"Raisa? Kamu ada di sini? Sejak kapan?" Shaka berjalan menghampiri kekasihnya yang berdiri di tengah pintu.
"Sejak kamu bilang kamu harus menikah dengan Nimas. Ada apa ini, Shaka? Kenapa kamu harus menikahi dia?"
Shaka tak tega, melihat mata kekasihnya yang sudah berembun membuat hati Shaka semakin sakit. Ia tahu apa yang ia lakukan ini pasti akan menyakiti Raisa, sangat menyakitinya. Hubungan mereka sudah terjalin dua tahun. Bahkan, Shaka sudah pernah membicarakan pernikahan dengan Raisa. Mereka akan menikah begitu Bryan juga sudah menikah. Tapi ternyata Sang Pemilik Kehidupan berkehendak lain, sebagai manusia biasa kita bisa apa? Bukankah semua kejadian yang terjadi adalah kehendak dari-Nya?
"Raisa, aku akan jelaskan padamu pelan-pelan. Ini akan menyakitkan buat kita, tapi yang aku lakukan ini untuk memenuhi permintaan dan amanah dari Kak Bryan. Ini berat buat aku, kamu dan mungkin orang-orang yang ada di sekeliling kita. Aku sayang sama kamu, tapi Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bersatu sekarang dan entah sampai kapan. Aku harus menikah dengan gadis yang sudah dihamili oleh Kak Bryan. Ini permintaan terakhir dia, Sayang. Aku minta maaf."
"Lalu aku bagaimana? Dengan mudahnya kamu mengorbankan cinta kita, Shaka! Aku benci sama kamu!" sentak Raisa lalu berlari dari sana dengan deraian air mata.
Gadis itu tak mau lagi mendengarkan lebih jauh tentang rencana konyol kekasihnya yang akan menikahi gadis asing. Raisa berpikir bahwa dirinya tidak lebih berharga dari pada perempuan itu.
Shaka mengejar kekasihnya, ia tahu hatinya sedang sakit saat ini. Mungkin sedikit pelukan perpisahan akan menjadi obat yang hanya menyembuhkan luka sesaat saja. Tapi setidaknya mereka ada pelukan hangat di pertemuan mereka yang terakhir ini. Shaka suah membulatkan tekad bahwa ia akan menikah dengan Nimas.
"Raisa. Jangan berpikir aku mudah melakukan ini. Kamu sakit, aku pun ikut sakit. Aku berada di posisi yang tidak mudah. Amanah Kak Bryan sangat mengganggu pikiranku. Aku harus melakukannya, memang tidak ada kewajiban bagiku untuk menikah dengan dia. Kehamilan Nimas bukan tanggung jawab aku, tapi ada janin keluarga Narendra di rahim Nimas. Ada darah daging keluarga kami di sana. Aku berat untuk melakukan ini, ini terlalu menyakitkan tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Percayalah, ini tidak mudah bagiku." Shaka berusaha untuk menggenggam tangan Raisa, namun gadis itu terus menepis tangan Shaka. Seoalah ia tidak mengizinkan pria itu untuk menyentuhnya seperti yang sudah-sudah.
Merasa sakit hati dengan keputusan kekasihnya. Akhirnya muncul pemikiran jahat di pikiran Raisa.
"Aku nggak mau tahu. Kamu harus ceraikan Nimas di saat dia sudah melahirkan, jangan sentuh dia. Dia pun tidak boleh menyentuhmu, kamu milikku, Shaka. Bukan kamu yang menghamili dia. Berikan saja dia dan anaknya kehidupan yang layak. Itu sudah tanggung jawab. Aku terima keputusan kamu, tapi kamu juga harus menerima dan mengabulkan permintaan aku. Permintaan Kak Bryan yang konyol saja mati-matian kamu laksanakan, masa permintaan aku nggak?" tantang Raisa.
Diam. Shaka benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Tidak ada yang mengerti dirinya, tidak ada yang mengerti posisinya yang sulit saat ini. Bagaimana orang-orang di sekitarnya malah memberikan pilihan-pilihan yang semakin membuat hidup Shaka tidak bergairah. Bagaimana bisa pernikahan dianggap lelucon oleh kekasihnya.
"Kenapa nggak bisa jawab kamu? Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, Shaka!"
Untuk yang kedua kalinya Raisa pergi tanpa mendengarkan ucapan dari Shaka.
Tidak bermaksud untuk mengabaikan Raisa pergi sendiri di hari yang sudah malam. Tapi Shaka merasa seberapa besar usahanya untuk meyakinkan orang-orang di sekelilingnya tidak akan pernah bisa ada yang mengerti dan menerima keputusannya dengan baik.
Semua orang yang berada di sekelilingnya sudah dipastikan akan menentang apa yang menjadi keputusannya. Memang ini terlihat konyol, terlihat tidak masuk akal. Siapa yang melakukan dan siapa yang bertanggung jawab. Tapi kenapa tidak ada yang bisa mengerti dan memposisikan diri sebagai Shaka. Bukankah sebuah beban, jika kita diberi amanah oleh orang yang sudah meninggal lalu kita tidak bisa menjalankan amanah itu, apakah tidak menjadi beban seumur hidup?
"Apakah mereka mengira bahwa aku tidak merasakan sakit dengan keputusan yang aku ambil? Apakah tidak ada yang peduli dengan perasaanku satu orang pun? Kenapa mereka begitu egois?" Shaka terduduk di sofa ruang tamu dengan menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Hari terberat yang pernah ia lewati adalah hari ini dan mungkin akan seterusnya menjadi hari terberat untuk Shaka.
Langkah-langkah yang tidak lagi bersemangat seperti sebelum-sebelumnya, Shaka menggerakkan kakinya untuk menuju ke kamarnya. Ruangan yang paling nyaman dan bisa membuatnya tenang. Ruangan pribadinya yang sejauh ini bisa membuatnya lupa dengan permasalahan duniawi, tapi mulai detik ini, ia tidak tahu apakah kamar yang selama menjadi tempat tercandu baginya akan membuatnya merasakan nyaman dan tenang seperti sebelumnya.
Kepala Shaka begitu berat, ini baru rencana dan permulaan, tapi dirinya begitu tersiksa dengan keadaan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ketika ia sudah menikah dengan Nimas nantinya, badai yang menghantam tidak seringan yang ia kira. Ia sudah membayangkan kehidupannya mulai detik ini dan seterusnya akan terasa berat. Ia tidak tahu apakah ia bisa menjalaninya atau tidak.
***
Resah, gundah, dan cemas itulah yang sejak tadi Nimas Rasakan. Hingga larut malam, gadis itu tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Sejak tadi ia hanya memindah-mindahkan posisi tubuhnya agar bisa terlelap, berusaha dengan keras agar bisa tidur, tapi nyatanya kedua bola matanya tidak kunjung terpejam. Nimas tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, pikirannya, dan juga hatinya.
"Kenapa aku sangat sulit untuk tidur? Aku bingung dengan apa yang terjadi, kenapa Bryan sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku tahu aku besok akan bertemu dengannya, tapi bukan berarti dia menghilang seperti ini, kan? Apa yang dilakukannya benar-benar membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak malam ini."
Ditengah heningnya malam dan juga dentingan jam yang terdengar begitu keras. Nimas sudah membayangkan akan bertemu dengan kedua orang tua Bryan yang sudah pasti hal pertama yang ia terima adalah hinaan, cacian dan juga makian. Gadis itu sudah berpikir sejauh itu. Bagaimanapun dan apapun yang terjadi sekarang adalah sebuah kesalahan, mau sengaja atau tidak, ia mengakui bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan yang besar dengan Bryan. Membesarkan hati untuk esok hari adalah satu-satunya pilihan yang tepat menurut Nimas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sehat
2023-03-08
0
Serli Ati
ternyata nyimas sifat ortu bryan ya thor....
2022-12-28
0