Dikejar Cinta Putri Atasan
"Mas Harlan, aku mencintaimu!" teriak seorang gadis berusia 21 tahun di depan umum tepatnya di taman tak jauh dari Sudiro Star Hotel.
Pria berusia 34 tahun itu terhenyak ketika menatap gadis ingusan yang ia kenal beberapa tahun lalu mengungkapkan perasaan. Ia melangkah dengan cepat menghampirinya, "Hei, apa yang kau lakukan?" Lirihnya.
"Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Mas." Gadis itu menunjuk wajah imut dan menggemaskannya.
"Kau memanggilku Mas, ingat aku ini Om kamu!" ucapnya pelan.
"Iya, tapi kita bukan sedarah dan tak ada ikatan saudara jadi bolehlah ku mencintaimu."
Tak ingin menjadi perhatian orang-orang disekitar mereka, Harlan menarik tangan gadis itu lalu menariknya ke arah parkiran dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.
Harlan mempercepat laju kendaraannya menuju rumah gadis itu. Tanpa berbicara sepatah dua katapun.
Sesampainya ia menyuruh gadis itu untuk turun dari mobil.
"Aku tidak mau turun, Mas!"
"Hei, panggil aku Om!"
"Aku bukan anak kecil lagi, aku maunya panggil Mas Harlan!" berkata dengan senyuman manja.
"Aku bisa mati dibuat ibumu, jika tahu kau mengatakan cinta padaku!" Harlan kelihatan stress.
"Ibu tidak akan sekejam itu, Mas." Tampak santai.
Harlan menarik nafasnya mencoba tenang.
"Mas Harlan, mau 'kan jadi kekasihku?"
"Tidak!" berkata tegas.
"Yakin tak mau denganku?" memasang mata menggoda.
"Hubungan kita hanya antara keponakan dan paman. Jadi, jangan berharap lebih!"
"Aku maunya lebih!"
Harlan mengacak rambutnya kasar.
"Hei, kenapa menyakiti diri sendiri!" gadis itu menyentuh tangan Harlan kemudian ditepis pria itu.
"Aku bukan menyakiti diri sendiri, aku cuma stress menghadapimu!"
Gadis itu tergelak.
"Hei, aku serius. Jangan jatuh cinta padaku, masih banyak pria yang lebih muda dariku untuk dijadikan kekasihmu."
"Aku tetap ingin Mas Harlan, titik!"
"Aku tidak mau denganmu!" menolaknya.
"Kenapa?"
"Karena aku belum mau menikah," jawab Harlan.
"Aku akan menunggu sampai Mas Harlan siap menikahiku!"
"Aaarrrghhh ... tidak!!!!"
"Mas Harlan mau menunggu siapa, usia sudah matang tapi belum menikah?"
"Itu bukan urusanmu, sekarang cepat keluar!" sentaknya.
"Iya, Mas tampan!"
"Panggil aku, Om!"
"Iya, Om tampan!" Menunjukkan senyum manisnya, lalu keluar dari mobil. Gadis itu tidak lupa melambaikan tangannya.
Harlan bergegas pergi dari kediaman gadis itu.
Sesampainya di rumah kontrakannya, ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia menghembuskan nafas kasarnya.
"Ada-ada saja itu bocah, mana mungkin aku menikahinya. Bisa habis karirku!"
Suara ponselnya berdering, Harlan mengambilnya dari saku celananya dan menjawabnya. "Halo, Bu!"
"Harlan, kapan kamu akan kenalkan calon istrimu kepada Ibu?"
"Ibu bisa tidak kalau menelepon, pertanyaan pertama kali itu kabar putramu ini bukan calon istri," omelnya.
"Harlan, ibu sudah tak sabar ingin memiliki menantu dan cucu. Jangan lama-lama melajang, apa kata orang-orang nanti!"
"Bu, jangan dengarkan apa kata orang lain. Jika mengikuti kehendak mereka, yang ada Ibu akan stress."
"Tapi, Ibu tak sabar. Kamu sudah hidup mapan, wajahmu cukup tampan, wanita seperti apa yang kamu cari?"
"Aku juga bingung, Bu."
"Apa perlu Ibu bantu cari calon istrimu?"
"Tidak usah, Bu. Kalau memang sudah ada yang tepat dan cocok pasti ku akan menikah," jawab Harlan.
"Ibu beri waktu kamu sebulan mencari calon istrimu jika tak ada Ibu akan menjodohkanmu!"
"Seperti perlombaan saja, Bu!" celetuknya.
"Biar kamu memenuhi janjimu!"
Selesai menerima telepon dari ibunya, Harlan mengacak rambutnya kembali. "Kenapa hari ini begitu sangat menyebalkan?"
Suara ponsel Harlan kembali berdering, ia segera mengangkatnya. "Ada apa lagi, Bu?" tanyanya ketus.
"Harlan, ini saya!"
Terjengit kaget. "Maaf, Bu Rani!"
"Kamu di mana?"
"Saya lagi di rumah, Bu."
"Kenapa dengan Raline?"
"Raline....." terbata.
"Harlan, saya bicara dengan kamu? Apa yang terjadi dengan putri saya? Tadi mamanya menelepon jika Raline pulang dengan wajah cemberut dan menangis."
"Hemm...."
"Harlan, apa kamu mendengar saya?"
"Iya, Bu. Saya dengar."
"Tidak biasanya putriku menangis tanpa sebab, pasti ada sesuatu hal yang menyinggung perasaannya."
Bagaimana ini? Tidak mungkin berkata jujur.
"Harlan, Apa dari perjalanan kalian pulang dia kelihatan sedih?"
"Tidak, Bu."
"Apa kalian tidak mengobrol?"
"Tidak, Bu." Jawab Harlan berbohong.
"Nanti kamu cari tahu alasan dia menangis karena apa."
"Kenapa harus saya, Bu?"
"Seharian dia bersamamu dan kalian sering bertemu. Mungkin putriku bercerita tentang temannya atau apalah," jawab Rani.
"Nanti saya akan tanyakan, Bu."
"Saya akan tunggu penjelasan kamu!" Rani pun menutup ponselnya.
Harlan menarik nafasnya berulang-ulang lalu ia hembuskan.
Beranjak bangkit dari sofa, berkacak pinggang mondar-mandir. Sambil memikirkan alasannya apa yang akan diberikannya kepada atasannya itu.
Kembali duduk dan mengingat kejadian beberapa jam lalu. "Aaarrrghhh...."
Sementara itu, Raline masih berada di kamarnya ia menyeka air matanya.
Shireen membujuk Raline agar menjelaskan penyebab dirinya menangis.
"Ma, aku tidak ingin mengatakan apapun."
"Kami khawatir, sayang. Apa kamu ingin ayahmu yang bertanya?"
Raline menggelengkan kepalanya.
"Maka jawablah, Nak."
"Aku tidak bisa mengatakannya, Ma."
"Mama juga sudah bertanya dengan Ibumu," ucap Shireen.
"Kenapa bertanya dengan Ibu 'sih, Ma?"
"Jadi, Mama mau bertanya pada siapa?"
Raline terdiam.
"Ibumu tadi balik menelepon Mama, jika Harlan tak tahu menahu penyebab kamu menangis," ungkap Shireen.
Dia... penyebab aku menangis, dia yang berani menolak cintaku tapi aku tidak akan menyerah mendapatkannya sebelum cincin melingkar di jemari istrinya.
"Apa ada yang Harlan sembunyikan sehingga tidak berani berkata jujur atau kamu mengancamnya?" Shireen menuding.
"Tidak, Bu. Aku tak mengancamnya," jawab Raline.
"Jadi, apa penyebab kamu menangis?"
"Seorang pria menolak cintaku, Ma!" Raline memeluk tubuh Shireen.
Wanita berusia 41 tahun itu tersenyum. "Jadi, itu alasan kamu menangis?"
Raline mengangguk.
"Ya, ampun. Syukurlah!" Shireen bernafas lega.
"Mama, kenapa bersyukur? Aku sedang patah hati," Raline memegang dadanya.
Shireen lantas tersenyum. "Hal seperti itu wajar, kamu tidak perlu risau."
"Bagaimana aku tidak galau memendam perasaan ini, Ma?"
Shireen tertawa kecil.
"Ma, aku serius dengannya. Tapi, dia menolakku karena aku masih kecil padahal aku sudah dewasa."
"Ya, usiamu menuju dewasa tapi pikiranmu belum terlalu sempurna."
"Mama mau bilang kalau aku masih kekanak-kanakan?"
"Tidak, Raline."
"Lanjutkan saja pendidikanmu jangan memikirkan cinta. Kamu bilang ingin menjadi model dan desainer," ujar Shireen.
"Memang benar, Ma. Tapi, aku tidak mau lagi jadi model," ucap Raline.
"Kenapa?"
"Malas saja."
Shireen tersenyum. "Apapun yang pilihan kamu, Mama akan dukung selama itu baik."
"Makasih, Ma."
"Jangan bersedih lagi, memangnya siapa pria yang kamu sukai?"
Raline tak menjawab.
"Kamu tak mau memberitahu Mama, tidak apa-apa," Shireen kembali tersenyum.
"Belum waktunya, Ma."
"Ya, tak masalah. Ya sudah, Mama mau lanjut memasak. Sebentar lagi ayah dan adik-adikmu pulang," ujar Shireen kemudian berlalu.
"Ya, Ma."
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Hai semua, ini karya keempat belas aku...
Ini kisah anak-anaknya Alka di ' Pesona Ayahku '...
Kalian boleh mampir ke sana dulu ..
Semoga karya ini dapat menghibur kalian...
Selamat Membaca 🌹
Selalu Bahagia...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments