sini, panas! Lagian bapak mau cuci tangan dan ganti baju dulu, biar bersih," ujarnya.
“Baik pak, kalau begitu Afkar ke dalam dulu,” pamit Afkar.
“Ya, silahkan!”
Yara pun ikut berpamitan dengan menundukkan kepala kepada pak Setyo.
“Tidurkan anakmu di kamar! Nanti Bapak akan ajak ia bermain kalau sudah bangun,” ucapnya kepada Yara.
Yara mengangguk sopan. "Iya, Pak."
Yara mengikut Afkar masuk ke dalam rumahnya. Suasana di rumah itu sepi, karena adik perempuan Afkar yang bernama Mila, belum lama menikah. Mila ikut dengan sang suami tinggal di rumah dinas. Suami dari adiknya itu merupakan anggota pasukan khusus negara. Pernikahan Mila dengan pria yang mempunyai pangkat itu makin menambah kebanggaan tersendiri untuk sang ibu, Bu Nuri.
Mendapat menantu dari kalangan terhormat dan berada. Berbeda dengan Afkar yang mendapat istri dari kalangan orang biasa, tak jelas asal usulnya pula. Sebab itulah Bu Nuri tidak pernah setuju dan tidak suka pada Yara.
Ada perasaan takut dan tidak nyaman setiap kali berkunjung ke rumah mertuanya itu. Meskipun rumah tangganya dengan Afkar sudah berjalan beberapa tahun. Tapi sikap Bu Nuri terhadap Yara masih sama. Apalagi semenjak ia mendapat menantu idaman dari anak bungsunya. Sindiran, celaan bahkan sering diacuhkan itu yang Yara dapatkan dari Bu Nuri setiap berkunjung ke rumah itu.
Berbeda dengan sikapnya terhadap Dhiya. Mungkin karena Dhiya adalah cucunya. Ada darah Bu Nuri yang mengalir dalam tubuh anaknya. Jadi sikapnya begitu perhatian pada gadis kecil itu.
Yara tak masalah jika sikap mertuanya tidak baik kepadanya yang terpenting adalah Dhiya mendapatkan kasih sayang dari Mbah Kung dan Mbah Utinya.
Afkar yang mengerti akan kegundahan hati Yara merangkul pundaknya.
“Kamu harus bersabar menghadapi ibu. Dia memang seperti itu, jangan di ambil hati dengan apa yang dikatakannya!” ucap Afkar lembut seraya mengelus pundak Yara.
Semangat dari suaminya itu membuat Yara nyaman dan tidak menyerah agar bisa mendapatkan hati dari Bu Nuri.
“Iya, Mas." Yara mengikuti langkah Afkar memasuki ruang keluarga.
“Kamu masih ingat pulang, Kar! Ibu kira kamu tidak ingat kalau ibu sama bapakmu masih ada!” Sindir Bu Nuri yang datang tiba-tiba dari arah dapur. Bu Nuri langsung mencecar Afkar dengan sindiran dan pertanyaan.
Bu Nuri berjalan menghampiri keduanya.
“Assalamualaikum, Bu." Afkar berjalan mendekati Bu Nuri lalu mencium tangannya dengan takzim.
Yara pun mengikutinya menyalami Bu Nuri.
“Waalaikumussalam,” jawab Bu Nuri ketus kepada Yara.
“Bagaimana keadaan ibu, sehat?” Yara yang memulai percakapan itu mencoba mencairkan suasana agar tak terasa canggung.
“Kamu lihat sendiri keadaan ibu, sehat kan? Apa kamu berharap ibu mertuamu ini sakit-sakitan?” sahut Bu Nuri tetap dengan nada ketus membuat Yara menundukkan kepalanya.
“Bu, tolong jangan bersikap seperti itu terus sama Yara. Dia istriku, itu berarti anak ibu juga.” Afkar merangkul Bu Nuri kemudian menuntunnya untuk duduk di sofa. Bu Nuri pun menurut.
“Ay, bawa Dhiya ke kamar dulu, rebahkan di kasur biar nggak pegal!” Titah Afkar kepada Yara.
Yara mengangguk pelan. “Iya Mas, Bu ... Yara pamit ke kamar dulu." Yara pamit pada Bu Nuri. Tak ada jawaban dari mertuanya itu. Beliau hanya melirik sekilas masih dengan wajah ketus.
“Kamu ini Kar, 'kan Ibu sudah bilang bantu bapakmu di sini untuk apa kamu kerja serabutan di sana? Jangan buat orang tuamu malu. Kamu itu sarjana masa kerja kaya gitu,” hardik Bu Nuri dengan tegas. Ia menceramahi Afkar tanpa henti.
Bu Nuri mengetahui kegiatan Afkar usai berhenti kerja itu dari orang yang sering menggiling padi ke tempatnya. Mereka memberitahu Bu Nuri kalau mereka pernah melihat Afkar bekerja serabutan setelah beberapa bulan pabrik tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan.
“Semenjak menikah dengan Yara, kamu itu nggak ada kemajuan, Nak! Malah begini jadinya. Sia-sia orang tuamu ini menyekolahkanmu.” Bu Nuri masih terus mengomel meluapkan emosinya yang selama ini ia pendam karena Afkar sudah lama tak berkunjung ke sana.
“Sabar Bu, jangan terus menyalahkan Yara. Ini semua bukan salahnya! Mungkin sudah jalannya kehidupan Afkar seperti ini. Sang Pencipta Kehidupan sedang menguji kesabaranku, Bu! Toh yang penting Afkar gak mengemis buat cari uang,” Seru Afkar sambil mengelus lembut baju Bu Nuri, berusaha untuk menenangkannya.
“Kamu ini, sama seperti bapakmu, selalu seperti itu!” desis Bu Nuri.
“Loh, bukannya bagus itu Bu! berarti anakmu itu bertanggung jawab dan mandiri,” sambung Pak Setyo yang tiba-tiba datang dari pintu samping. Sedari tadi saat membersihkan kaki dan tangan sebelum masuk ke dalam rumah. Pak Setyo mendengarkan apa yang di bicarakan istri dan anak pertamanya itu.
.
.
.
Bersambung
Promo maning masih berlangsung teroos.
Mampir ke karya teman otor ya. karya mereka tuh tak kalah seru loh.
Mampir Yak!!!!
bye... bye...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
good job thor lanjutkan
2023-05-25
0
Meta Lia
ibu mertua 80% memang begitu
2023-04-01
0
Atiqa Fairuz Khalisa
ibu mertua gak mau anak nya miskin
2023-03-23
1