Ashila sudah siap dengan seragam sekolahnya sejak dua menit yang lalu. Ia sedang berdiri di depan gerbang rumah bibinya menunggu Ray yang sedari tadi tidak kunjung datang.
"Pagi, My Princes."
Wajah murung Ashila seketika pudar. Ia langsung tersenyum manis. Laki-laki yang sedaritadi ia tunggu akhirnya datang.
"Yuk naik, udah siang nih, nanti aku kena sembur bu Lola lagi."
Ashila langsung menaiki jok belakang ninja merah milik Ray. Ia memeluk pinggang Ray tanpa berpikir panjang seperti pertama ia melakukannya dahulu. Dan Ray pun sudah terbiasa diperlakukan seperti itu.
Lima belas menit kemudian Ray dan Ashila sampai di sekolah. Sebenarnya jarak rumah bibi Ashila dengan sekolah tidak terlalu jauh menurutnya. Namun menurut sebagian orang jarak sekolahnya itu jauh. Mungkin karena Ashila sudah terbiasa, sedangkan orang lain tidak.
"Tuh, kan, Rayn, kerudungku acak-acakan, kamu sih ngebut-ngebut," gerutu Ashila seraya membetulkan kerudungnya di kaca spion.
"Kalo aku enggak ngebut nanti kita telat, dan aku bakal kena omelan, Sisilku."
"Tapi, kan, jangan ngebut-ngebut juga kali. Coba tadi ada polisi kita bisa diberhentiin, terus masuk sosial media, viral. Ih memalukan."
"Iya-iya ... udah aku minta maaf, yaudah yuk anter aku ke ruang ganti."
"Jih enggak mau, yakali aku lihatin kamu ganti baju," cerocos Ashila.
Ray terkekeh seperkian detik. "Ya enggak masuk atuh, Sayang, di luarnya."
Tanpa berpikir panjang Ashila dan Ray langsung menuju ruang ganti. Ray tahu Ashila ini tidak akan mau kalau hanya diantar sampai lantai satu. Lebih baik diajak saja ke ruang ganti. Maksudnya di depan ruang ganti.
Baru kemarin sabtu Ashila mendapat tugas menjadi pengibar bendera. Ada acara pembukaan Tryout untuk kelas tiga. Hari ini adalah hari pertama mereka melaksanakannya.
Tiga menit berlalu. Ray tidak juga keluar dari ruang ganti. Baru saja Ashila hendak menggedor-gedor pintu di mana Ray mengganti pakaiannya, namun terurungkan karena Ray sudah ada di hadapannya.
"Mau kamana?" tanya Ray ketika ia melihat Ashila beranjak dari tempat duduknya.
"Niatnya sih mau gedor-gedor pintu, eh kamu udah ada, enggak jadi deh."
"Dasar enggak sabaran."
"Yaiyalah."
Hening beberapa saat. Ray sedang sibuk memakai sarung tangan, dan Ashila, dia sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Sil, topi," ucap Ray tiba-tiba.
Ashila yang merasa paham langsung mengambil sebuah topi berwarna hitam di kantong plastik yang tadi Ray taruh di atas bangku panjang.
"Mantep." Ashila mengacungkan dua ibu jarinya kepada Ray.
"Iya dong."
"Yaudah yuk. Enggak mau tau anter aku ke kelas."
"Pake baju ini?"
Ashila mengangguk. "Iya lah."
Ray sangat nurut dengan Ashila, entah mengapa ia selalu luluh jika diperintah oleh Ashila. Ashila sudah masuk ke dalam rongga kehidupannya. Dan Ashila juga sudah termasuk ke dalam orang spesial yang harus ia spesialkan setelah ibunya dan kedua kakak perempuannya.
"Aku kelapangan ya, Sil."
Ashila mengangguk sambil melambaikan tangan. "Good luck, Raynku."
Ray tersenyum sambil ikut melambaikan tangan.
"Heran ke kelas aja dianterin," oceh Risma yang sudah datang lebih dulu.
"Iya dong, emang lu, ketemu aja jarang, Fero mana Fero?" ledek Ashila.
"Ye wajar, doi gua, kan, cowok dingin," ucap Risma seraya membela diri.
"Lu emang enggak tau sedingin apa Rayn? Dia itu lebih dingin dari Fero. Fero Fernando. Tapi dia manis di depan gua." Ashila merasa menang saat ini. Seketika bayangan perlakuan manis Ray tergambar di indera penglihatannya.
"Bodo, Shil, bodo, emang lu doang, elu doang," ucap Risma pasrah seraya menekuk wajahnya.
"Woi ...," teriak Uni yang baru saja datang tepat di telinga Ashila dan Risma secara bergantian.
"Ayan lu ya, Ni?"
Uni hanya cengengesan menampakkan gigi gingsulnya yang membuat dia terlihat manis saat tertawa.
"Nada mana nih kok belum dateng?" tanya Ashila.
"Iya tumben nih biasanya dia paling getol kalo hari Senin," sambar Risma.
"Gua takut deh kalo Nada bakal sakit gara-gara diputusin kak Tara. Oh my God, asli gua enggak akan maafin kak Tara itu. Gua bakal tonjok rahangnya biar pecah," cerocos Uni.
"Uni ... Uni ... lu angkat meja aja harus gotong royong. Boro-boro mau nonjok kak Tara yang jelas-jelas badannya segede alaihim gambreng," sambar Risma.
Ashila hanya terkekeh. Ia malas berbicara panjang hari ini.
***
Saat upacara rutinan setiap hari Senin berlangsung, Ashila fokus memandangi Ray yang terlihat gagah dengan kostum putih-putihnya. Disertai suara lantang yang membuat para kaum hawa menjerit histeris di dalam hati.
Ashila selalu bangga memiliki pacar seperti Ray. Tidak ada sedikitpun rasa menyesal. Ia selalu bahagia.
Note :
Seperti itulah setan menggangu manusia.
Dari suatu kesenangan. Ia akan membuat manusia senang dan menikmati kesenangannya itu hingga ia melupakan Allah.
Selesai upacara rutinan, Ashila langsung menghampiri Ray. Ia tidak mau sampai ada wanita lain yang lebih dulu memberikan Ray air mineral. Ia sudah menyiapkannya sebelum upacara dimulai.
"Capek enggak, Rayn?"
"Capek, sih, tapi tiba-tiba ilang."
"Kok bisa?"
Ray tersenyum. "Karena ada kamu, luntur deh semuanya."
"Ih tukang gombal dasar, awas aja ya ngegombalin cewek lain."
"Su'udzon aja, ya enggak, Sayangku."
Ashila hanya tersenyum. Pipinya merona bak kepiting rebus.
"Anter ke ruang ganti yuk, nanti ke kelas bareng."
Ashila mengangguk sambil tersenyum.
***
Benar saja hari ini Nada tidak masuk. Ada surat keterangan bahwa ia sakit. Yang mengantar surat itu adalah tantenya.
Jam pelajaran pertama diisi oleh pelajaran Matematika. Pagi-pagi otak sudah ngebul oleh pelajaran itu. Matematika ibarat film horor bagi para siswa maupun siswi.
Ashila merasa senang. Pengorbanannya selama tiga jam semalam menghasilkan buah yang bagus. Ia mendapat nilai 90. Ia benar-benar merasa puas. Coba ia menyalin jawaban Ray, bisa jadi ia mendapat nilai 100, namun rasa puas itu tidak akan hadir karena ia tidak merasakan jerih payah terlebih dahulu.
Jam pelajaran kedua diisi oleh pelajaran Ekonomi. Membahas tentang perdagangan.
Tak terasa bel istirahat berbunyi dengan lantang. Para siswa dan juga siswi bersorak riang. Mereka langsung berhamburan memenuhi kantin.
"Rus, ayo cepet," teriak Uni. Suara Uni sangat lantang. Orang-orang di kelas banyak yang tidak menyukai Uni. Uni terlalu keras kepala, dan susah diatur. Ia melakukan apa yang ingin ia lakukan. Ia tidak suka diatur sekalipun yang mengaturnya itu Ketua Kelas. Tapi Ashila, Nada, dan Risma merasa Uni itu orang yang baik. Uni pun baik kepada Ashila, Nada dan Risma.
Bisa dikatakan gerombolan Ashila adalah gerombolan ter-famous di sekolah. Hampir seluruh warga sekolah mengenal mereka.
"Eh katanya ada anak baru tau," ucap Risma sebagai pembuka acara pergibahan di kantin.
"Siapa?" sambar Uni sambil mengunyah makanannya yang beberapa menit lalu diantar oleh pelayan kantin.
"Gua enggak tau dah namanya."
"Lu tau dari mana?"
"Dari Fero. Dia bilang bakal ada murid baru di kelas kita, soalnya dia tadi nguping dari ruang Kepala Sekolah."
"Cocok, sama-sama tukang nguping."
Ashila, Ray, dan Rusdi yang sedaritadi menyimak terbahak setelah mendengar penuturan Uni.
"Ye nguping itu berfaedah."
"Apa faedahnya?" sambar Ashila.
"Apa yang enggak tau jadi taulah." Simpel, padat dan mudah dimengerti.
Lagi-lagi mereka terbahak.
***
Bel pulang sudah berbunyi begitu lantang setelah lama berkutat dengan pelajaran. Suatu hal menggembirakan bagi pelajar, bel pulang menandakan kemerdekaan.
"Rayn anter aku ke toko buku ya, mau beli notebook baru, yang kemarin rusak"
"Kok bisa?"
"Aku banting."
"Yaiyalah rusak dibuat sendiri," ucap Ray datar.
"Ih datar banget sih," dengus Ashila sambil memalingkan wajahnya.
Ray baru tersadar yang ia perlakukan adalah Ashila. Wanita sensitif yang sulit diajak kompromi.
"Aduh maaf ya, gara-gara pelajaran aku mumet sampe lupa siapa yang aku lagi ajak bicara, jangan marah dong."
"Ke dua kalinya aku ngambek."
"Iya-iya enggak aku ulangin kok."
Saat ini mereka sudah sampai di sebuah toko buku. Ray sudah biasa menunggu Ashila membeli notebook, novel, komik, dan lain sebagainya di sini.
"Rayn, menurut kamu bagus ini atau ini?" ucap Ashila seraya menunjukan dua buah notebook kepada Ray.
Sebenarnya Ray bingung harus memilih yang mana, jika ia bilang Ashila pasti marah. Akhirnya ia asal menentukan. Dan ternyata Ashila juga menyukainya. Dalam hati ia bersyukur. Karena tidak mendapat semburan rohani dari Ashila.
Ashila masih sibuk melihat-lihat novel di rak. Ia terus membuka, menaruh, membuka, menaruh. Ray sudah tidak betah rasanya. Badannya sudah gerah. Ia ingin tidur. Namun apa boleh buat, Ashila segalanya baginya.
Bruk!
"Aduh ... gua padahal minggir deh." Terdengar suara bentakan Ashila. Ray yang sedang melihat-lihat komik langsung menghampiri sumber suara.
"Astaghfirullah, maaf ya tadi terselengkat selang." Gadis berpakaian syar'i itu menunjukan selang yang ada di kakinya dengan ibu jarinya.
"Alah!" Ashila langsung memalingkan wajahnya lagi ke novel-novel di rak.
Ray merasa tak enak hati dengan wanita berpakaian syar'i itu. Ray memeberhentikannya sebentar. Ashila menoleh dengan api kemarahan yang membara.
"Maaf ya, Ashila emang gitu," ucap Ray ramah. Wanita itu tersenyum. Sekilas ia memandang wajah Ray lalu ia menundukkan pandangannya lagi.
"Tidak apa-apa, ini juga kesalahan saya yang lengah dalam berjalan. Boleh saya lewat?"
Ray mengangguk lalu ia mundur beberapa langkah hingga wanita berpakaian syar'i itu bisa lewat tanpa tersentuh sedikit pun. Ray akan merasa bersalah jika melihat wanita berpakaian syar'i yang sangat apik menjaga kehormatannya itu sampai tersentuh oleh laki-laki yang bukan mahramnya.
Ashila memalingkan wajahnya. Saat ini ia sedang PMS ditambah melihat Ray bercakap begitu halus dengan wanita itu. Api kemarahannya berkobar menandakan perang.
Ray menghampiri Ashila yang masih mematung menatap rak-rak buku berisi novel-novel romance.
"Udah, Sil?"
Ashila tidak menjawab.
"Sil?"
"Pulang aja gua bisa naik angkot!"
Ray benar-benar terkejut. Ke tiga kalinya ia melihat Ashila begitu kasar kepadanya. Ia tahu saat ini Ashila pasti sedang marah. Namun yang masih menjadi tanda tanya adalah, karena apa Ashila marah.
"Kamu kenapa sih, Sil?" Ray berusaha melembutkan ucapannya.
"PMS, panas, nyesek. Udah sono lu pulang lah." Ashila malah pergi menghindar dari Ray.
Ray tak putus asa. Ia mengejar Ashila. Ternyata Ashila sedang membayar buku-buku yang baru ia pilih di kasir. Setelah itu ia keluar begitu saja tanpa menunggu Ray. Ray terus mengejar Ashila yang berjalan dengan kecepatan tinggi.
"Sil? Coba jelasin apa salah aku biar aku bisa intropeksi jangan kayak gini," ucap Ray seraya menggenggam pergelangan tangan Ashila.
"Mau intropeksi? Ya intropeksi sendiri. Tadi aku enggak apa-apa, kan? Coba diingat apa kesalahanmu baru bicara sama aku." Nada bicara Ashila sudah tidak sekasar tadi.
"Enggak usah ikutin aku atau aku bakal marah sama kamu!" Ashila melangkah menjauh. Ray diam di tempatnya sambil terus memandang punggung Ashila yang semakin menjauh dan hilang terbawa angkutan umum berwarna biru muda.
"Apa karena aku ajak bicara wanita tadi?" Ray mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
Ray langsung menuju tempat parkiran. Ia mengendarai motor ninjanya dengan kecepatan tinggi.
Sesampai di rumah Ray langsung mengambrukkan badannya di kasur. Ayah dan ibunya belum pulang dari kantor. Dua kakak perempuannya masih ada di kampusnya. Saat ini ia sendiri di rumah.
"Gua kurang sabar apa sama lu." Ray memandangi wajah Ashila di sebuah bingkai berwarna coklat yang ia taruh di atas meja belajarnya. Ia merasa semangat jika belajar memandang wajah Ashila.
"Gua sayang sama lu, beribu wanita cantik ngejar-ngejar gua, tapi gua enggak mau. Kenapa? Karena gua sayang lu."
Ray baru tersadar ternyata kakak perempuannya yang masih berkuliah ada di sampinnya.
"Kenapa, sih? Kenapa Sisilnya?" kekeh Kakak perempuan Ray.
Nama ia adalah Mai. Maidah Rahmi Al-Munawar. Anak kedua dari ayah dan ibu Ray. Kakak pertama Ray adalah Anna Rahmi Al-Munawar. Saat ini ia sedang berkutat dengan semester akhir setelahnya ia akan mendapat gelar strata dua.
"Masuk ketuk pintu, Kak!" gerutu Ray.
"Orang pintunya terbuka."
"O ya?"
Kak Mia mengangguk. "Udah-udah mending salat Zuhur gih, pacar mulu dipikirin. Inget dosa!" Disaat itu juga Kak Mia pergi meninggalkan Ray.
"Kak," teriak Ray sebelum kakaknya itu benar-benar keluar.
Kak Mia menoleh.
"Jangan lupa tutup pintu. Kalo Kak Anna udah pulang bilang sama kak Anna aku minta ajarin Sosiologi."
Kak Mia mengangguk. "Yaudah kamu cucian, salat, tidur."
Ray mengangguk. "Iya."
"Semoga besok pagi amarahnya Sisil udah ilang. Aku bakal berusaha membuat dia senang di chat malam ini. Dan aku akan pastikan esok wajahnya sudah cerah kembali."
Ray mengikuti titahan kak Mia. Setelahnya ia langsung menuju kamar mandi. Ia mencuci muka lalu berwudhu. Setelah itu ia salat lalu ia istirahat.
[Next Chapter 4]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
David Arkhana
Cewe gitu, mau dingertiin tapi cuma ngasih kode. Suer, ga semua cowok2 tuh bisa paham sama kode lu et 😂
2020-09-07
1
Zen Abqory
Semangat terus ya author
2020-09-07
0
Juan Adytm
Suka sama karyamu Thor. Setiap adegan yang kurang baik selalu kamu kasih note supaya orang lain gak ikutan apa yang buruk.
2020-08-22
1