Selir Ke-9 Sang Penguasa
Seorang wanita mengenakan gaun pengantin berwarna putih, duduk ditepi ranjang dengan warna senada dengan gaunnya. Wanita itu menunduk ketakutan, tangannya yang basah karena keringat dingin saling meremas.
Ini akan jadi hari terakhir aku bernafas, jika dia sampai tahu yang sesungguhnya, gumamnya dalam hati.
Hari ini dia hanya bisa pasrah. Kamar mewah yang ia tempati sekarang, terasa seperti tempat pemakaman untuknya.
****
Beberapa hari yang lalu.
Seorang laki-laki berjalan tergopoh-gopoh membawa sepucuk surat ditangannya, wajahnya terlihat tegang.
"Tuan, penguasa itu ingin putri Anda," ujarnya dengan nafas tersengal. Ia menyodorkan surat yang ia bawa pada pria yang ia panggil Tuan.
Gustavo mengambil surat itu dengan kasar, dadanya berdegup kencang saat membaca tiap kata disurat itu.
"Tidak, ini tidak bisa!" Geramnya, meremas surat itu dengan marah.
"Ini di luar kendali kita Tuan, Anda tahu bagaimana laki-laki itu jika kita menolak perintahnya. Itu dama saja kita menyetujui pemakaman masal untuk keluarga kita Tuan," ucap orang kepercayaan Gustavo itu.
Gustavo berdecih, ia bukan tidak tahu bagaimana sifat sang penguasa itu. Meskipun ia belum pernah bertemu dengan laki-laki itu. Semua bisnis Gustavo bersinggungan langsung dengan mereka, bahkan Gustavo juga banyak menerima bantuan, materi maupun non materi dari kelompok yang dipimpin oleh penguasa itu.
Pria dengan perut besar itu tampak berpikir keras, dia bukannya tidak tahu seberapa kuat dan kuasanya laki-laki itu. Dia adalah penguasa yang paling ditakuti, pemimpin mafia yang paling kejam. Musuhnya bahkan lebih memilih menyerah tanpa perlawanan, karena pasti akan mati dengan cara yang paling mengerikan jika melawannya.
Namun, ia juga tidak ingin menyerahkan putri semata wayangnya. Banyak desas-desus yang beredar bahwa dia memperlakukan selir-selirnya seperti hewan, menyiksa dan menjadikan mereka budak pemuas.
"Aku tidak bisa mengirim Louisa sana," ucapnya Gustavo Morales dengan mengusap wajahnya kasar.
"Aku juga tidak ingin ke sana Ayah!" Teriak Louisa.
Gustavo menoleh, melihat gadis yang baru saja masuk keruang kerjanya.
"Louisa, Sayang. Tidak sopan masuk tanpa permisi seperti itu Nak," tutur Gustavo.
"Itu tidak penting sekarang," sergah Louisa, gadis berusia sembilan belas tahun itu menatap tajam pada Ayahnya.
"Apa Ayah akan mengirimku ke selatan? aku tidak sudi Ayah, aku tidak mau mati konyol seperti selir-selirnya!" Teriak Louisa.
Tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli sang penguasa itu, kabar yang beredar dia adalah seorang laki-laki dengan wajah penuh luka yang ia dapatkan saat bertarung. Mengerikan dan sangat kejam, dia selalu menyiksa semua selirnya hingga mati mengenaskan.
"Tenanglah Nak, Ayah sedang mencari jalan keluarnya," ucap Gustavo.
Louisa melipat tangannya dengan wajah masam. Tiba-tiba sebuah senyum tersungging di bibirnya yang merah.
"Bagaimana kalau Ayah mengirim Si Bodoh untuk mengantikan aku?"
"Anak bodoh itu, apa kau yakin Louisa?"
"Dia cukup cantik, walaupun aku malas untuk mengakuinya tapi dia memang cantik dan berkulit bersih. Lagipula Penguasa itu hanya butuh mainan kan Ayah. Angkat saja dia jadi putrimu dan kirim dia ke sana!"
"Kau memang pintar Sayang," puji Gustavo, membuat Louisa tersenyum bangga.
Keesokan harinya, mereka pergi menyambangi rumah Kirana. Sebuah rumah sederhana yang hanya ditempati oleh seorang gadis yang baru yang kehilangan sang ibu.
"Ini saatnya kau membayar semua hutangmu!" Teriak Gustavo.
Mata Laras membeliak lebar, tidak biasa Tuan besar itu datang, biasanya hanya anak buahnya yang akan datang menagih.
Saya tidak ada uang Tuan, bukankah kemarin saya sudah membayar cicilannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu! bicara yang jelas, jangan mengerakkan tangan seperti orang bodoh!" Gustavo mendorong tubuh Laras, hingga wanita itu jatuh.
"Jika kau tidak bisa melunasi semua hutangmu hari ini aku akan menjualmu pada Bartoli," ujar Gustavo dengan seringai.
Tidak Tuan, saya mohon jangan.
Laras mengerakkan tangan menolak, kemudian mengatupkan kedua tangannya di dada, menatap wajah pria tua itu dengan memelas. Dia tidak ingin jadi pelacur, Laras tahu siapa Bartoli. Pemilik rumah bordil paling besar di kota ini.
"Tidak mau ya. Baiklah aku akan memberi mu satu pilihan, dan kau tidak boleh menolaknya. Mulai hari ini kau adalah anak angkatku, bagian dari keluarga Moralez, kau akan menikah, menggantikan Louisa menjadi selir sang penguasa!"
Jeduar
Laras terduduk lemas, mengirimnya sebagai selir penguasa sama saja dengan mengirimnya pergi ke rumah jagal. Seluruh dunia tahu, bagaimana sang penguasa itu memperlakukan selir-selirnya. Wanita-wanita malang yang hanya tinggal nama, setelah menjadi selirnya.
"Bawa dia!"
Dua orang pria mengangkat tubuh Laras, wanita itu hanya bisa pasrah. Setidaknya dia tidak harus menjadi pelacur yang melayani para lelaki hidung belang. Hutang almarhum sang Ayah yang menggunung pada Gustavo ditambah lagi Laras juga ikut berhutang untuk pengobatan ibunya sampai beliau wafat, membuat Laras mau tak mau harus menuruti perintah Gustavo.
***
Suara pintu yang didorong dari luar membuat wajah itu semakin gelisah, jemari yang basah karena keringat dingin saling bertaut. Ruangan itu terasa semakin mencekam, kala langkah kaki yang berat itu terdengar semakin dekat.
Tak
Tak
Sepasang sepatu hitam mengkilat, berhenti tepat didepannya. Kain panjang yang menutup kepalanya, ditarik, terhempas begitu saja.
Laras memberingsut, matanya terpejam rapat.
"Angkat wajahmu," kata seorang pria dengan suara yang berat.
Dengan perlahan sang gadis mendongak. Kedua mata mereka bertemu. Mata Laras melebar, melihat wajah pria yang ada di hadapannya.
Tampan, sangat tampan. Sangat berbeda dengan apa yang dia dengar dari orang-orang. Mata Laras mengedip pelan, ketakutan yang menyelimuti hatinya menguar begitu saja. Pria itu sedikit menunduk, mengapit dagu si wanita dengan telunjuk dan jempolnya.
Dia sang penguasa? Dia tidak jelek dan menakutkan.
"Kau takut padaku?" Tanya laki-laki itu, iris hasel miliknya menatap tajam pada Kanaya.
Gadis bermata coklat itu menggeleng pelan, tapi dengan cepat ia mengangguk. Tuan itu melepaskan tangannya.
"Hahaha ... Wanita tercantik dari utara, menarik," suara tawanya menggema, Kanaya menatap laki-laki itu dengan wajah polos.
Pria itu tersenyum, senyum yang lebih terlihat seperti seringai yang menyeramkan, tapi terlihat begitu mempesona bagi Laras.
"Kim!"
Seorang laki-laki memakai setelan jas hitam lengkap, masuk dengan tergopoh-gopoh sambil membawa dua gelas anggur merah. pria berwajah oriental itu menunduk, mengangkat nampan yang ia bawa hingga setinggi kepalanya.
"Ini Tuan."
Pria tampan yang dipanggil Tuan itu mengambil gelas kaca yang berisi cairan memabukkan itu, mengibaskan tangannya. Si pelayan mengerti, ia membungkukkan badan, kemudian keluar dan menutup pintu.
"Minum," kata pria itu sambil menyodorkan salah satu minuman itu pada Laras
Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan satin, Laras menerimanya dengan sedikit bergetar. Meskipun ia tidak takut dengan pria yang ada di hadapannya. Namun, ini pertama kali dalam hidup Laras meminum minuman seperti ini.
"Cepat minum!"
Laras mengangguk gadis polos itu, menenggak cairan merah dengan tergesa-gesa, hingga membuatnya tersedak dan tumpah mengenai gaun yang ia kenakan.
"Bodoh! apa kau tidak pernah minum?!"
Laras menggeleng memegangi tenggorokannya yang terasa panas, sambil terbatuk-batuk. Pria itu menautkan alisnya, melihat laras.
Dengan kasar ia merebut gelas yang hampir kosong dari tangan Laras, lalu membanting keduanya ke lantai. Laras terjingkat kaget.
"Berdiri, lepaskan semua!"
Netra bening Laras membeliak, menatap laki-laki itu dengan tak percaya. Mata bermanik hasel itu menyorot tajam, membuat Laras sadar. Di sini bukan tempatnya untuk menolak, dia tidak punya hak untuk itu.
Dengan berat hati, Laras bangkit. Satu persatu sarung tangan yang ia pakai terlepas, kemudian ia membuka pengait gaun pengantin yang ia pakai. meski agak kesulitan, tapi Laras tetap melepaskannya.
Srat
Gaun dengan model kemben itu, merosot. Memperlihatkan lekuk tubuh Laras, lebih kurus dari dugaan pria itu. Laki-laki berkemeja hitam itu mundur dua langkah, agar bisa melihat keseluruhan tubuh polos dihadapannya. Laras menundukkan, lengannya ia letakkan di atas gundukan yang hanya tertutup bra warna kulit, dan tangan yang lain ia gunakan untuk menutup area sensitifnya.
Tuan itu tersenyum miring, ia melangkah maju. Sekarang ia tepat berada didepan Laras, ujung sepatu mereka saling bertemu. Tangan kekar itu terulur ke belakang kepala Laras, menarik satu benda yang menjadi penahan sanggul rambut Laras. Seketika mayang panjang dan hitam itu terbebas, tergerai indah.
"Moodku sedang baik," lirihnya.
Deru nafas hangat, menyapu leher Laras. Reflek ia memejamkan mata, tangan besar dan hangat itu mulai menjamah tubuh polosnya. Laras gemetar meski pria itu menyentuh dengan lembut. Laras berusaha pasrah, menyerahkan diri untuk sang Tuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Rysa
aku datang....
2025-02-02
0
Isna Maria Prianti
lanjuttt makkkk
2024-04-03
0
Iin Karmini
namanya yg bener yg mana thor kirana, laras atau kanaya? dlm satu bab sdh nyebut 3 nama...
2023-06-03
0