Hari minggu yang seharusya menjadi hari istimewa bagi Ashila karena sebelumnya berniat ingin pergi nonton bioskop bersama Ray terpaksa dibatalkan karena hujan deras yang sedari tadi turun.
Ashila hanya bisa menonton televisi di kamarnya sambil membawa beberapa makanan ringan dari kulkas. Hari ini ia sendiri di rumah. Arga sedang bermain di rumah temannya sejak pukul tiga pagi. Dan bibinya sudah berangkat kes alon sejak jam tujuh pagi tadi.
Makanan ringan yang beberapan menit ia bawa dari kulkas sudah habis. Mulutnya tidak henti-henti mengunyah. Kesendirian membuat tingkat kelaparannya meningkat.
"Bete banget, ish."
Sedaritadi Ashila hanya mengunyah dan mengunyah, sesekali tangannya yang memang memiliki jiwa kepenulisan menulis sesuatu di buku diary yang baru saja ia beli minggu lalu. Sesekali juga ia mengecek handphone-nya siapa tahu sinyalnya sudah mendukung. Dia ingin segara menumpahkan kekesalannya kepada Ray.
"Menyebalkan," desisnya seraya melempar handphone ke kasur. Lagi-lagi sinyal masih tidak mendukung.
Ashila mengambrukkan tubunya ke kasur. Ia tutup wajahnya dengan selimut. Tanpa sadar ia malah tertidur.
***
Terasa semiliran angin dan sorotan hangat sinar matahari menembus jendela kaca di kamar Ashila. Karena itu Ashila terbangun.
Ashila membuka matanya. Benda utama yang ia cari bukanlah Al Qur'an, buku pelajaran, dan sesuatu yang memang sangat penting. Yang ia cari malah handphone. Ia tersenyum sumringah saat melihat sinyal handphone-nya sudah kembali penuh.
Saat ia menyalakan data seluler ada delapan pesan dari Ray. Dan semua isi pesan itu hanya terdapat kata, "Sisil?"
Ia langsung membalas pesan dari Ray.
Ashila :
Maaf tadi sinyal aku jelek. Aku baru bisa online sekarang.
Beberapa menit kemudian Ray online. Ia langsung membalas pesan Ashila.
Ray :
O ya? Enggak apa-apa. Maaf, ya, hari ini kita enggak bisa nonton. Karena tadi hujan, dan sekarang juga aku lagi enggak ada di rumah, aku lagi anter pesanan ibu ke rumah omah.
Ashila menekuk wajahnya. Ia kira Ray akan bertanya soal janji itu dan ia akan menjemputnya. Ekspektasi memang tak seindah realita.
Setelahanya ia tidak pernah melepas handphone dari genggamannya. Menurutnya handphone adalah kebutuhan pokok. Jika sehari saja ia tidak menggenggam handphone, maka ada sesuatu yang kurang baginya.
Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Tapi Ashila belum juga beranjak dari kasurnya. Ia belum melaksanakan salat Ashar bahkan salat Zuhur terlewatkan karena ia tidur kebablasan.
Ray :
Kamu udah salat Ashar?
Ashila :
Belum, kamu?
Ray :
Udah tadi sewaktu aku balas agak lama.
Ashila merasa malu. Dahulu ialah yang selalu mengingatkan Ray untuk mengerjakan salat, tapi sekarang malah ia yang malas salat. Tanpa membalas pesan dari Ray. Ashila langsung beranjak dari kasur dan langsung memasuki kamar mandi untuk mandi dan berwudhu setelah itu ia kembali pada posisi semula.
***
Suara bel membuyarkan konsentrasi Ashila. Ia sedang mengerjakan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan esok. Ashila langsung beranjak dari bangku belajarnya. Ternyata yang mengetuk pintu bibinya. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Bibinya baru saja pulang dari salon di mana ia bekerja.
"Boleh Bibi minta buatin teh?"
Ashila mengangguk. "Bentar ya, Bi."
Dalam waktu tiga menit Ashila kembali sambil membawa dua gelas teh.
"Arga udah pulang, Shil?"
Ashila menggeleng. "Belum, Bi."
Bibi Ashila langsung menyenderkan kepalanya di senderan sofa. Ia terlihat letih. Letih fisik dan pikiran. Ia seorang wanita kuat. Sembilan belas tahun lamanya ia ditinggalkan oleh suami yang sekarang sudah bahagia dengan istri barunya, sampai saat ini Bibi Ashila tidak ada keinginan untuk menikah lagi.
"Bibi tuh capek ngurusin Arga. Arga itu satu-satunya harapan Bibi, tapi apa yang dia buat. Tidak sesuai harapan." Bibi Ashila memejamkan matanya. Pejaman mata yang memiliki makna mendalam.
"Terima kasih ya, Shila, udah nemenin Bibi selama lima tahun ini. Kalo enggak ada Shila enggak kebayang bagaimana bosannya Bibi."
"Shila yang seharusnya berterima kasih sama Bibi."
"Yaudah, Bibi mau istirahat dulu ya, terima kasih tehnya," ucap Bibi Ashila seraya bangkit dari sofa. Setelah kepergian Bibinya, Ashila langsung membawa dua gelas teh yang sudah kosong ke dapur.
Setelah merapihkan gelas bekas teh, Ashila kembali ke kamarnya. Ia meneruskan kegiatannya.
Nada dering pertanda telepon masuk lagi-lagi membuyarkan konsentrasi Ashila. Apalagi saat ia lihat ternyata yang meneleponnya itu Ray.
"Malam Sisil?"
"Malam juga Rayn."
"Kok belum tidur?"
"Iya aku lagi ngerjain PR."
"Aku ganggu, ya?"
"Ah enggak kok, aku malah seneng."
"*Y*audah lanjutin dulu PR-nya nanti kalo udah selesai balas pesan aku, ya, night, Sayang."
"Malam juga, Sayang."
Biar bagaimana pun Ashila sekarang, soal sekolah ia tidak pernah sia-siakan. Ia sangat menyayangi abba dan ummanya di Aceh. Mereka sudah susah payah banting tulang untuk membiayainya. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu ini. Ia akan membanggakan kedua orangtuanya dengan prestasi. Ia akan membuat kedua orangtuanya merasa tak sayang telah mengeluarkan uang banyak untuk kehidupannya.
Ia langsung membuka lembaran-lembaran buku di meja belajarnya. Matematika salah satu pelajaran yang membuatnya pusing tujuh keliling. Ia sering mendapatkan nilai lima di pelajaran ini. Walaupun seperti itu, entah mengapa ia merasa tertantang. Ia tidak mau menyontek, padahal Ray yang dikenal sampai saat ini adalah pacarnya merupakan seorang Master Matematika, ia tidak mau bertanya padanya. Ia merasa tidak puas jika menyalin jawaban orang lain.
Ashila sangat ahli di pelajaran bahasa, entah itu Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Yang paling ia suka adalah pelajaran Bahasa Arab, karena sejak dahulu ia ingin menguasai Bahasa Arab dengan tujuan hendak memberangkatkan abba dan ummanya ke tanah suci untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima.
Selesai sudah pertempuran dengan buku. Ashila menghempaskan badannya di kasur. Tidak terasa tiga jam lamanya ia berkutat dengan buku. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
Ashila mengambil handphone dari bawah bantalnya. Ia langsung mencari nama Ray di riwayat panggilan di handphone-nya.
"Eh belum tidur, Rayn?"
"Belum, Sayang, aku nunggu kamu."
"Kamu emang orang yang paling jago perbaikin mood-ku. Baru aja aku suntuk sama PR Matematika. Kamu udah selesai belum?"
"Udah, kamu taukan Rayn kamu ini Master Matematika."
"Huh, iya deh Kakak ganteng buronan kakak dan adik kelas."
"Buronan kamu juga dong."
"Hmm, kayaknya kamu deh yang kejar-kejar aku bukan aku yang kejar kamu."
"Iya deh, kamu emang yang selalu aku perjuangkan. Jangan sia-siain aku, ya."
"Selagi kamu setia sama aku, dan enggak buat aku nangis, sakit hati dan lain sebagainya. Aku bakal tetap jadi Ashila bukan markonah."
"Uh, sayang."
"Sayang juga."
"Yaudah udah malam nih bobo gih nanti besok kesiangan lagi."
"Kamu juga harus bobo, ya. Inget besok kamu kebagian jadi danton, jangan lupa berangkat pagi. Jangan lupa juga jemput aku."
"Iya, Sayang, terima kasih udah ingetin. Udah ya aku tutup good night, muah."
Belum sempat Ashila membalas ucapan selamat malam dari Ray saluran telepon sudah terputus. Ashila hanya terkekeh sambil memandang wajah Ray yang terpampang jelas di walpaper handphone-nya.
"Kita bersatu karena cinta dan karena cinta juga kita berpisah. Aku enggak mau sampai pisah, aku mau kamu tetep jadi cinta yang berakhir cinta. Entahlah bahkan aku tidak mengharapkan akhir, di pikiranku saat ini adalah awal, awal dan awal, aku mencintaimu Rayhan Fahrez Al-Munawar."
Ashila tersenyum sambil terus memandang wajah Ray di walpaper handphone-nya.
Ashila baru teringat bahwa ia belum mengerjakarn salat Isya. Di pukul sepuluh
malam Ashila baru mengerjakan salat Isya, padahal sejak tadi banyak waktu kosong, ia merasa malas mengerjakan di awal, bahkan saat ini pun ia terpaksa melaksanakannya.
Selesai mengerjakan salat Isya ia membereskan seluruh peralatan sekolahnya yang akan ia bawa esok. Setelah itu ia berbaring di kasurnya dan ia matikan lampu kamarnya. Ashila melafazkan doa tidur di dalam hati. Dan ia pun terpejam. Dan mulai memasuki mimpi indahnya.
Note :
Berhati-hatilah dengan cinta. Terkadang cinta memang manis. Namun selalu ingat bahwa cinta itu membutakan. Barang siapa yang menjadikan cinta itu prioritas maka lakukanlah namun atas namakan Allah di dalamnya. Jika itu terjadi tanpa ada Allah di dalamnya. Bersiaplah kau akan hancur bersamanya**.
[Next Chapter 3]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
David Arkhana
The best, kata-katanya ngena Thor
2020-09-07
2
Zen Abqory
Kata-katanya author ngena banget deh
2020-09-07
2
Yoka Kiara
Yang aku suka dari karya Author, selain menghibur juga memberikan ilmu yang bermanfaat bagi pembacanya. 😍
2020-08-23
2