Nimas mengerutkan kening. Pasalnya ia tidak tahu siapa pria yang menanyakan dirinya, untuk apa yang mencari dirinya.
"Mas siapa, ya?"
"Maaf saya sedang mencari Nimas. Apakah benar ini alamatnya?"
"Iya, saya Nimas. Ada apa, ya?"
Deg!
Tiba-tiba sentakkan dari jantung Shaka terasa begitu nyata. Hanya sekali, tapi begitu terasa di seluruh tubuhnya.
Hari hampir senja, sengaja Shaka langsung datang ke kos Nimas setelah mengobrak-abrik kamar Bryan untuk memberitahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Sejak pemakaman Bryan tadi, ia benar-benar tak bisa memfokuskan diri pada sang Kakak.
Fokusnya terbelah karena sejak detik kematian sang Kakak, amanah yang diberikan oleh pria itu terngiang dan memenuhi rongga telinganya. Ia tidak akan tenang sebelum menemui gadis yang menjadi kekasih kakaknya itu.
Bryan adalah pria yang tertutup, ia tak pernah memperkenalkan kekasihnya pada keluarganya. Bahkan saudara kakak beradik itu sebenarnya terjalin baik dan dekat, namun Bryan tak pernah menceritakan apapun pada adiknya.
Ini adalah pertama kalinya Shaka bertemu dengan gadis yang berhasil meluluhkan kulkas seperti kakaknya.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Shaka berjalan mendekati teras.
"Bisa. Di sini nggak apa-apa, kan? Kos di sini hanya berisi kamar tidur dan kamar mandi. Jadi tidak ada ruang tamu." Nimas menjawab dengan ramah, tidak mempunyai firasat atau pikiran apapun mengenai datangnya sosok pria yang bahkan tak ia kenal.
"Nggak apa-apa. Di mana saja bisa." Shaka duduk di teras kos yang kemudian di susul oleh Nimas.
"Mas siapa, ya? Apa kita kenal? Kayaknya ini pertama kalinya kita bertemu." Nimas tak bisa menyembunyikan ke kepo annya lebih lama.
"Saya Shaka. Saya adiknya Bryan."
Nimas semakin tidak mengerti, ia mengharapkan kedatangan Bryan, bukan adiknya, lagi pula untuk apa Bryan menyuruh adiknya ke sini? Berbagai pertanyaan akhirnya bergelantungan di kepala Nimas.
"Oh, iya. Tapi aku nggak ngerti kenapa dia nyuruh kamu ke sini? Apa terjadi sesuatu sama dia?"
"Aku ke sini untuk memberi tahu kamu kalau, besok kamu harus bersiap ke rumah. Sekalian kamu bawa baju-baju kamu."
"Tunggu, untuk apa? Maksudku aku mau di bawa ke mana?"
"Kamu akan mengerti besok. Cukup turuti apa yang aku minta. Itu pesan dari Kak Bryan."
"Ke mana dia? Kenapa nomernya nggak bisa dihubungi? Kenapa dia nggak ke sini langsung?"
"Besok kamu akan ketemu sama dia. Makanya sekarang aku kasih tahu untuk kamu siap-siap. Besok aku akan kembali pukul sembilan pagi. Kamu harus sudah siap."
"Kamu lagi yang jemput aku?"
"Iya. Siapapun yang jemput sama aja, kan? Ya udah aku cuma mau bilang itu. Aku permisi pulang, ya. Udah mau gelap."
Nimas menganggukkan kepala dengan wajahnya yang terlihat masih bingung. Tidak ada yang bingung jika berada di posisi Nimas. Adik dari kekasihnya datang dan mengatakan akan menjemputnya esok hari. Sementara ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi dengan kekasihnya.
***
Shaka mengemudikan mobilnya dengan deraian air mata. Ia berduka untuk kakaknya, orang tuanya, dan juga dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Ia harus menikahi gadis yang sama sekali tidak ia kenal. Di satu sisi, ia pun juga memiliki kekasih yang sudah ia pacari selama dua tahun.
Shaka menepikan mobilnya karena merasa tidak bisa membawa kendaraan di saat kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya ia telungkupkan di atas setir bundar mobilnya, pundaknya bergetar hebat. Tangisan yang sejak tadi ia tahan selama proses pemakaman kakaknya, akhirnya tumpah ruah di bawah langit yang mulai gelap.
Semuanya terlihat tidak adil bagi Shaka. Berkali-kali hatinya menanyakan kepada Tuhan, kenapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Kenapa harus dirinya yang mempertanggungjawabkan perbuatan kakaknya?
Shaka berada dalam kebingungan yang luar biasa. Di satu sisi ia begitu mencintai kekasihnya, ini pasti terlihat sangat menyakitkan dan tidak adil baginya. Namun, di sisi lain amanah kakaknya juga harus ia tunaikan, karena itu adalah permintaan terakhir dan hanya itu yang bisa diucapkan oleh kakaknya.
Di tengah tangisnya, ponsel yang sejak tadi berada di dalam saku tiba-tiba berdering.
"Iya Pa, ada apa?" tanya Shaka berusaha untuk menekan suaranya agar terlihat baik-baik saja.
"Kok ada apa? Kamu ini ke mana? Orang masih berduka kok kamu kelayapan? Mama nyariin kamu, katanya kamu dari tadi nggak kelihatan. Mama masih trauma sama kecelakaan yang menimpa kakakmu. Janganlah buat dia semakin terpuruk, ketika melihat mobil kamu nggak ada, Mama teriak-teriak."
"Iya tadi aku ada kepentingan, aku pulang sekarang. Ini udah di jalan mau pulang kok."
"Ada yang lebih penting dari keluargamu? Dasar keterlaluan kamu, Shaka! Pulang sekarang!" Pak Malik sedikit marah mendengar jawaban dari Shaka. Beliau merasa anak bungsunya itu menomorduakan keluarga.
"Setelah ini pasti akan ada pertentangan dan juga masalah yang datang bertubi-tubi padaku. Sepercaya itu padaku Kau Tuhan, Kau menimpakan beban hidupku yang besar, bahkan membayangkan saja aku tidak bisa."
Shaka bergumam sendirian. Ia mulai sadar kenapa Bryan tidak pernah menceritakan kekasihnya pada keluarganya dan juga pada dirinya. Kehidupan kekasihnya yang sederhana mungkin saja menjadi momok bagi Bryan jika ia menceritakan background Nimas.
Shaka mengemudikan mobilnya dengan cepat, ia ingin segera sampai rumah. Ia tidak mau membuat keluarganya semakin memikirkan ia dan juga salah paham dengan kepergiannya.
"Papa mana anakku? anakku mana, ke mana mereka? Bryan baru saja meninggalkan aku, Pa. Shaka ke mana?"
Shaka mendengar tangisan ibunya yang begitu menyayat hatinya, tangisan ibunya adalah sebuah luka untuk Shaka. Pria dua puluh delapan tahun itu pun berlari menghampiri ibunya yang masih meraung di ruang tamu.
"Mama aku di sini, Ma. Aku nggak ke mana-mana." Shaka menghampiri ibunya dan memeluk ibunya dengan erat. Air matanya kembali luruh melihat ibunya yang masih nampak terpukul dan syok dengan kepergian kakaknya.
Ya Tuhan. Bagaimana caraku memberitahu Mama dan Papa bahwa ada tanggung jawab yang harus kita tanggung. Mereka tadi juga mendengar ucapan terakhir Kak Brian, tapi kenapa mereka seolah tidak mendengarnya? Astagfirullah, Shaka sabarlah! Jangan membahas masalah itu sekarang.
"Jangan pergi tanpa izin Mama. Jangan buat mama takut, Mama cuman punya kamu. Kakakmu sudah jahat, kakakmu tega ninggalin Mama." Bu Marissa berucap dengan masih terisak.
"Mama, mau sampai kapan Mama seperti ini terus? Mama boleh sedih, tapi jangan seperti ini, Ma. Ini akan membuat Kak Brian sedih juga, jalannya nanti tidak terang. Mama harus ikhlas. Mama masih punya aku dan Papa."
Tak tega melihat ibunya yang terus terisak, akhirnya Shaka mengajak ibunya ke kamar untuk istirahat. Pak Malik yang sejak tadi menenangkan dan mengajak istrinya untuk istirahat diabaikan. Untunglah beliau sadar dan mengerti bahwa istrinya sekarang masih terpukul dengan kepergian Bryan, itu sebabnya wanita itu tak mau jauh dari anaknya yang lain.
"Shaka! Kita akan bicara begitu Mama sudah bisa di tinggal. Papa tunggu di teras samping."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sehat
2023-03-08
0
Serli Ati
mama bryan melihat orang bukan dari segi pribadi ya tapi dari segi harta dan jabatan, itu yg buat bryan diam dan tak pernah jujur pada keluarganya tentang nyimas.
2022-12-28
0