Hari ini Ashila berangkat lebih awal karena ia mendapat tugas menjadi petugas upacara di bagian pengibar bendera.
"Bibi, Shila berangkat." Ashila berteriak dari arah pintu keluar sambil mengikat tali sepatunya. Suaranya menggema sampai ke ruang tengah tempat di mana bibinya berada.
"Iya hati-hati," jawab bibinya dengan suara tidak kalah kencang.
Hari ini Ashila tidak ada yang mengantar ke sekolah. Biasanya Ray akan menjemputnya, namun hari ini tidak.
"Shila ... Shila ...."
Langkah Ashlia terhenti sesaat saat mendengar namanya disebut-sebut oleh seseorang di balik semak-semak. Ashila menoleh ke kanan dan ke kiri mencari siapa yang memanggilnya itu. Namun tidak kunjung ia temukan orang yang memanggilnya.
"Tadi ibu udah pergi ke salon belum?"
Ashila benar-benar terkejut saat menoleh ke arah semula ada sesosok laki-laki bertubuh tinggi di hadapannya. Ia adalah Arga anak dari bibinya.
"Ya ampun, Ga, aku kira siapa."
Arga hanya terkekeh melihat keterkejutan Ashila. "Udah berangkat belum?"
Ashila menggeleng. "Belum, lagian kamu dari mana aja, sih? Bibi semalam sampai enggak bisa tidur nungguin kamu pulang."
"Ah, enggak penting tau."
Ashila hanya menampakan wajah kesal.
"Kamu mau ke sekolah, ya? Pasti buru-buru, iya, kan?"
Ashila mengangguk malas.
"Hari ini doinya enggak jemput, kan?"
Lagi-lagi Ashila hanya bisa mengangguk.
"Aku anter yuk, sambil nunggu ibu berangkat ke salon."
Mata Ashila berbinar. Ia tersenyum sambil mengangguk.
***
"Aku antar sampai sini, ya, kalau sampai dalam mah malu," ucap Arga setelah Ashila menuruni jok bagian belakang motornya.
"Terima kasih, ya, hati-hati, jangan ngebut."
Setelah mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya. Motor ninja berwarna biru yang dikendarai Arga menghilang dari pandangan Ashila.
Setelah itu barulah Ashila berjalan maju menyusuri lapangan sekolahnya yang megah. Sekolah masih lumayan sepi, saat ini matahari pun masih malu menampakkan sinarnya.
"Pagi, Kak Shila," sapa segerombolan adik kelas.
Ashila sangat terkenal di kalangan adik kelas, apalagi para kaum adam. Tidak hanya adik kelas, bahkan kakak kelas. Ada sebagian yang menyukainya dan ada pula sebagian yang membencinya. Dan salah satu faktor utama terkenalnya Ashila adalah, Ray.
"Pagi," jawab Ashila sambil tersenyum ramah.
***
Bendera merah putih sudah siap. Terdengar suara lantang nan gagah dari seorang danton. "Kepada, bendera merah putih, hormat ... grak!"
Dengan serentak semua yang ada di area lapangan mengangkat tangan kanan mereka dan langsung hormat kepada bendera merah putih.
"Shil ... gua ikut ke ruang ganti dong," ucap Uni tepat saat Ashila baru saja bubar dari segerombolan para pengibar bendera di hari Senin ini.
"Ngapain? Mau ngintip gua?"
Uni menampakkan cengiran khasnya. "Gua mau ngintip Rusdi."
Ashila terkejut, baru ia ingin berteriak namun mulutnya sudah lebih dulu dibekap oleh Uni.
"Ihh ... enggak, Shila, gua mau tukeran handphone sama dia di depan ruang ganti. Sumpah tadi dia jadi danton kece abis."
"Udah-udah, ayo ikut." Ashila langsung berjalan lebih dulu.
"Hai ...." Sapaan yang sangat tidak asing lagi di pendengaran Ashila. Ia langsung menoleh secara spontan dan langsung menampakkan senyuman khasnya. Siapa lagi kalau bukan Ray.
"Aku tunggu di depan, ya."
"Siap 86!" jawab Ashila seraya mengacungkan ibu jarinya.
"Lu langgeng banget sama si Ray, Shil," ucap Uni seraya menatap langkah Ray yang semakin menjauh.
"Iyalah, yaudah enggak usah dilihatin juga, sih."
Ray berhenti di sebuah bangku panjang, ia menunggu Ashila sambil mendengarkan musik menggunakan earphone miliknya.
"Ah elu, curigaan banget sama temen."
"Eleh ... yaudah gua mau ganti baju dulu, nih pegang handphone gua, nanti kalau Rusdi datang dan lu mau pergi, kasih Ray aja, oke?"
Uni mengangguk. "Minta lagu ya, Shil," teriak Uni.
"Iya, Uni," ucap Uni, menjawab pertanyaannya sendiri karena Ashila tidak menjawabnya.
Benar dugaan Ashila, saat ia keluar dari ruangan ganti, Uni sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia langsung menghampiri Ray yang masih setia menunggunya di bangku panjang yang letaknya tidak jauh dari ruang ganti.
Ashila menarik satu earphone dari telinga Ray. Ray menoleh. "Udah?"
Ashila mengangguk. "Ada apa emang?" Ashila memakaikan earphone di telinga kirinya.
"Enggak papa, mau ketemu aja, emang enggak boleh?"
"Bolehlah."
Hening. Ray menikmati alunan musik dari telinga kanannya. Begitu juga Ashila.
"Hari ini free class, lagi pada sibuk gurunya, ke kantin yuk, Sil."
Ashila mengangguk semangat. "Dari tadi kek gitu."
***
"Besok minggu nih, mau main?" tanya Ray sambil *menscroll-scroll handphone* milik Ashila.
"Nonton," ucap Ashila cepat.
"Okay, besok aku jemput kamu, ya?"
Berpapasan saat Ashila mengatakan iya seorang pelayan kantin datang membawa nenampan berisi dua gelas jus alpukat, dan dua bungkus burger mini.
"Kamumah dari dulu kebiasaan deh kalau makan pasti nyisain. Emang nyisain siapa sih?" ucap Ashila seraya menyentuh dagu Ray yang masih menyisakan makanan yang baru saja ia makan.
"Aku rela deh dikatain kebiasaan terus kalau setiap ngelakuin salah diginiin sama kamu." Ray langsung menutup mulutnya.
"Dasar ...."
"Ke kelas yuk." Ray beranjak dari duduk. Ia mengambil alih tissue di tangan Ashila.
Padahalkan itu bekas daki gua. Ashila cekikikan dalam hati.
Ashila ikut beranjak. "Semalam kamu ke mana? Itu cewek yang rambutnya pirang siapa?"
"Kumpul sama teman SD, itu namanya Rihana, diamah masih sepupu aku, orang berangkat ke sana aja aku bareng sama dia."
"Bener sepupu?"
"Bener, Sisil," ucap Ray seraya mengacak-ngacak puncuk kepala Ashila yang tertutupi oleh kerudung berbahan paris.
"Ihh ...."
Ray hanya menampakkan gigi kelinci khasnya saat melihat wajah menggemaskan Ashila ketika kesal.
***
"Shil ... Shil, anter ke toilet yuk, gua kebelet," ucap Nada seraya bangkit dari duduknya.
Tanpa menjawab Ashila langsung bangkit dari duduknya dan berjalan lebih dulu keluar kelas, ia juga sudah bosan di dalam kelas, lebih dari satu jam tanpa ada guru pengisi pelajaran.
"Katanya kebelet kenapa malah berenti di sini?" tanya Ashila saat Nada tiba-tiba berhenti di lorong dekat toilet.
Tiba-tiba raut Nada berubah menjadi murung. "Kak Tara mutusin gua." Inilah kebiasaan teman yang mau curhat, pernah merasakan tidak?
Ashila terkejut. Nada langsung memeluk Ashila. Ia menangis di pelukan Ashila. Dua tahun ia berteman, Ashila adalah satu-satunya teman yang paling ia percayai.
"Nada ... Nada, berapa kali gua bilang sama lu. Kak Tara itu sering mainin wanita, gua pernah lihat itu secara langsung, di depan mata gua dia teleponan sama orang lain pake kata sayang, waktu itu, kan, dia masih jadi pacar lu," ucap Ashila merasa ikut kesal dengan laki-laki bernama Tara.
"Iya, Shil, gua nyesel terima dia, padahal baru aja terjalin satu minggu eh dia udah putusin gua, dia emang jahat, Shil."
"Udahlah yang lalu biarlah berlalu, sekarang lu tenangin diri, airmatanya hapus tuh, nanti kata orang Nada habis Ashila tonjok," ucap Ashila sedikir melantur. Baginya walaupun garing yang penting nyenengin.
Nada mengangguk, ia berusaha tersenyum.
"Yaudah yuk balik ke kelas." Ashila merangkul Nada. Mereka kembali ke kelas.
Tidak ada yang spesial di sekolah hari ini. Ashila menghabiskan waktu kosongnya dengan ngobrol-ngobrol bersama teman-temannya yang tidak lain dan tak bukan, Risma, Nada dan Uni. Tidak hanya mereka, Ray, dan Rusdi pun ikut serta.
"Eh, Nad, semalam, kan, gua lagi beli parfume, masa gua ketemu sama kak Tara, dia sama kak Laura yang kayak bule, yang waktu itu pernah jadi vokalis di grup band-nya kak Tara itu lho."
Ashila menyenggol lengan Risma. Ia langsung berbisik, "Udah putus, diputusin."
Mulut Risma membulat. Setelahnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Udahlah, lu cantik, banyak yang suka sama lu, enggak usah sedih, lagi juga kak Tara enggak ganteng-ganteng amat, cuma jago main drum aja makanya jadi famous. Jangan sedih, kita selalu ada buat lu, ya enggak?" ucap Risma seraya menaikkan sebelah alisnya.
Ashila dan Uni mengangguk semangat.
"Iya bener tuh, Nad, jangan sedih, belum terlalu nyantol, baru satu minggu. Nih lihat nih, beberapa hari kemudian juga bakal ada pangerang berkuda putih yang dateng di kehidupan wanita cantik kayak lu," ucap Uni sambil memeluk lengan Nada manja.
"Iya, Ni ...."
"Terima kasih, ya, enggak sia-sia gua bisa kenal lu semua." Karena Nada duduk bersama Ashila ia memeluk Ashila. Uni dan Risma yang duduk di depannya beranjak dan ikut memeluk Ashila.
"Kok gua yang dipeluk sih?" ucap Ashila yang sudah merasa engap dipeluk tiga orang sekaligus.
"Karena kita sayang Ashila," ucap Nada, Risma, dan Uni, serentak. Itu adalah kata-kata yang paling sering mereka ucapkan.
"Udah jangan peluk-peluk nanti doi gua lecet," ucap Ray datar sambil mengotak-ngatik handphone Ashila, entahlah ia sedang apa.
"Gigi lu lecet," sambar Uni.
"Pala lu gancet," sambar Risma.
"Idung lu sini gua pencet," sambar Nada.
"Oh no! Don't touch my hany," sambar Ashila.
Mereka pun tertawa melupakan semua masalah yang sempat membuat mereka putus asa.
***
Ashila pulang ke rumah diantar oleh Ray. Rumah bibinya itu selalu sepi. Hari ini di rumahnya hanya ada Arga.
"Mampir dulu enggak mau tau," ucap Ashila sedikit merajuk saat ia turun dari jok bagian belakang motor Ray.
Mau tak mau Ray pun menuruti apa yang Ashila mau. Ray ini sangat nurut dengan Ashila. Entah apa yang merasukinya.
Saat Ashila membuka pintu masuk, ada Arga sedang menonton televisi di ruang tamu.
"Ga, kekamar Ga, ada Rayn."
"Ah, enggak, suntuk, udah aja enggak papa, biar Ga awasin, takut macem-macem."
"Ye ... kamu kira aku cewek apaan," dengus Ashila sambil melempar tas ranselnya ke sofa yang jaraknya tepat disamping Arga.
"Sini, Rayn." Ashila menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya.
Ray menghempaskan badanya di sofa tepat di samping Ashila.
"Lagi nonton apa, Kak? Seru amat," tanya Ray seraya menatap televisi dan Arga secara bergantian.
"Azab," jawab Arga cepat sambil menampakkan barisan giginya yang rata.
"Angker."
"Kurang kerjaan nonton begituan, sini remotnya, ganti film Upin Ipin." Ashila langsung mengambil alih remote di tangan Arga
"Ah engga." Arga merebut kembali remote dari tangan Ashila.
"Ahh ... Arga ... malesin." Ashila malah teriak hingga suaranya menggema, itu karena saat ini rumah hanya ada dia, Arga, dan Ray saja.
Arga hanya terkekeh sambil menjulurkan lidahnya. Sementara Ashila menekuk wajahnya, ia melipatkan tangan di dada, dan memalingkan wajahnya.
"Nih liat di youtube aja sini."
Ashila tersenyum. Ia mendekat ke arah Ray dengan jarak sangat dekat. Kepala mereka saling sender-menyender.
"Nyamuk gatel banget dah," sindir Arga.
"Makanya ajak kak Erika ke rumah, Ga," sambar Ashila.
"Aku aja enggak masuk-masuk sekolah."
"Mau jadi apa kali."
"Mau jadi ayah yang baik, enggak kayak ayah aku yang buruk itu."
"Udah-udah jangan dilanjutin."
Arga menghempaskan kepalanya di senderan sofa.
"Ga pernah ketemu sama cewek, dia cantik, baik, ramah, tapi pendiam, udah gitu pemalu. Dia make baju rapat banget. Enggak tau kenapa Ga seneng lihat dia. Adem gitu. Wajahnya natural tanpa ulasan make up, tapi dia lebih terlihat lebih cantik dari perempuan lain yang bermake up."
"Siapa namanya?" tanya Ashila
"Habibah. Habibah Al-Humairah."
"Sekolah di mana dia?"
Arga menggeleng. "Waktu itu aku ketemu dia di *b*usway. Ga banyak tanya sama dia waktu itu." Arga terkekeh.
"Si Sisil dulu kayak gitu, tapi sekarang nakal ni." Ray mengacak-ngacak puncuk kepala Ashila.
"Emang nakal anak ini," sambar Arga.
"Apa sih Ashila enggak kayak gitu tau," ucap Ashila sambil menggayakan nada bicara ia dahulu.
"Uh! Udah enggak pantes, udah kolot." Arga melempar bantal ke arah Ashila.
"Aku mau sleeping dulu, bye!" Berpapasan saat mengatakan itu Arga bangkit melangkah ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Aku izin pulang ya, Sil." Dan berpapasan saat itu juga Ray meminta izin untuk pulang karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
Ashila mengantar Ray sampai gerbang. Saat Ray sudah hilang dari pandangannya, Ashila langsung masuk.
***
Saat ini Ashila sedang duduk termenung menatap wajahnya di cermin besar berbentuk bulat.
"Nama aku tetap Ashila."
"Kulit aku masih putih."
"Alis aku juga masih tebal."
"Apa, ya, yang berubah dari aku."
Ashila menatap lekat-lekat wajahnya di cermin tersebut.
"Aku dulu pendiam, sekarang juga aku masih pendiam, aku akan diam kalo orang lain enggak ajak aku bicara."
"Aku ramah, masih, buktinya aku enggak pernah sombong kalo disapa."
"Apasih yang berubah dari aku?"
Ashila beranjak dari posisinya. Ia mengambil sebuah notebook berwarna merah hati dari laci meja belajarnya.
Senin, 14 06 2014
Hari ini Shila bahagia.
Shila bersyukur sama Allah SWT. masih memberikan Shila umur panjang.
Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri.
Kamis, 18 06 2014.
Shila enggak mau laki-laki merendahkan Shila. Shila enggak suka laki-laki yang tukang gombal kayak Ali. Sampai kapan pun Shila nggak akan mau pacaran!
Ashila terdiam saat membaca lembar kedua dari buku harian berwarna merah hati tersebut. Ia menulis itu saat ia masih bersekolah di MI. Dahulu ia sangat anti dengan yang namanya berhubungan dengan laki-laki. Bahkan jika dipanggil laki-laki ia tidak pernah menengok sekalipun itu penting.
"Apa ini akar keberubahanku?"
"Ray, laki-laki tampan yang menyatakan cintanya kepadaku beberapa tahun yang lalu."
"Dia sangat mencintaiku, dan aku juga sangat mencintainya."
"Ah entahlah, aku terlalu puitis mengingat kisahku."
Ashila melempar notebook berwarna merah hati itu ke lantai. Ia menghempaskan badannya di kasur.
"Ini waktunya tidur siang, lupakan segala kebimbangan."
Ashila pun memejamkan matanya. Mencoba melupakan semuanya karena telah stuck pada masa kini yang jauh berubah dengan masa lalunya.
[Next Chapter 2]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
⟁ Jojo 🌱🐛
seneng bacanya 😊
2021-05-02
0
David Arkhana
Masih ditahap2 labil jadi wajar hehe
2020-09-07
0
Zen Abqory
Apik banget Thor
2020-09-07
0