NovelToon NovelToon

Selir Ke-9 Sang Penguasa

Bab 1

Seorang wanita mengenakan gaun pengantin berwarna putih, duduk ditepi ranjang dengan warna senada dengan gaunnya. Wanita itu menunduk ketakutan, tangannya yang basah karena keringat dingin saling meremas.

Ini akan jadi hari terakhir aku bernafas, jika dia sampai tahu yang sesungguhnya, gumamnya dalam hati.

Hari ini dia hanya bisa pasrah. Kamar mewah yang ia tempati sekarang, terasa seperti tempat pemakaman untuknya.

****

Beberapa hari yang lalu.

Seorang laki-laki berjalan tergopoh-gopoh membawa sepucuk surat ditangannya, wajahnya terlihat tegang.

"Tuan, penguasa itu ingin putri Anda," ujarnya dengan nafas tersengal. Ia menyodorkan surat yang ia bawa pada pria yang ia panggil Tuan.

Gustavo mengambil surat itu dengan kasar, dadanya berdegup kencang saat membaca tiap kata disurat itu.

"Tidak, ini tidak bisa!" Geramnya, meremas surat itu dengan marah.

"Ini di luar kendali kita Tuan, Anda tahu bagaimana laki-laki itu jika kita menolak perintahnya. Itu dama saja kita menyetujui pemakaman masal untuk keluarga kita Tuan," ucap orang kepercayaan Gustavo itu.

Gustavo berdecih, ia bukan tidak tahu bagaimana sifat sang penguasa itu. Meskipun ia belum pernah bertemu dengan laki-laki itu. Semua bisnis Gustavo bersinggungan langsung dengan mereka, bahkan Gustavo juga banyak menerima bantuan, materi maupun non materi dari kelompok yang dipimpin oleh penguasa itu.

Pria dengan perut besar itu tampak berpikir keras, dia bukannya tidak tahu seberapa kuat dan kuasanya laki-laki itu. Dia adalah penguasa yang paling ditakuti, pemimpin mafia yang paling kejam. Musuhnya bahkan lebih memilih menyerah tanpa perlawanan, karena pasti akan mati dengan cara yang paling mengerikan jika melawannya.

Namun, ia juga tidak ingin menyerahkan putri semata wayangnya. Banyak desas-desus yang beredar bahwa dia memperlakukan selir-selirnya seperti hewan, menyiksa dan menjadikan mereka budak pemuas.

"Aku tidak bisa mengirim Louisa sana," ucapnya Gustavo Morales dengan mengusap wajahnya kasar.

"Aku juga tidak ingin ke sana Ayah!" Teriak Louisa.

Gustavo menoleh, melihat gadis yang baru saja masuk keruang kerjanya.

"Louisa, Sayang. Tidak sopan masuk tanpa permisi seperti itu Nak," tutur Gustavo.

"Itu tidak penting sekarang," sergah Louisa, gadis berusia sembilan belas tahun itu menatap tajam pada Ayahnya.

"Apa Ayah akan mengirimku ke selatan? aku tidak sudi Ayah, aku tidak mau mati konyol seperti selir-selirnya!" Teriak Louisa.

Tidak ada yang tahu bagaimana rupa asli sang penguasa itu, kabar yang beredar dia adalah seorang laki-laki dengan wajah penuh luka yang ia dapatkan saat bertarung. Mengerikan dan sangat kejam, dia selalu menyiksa semua selirnya hingga mati mengenaskan.

"Tenanglah Nak, Ayah sedang mencari jalan keluarnya," ucap Gustavo.

Louisa melipat tangannya dengan wajah masam. Tiba-tiba sebuah senyum tersungging di bibirnya yang merah.

"Bagaimana kalau Ayah mengirim Si Bodoh untuk mengantikan aku?"

"Anak bodoh itu, apa kau yakin Louisa?"

"Dia cukup cantik, walaupun aku malas untuk mengakuinya tapi dia memang cantik dan berkulit bersih. Lagipula Penguasa itu hanya butuh mainan kan Ayah. Angkat saja dia jadi putrimu dan kirim dia ke sana!"

"Kau memang pintar Sayang," puji Gustavo, membuat Louisa tersenyum bangga.

Keesokan harinya, mereka pergi menyambangi rumah Kirana. Sebuah rumah sederhana yang hanya ditempati oleh seorang gadis yang baru yang kehilangan sang ibu.

"Ini saatnya kau membayar semua hutangmu!" Teriak Gustavo.

Mata Laras membeliak lebar, tidak biasa Tuan besar itu datang, biasanya hanya anak buahnya yang akan datang menagih.

Saya tidak ada uang Tuan, bukankah kemarin saya sudah membayar cicilannya.

"Aku tidak mengerti maksudmu! bicara yang jelas, jangan mengerakkan tangan seperti orang bodoh!" Gustavo mendorong tubuh Laras, hingga wanita itu jatuh.

"Jika kau tidak bisa melunasi semua hutangmu hari ini aku akan menjualmu pada Bartoli," ujar Gustavo dengan seringai.

Tidak Tuan, saya mohon jangan.

Laras mengerakkan tangan menolak, kemudian mengatupkan kedua tangannya di dada, menatap wajah pria tua itu dengan memelas. Dia tidak ingin jadi pelacur, Laras tahu siapa Bartoli. Pemilik rumah bordil paling besar di kota ini.

"Tidak mau ya. Baiklah aku akan memberi mu satu pilihan, dan kau tidak boleh menolaknya. Mulai hari ini kau adalah anak angkatku, bagian dari keluarga Moralez, kau akan menikah, menggantikan Louisa menjadi selir sang penguasa!"

Jeduar

Laras terduduk lemas, mengirimnya sebagai selir penguasa sama saja dengan mengirimnya pergi ke rumah jagal. Seluruh dunia tahu, bagaimana sang penguasa itu memperlakukan selir-selirnya. Wanita-wanita malang yang hanya tinggal nama, setelah menjadi selirnya.

"Bawa dia!"

Dua orang pria mengangkat tubuh Laras, wanita itu hanya bisa pasrah. Setidaknya dia tidak harus menjadi pelacur yang melayani para lelaki hidung belang. Hutang almarhum sang Ayah yang menggunung pada Gustavo ditambah lagi Laras juga ikut berhutang untuk pengobatan ibunya sampai beliau wafat, membuat Laras mau tak mau harus menuruti perintah Gustavo.

***

Suara pintu yang didorong dari luar membuat wajah itu semakin gelisah, jemari yang basah karena keringat dingin saling bertaut. Ruangan itu terasa semakin mencekam, kala langkah kaki yang berat itu terdengar semakin dekat.

Tak

Tak

Sepasang sepatu hitam mengkilat, berhenti tepat didepannya. Kain panjang yang menutup kepalanya, ditarik, terhempas begitu saja.

Laras memberingsut, matanya terpejam rapat.

"Angkat wajahmu," kata seorang pria dengan suara yang berat.

Dengan perlahan sang gadis mendongak. Kedua mata mereka bertemu. Mata Laras melebar, melihat wajah pria yang ada di hadapannya.

Tampan, sangat tampan. Sangat berbeda dengan apa yang dia dengar dari orang-orang. Mata Laras mengedip pelan, ketakutan yang menyelimuti hatinya menguar begitu saja. Pria itu sedikit menunduk, mengapit dagu si wanita dengan telunjuk dan jempolnya.

Dia sang penguasa? Dia tidak jelek dan menakutkan.

"Kau takut padaku?" Tanya laki-laki itu, iris hasel miliknya menatap tajam pada Kanaya.

Gadis bermata coklat itu menggeleng pelan, tapi dengan cepat ia mengangguk. Tuan itu melepaskan tangannya.

"Hahaha ... Wanita tercantik dari utara, menarik," suara tawanya menggema, Kanaya menatap laki-laki itu dengan wajah polos.

Pria itu tersenyum, senyum yang lebih terlihat seperti seringai yang menyeramkan, tapi terlihat begitu mempesona bagi Laras.

"Kim!"

Seorang laki-laki memakai setelan jas hitam lengkap, masuk dengan tergopoh-gopoh sambil membawa dua gelas anggur merah. pria berwajah oriental itu menunduk, mengangkat nampan yang ia bawa hingga setinggi kepalanya.

"Ini Tuan."

Pria tampan yang dipanggil Tuan itu mengambil gelas kaca yang berisi cairan memabukkan itu, mengibaskan tangannya. Si pelayan mengerti, ia membungkukkan badan, kemudian keluar dan menutup pintu.

"Minum," kata pria itu sambil menyodorkan salah satu minuman itu pada Laras

Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan satin, Laras menerimanya dengan sedikit bergetar. Meskipun ia tidak takut dengan pria yang ada di hadapannya. Namun, ini pertama kali dalam hidup Laras meminum minuman seperti ini.

"Cepat minum!"

Laras mengangguk gadis polos itu, menenggak cairan merah dengan tergesa-gesa, hingga membuatnya tersedak dan tumpah mengenai gaun yang ia kenakan.

"Bodoh! apa kau tidak pernah minum?!"

Laras menggeleng memegangi tenggorokannya yang terasa panas, sambil terbatuk-batuk. Pria itu menautkan alisnya, melihat laras.

Dengan kasar ia merebut gelas yang hampir kosong dari tangan Laras, lalu membanting keduanya ke lantai. Laras terjingkat kaget.

"Berdiri, lepaskan semua!"

Netra bening Laras membeliak, menatap laki-laki itu dengan tak percaya. Mata bermanik hasel itu menyorot tajam, membuat Laras sadar. Di sini bukan tempatnya untuk menolak, dia tidak punya hak untuk itu.

Dengan berat hati, Laras bangkit. Satu persatu sarung tangan yang ia pakai terlepas, kemudian ia membuka pengait gaun pengantin yang ia pakai. meski agak kesulitan, tapi Laras tetap melepaskannya.

Srat

Gaun dengan model kemben itu, merosot. Memperlihatkan lekuk tubuh Laras, lebih kurus dari dugaan pria itu. Laki-laki berkemeja hitam itu mundur dua langkah, agar bisa melihat keseluruhan tubuh polos dihadapannya. Laras menundukkan, lengannya ia letakkan di atas gundukan yang hanya tertutup bra warna kulit, dan tangan yang lain ia gunakan untuk menutup area sensitifnya.

Tuan itu tersenyum miring, ia melangkah maju. Sekarang ia tepat berada didepan Laras, ujung sepatu mereka saling bertemu. Tangan kekar itu terulur ke belakang kepala Laras, menarik satu benda yang menjadi penahan sanggul rambut Laras. Seketika mayang panjang dan hitam itu terbebas, tergerai indah.

"Moodku sedang baik," lirihnya.

Deru nafas hangat, menyapu leher Laras. Reflek ia memejamkan mata, tangan besar dan hangat itu mulai menjamah tubuh polosnya. Laras gemetar meski pria itu menyentuh dengan lembut. Laras berusaha pasrah, menyerahkan diri untuk sang Tuan.

Bab 2

Riak langit telah berubah, hujan yang mengguyur wilayah itu dini hari tadi membuat pagi ini terasa lebih dingin. Laras menarik selimut lebih tinggi, agar menutup bagian lehernya. Dingin menusuk tulang yang terasa rapuh.

"Nona Laras," suara dari belakang mengejutkan Laras.

Mata Laras terbuka lebar, dengan memegang erat selimutnya, Laras membalikkan tubuh. Tampak seorang laki-laki berwajah oriental, berdiri di samping ranjang nya dengan kepala sedikit tertunduk.

Laras terjingkat, memeluk selimutnya semakin erat. Melihat gelagat wanita itu, Kim tahu kalau dia ketakutan

"Jangan takut Nyonya, saya Kim. Kepala pelayan di mansion ini, saya yang akan melayani Anda mulai sekarang," ujar Pria itu menjelaskan.

Aku, dilayani? Bukankah aku hanya seorang budak, yang melayani Tuan?

Kim melihat Laras dengan senyum miring.

"Jangan heran Nona, semua selir sebelum Anda adalah tanggung jawab saya, Anda bukan satu-satunya. Saya ditugaskan untuk merawat para selir dengan baik, agar bisa melayani Tuan," Kim bertutur dengan nada ketus.

Wajah cantik yang tadinya berbinar kini redup seketika oleh ucapan Kim, Laras memang harus sadar dia hanya seorang selir, tak lebih dari seorang budak pemuas untuk sang penguasa.

"Saya akan menyiapkan air untuk Anda." Pria sipit itu melangkah masuk ke kamar mandi. Mata Laras mengekor pergerakan pria itu.

Tak lama pria itu keluar, ia berjalan mendekati Laras yang masih duduk di atas ranjang, dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Tangan laki-laki itu terulur hendak membantu, tapi Laras mengerakkan tangan.

Gerakan Kim terhenti, rupanya Laras menolak untuk dibantu olehnya. Sepertinya wanita itu tidak nyaman pada Kim.

"Apakah Anda bisa membersihkan diri Anda sendiri?"

Laras mengangguk cepat.

Iya saya bisa.

"Baiklah, waktu Anda dua puluh menit untuk bersiap, Nyonya besar ingin bertemu dengan Anda."

Nyonya besar? Istri sang penguasa?

Melihat ekspresi wajah Laras, Kim seolah paham dengan apa yang ingin wanita itu katakan.

"Nyonya besar dia adalah satu-satunya istri sah Tuan, dia ingin menemui Anda. Jadi cepatlah bersiap. Dan jangan lupa mengoleskan ini pada memar ditubuh Anda." Kim mengeluarkan sebuah botol kecil dari kaca, dengan cairan berwarna ungu di dalamnya.

Laras menerimanya dengan mengangguk pelan.

Terima kasih.

"Kalau begitu saya permisi." Kim sedikit menunduk, kemudian melangkah keluar dari kamar itu.

Setelah Kim keluar, Laras mulai turun dari ranjang dengan perlahan. Jujur saja sedari tadi ia menahan air seni yang serasa mau tumpah. Dengan sedikit meringis, Laras memegangi bagian bawah perutnya.

Aduh sakit, kenapa seperti ada yang mengganjal di dalam sini.

Laras ingin melangkah cepat ke kamar mandi, tetapi area v yang terasa nyeri dan mengganjal membuat Laras hanya bisa berjalan seperti pinguin.

Dua puluh menit tepat, Laras selesai. Dengan memakai baju yang tersimpan di dalam kamar itu, Laras keluar.

"Anda sudah siap?!"

Astaga, Tuan Kim. Anda mengangetkan saya.

Laras memegangi dadanya yang berdetak kencang. Keberadaan Kim yang berdiri tepat didepan pintu saat Laras membukanya, membuat wanita itu kaget setelah mati.

"Mari ikuti saya." Kim melangkah terlebih dahulu, dengan cepat Laras pun menyusul langkahnya.

Menuruni tangga, berjalan melewati sebuah ruangan yang luas dengan sofa besar dan televisi, ada dapur mewah di sisi lain ruangan itu. Laras sangat takjub dengan apa yang dilihatnya, kemarin ia langsung terbangun di kamar tanpa tahu apa-apa. Kini ia bisa melihat betapa indah dan mewahnya bangunan yang ia tempati.

Melalui pintu besar dengan bentuk setengah lingkaran diatasnya, Kim dan Laras keluar dari rumah itu. Mereka melewati taman yang indah, ada kolam kecil dengan patung malaikat berwarna putih yang mengeluarkan air dari kendi yang ia bawa

Mereka memasuki sebuah gedung besar berbentuk lorong yang sangat megah. Delapan mobil mewah, berjajar dengan rapi di lorong itu, dinding yang terbuat dari kaca-kaca besar membuat Laras mudah untuk melihat keluar. Tampak dari sana sebuah halaman yang sangat luas, seperti lapangan sepak bola, dengan air mancur yang berkali-kali lipat lebih besar daripada di taman yang ia lewati. Sebuah patung dewa Yunani memegang tongkat menusuk monster yang tergeletak di kakinya berada di tengah kolam itu.

"Nyonya Anne punya tempramen yang sedikit pemarah, jika dia melakukan sesuatu pada Anda. Lebih baih jangan melawan, jika Anda tidak ingin membuatnya marah," tutur Kim sambil terus berjalan.

Laras yang tertinggal beberapa langkah dari Kim, segera menyusul. Ia mengangguk kecil, mendengar apa yang Kim ucapkan. Setelah melewati garasi mewah itu, Kim membelokkan langkah ke kanan. Tampak sebuah bangunan besar, lebih besar daripada tempat Laras tadi.

Seorang wanita bermayang panjang tergerai, duduk dengan satu kakinya menyilang. Memakai gaun dengan belahan dada rendah berwarna merah, wanita itu tampak anggun dan menawan. Sejenak Laras terpaku melihat sang nyonya.

"Nyonya, Nona Laras sudah datang Sesuai dengan keinginan Anda." Kim membungkuk hormat, dia mundur beberapa langkah ke samping, agar Anne dapat melihat Laras.

Laras berusaha tersenyum, meskipun ia merasa takut.

"Wah ...Wah lihat siapa yang datang berkunjung sepagi ini," ujar Anne yang jelas menyindir, karena matahari jelas sudah meninggi.

Laras menunduk, senyum di bibirnya pudar seketika.

"Tuan memerintahkan saya untuk tidak menganggu Nona Laras untuk beristirahat. Tuan bersama Nona ini hingga fajar menyingsing," sahut Kim.

"Aku tidak bertanya pada mu Kim!"

"Maaf Nyonya." Kim menunduk dalam.

"Dia begitu perhatian dengan wanita ja**ng ini, aku harus melihat bagaimana rupa wanita yang sudah melayani suamiku semalam suntuk."

Anne menyeringai, ia bangkit dari duduknya. Suara sepatu hak tinggi yang ia pakai menggema di ruangan itu. Anne memegangi dagu Laras mengangkatnya dengan kasar.

"Jadi kau adalah putri Gustavo, wanita tercantik di bagian utara." Tangan Anne turun ke leher Laras.

Anne tertegun, giginya mengatup, matanya memerah menatap tajam pada wanita dihadapannya.

"Katakan berapa kali Dia menyetubuhi mu?" Tanya Anne dengan berteriak, satu tangan yang mencengkeram leher Laras.

Anne begitu marah melihat banyak jejak merah bawah tulang selangka istri kedua suaminya. Laras menahan sakit dilehernya, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Terlalu menakutkan bagi Laras, untuk bertatapan langsung dengan sang Nyonya.

Anne melepaskan tangannya, kemudian menampar pipi Laras, hingga wanita itu terjatuh. Laras menggerak-gerakkan tangannya, hal itu membuat Anne semakin geram.

"Aku bertanya pada mu! Kenapa kau tidak menjawab, dan malah mengerakkan tangan tidak jelas seperti itu, apa kau bisu?!"

Laras mengangguk kecil. Anne tersenyum kecil, melihat wanita yang tak berdaya itu.

"Well ... Apa kau bodoh?"

Hening, Laras tak berusaha menjawab meski dengan isyarat. Dia hanya diam, dengan posisi yang sama saat ia jatuh tadi.

Bab 3

"Kenapa kau diam? Oh ... Aku lupa, kau bisu. Hahahaha." Anne tertawa terbahak-bahak.

"Seorang penguasa menikahi wanita ja**ng bisu, lelucon apa ini?!"

Anne tertawa terbahak-bahak, meski hatinya terasa tercabik. Sesungguhnya ia tidak menertawakan Laras yang sedang menunduk sedih, dia menertawakan dirinya sendiri. Bahkan seorang wanita bisu seperti Laras bisa menghangatkan ranjang Adan sedangkan Anne, Adam sama sekali tidak pernah menyentuhnya.

Tidak apa-apa, kau sudah biasa dengan ini kan Laras. Menjadi bahan cemoohan sedari kau kecil, bertahanlah. Semua akan baik-baik saja, kau cukup diam seperti biasa.

Laras mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri, sama seperti biasanya.

Puas tertawa, Anne menguap, menepuk-nepuk pelan mulutnya yang terbuka.

"Hah ... Bosan, orang bisu tidak akan bisa menangis karena sakit. Buat dia duduk berdiri diluar, aku ingin istirahat." Anne meninggalkan ruangan mewah itu, menaik tangga untuk sampai ke kamarnya.

Dua pelayan Anne, menyeret tubuh Laras yang lemah hingga keluar ruangan. Kim bukan tidak ingin menolong, tapi dia tidak bisa. Jika dia membantu Laras sekarang, sang Nyonya akan lebih murka dan melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Laras. Kim tau benar bagaimana perangai Anne.

Mata Laras mulai memanas, dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis.

Tempat ini seperti neraka! teriak Laras dalam hati.

Di depan pintu bangunan megah itu, Laras tegak berdiri. Matahari yang mulai meninggi, membuat Laras merasakan panas yang membakar kulitnya, hingga keringat membanjiri tubuh pucat Laras. Kim hanya bisa menjaga Laras dari kejauhan.

Malam telah tiba, selimut hitam terbentang luas berhiaskan bintang, cantik, sangat cantik. Andai saja tubuh Laras tidak seperti sekarang, ia pasti akan menikmati indahnya malam ini.

Laras merasa sangat lelah, lututnya gemetar. Berkali-kali ia hampir jatuh, tetapi Laras mencoba untuk tetap tegak. Meski dengan terhuyung. Laras sempat ingin bersandar pada tembok, tetapi para pelayan Anne segera datang dan kembali menegakkan tubuhnya. Malam semakin larut, udara dingin mulai menusuk tulang wanita itu, tangan pucatnya mendekap tubuhnya sendiri.

Deru suara helikopter terdengar sayup di telinga Laras, wanita itu tidak terlalu perduli, ia terlalu lelah. Derap langkah kaki melangkahkan cepat menghampiri Laras.

"Adam, kau sudah kembali," sambut Anne yang langsung keluar dari kediamannya, begitu mendengar suara helikopter.

Anne meraih tangan Adam, menggelayut manja dilengan yang terbalut kemeja hitam. Langkah Adam terhenti disamping Laras, matanya melirik sekilas pada wanita itu. Laras menunduk, raganya terlalu penat untuk perduli apa yang terjadi di sekitarnya.

"Kenapa dia ada di sini?"

Anne melepaskan tangannya, berdiri berhadapan dengan sang suami.

"Aku hanya mengajarinya sedikit tata krama," jawab Anne santai, ia melipat tangannya dengan bibirnya yang mengerucut.

"Tata krama? Jadi kau punya tata krama yang bagus hem. Jadi bagaimana dia membuatmu marah?"

Anne tersenyum senang, merasa menang karena Adam terdengar berpihak padanya. Tentu saja, Anne adalah istri sah pertamanya. Sedangkan gadis itu hanya gundik yang di nikahi Adam, sebagai pemuas saja.

"Dia sangat tidak sopan, aku mengundangnya untuk datang ke tempatku pagi hari, tapi dia malah datang saat matahari sudah meninggi. Dia sama sekali tidak menghormati aku sebagai Nyonya di rumah ini," tutur Anne panjang lebar.

"Ada lagi?" Mata Adam terus saja melirik pada Laras. Anne yang menyadari itu merasa kesal.

"Selain itu dia juga bisu," ketus Anne.

"Si Tua Gustavo itu tahukan kalau anaknya ini bisu, berani-beraninya dia menyembunyikan kebenaran dan menipumu seperti ini!"

"Aku tahu."

Mata Anne melebar, ia menatap suaminya dengan tak percaya.

"Kau tahu dan kau tetap menikahinya, bagaimana bisa wanita bisu seperti dia jadi selirmu. Ceraikan dia, kirim dia kembali ke utara!"

Adam melemparkan tatapan tajam pada Anne, sebuah tatapan yang mampu membuat siapa saja ketakutan. Adam memang tidak mencintainya, tetapi dia belum pernah memberikan tatapan itu pada Anne.

"A-Adam," panggil Anne dengan tergagap.

Adam melingkarkan jemari kekarnya di leher jenjang Anne, membuat wanita blasteran Asia-spayol itu kesakitan.

"Kau mau ikut campur urusan pribadi ku Ann," ujar Adam dengan dingin.

"Ak-aku ti-dak ber- maksud seper-ti itu," Anne berkata dengan terbata, nafasnya tercekat.

"Bagus." Adam melepaskan leher Anne yang sudah memerah.

Wanita berambut coklat itu memegangi lehernya, meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Adan melangkah mendekati Laras, wanita itu sedikit mendongak memperhatikan siapa yang ada dihadapannya dengan mata yang sudah berkabut.

Adam mengeraskan rahangnya, melihat tubuh Laras yang gemetaran, wanita itu bahkan tidak kuat untuk mengangkat tangan untuk meraih tangan Adam yang terulur padanya. Adam mengangkat tubuh Laras yang sudah lemas itu dalam gendongannya.

"Kau begitu berani menganggu mainanku."

Tangan Anne mengepal kuat, ia menunduk menyembunyikan mata yang menyorotkan kemarahan. Adam melangkah meninggalkan istri pertamanya yang tenggelam dalam kecemburuan.

"Anne." Adam menghentikan langkahnya.

"Ya," sahut Anne pada pria dingin yang memunggunginya itu.

"Ini bukan pertama kalinya kau melakukan hal ini, tapi ini yang terakhir. Jika Dia sampai terluka lagi karena mu, kau akan tau akibatnya," Adam bertutur dengan datar. Namun, hal itu cukup membuat Anne merasa takut.

"Ba-baik." Tangan Anne mengepal semakin kuat hingga buku-buku tangannya memutih, kuku yang baru tadi pagi selesai ia medicure menancap melukai telapak tangannya.

Mata Anne terus menatap punggung Adam dengan penuh kemarahan. Api cemburu berkobar, membakar hati Anne.

"Nyonya sebaiknya Anda masuk, ini sudah sangat larut."

Plak

"Diam kau!"

Anne menampar seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah pengasuhnya. Wanita itu hanya diam sambil memegangi pipinya yang memerah, ia paham kenapa Anne melakukan hal itu. Wanita itu sedang kesal, dan melampiaskan kekesalannya pada.

Dada Anne naik turun seiring tarikan nafas yang terengah-engah.

Aku Anne Kang, putri semata wayang Marquis. Istri Adam pertamanya, Nyonya besar di mansion ini. Bagaimana bisa dia memperlakukan aku seperti ini, hanya karena seorang pel*** rendahan, seorang tunawicara seperti dia! Anne bergumam dalam hati dengan penuh benci.

"Hahahaha .... Sungguh menggelikan!" Tawa Anne terdengar sumbang dan mengerikan.

Belum pernah aku melihat Adam perduli dengan orang lain seperti itu, kita lihat saja nanti. Apa yang akan aku lakukan!

Anne melangkah masuk dengan marah, meninggalkan pelayan setianya. Tentu saja Ursula langsung menyusul langkah sang Nyonya.

Seorang laki-laki muda menikmati semua kejadian malam ini dari lantai dua mansion utama, sebuah seringai tersungging di bibirnya.

Adam membawa tubuh Laras yang terasa dingin ke mansion yang di khususkan untuknya. Adam tidak pernah merasa khawatir seperti ini pada selir-selirnya. Hanya pada Laras, wanita yang sedang tidak sadarkan diri dipeluknya itu mampu menggetarkan hati Adam yang beku.

Perlahan Adam merebahkan tubuh Laras di ranjang, ia menarik selimut untuk menghangatkan raga yang lelap itu. Di genggamnya tangan Laras, Adam menatap lekat pucat itu.

"Butuh bantuanku Kak?"

Adam seketika menoleh, seorang pria yang cukup mirip dengannya, hanya warna mata mereka yang berbeda. Laki-laki berusia,dua puluh empat tahun itu berdiri di ambang pintu, Adam tersenyum memberi isyarat pada pria itu untuk masuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!