Bab 5

Seperti biasa Harlan menjemput Raline di sekolahnya, ia menunggu gadis itu di dalam mobil.

Tak sampai 5 menit, Raline sudah duduk di sampingnya.

"Jangan berbuat ulah lagi, nanti ibumu akan menelepon ku!" sindirnya.

"Biarkan saja, bukan urusan aku juga," ucap Raline.

"Kau bilang bukan urusanmu? Karena ulahmu itu, aku jadi dicecar berbagai pertanyaan oleh ibumu. Itu masih dia, bagaimana jika ayahmu yang mencecarku?"

"Tinggal jawab saja sejujurnya, begitu saja repot," ucap Raline ketus.

"Astaga, Raline. Kenapa sih' kau selalu memancing amarahku?"

"Om Harlan mau maki dan marahi aku, silahkan!"

"Raline, aku tidak bermaksud begitu. Tapi tolong, jangan bawa perasaanmu itu. Aku menganggapmu sebagai keponakan ku. Jika kau begini terus, ibu dan ayahmu akan menjauhi kita."

"Om Harlan tidak mau jauh dariku?" tanya Raline kepada pria yang sedang menyetir itu.

"Aku tidak mau kehilangan pekerjaan saja," jawab Harlan.

"Jadi aku begitu tidak berarti, ya?"

"Ya, begitulah."

"Oh, baiklah. Aku sekarang sudah tahu seperti apa Om Harlan itu."

Harlan menarik sudut bibirnya, ia berharap gadis itu menjauhi dirinya dengan sendirinya.

Raline mengarahkan pandangannya ke jalan.

"Jangan menangis lagi, aku tidak bisa memberikan alasannya," Harlan menyindir.

Raline menoleh ke arah Harlan, "Aku tidak menangis, cuma berpikir bagaimana bisa menaklukkan hati Om Harlan yang beku itu?"

"Sampai kapanpun kau tidak akan bisa dan aku takkan tergoda denganmu," jawabnya.

"Bagaimana jika suatu saat aku berhasil melakukannya?"

"Tidak akan mungkin, karena kau terlalu kecil dan belum cukup umur untuk berumah tangga."

"Memangnya jika berumah tangga harus lihat umur, ya?"

"Salah satunya."

"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang menikah ketika usia mereka sudah pantas tapi pernikahannya tidak langgeng?"

"Mungkin mereka tidak saling mencintai dan mempertahankan egonya masing-masing."

"Jika tidak saling mencintai kenapa menikah?Dan tak selamanya usia menjadi patokan pernikahan itu berjalan langgeng atau tidak."

Harlan terdiam mendengar penjelasan gadis itu.

-

Mereka tiba di kediaman Alka, Raline turun tanpa mengucapkan apapun.

Harlan bergegas meninggalkan rumah orang tuanya Raline.

Ketika sampai di rumah yang dikontraknya, ia melihat ibunya dengan seorang wanita muda ditaksir usianya 26 tahun duduk di kursi teras.

Harlan menggaruk pelipisnya menghampiri ibunya. "Kenapa tidak memberitahuku jika kalian mau datang?" sembari membuka pintu rumahnya.

"Ibu rindu padamu, Nak," jawab Mela.

"Maaf, Bu. Bulan ini aku tidak mengunjungimu," ucap Harlan menyesal.

"Perkenalkan ini putri teman Ibu, namanya Amita," ujar Mela.

Harlan tersenyum sekedarnya.

"Dia cantik, kan!" menyenggol lengan putranya.

"Iya, Bu." Harlan terpaksa mengatakan begitu.

Amita tersipu malu mendengarnya.

"Ibu ingin menjodohkanmu dengan dia," ucap Mela.

Harlan lalu menarik tangan wanita yang melahirkannya itu sedikit menjauh dari Amita.

"Kenapa?"

"Bu, aku belum siap menikah," jawab Harlan.

"Sampai kapan kamu belum siap, mau menunggu Tiara menjadi janda?"

"Bukan, Bu."

"Harlan, bulan depan usia kamu tiga puluh empat tahun," ujar Mela.

"Bu, aku memang belum siap. Jangan berikan harapan kepada gadis itu," tutur Harlan.

"Ibu heran dengan jalan pikiranmu itu, dijodohkan dengan wanita-wanita yang jelas cantik dan baik hati selalu menolak," omel Mela.

"Bu, jangan paksa aku. Jika memang sudah bertemu dengan jodohnya tentu aku akan menikah," ujar Harlan.

"Terserah kamu saja!" Mela berjalan menghampiri Amita yang sedang menunggu di ruang tamu.

"Ayo kita pulang!" ajak Mela pada wanita muda itu.

"Bu, kenapa cepat sekali pulangnya?" Harlan mengejar langkah ibunya.

Amita beranjak berdiri.

"Ibu belum sempat masak buat ayahmu!" ucap Mela ketus.

Kedua wanita beda usia itu pun pergi menggunakan mobil yang dikendarai Amita.

Harlan menghela nafasnya.

-

-

Sore harinya, Harlan mengunjungi sebuah kafe. Beberapa temannya sudah menunggunya di sana.

Harlan duduk bersama dengan ketiga sahabatnya semasa sekolah dan tentunya sudah menikah serta memiliki anak.

"Lan, kau kapan menikah?" tanya Gilang.

"Kalian sama saja seperti ibuku," ketusnya.

"Lan, kami tidak bisa selalu menemanimu setiap waktu. Ada istri-istri kami menunggu di rumah. Jika kita sering bertemu dan nongkrong seperti ini yang ada mereka akan mengomel," ujar Ezi.

"Apa yang dikatakan Ezi benar, Lan." Sambung Teddy.

"Kita tidak setiap hari bertemu," celetuk Harlan.

"Memang, iya. Tapi dua hari sekali kau akan menelepon kami dan mengajak bertemu. Istriku pasti akan memasang wajah cemberut, seharusnya aku dan dia bisa jalan-jalan terpaksa aku menemanimu yang kesepian," ungkap Gilang.

"Ya, sampaikan maaf ku pada istri-istri kalian!" ucap Harlan menyesap tehnya.

"Sampai kapan terus begini? Apa sebenarnya kau belum bisa melupakan Tiara?" tanya Ezi.

"Entahlah, aku bingung. Entah kenapa sulit sekali menerima wanita lain di hatiku ini?"

"Kau harus membukanya," jawab Gilang.

"Kau pernah bilang jika putri atasanmu itu menyukaimu, kenapa tidak bersamanya?" Teddy mengingat curahan hati sahabatnya itu beberapa waktu lalu.

"Dia masih kecil," jawabnya.

"Apa dia masih sekolah menengah?" Ezi penasaran.

"Tidak, dia sudah memasuki sekolah tinggi tapi aku menganggapnya keponakan," jelas Harlan.

"Lan, bukankah kalian tidak memiliki ikatan darah? Kenapa tak kau coba saja membuka hati untuknya?" ujar Teddy.

"Dia bukan kriteriaku!"

"Kau yakin?"

"Ya."

"Putri atasanmu itu Raline Alkara Sudiro cucu dari pemilik Sudiro Star Hotel," tebak Gilang.

"Ya."

"Wah, dia orang kaya. Bukankah ini sebuah keberuntungan untukmu?" celetuk Ezi.

"Iya, tapi aku tidak suka."

"Jangan bilang begitu, nanti menyesal. Bagaimana jika dia menemukan pria yang dapat membahagiakannya?" ujar Gilang.

"Ya, baguslah. Aku senang mendengarnya."

"Ya, kita lihat saja. Apakah Harlan bisa tersenyum melihat berlian diambil pria lain?" sindir Teddy di iringi suara tertawa kedua temannya.

"Kalian lihat saja, aku tidak akan bersedih jika gadis itu bersama pria lain." Harlan berkata penuh yakin.

-

Menjelang malam dan hendak tidur, Rani menghubungi Harlan.

"Ada apa, Bu?"

"Raline belum juga pulang, bisakah kamu menjemputnya?"

"Memangnya Raline ke mana?"

"Katanya ke rumah temannya."

"Apa tidak ada orang lain yang menjemputnya? Kenapa harus saya?"

"Harlan, kamu ingin membantah saya!"

"Bu.. bukan begitu, Bu."

"Jika ada ayahnya dan kakaknya di kota ini, saya tidak akan menyuruhmu menjemputnya," ujar Rani.

"Maaf, Bu. Saya akan menjemputnya, kirimkan alamatnya," ucap Harlan.

"Saya akan kirim alamatnya," Rani menutup teleponnya.

Tak sampai 1 menit sebuah pesan dikirim Rani ke ponsel Harlan.

Pria itu melihat jam di ponselnya menunjukkan pukul 11 malam.

"Dia selalu saja mencari ulah," omel Harlan.

Mobil melaju ke sebuah alamat yang dikirim Rani, 20 menit kemudian ia tiba di rumah itu. Sepertinya baru selesai mengadakan pesta ulang tahun.

Harlan turun lalu menghubungi ponsel Raline namun tak aktif. Ia lantas memasuki rumah mewah tersebut.

Dentuman musik begitu keras membuat sakit telinga. Harlan mengedarkan pandangannya mencari keberadaan gadis itu.

Tampak Raline sedang berbicara dengan dua orang temannya.

"Ayo kita pulang!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!