"Mas Harlan, aku mencintaimu!" teriak seorang gadis berusia 21 tahun di depan umum tepatnya di taman tak jauh dari Sudiro Star Hotel.
Pria berusia 34 tahun itu terhenyak ketika menatap gadis ingusan yang ia kenal beberapa tahun lalu mengungkapkan perasaan. Ia melangkah dengan cepat menghampirinya, "Hei, apa yang kau lakukan?" Lirihnya.
"Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Mas." Gadis itu menunjuk wajah imut dan menggemaskannya.
"Kau memanggilku Mas, ingat aku ini Om kamu!" ucapnya pelan.
"Iya, tapi kita bukan sedarah dan tak ada ikatan saudara jadi bolehlah ku mencintaimu."
Tak ingin menjadi perhatian orang-orang disekitar mereka, Harlan menarik tangan gadis itu lalu menariknya ke arah parkiran dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.
Harlan mempercepat laju kendaraannya menuju rumah gadis itu. Tanpa berbicara sepatah dua katapun.
Sesampainya ia menyuruh gadis itu untuk turun dari mobil.
"Aku tidak mau turun, Mas!"
"Hei, panggil aku Om!"
"Aku bukan anak kecil lagi, aku maunya panggil Mas Harlan!" berkata dengan senyuman manja.
"Aku bisa mati dibuat ibumu, jika tahu kau mengatakan cinta padaku!" Harlan kelihatan stress.
"Ibu tidak akan sekejam itu, Mas." Tampak santai.
Harlan menarik nafasnya mencoba tenang.
"Mas Harlan, mau 'kan jadi kekasihku?"
"Tidak!" berkata tegas.
"Yakin tak mau denganku?" memasang mata menggoda.
"Hubungan kita hanya antara keponakan dan paman. Jadi, jangan berharap lebih!"
"Aku maunya lebih!"
Harlan mengacak rambutnya kasar.
"Hei, kenapa menyakiti diri sendiri!" gadis itu menyentuh tangan Harlan kemudian ditepis pria itu.
"Aku bukan menyakiti diri sendiri, aku cuma stress menghadapimu!"
Gadis itu tergelak.
"Hei, aku serius. Jangan jatuh cinta padaku, masih banyak pria yang lebih muda dariku untuk dijadikan kekasihmu."
"Aku tetap ingin Mas Harlan, titik!"
"Aku tidak mau denganmu!" menolaknya.
"Kenapa?"
"Karena aku belum mau menikah," jawab Harlan.
"Aku akan menunggu sampai Mas Harlan siap menikahiku!"
"Aaarrrghhh ... tidak!!!!"
"Mas Harlan mau menunggu siapa, usia sudah matang tapi belum menikah?"
"Itu bukan urusanmu, sekarang cepat keluar!" sentaknya.
"Iya, Mas tampan!"
"Panggil aku, Om!"
"Iya, Om tampan!" Menunjukkan senyum manisnya, lalu keluar dari mobil. Gadis itu tidak lupa melambaikan tangannya.
Harlan bergegas pergi dari kediaman gadis itu.
Sesampainya di rumah kontrakannya, ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia menghembuskan nafas kasarnya.
"Ada-ada saja itu bocah, mana mungkin aku menikahinya. Bisa habis karirku!"
Suara ponselnya berdering, Harlan mengambilnya dari saku celananya dan menjawabnya. "Halo, Bu!"
"Harlan, kapan kamu akan kenalkan calon istrimu kepada Ibu?"
"Ibu bisa tidak kalau menelepon, pertanyaan pertama kali itu kabar putramu ini bukan calon istri," omelnya.
"Harlan, ibu sudah tak sabar ingin memiliki menantu dan cucu. Jangan lama-lama melajang, apa kata orang-orang nanti!"
"Bu, jangan dengarkan apa kata orang lain. Jika mengikuti kehendak mereka, yang ada Ibu akan stress."
"Tapi, Ibu tak sabar. Kamu sudah hidup mapan, wajahmu cukup tampan, wanita seperti apa yang kamu cari?"
"Aku juga bingung, Bu."
"Apa perlu Ibu bantu cari calon istrimu?"
"Tidak usah, Bu. Kalau memang sudah ada yang tepat dan cocok pasti ku akan menikah," jawab Harlan.
"Ibu beri waktu kamu sebulan mencari calon istrimu jika tak ada Ibu akan menjodohkanmu!"
"Seperti perlombaan saja, Bu!" celetuknya.
"Biar kamu memenuhi janjimu!"
Selesai menerima telepon dari ibunya, Harlan mengacak rambutnya kembali. "Kenapa hari ini begitu sangat menyebalkan?"
Suara ponsel Harlan kembali berdering, ia segera mengangkatnya. "Ada apa lagi, Bu?" tanyanya ketus.
"Harlan, ini saya!"
Terjengit kaget. "Maaf, Bu Rani!"
"Kamu di mana?"
"Saya lagi di rumah, Bu."
"Kenapa dengan Raline?"
"Raline....." terbata.
"Harlan, saya bicara dengan kamu? Apa yang terjadi dengan putri saya? Tadi mamanya menelepon jika Raline pulang dengan wajah cemberut dan menangis."
"Hemm...."
"Harlan, apa kamu mendengar saya?"
"Iya, Bu. Saya dengar."
"Tidak biasanya putriku menangis tanpa sebab, pasti ada sesuatu hal yang menyinggung perasaannya."
Bagaimana ini? Tidak mungkin berkata jujur.
"Harlan, Apa dari perjalanan kalian pulang dia kelihatan sedih?"
"Tidak, Bu."
"Apa kalian tidak mengobrol?"
"Tidak, Bu." Jawab Harlan berbohong.
"Nanti kamu cari tahu alasan dia menangis karena apa."
"Kenapa harus saya, Bu?"
"Seharian dia bersamamu dan kalian sering bertemu. Mungkin putriku bercerita tentang temannya atau apalah," jawab Rani.
"Nanti saya akan tanyakan, Bu."
"Saya akan tunggu penjelasan kamu!" Rani pun menutup ponselnya.
Harlan menarik nafasnya berulang-ulang lalu ia hembuskan.
Beranjak bangkit dari sofa, berkacak pinggang mondar-mandir. Sambil memikirkan alasannya apa yang akan diberikannya kepada atasannya itu.
Kembali duduk dan mengingat kejadian beberapa jam lalu. "Aaarrrghhh...."
Sementara itu, Raline masih berada di kamarnya ia menyeka air matanya.
Shireen membujuk Raline agar menjelaskan penyebab dirinya menangis.
"Ma, aku tidak ingin mengatakan apapun."
"Kami khawatir, sayang. Apa kamu ingin ayahmu yang bertanya?"
Raline menggelengkan kepalanya.
"Maka jawablah, Nak."
"Aku tidak bisa mengatakannya, Ma."
"Mama juga sudah bertanya dengan Ibumu," ucap Shireen.
"Kenapa bertanya dengan Ibu 'sih, Ma?"
"Jadi, Mama mau bertanya pada siapa?"
Raline terdiam.
"Ibumu tadi balik menelepon Mama, jika Harlan tak tahu menahu penyebab kamu menangis," ungkap Shireen.
Dia... penyebab aku menangis, dia yang berani menolak cintaku tapi aku tidak akan menyerah mendapatkannya sebelum cincin melingkar di jemari istrinya.
"Apa ada yang Harlan sembunyikan sehingga tidak berani berkata jujur atau kamu mengancamnya?" Shireen menuding.
"Tidak, Bu. Aku tak mengancamnya," jawab Raline.
"Jadi, apa penyebab kamu menangis?"
"Seorang pria menolak cintaku, Ma!" Raline memeluk tubuh Shireen.
Wanita berusia 41 tahun itu tersenyum. "Jadi, itu alasan kamu menangis?"
Raline mengangguk.
"Ya, ampun. Syukurlah!" Shireen bernafas lega.
"Mama, kenapa bersyukur? Aku sedang patah hati," Raline memegang dadanya.
Shireen lantas tersenyum. "Hal seperti itu wajar, kamu tidak perlu risau."
"Bagaimana aku tidak galau memendam perasaan ini, Ma?"
Shireen tertawa kecil.
"Ma, aku serius dengannya. Tapi, dia menolakku karena aku masih kecil padahal aku sudah dewasa."
"Ya, usiamu menuju dewasa tapi pikiranmu belum terlalu sempurna."
"Mama mau bilang kalau aku masih kekanak-kanakan?"
"Tidak, Raline."
"Lanjutkan saja pendidikanmu jangan memikirkan cinta. Kamu bilang ingin menjadi model dan desainer," ujar Shireen.
"Memang benar, Ma. Tapi, aku tidak mau lagi jadi model," ucap Raline.
"Kenapa?"
"Malas saja."
Shireen tersenyum. "Apapun yang pilihan kamu, Mama akan dukung selama itu baik."
"Makasih, Ma."
"Jangan bersedih lagi, memangnya siapa pria yang kamu sukai?"
Raline tak menjawab.
"Kamu tak mau memberitahu Mama, tidak apa-apa," Shireen kembali tersenyum.
"Belum waktunya, Ma."
"Ya, tak masalah. Ya sudah, Mama mau lanjut memasak. Sebentar lagi ayah dan adik-adikmu pulang," ujar Shireen kemudian berlalu.
"Ya, Ma."
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Hai semua, ini karya keempat belas aku...
Ini kisah anak-anaknya Alka di ' Pesona Ayahku '...
Kalian boleh mampir ke sana dulu ..
Semoga karya ini dapat menghibur kalian...
Selamat Membaca 🌹
Selalu Bahagia...
Sembilan tahun yang lalu ....(bagian 1)
Sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gerbang sekolah menengah pertama. Seorang pria berusia 25 tahun turun lalu membukakan pintu untuk gadis belia berusia berusia 12 tahun.
"Terima kasih, Om." Seulas senyum begitu manis terpancar dari putri kedua Alka dan Rani.
Pria yang bernama Harlan membalasnya dengan senyuman tipis.
Mobil melaju ke sebuah rumah yang sudah ditempati gadis belia itu sejak lahir. Bangunan itu kini terdiri dari 2 lantai dan beberapa kali sudah di renovasi.
Harlan membukakan pintu seperti biasa ia lakukan atas perintah dari ibu kandung dari gadis itu.
"Om, tidak mau singgah makan siang," ucapnya.
"Tidak, terima kasih. Om harus balik ke kantor, ibumu pasti akan mengomel jika lama," ujar Harlan.
"Ya sudah," gadis itu pun berjalan dengan langkah cepat memasuki rumahnya.
Shireen yang kini berusia 32 tahun melemparkan senyuman kepada putri sambungnya. "Hai, cantik!"
"Hai, Ma."
"Ganti pakaiannya kita akan makan siang bersama-sama," ajak Shireen.
"Ayah dan Sean apa ikut makan siang dengan kita?"
"Sebentar lagi, ayah akan sampai tadi dia menelepon Mama jika masih di sekolah Sean."
"Kalau begitu, aku ganti pakaian," ujar Raline.
"Ya, Nak."
Shireen sibuk merapikan hidangan yang tersaji di meja makan.
Tak lama kemudian, Raline muncul bersamaan dengan Alka dan Sean.
"Kita ganti pakaian," ajaknya kepada putra bungsu dari pernikahan pertama suaminya.
Sean mengikuti perintah ibu sambungnya.
Mereka pun makan siang bersama ada juga Alshe yang kini berusia 5 tahun.
Shireen sedang hamil calon buah hati keduanya, usia kandungannya kini menginjak 6 bulan.
"Tadi kamu pulang dengan siapa, Raline?" tanya Alka.
"Dengan Om Harlan, Yah."
"Ayah belum mengenal orangnya, kapan kami bisa bertemu dengannya?"
"Tanya saja sama ibu, Om Harlan itu suruhannya," jawab Raline.
Alka mengalihkan pandangannya kepada Shireen seakan meminta izin jika menghubungi mantan istrinya itu.
"Mama akan menghubungi Ibumu dan menanyakan tentang siapa tadi namanya?"
"Om Harlan, Ma."
"Ya, kami ingin tahu bagaimana sosoknya dan di mana tinggalnya," ujar Shireen.
"Om Harlan itu tampan, Ma. Tinggi dan wangi, salahnya aku masih kecil," celetuk Raline.
"Kalau kamu sudah besar memang mau apa?" tanya Alka.
"Aku akan jadikan kekasih," jawab Raline polos sambil nyengir.
"Astaga, Raline. Kamu masih dua belas tahun, jangan berpikir yang aneh-aneh. Ayah akan melarangmu menjalin hubungan serius dengan lawan jenis!" Nasehat Alka.
"Ih, Ayah. Aku hanya bercanda, tidak mungkin aku juga suka dengan om-om," ujarnya.
"Siapa tahu kamu sudah mulai menaksir lawan jenis," ucap Alka.
"Aku mau serius sekolah, Yah. Aku ingin menjadi model dan desainer," ujar Raline.
"Ya, Ayah akan dukung cita-citamu itu," Alka berkata sembari mengunyah makanan.
-
Selesai makan siang, Shireen menghubungi Rani.
"Halo, Shireen. Ada apa?"
"Halo, Kak. Aku hanya ingin menanyakan pria yang selalu menjemput Raline ke sekolah," jawabnya.
"Oh, Harlan maksud kamu?"
"Iya, Kak."
"Memangnya kenapa dengan dia?"
"Aku dan Mas Alka tidak pernah tahu sosoknya," jawabnya lagi.
"Lain waktu aku akan menyuruhnya untuk menemui kalian. Harlan itu asisten ku di kantor, jadi kalian tidak perlu khawatir," ucap Rani.
"Iya, Kak."
"Maaf, ya."
"Tidak perlu minta maaf, Kak. Kami hanya ingin tahu saja, Raline di jemput dan berteman dengan siapa saja."
"Maaf, tidak pernah memberitahu kalian jika Harlan ku suruh menjemput Raline. Sekali lagi maaf!"
"Ya, Kak."
"Aku mau melanjutkan pekerjaan, aku tutup teleponnya, ya!"
"Iya, Kak!"
Rani menutup teleponnya.
****
Keesokan harinya...
Harlan menjemput Raline di sekolah seperti biasa, dia akan membukakan pintu mobil untuk gadis kecil itu.
Raline duduk di bangku belakang penumpang.
"Mama dan ayah ada di rumah?" tanya Harlan pada Raline sembari menyetir.
"Ayah di bengkel, Mama pasti di rumah kalau tidak di tempat katering," jawab Raline.
"Om ingin bertemu dengan mereka," ujar Harlan.
"Buat apa?"
"Melamarmu!"
"Hah, apa?" Raline meminta mengulangi ucapan pria dewasa yang sedang menyetir itu.
Harlan tergelak.
"Om Harlan, aku serius. Buat apa mau ketemu mereka?"
"Kata ibumu, ayah dan mama kamu ingin bertemu dengan Om. Mungkin mereka takut saja putrinya aku culik," jawab Harlan.
"Oh," ucapnya singkat.
Tak sampai 15 menit perjalanan mereka tiba di rumah milik keluarga Alka.
Raline membuka pintunya tanpa dibuka khusus oleh Harlan.
Raline berlari kecil memasuki rumahnya, "Mama, ada Om Harlan!"
"Suruh menunggu di teras rumah saja!" teriak Shireen dari arah dapur.
"Iya, Ma." Raline lantas keluar menemui Harlan yang masih berdiri di dekat mobil.
"Om, kata Mama suruh tunggu di teras," ucap Raline.
"Baiklah," Harlan berjalan ke arah tempat yang diperintahkan pemilik rumah.
Shireen keluar membawa secangkir teh lalu ia sajikan pada pria itu. "Suami saya sebentar lagi pulang jadi ditunggu, ya. Saya juga sudah meminta izin pada Kak Rani."
"Ya, Mba."
Selang 5 menit kemudian Alka pulang berboncengan dengan putra bungsunya dan putri pertamanya dari pernikahan keduanya.
"Mama!" Alshe berlari memasuki rumah menghampiri ibunya.
"Sayang, sudah pulang ganti pakaiannya sebentar lagi kita makan siang bersama!" titahnya kepada Sean dan Alshe.
Harlan berdiri ketika melihat Alka menghampirinya.
"Kamu asistennya Rani?"
"Iya, Pak."
"Panggil saja saya Mas Alka," ucapnya.
"Ya, Mas Alka."
"Sudah berapa lama menjadi asisten pribadi Rani?"
"Baru dua tahun ini, Mas."
"Oh," ucapnya singkat.
"Kami hanya ingin tahu saja, putri kami dijemput dengan siapa. Tapi, kami percaya dengan kamu. Apalagi Kak Rani yang mengutuskannya," ujar Shireen yang duduk di samping suaminya.
"Maaf, kalau saya sebelumnya tidak mengenalkan diri kepada kalian. Karena buru-buru mau balik ke kantor." Harlan memberikan alasan.
"Ya," ucap Alka.
"Apa saya sudah boleh pamit pulang?"
"Ya, boleh. Maaf, mengganggu waktu kerjamu dan juga sudah direpotkan menjemput putri kami," ujar Alka.
"Tidak apa-apa, Mas. Ini memang tugas saya. Semua orang tua juga akan melakukan hal yang sama, apalagi saya orang asing yang baru beberapa hari kenal dengan Raline." Harlan tahu kegelisahan kedua orang tua gadis itu.
"Ya, kamu benar."
"Kalau begitu saya pamit harus balik ke kantor," ucap Harlan.
"Ya, silahkan!" ujar Alka.
"Permisi, Mas, Mba." Sedikit menunduk dan tersenyum, Harlan berjalan ke arah mobil kemudian berlalu.
"Sesuai apa yang dikatakan Raline, Mas."
"Ya, tampan."
"Raline sudah mulai remaja, rasa suka dengan lawan jenis pasti juga akan ia alami."
"Maksud kamu Raline akan menyukainya?"
"Mas Alka dengar sendiri 'kan ketika makan siang kemarin, jika Raline mengatakan kalau dia dewasa akan menjadikan Harlan sebagai kekasih."
"Itu hanya celotehan anak kecil yang baru menyukai lawan jenisnya," ujar Alka.
"Ya, benar sih. Tapi, kita tetap harus mengawasinya, Mas."
"Ya, benar."
(Masih Masa Lalu bagian 2)
Harlan menjemput Raline ke sekolah menggunakan motor karena mobil harus dibawa ke bengkel.
"Ayo naik!" titahnya.
Raline duduk dengan posisi miring karena memakai rok.
"Pegangan!"
Raline memegang jaket yang dikenakan Harlan.
Baru beberapa meter, hujan turun secara tiba-tiba. Terpaksa Harlan menepikan kendaraannya ke warung bakso.
Lagi berteduh, Raline mencium aroma kuah bakso yang menyeruak mengacak perutnya. Karena memang waktunya makan siang.
"Om, makan bakso, yuk!" ajaknya.
"Tidak," Harlan menolaknya.
"Dasar pelit!"
"Hei, apa yang kau bilang?"
"Pelit!" Raline menjulurkan lidahnya.
Harlan berdecak kesal. "Ayo kalau mau makan!" ia berjalan lebih dahulu, gadis remaja itu menyusulnya di belakang.
"Cukup semangkok bakso dan segelas air putih saja, uangku tak cukup karena belum gajian dari ibumu," ujar Harlan.
"Iya, Om."
Harlan memesan dua mangkok bakso.
Sembari dibuatkan, Harlan mencari tempat duduk yang tatapannya tak jauh dari motor kesayangannya itu.
Keduanya saling duduk berhadapan, Raline senyum-senyum melihat pria dewasa yang ada dihadapannya.
"Kenapa melihat aku seperti itu?" mengerutkan keningnya.
"Kakaknya temanku naksir dengan Om," jawab Raline.
"Oh, ya."
"Apa Om mau dengannya?"
Harlan menggelengkan kepalanya.
"Kakaknya temanku itu sangat cantik, Om. Seperti model," ujar Raline.
"Om tidak tertarik," ucap Harlan sambil mengunyah bakso.
"Apa Om Harlan sudah punya kekasih?"
"Anak kecil tidak perlu tahu urusan orang dewasa," jawab Harlan.
"Aku juga tidak ingin tahu urusan Om Harlan, aku hanya ingin tahu apakah Om sudah punya kekasih atau belum," jelas Raline.
"Katakan pada temanmu, Om belum mau punya kekasih," ujarnya.
"Baiklah, besok aku akan katakan begitu." Raline melanjutkan makannya.
Selesai makan Harlan mengantarkan Raline ke rumah. Bersamaan dengan Alka yang juga baru pulang dari bengkel.
"Ayo singgah, kita makan siang bersama!" ajaknya.
"Tidak, Mas. Tadi sudah makan bakso bareng Raline," ucap Harlan.
"Oh, ya sudah. Lain kali kita makan siang bersama," ujar Alka.
"Iya, Mas. Kalau begitu saya pamit balik ke kantor," ucap Harlan.
Alka mengangguk mengiyakan.
----------------
Keesokan harinya...
Harlan yang sedang menyiapkan laporan kerja lantas mendapatkan tugas lagi.
"Lan, jemput putriku ke sekolah, ya. Terus temani dia ke toko buku setelah itu bawa dia ke sini temui saya," perintah Rani.
"Tiap hari saya disuruh menjemput Raline, apa Bu Rani tidak takut?"
"Takut, kenapa?"
"Takut kalau saya menyukai Raline."
Rani tertawa, "Mana mungkin dia menyukaimu yang sudah tua."
Harlan menggaruk tengkuknya, "Ya, juga."
"Memangnya selera kamu itu anak-anak?"
"Ya, tidaklah. Selera saya wanita yang dewasa, cantik dan pintar. Bisakah Ibu membantu saya?"
"Membantu apa?"
"Saya menyukai sekretarisnya Pak Robby, bisakah Ibu bantu mengatakan?"
Rani tersenyum. "Nanti saya akan coba bantu bicara dengannya."
"Terima kasih, Bu."
"Ya, cepat sana jemput Raline. Kasihan dia harus menunggu lama," ucap Rani.
"Baik, Bu."
Harlan bergegas melesat ke sekolah Raline. Begitu sampai wajah gadis itu ditekuk dan tampak cemberut.
"Kenapa denganmu?" tanya Harlan sembari menyetir.
"Om Harlan lama sekali menjemputku, Vino jadi menggangguku!"
"Memangnya kenapa dia mengganggu?"
"Dia selalu mengejekku tak pernah dijemput ayah selalu dengan om-om, apalagi dia bilang kalau Om Harlan itu kekasih ibu," ungkap Raline.
"Ya, kamu bilang saja kalau aku ini adik dari ibumu. Selesaikan urusannya!"
"Aku sudah jelaskan kalau Om Harlan itu sopir ibu," ujar Raline.
Harlan mendelikkan matanya karena mendengar Raline mengatakan dirinya seorang sopir ia lantas membalikkan wajahnya sekilas. "Kau bilang apa tadi?"
"Sopir."
"Aku ini asisten ibumu bukan sopir, duh pusing jelasinnya sama ini bocah!" Harlan menepuk jidatnya.
"Om tiap hari menjemputku, pasti kerjanya sopir," ujar Raline.
"Terserahmu saja," ucap Harlan pasrah.
"Memangnya Om Harlan kerja apa?"
"Susah menjelaskannya, kalau kau sudah dewasa pasti mengerti. Sekarang kita mau ke toko buku yang mana?"
"Di Mall aja."
"Baiklah, setelah dari sana. Kita ke kantor karena ibumu mau bertemu," ucap Harlan.
"Iya, Om."
Sepuluh menit kemudian, keduanya tiba di toko buku di salah satu mall ternama di kota ini.
Keduanya berpencar, Raline mencari buku komik anak-anak.
Sedangkan, Harlan hanya sekedar melihat-lihat saja.
Hampir 20 menit, mengelilingi toko buku. Harlan kehilangan jejak Raline, ia mulai mencari gadis remaja itu.
Begitu bertemu, Raline malah asyik duduk di lantai sembari membaca.
"Sudah ketemu atau belum bukunya?" tanya Harlan.
"Belum, Om."
"Terus kenapa kau duduk di situ?"
"Capek, Om." Jawab Raline santai
Harlan menepuk jidatnya. "Cepat cari bukunya, Om sudah lapar!"
"Iya, Om." Raline bangkit dan meletakkan kembali buku yang tadi ia baca tentang cerita rakyat ke rak.
Raline kembali berjalan mengelilingi mencari buku yang ia inginkan. Harlan mengikutinya dari belakang.
Setelah mendapatkan yang Raline inginkan, gadis itu membayarnya.
Keduanya keluar meninggalkan toko.
"Om, aku haus. Aku ingin minuman yang segar," ucap Raline mendongakkan kepalanya.
"Iya, nanti kita beli."
Tak terlalu lama mencari akhirnya mereka menemukan outlet yang menjual minuman berasa yang segar dan penuh dengan aneka topping.
Harlan membelikan 1 gelas plastik saja buat Raline.
"Om, tidak beli?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Om mau beli bensin."
"Bilang aja sama ibu, Om. Pasti dia akan menggantinya," ucap Raline asal.
"Iya, memang di ganti dengan ibumu tapi nanti setelah kita tiba di kantor," jelas Harlan.
"Oh, begitu."
"Ya."
Raline berjalan ke arah parkiran sambil menyedot minumannya.
Lagi menikmatinya, tubuhnya di senggol seorang wanita. Raline terkejut melihat minumannya tumpah.
"Makanya kalau jalan lihat-lihat, dong!" omel seorang wanita kepadanya.
Harlan yang berada di depan lantas menoleh ke belakang.
"Tante yang tidak hati-hati berjalan," Raline balas memarahi.
"Kau berani melawan orang tua, ya!" Wanita itu hendak menampar.
"Ada apa ini?" Harlan menghentikan perdebatan kedua wanita beda usia.
"Harlan!" ucap wanita itu lirih.
"Tante ini sudah menumpahkan minumanku!"
"Dia saja yang tidak hati-hati!" wanita itu tak mau kalah.
"Dia masih kecil dan anda yang salah kenapa malah menyalahinya," ujar Harlan.
"Aku tidak salah, Harlan. Bocah ini saja matanya entah kemana," wanita itu membela diri.
Harlan menarik tangan Raline. "Nanti kita beli lagi!"
"Om, aku maunya yang itu!"
"Lain kali Om akan belikan untukmu yang banyak," ucap Harlan.
"Janji?"
"Iya, janji. Tapi tidak sekarang, ibumu sudah bolak-balik menelepon. Cepat kita pergi dari sini!"
Sementara wanita yang menyenggol tubuh Raline memanyunkan bibirnya.
Harlan membukakan pintu penumpang buat Raline. Setelah itu ia masuk ke kursi pengemudi.
Perlahan mobilnya meninggalkan gedung mall.
"Tante itu sudah riasan wajahnya jelek, sombong lagi. Kasihan jadi anaknya," Raline mengomel.
Harlan mengulum senyum.
"Sepertinya tante tadi kenal dengan Om Harlan?"
"Memang, iya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!