Tangan Nimas bergetar hebat saat memegang benda tipis bernama testpack. Bagaimana tidak? Garis yang muncul di benda itu berjumlah dua. Semua orang tahu makna dari dua garis yang ada di benda keramat bagi wanita yang belum menikah itu.
"Nggak, nggak mungkin. Ini pasti salah, aku baru melakukannya satu kali dengan Bryan tidak mungkin aku langsung hamil. Tidak mungkin secepat itu."
Tidak terima dengan hasil testpeck yang pertama. Gadis itu kembali keluar rumah untuk membeli beberapa testpeck lagi.
Setelah berlarian ke apotek, Nimas kembali melakukan tes. Ia yakin tes yang pertama tadi tidaklah benar.
Namun, harapan tinggalah harapan. Entah sudah keberapa kali Nimas melakukan tes, hasil yang benda laknat itu keluarkan tetap sama, menunjukkan garis dua yang mengartikan bahwa gadis itu tengah hamil.
Nimas pembenturkan punggungnya ke dinding kamar mandi dan melorot ke lantai. Tangisannya pecah saat itu juga. Hidup seorang diri di perantauan, tidak ada siapapun keluarga yang berada di kota, dan sekarang ia harus hamil di luar nikah. Naas sekali nasib yang menimpa Nimas.
"Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, Ibu dan Ayah pasti akan murka jika tahu aku hamil sebelum aku menikah. Kenapa kau harus ada di rahimku? Aku khilaf sudah melakukan hubungan itu, kenapa kau harus ada di rahimku?" teriak Nimas histeris seraya memukul perutnya dengan kencang.
Sementara di luar kosnya, kekasih Nimas, Bryan baru saja tiba di halaman kos. Sudah menjadi rutinitas sehari-hari Bryan mengantar jemput kekasihnya sebelum ia berangkat ke rumah sakit untuk bertugas.
"Sayang, aku datang," teriak Bryan membuka pintu kosan kekasihnya.
Sepi. Tidak ada tanda-tanda ada Nimas di kamar. Biasanya gadis itu akan menunggu dirinya di kasur lantai yang beralaskan karpet.
"Sayang?" panggil Bryan sekali lagi.
Pria itu masuk ke dalam kamar, samar-samar ia mendengar suara isakan yang berasal dari kamar mandi. Ia pun berjalan cepat menuju ruangan yang tak besar itu.
"Sayang kamu di dalam? Ini aku, kamu kenapa nangis di sana?" tanya Bryan mengetuk pintu kamar mandi.
Tak ada sahutan, hanya tangis yang terdengar semakin jelas dan menyayat. Bryan mencoba menekan gagang pintu yang ternyata yang terkunci itu.
Jantungnya terasa melompat dari tempatnya begitu melihat Nimas yang terduduk di lantai kamar mandi seraya memukul perutnya.
"Hey, kamu kenapa? Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi?" Bryan panik, ia berusaha mencegah tangan Nimas untuk terus memukuli perutnya sendiri.
"Sayang, lihat aku! Ada apa?" Bryan kembali bertanya seraya memaksa Nimas untuk mendongakkan kepala.
Nampak wajah dan mata sembab dari gadis berusia dua puluh dua tahun itu.
"Aku hamil, Bryan. Apa yang kita lakukan malam itu membuat darah dagingmu tumbuh di rahim aku." Nimas menjawab dengan isakan.
Bagai disambar petir dua kali, Bryan terasa mati untuk beberapa detik. Nafasnya tiba-tiba memburu dengan gemuruh. Malam panjang yang terjadi satu bulan lalu ternyata membuat cairan kentalnya berubah menjadi gumpalan bernyawa.
"Kamu hamil?" tanya Brian sekali lagi dengan ada yang sangat lemah. Seakan sarapan yang ia telan tadi pagi di rumah entah hilang ke mana.
"Bagaimana nasibku, Bryan? Ayah dan ibuku di kampung pasti marah. Aku sudah mempermalukan mereka. Aku nggak mau dia lahir, Bryan. Aku mau menggugurkannya saja."
"Tidak Nimas! Jangan lakukan kesalahan yang lebih besar. Anak ini tidak salah, yang salah itu kita. Meskipun kita melakukan tanpa sadar, kita malam itu khilaf, tapi yang salah tetaplah kita. Jangan korbankan anak kita. Aku akan tanggung jawab. Kita akan menikah demi anak ini."
Bryan membawa kekasihnya ke dalam dekapan hangatnya. Jalan ini tentu saja tidak mudah. Ia pasti akan mendapatkan amukan dari kedua orang tua Nimas dan juga kedua orang tuanya. Tapi jalan satu-satunya adalah bertanggung jawab dan menikahi kekasihnya itu.
"Ya udah ayo kita keluar kamar mandi. Kamu istirahat aja, ya nggak usah kerja. Aku pulang dulu, aku harus ngomong sama orang tuaku. Habis itu kita pulang kampung. Kita minta restu sama kedua orang tua kamu juga. Mungkin ini terlihat menyeramkan dan akan terasa sulit, tapi ini untuk kebaikan kita."
"Kamu nggak lagi bohong sama aku, kan? Kamu akan kembali dengan membawa tanggung jawab?"
"Nggak Sayang, nggak. Aku nggak akan pernah ingkar janji. Ya udah aku balik, ya. Aku akan segera kembali. Akan aku bawa kandungan kamu periksa ke dokter. Jangan di pukuli lagi perutnya."
Cup
Satu kecupan kecil mendarat mulus di kening gadis kecilnya itu. Bryan kembali pulang setelah tahu kabar yang entah bagaimana ia menjelaskan, bahagia atau buruk, semua bercampur menjadi satu dan Bryan tak bisa memisahkan kedua rasa itu.
Namun, dalam hati kecil Bryan ia ragu untuk mengantongi restu dengan cepat dan lancar. Kedua orang tuanya yang memandang orang lain begitu rendah membuat ia khawatir soal restu dan respon mereka saat tahu anak sulungnya menghamili gadis dari desa.
Bryan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan setengah melamun. Pikirannya terbelah entah menjadi berapa bagian.
Pikirannya kembali fokus ketika tiba-tiba mobil di depannya yang dari arah berlawanan melaju dengan ugal-ugalan. Bryan menginjak rem dengan kuat, tapi sayangnya tabrakan tetap saja tak bisa dihindari. Mobil Bryan justru tertabrak oleh truk bermuatan besar di belakangnya.
Truk yang melaju cukup kencang membuat mobil Bryan terseret ke depan beberapa meter. Bryan mendadak linglung, ia sempat memutar setirnya ke arah pinggir jalan namun dorongan truk dari belakang cukup kencang sehingga Bryan terlempar keluar mobil.
Pyaaarr!
"Astaga, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba foto Bryan jatuh?" gumam Bu Marissa memungut bingkai foto Bryan saat wisuda.
Wanita yang melahirkan Bryan tiga puluh tahun itu memungut kaca yang berserakan di lantai. Pikiran dan hatinya mendadak tak enak. Beliau memikirkan anak sulungnya yang baru saja berangkat bekerja.
"Ada apa, Ma? Apa yang jatuh?" tanya Pak Malik, Ayah Bryan.
"Foto Bryan. Perasaan Mama nggak enak, Pa. Kata orang tua zaman dulu kalau ada foto yang jatuh tanpa sebab, kan ada apa-apa sama pemilik foto. Mama kok jadi kepikiran Bryan, Pa."
"Mama percaya kok sama mitos. Semua yang terjadi itu ada penyebabnya. Ya mana bisa foto itu jatuh tanpa sebab. Mungkin ada cicak yang lewat dan nyenggol foto sampai jatuh. Ada-ada aja. Mikir yang baik-baik, terkadang sesuatu bisa terjadi juga karena hasil pemikiran kita. Ya udah, Papa kerja dulu. Jangan dipungut itu kacanya, kayak nggak punya pembantu aja!" sungut Pak Malik berlalu dari hadapan istrinya.
Tak berselang lama, dering ponsel rumah berdering ingin segara di raih. Bu Marissa meninggalkan pecahan kaca itu dan menghampiri telepon kabel yang berisik itu.
"Iya halo dengan kediaman keluarga Narendra, ada yang bisa saya bantu?"
"Apa?" pekik Bu Marissa tekejut.
Kedua orang tua Bryan dan juga adiknya berbondong-bondong berlarian di lorong rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa anak sulungnya mengalami kecelakaan.
Tidak bisa digambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Cemas, panik, khawatir, takut, semuanya bercampur aduk menjadi satu.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Nggak parah, kan? Apa banyak luka? Banyak darah yang keluar? Dokter, anak saya takut dengan darah, jangan biarkan dia melihat darah terlalu lama." Bu Marissa langsung memberondong pertanyaan begitu beliau sampai di ruangan sang anak.
Ekspresi dokter itu begitu datar. Dokter laki-laki berkacamata itu menggeleng dengan lemah.
"Maaf Bu, kecelakaan yang dialami oleh anak Ibu menyebabkan pendarahan di otak. Jadi...."
"Diam, jangan katakan anak saya tidak baik-baik saja," potong Bu Marissa lagi dengan histeris.
"Mama sabar, Ma. Jangan begini, Kak Bryan pasti baik-baik saja." Shaka menenangkan sang Ibu dengan memberikan pelukan.
"Dokter, apa bisa kita menjenguknya?" tanya Pak Malik yang nampak tegar, namun hatinya hancur tak berkeping.
"Silakan, Pak."
Tiga orang yang menjadi keluarga inti dari Bryan itu seketika menghamburkan dalam ruangan. Tidak ada hati orang tua yang tidak hancur melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai tempelan alat medis.
Bu Marissa adalah orang pertama yang memeluk anaknya dengan isakan yang memilukan.
"Bryan pasti kamu bisa bertahan, kamu bisa sembuh untuk Mama, Nak. Papa bawa Bryan keluar dari rumah sakit tidak berguna ini. Kita bawa dia keluar negeri, Pa. Dia pasti mendapat penanganan yang baik di sana. Lihatlah, Pa. Anak kita kesulitan bernafas. Bryan, Mama mohon jangan seperti ini, Nak." Bu Marissa nampak sangat terpukul dengan keadaan sang anak.
Nafas Bryan terlihat terengah-engah. Ia sedikit demi sedikit membuka matanya. Semuanya nampak buram di mata pria itu. Ia melihat ibunya yang meraung di sampingnya, ayahnya yang mengelap sudut netranya yang menitikkan air mata, sedangkan sang adik satu-satunya itu hanya dia menatap wajahnya tanpa berkedip.
Bryan merasa sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Berusaha untuk menguatkan diri agar bisa bertahan untuk menikahi kekasihnya, namun nampaknya sang pemilik kehidupan ingin segera berjumpa dengannya.
"Shaka! Ni-mas se-dang ha-mil anakku. To-long nikahi di-a, ja-ga dia se-perti kau ja-ga orang yang kau cin-tai. Ada da-rahku yang me-ngalir di ja-nin yang se-dang di kan-dung. Terima kasih."
Tuuuuuuuuttttt
Alat detak jantung yang terpasang di samping tubuh Bryan berbunyi dengan nyaring dan menampilkan garis lurus yang menandakan bahwa Bryan sudah pergi.
"Shaka panggil dokter, Shaka cepat panggil! Bryan jangan bercanda sama Mama Bryan. Bryan bangun buka matamu! Bryan kalau kamu nggak buka mata Mama marah, ya! Bryan bangun Mama bilang!" Ibu Marissa tak anti hentinya menyentak anaknya seraya menggoyang-goyangkan tubuh pria yang sudah ia lahirkan tiga puluh tahun yang lalu itu.
Semua ibu akan terpukul jika melihat anaknya pergi mendahului dirinya. Bu Marissa dengan sekuat tenaga menggoyang-goyangkan tubuh kaku sang anak agar segera membuka mata. Sangat nampak bahwa beliau tidak siap dan tidak terima dengan kepergian sang anak yang mendadak.
"Mama tenang Ma, Shaka sedang memanggil dokter tenanglah!" Pak Malik yang hatinya juga sama hancurnya dengan sang istri sangat berusaha untuk terlihat tegar.
Beberapa menit berlalu, Dokter pun datang dengan tergesa-gesa lalu memeriksa keadaan Bryan yang sudah tak bernyawa. Dokter itu sudah berusaha untuk memancing detak jantung Bryan agar kembali, namun semuanya sia-sia, Yang Maha Kuasa sudah berkehendak lain.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun, Maaf sekali Bu, Pak, pasien sudah berpulang."
Bagai ditikam peluru yang kecil, namun menyakitkan. Bu Marissa diam seketika ketika mendengar penuturan dari dokter laki-laki itu. Tubuh yang sejak tadi memeluk sang anak seketika luruh ke lantai. Gerakan itu diikuti oleh suaminya, tangannya sejak tadi tak lepas merangkul tubuh sang istri.
Jika Bu Marissa meraung-raung dipelukan sang suami. Berbeda halnya dengan Shaka yang tetap berdiri mematung di tempat seraya menatap kakaknya untuk yang terakhir kali. Air matanya juga mengucur deras membasahi pipinya.
Bukan hanya kepergian yang Bryan yang ia tangisi, tapi amanah yang terakhir yang didengar oleh kedua orang tuanya, namun mereka hiraukan. Kedua orang tuanya terlalu fokus dengan kepergian anak sulungnya, hingga mereka menulikan telinga jika anak sulungnya sudah meninggalkan kekasihnya bersama janin yang sudah tumbuh di rahim gadis yang sama sekali tidak dikenal oleh keluarganya.
Shaka memundurkan langkah hingga kakinya menyentuh sofa. Dirinya terduduk dengan lemas. Kepergian sang Kakak yang mendadak membuat setengah kewarasannya juga ikut pergi dibawa olehnya. Ditambah lagi melihat ibunya yang kacau membuat Shaka benar-benar ingin marah kepada Tuhan. Kenapa Tuhan harus memanggil kakaknya di saat kakaknya itu mempunyai tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di dunia. Kenapa harus sekarang?
***
Di lain tempat Nimas juga merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya. Sejak tadi ia mondar-mandir menunggu kabar dari Bryan. Gadis itu pun sudah menghubungi kekasihnya itu berkali-kali. Namun, nomornya tidak bisa dihubungi, hal itu membuat Nimas berpikir yang tidak-tidak. Ia takut jika Bryan mengingkari janjinya dan melarikan diri dari tanggung jawab yang harusnya ia emban.
Nimas kembali menangis karena hingga sore hari pria itu tak kunjung ada kabar. Gadis itu sudah pesimis dengan kehidupannya, ia sudah berpikir bahwa ia akan menanggung aib ini sendirian.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku, Bryan? Kamu tadi sudah janji sama aku kalau kamu akan tanggung jawab dengan kehamilan ini. Tapi kenapa sampai sekarang kamu nggak datang-datang? Kamu janji sama aku akan membawaku ke dokter, kenapa kamu nggak bisa dihubungi Brian? Kamu ke mana?" ujar Nimas di tengah isakannya.
Tak berselang lama terdengar mobil yang masuk ke dalam halaman kosnya. Nimas segera bangkit dari duduknya seraya menghapus air matanya yang sejak tadi mengalir deras bak hujan.
Nimas membuka pintu dengan perasaan lega dan juga senyuman yang sedikit mengembang. Ia sudah mengira pasti itu mobil Bryan. Sebab dirinya adalah satu-satunya penghuni kos yang selalu mempunyai tamu membawa mobil.
Namun, begitu langkah kaki Nimas dipijakan di teras, ia terkejut karena mobil yang terparkir di halamannya bukan mobil yang biasa dipakai Bryan. Sosok pria yang muncul di balik pintu mobil itu pun bukan pria yang ia kenal.
Nimas kecewa, ia memutar tubuhnya dan ingin masuk ke kamarnya kembali. Ia mengira itu adalah tamu penghuni kos lain.
"Permisi, Mbak maaf bisa saya bertanya?"
Teriakan dari Shaka membuat langkah Nimas terhenti. Ia melihat sekeliling, tidak ada orang yang berada di luar kos selain dirinya, itu artinya pria itu bertanya padanya. Mau tak mau akhirnya gadis itu kembali memutar tubuhnya menghadap halaman.
"Tidak ada orang lain yang ada di luar kos selain aku. Mas manggil aku? Mau tanya apa?"
"Iya, aku ingin bertanya padamu. Aku mencari seseorang yang bernama Nimas."
Nimas mengerutkan kening. Pasalnya ia tidak tahu siapa pria yang menanyakan dirinya, untuk apa yang mencari dirinya.
"Mas siapa, ya?"
"Maaf saya sedang mencari Nimas. Apakah benar ini alamatnya?"
"Iya, saya Nimas. Ada apa, ya?"
Deg!
Tiba-tiba sentakkan dari jantung Shaka terasa begitu nyata. Hanya sekali, tapi begitu terasa di seluruh tubuhnya.
Hari hampir senja, sengaja Shaka langsung datang ke kos Nimas setelah mengobrak-abrik kamar Bryan untuk memberitahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Sejak pemakaman Bryan tadi, ia benar-benar tak bisa memfokuskan diri pada sang Kakak.
Fokusnya terbelah karena sejak detik kematian sang Kakak, amanah yang diberikan oleh pria itu terngiang dan memenuhi rongga telinganya. Ia tidak akan tenang sebelum menemui gadis yang menjadi kekasih kakaknya itu.
Bryan adalah pria yang tertutup, ia tak pernah memperkenalkan kekasihnya pada keluarganya. Bahkan saudara kakak beradik itu sebenarnya terjalin baik dan dekat, namun Bryan tak pernah menceritakan apapun pada adiknya.
Ini adalah pertama kalinya Shaka bertemu dengan gadis yang berhasil meluluhkan kulkas seperti kakaknya.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Shaka berjalan mendekati teras.
"Bisa. Di sini nggak apa-apa, kan? Kos di sini hanya berisi kamar tidur dan kamar mandi. Jadi tidak ada ruang tamu." Nimas menjawab dengan ramah, tidak mempunyai firasat atau pikiran apapun mengenai datangnya sosok pria yang bahkan tak ia kenal.
"Nggak apa-apa. Di mana saja bisa." Shaka duduk di teras kos yang kemudian di susul oleh Nimas.
"Mas siapa, ya? Apa kita kenal? Kayaknya ini pertama kalinya kita bertemu." Nimas tak bisa menyembunyikan ke kepo annya lebih lama.
"Saya Shaka. Saya adiknya Bryan."
Nimas semakin tidak mengerti, ia mengharapkan kedatangan Bryan, bukan adiknya, lagi pula untuk apa Bryan menyuruh adiknya ke sini? Berbagai pertanyaan akhirnya bergelantungan di kepala Nimas.
"Oh, iya. Tapi aku nggak ngerti kenapa dia nyuruh kamu ke sini? Apa terjadi sesuatu sama dia?"
"Aku ke sini untuk memberi tahu kamu kalau, besok kamu harus bersiap ke rumah. Sekalian kamu bawa baju-baju kamu."
"Tunggu, untuk apa? Maksudku aku mau di bawa ke mana?"
"Kamu akan mengerti besok. Cukup turuti apa yang aku minta. Itu pesan dari Kak Bryan."
"Ke mana dia? Kenapa nomernya nggak bisa dihubungi? Kenapa dia nggak ke sini langsung?"
"Besok kamu akan ketemu sama dia. Makanya sekarang aku kasih tahu untuk kamu siap-siap. Besok aku akan kembali pukul sembilan pagi. Kamu harus sudah siap."
"Kamu lagi yang jemput aku?"
"Iya. Siapapun yang jemput sama aja, kan? Ya udah aku cuma mau bilang itu. Aku permisi pulang, ya. Udah mau gelap."
Nimas menganggukkan kepala dengan wajahnya yang terlihat masih bingung. Tidak ada yang bingung jika berada di posisi Nimas. Adik dari kekasihnya datang dan mengatakan akan menjemputnya esok hari. Sementara ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi dengan kekasihnya.
***
Shaka mengemudikan mobilnya dengan deraian air mata. Ia berduka untuk kakaknya, orang tuanya, dan juga dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Ia harus menikahi gadis yang sama sekali tidak ia kenal. Di satu sisi, ia pun juga memiliki kekasih yang sudah ia pacari selama dua tahun.
Shaka menepikan mobilnya karena merasa tidak bisa membawa kendaraan di saat kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya ia telungkupkan di atas setir bundar mobilnya, pundaknya bergetar hebat. Tangisan yang sejak tadi ia tahan selama proses pemakaman kakaknya, akhirnya tumpah ruah di bawah langit yang mulai gelap.
Semuanya terlihat tidak adil bagi Shaka. Berkali-kali hatinya menanyakan kepada Tuhan, kenapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Kenapa harus dirinya yang mempertanggungjawabkan perbuatan kakaknya?
Shaka berada dalam kebingungan yang luar biasa. Di satu sisi ia begitu mencintai kekasihnya, ini pasti terlihat sangat menyakitkan dan tidak adil baginya. Namun, di sisi lain amanah kakaknya juga harus ia tunaikan, karena itu adalah permintaan terakhir dan hanya itu yang bisa diucapkan oleh kakaknya.
Di tengah tangisnya, ponsel yang sejak tadi berada di dalam saku tiba-tiba berdering.
"Iya Pa, ada apa?" tanya Shaka berusaha untuk menekan suaranya agar terlihat baik-baik saja.
"Kok ada apa? Kamu ini ke mana? Orang masih berduka kok kamu kelayapan? Mama nyariin kamu, katanya kamu dari tadi nggak kelihatan. Mama masih trauma sama kecelakaan yang menimpa kakakmu. Janganlah buat dia semakin terpuruk, ketika melihat mobil kamu nggak ada, Mama teriak-teriak."
"Iya tadi aku ada kepentingan, aku pulang sekarang. Ini udah di jalan mau pulang kok."
"Ada yang lebih penting dari keluargamu? Dasar keterlaluan kamu, Shaka! Pulang sekarang!" Pak Malik sedikit marah mendengar jawaban dari Shaka. Beliau merasa anak bungsunya itu menomorduakan keluarga.
"Setelah ini pasti akan ada pertentangan dan juga masalah yang datang bertubi-tubi padaku. Sepercaya itu padaku Kau Tuhan, Kau menimpakan beban hidupku yang besar, bahkan membayangkan saja aku tidak bisa."
Shaka bergumam sendirian. Ia mulai sadar kenapa Bryan tidak pernah menceritakan kekasihnya pada keluarganya dan juga pada dirinya. Kehidupan kekasihnya yang sederhana mungkin saja menjadi momok bagi Bryan jika ia menceritakan background Nimas.
Shaka mengemudikan mobilnya dengan cepat, ia ingin segera sampai rumah. Ia tidak mau membuat keluarganya semakin memikirkan ia dan juga salah paham dengan kepergiannya.
"Papa mana anakku? anakku mana, ke mana mereka? Bryan baru saja meninggalkan aku, Pa. Shaka ke mana?"
Shaka mendengar tangisan ibunya yang begitu menyayat hatinya, tangisan ibunya adalah sebuah luka untuk Shaka. Pria dua puluh delapan tahun itu pun berlari menghampiri ibunya yang masih meraung di ruang tamu.
"Mama aku di sini, Ma. Aku nggak ke mana-mana." Shaka menghampiri ibunya dan memeluk ibunya dengan erat. Air matanya kembali luruh melihat ibunya yang masih nampak terpukul dan syok dengan kepergian kakaknya.
Ya Tuhan. Bagaimana caraku memberitahu Mama dan Papa bahwa ada tanggung jawab yang harus kita tanggung. Mereka tadi juga mendengar ucapan terakhir Kak Brian, tapi kenapa mereka seolah tidak mendengarnya? Astagfirullah, Shaka sabarlah! Jangan membahas masalah itu sekarang.
"Jangan pergi tanpa izin Mama. Jangan buat mama takut, Mama cuman punya kamu. Kakakmu sudah jahat, kakakmu tega ninggalin Mama." Bu Marissa berucap dengan masih terisak.
"Mama, mau sampai kapan Mama seperti ini terus? Mama boleh sedih, tapi jangan seperti ini, Ma. Ini akan membuat Kak Brian sedih juga, jalannya nanti tidak terang. Mama harus ikhlas. Mama masih punya aku dan Papa."
Tak tega melihat ibunya yang terus terisak, akhirnya Shaka mengajak ibunya ke kamar untuk istirahat. Pak Malik yang sejak tadi menenangkan dan mengajak istrinya untuk istirahat diabaikan. Untunglah beliau sadar dan mengerti bahwa istrinya sekarang masih terpukul dengan kepergian Bryan, itu sebabnya wanita itu tak mau jauh dari anaknya yang lain.
"Shaka! Kita akan bicara begitu Mama sudah bisa di tinggal. Papa tunggu di teras samping."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!