Ternyata tidak mudah bagi Shaka untuk meninggalkan ibunya sendirian di kamar. Ibunya terus menggenggam tangannya dengan erat seakan beliau enggan untuk ditinggalkan.
Pikiran Shaka masih terbang ke mana-mana. Sangat susah rasanya jika ia tidak memikirkan masalah ini barang sedetik saja. Shaka yang lelah sejak tadi tak beristirahat, merebahkan kepalanya di kepala ranjang. Ia diam menatap langit-langit kamar kedua orang tuanya.
Perlahan-lahan, mata Shaka mulai terasa berat. Padahal hari belum terlalu malam, namun rasanya ia sudah mengantuk dan sangat lelah. Hingga akhirnya tanpa sadar ia terpejam.
"Shaka! Tolong aku, kau pasti tidak ingin aku tidak tenang di sini, kan? Hanya dengan satu cara biar aku bisa tenang, Shaka. Tolong jalankan amanahku, aku tidak lagi meminta apapun. Tolong Shaka! Ada anakku di rahim Nimas. Penerus ku, penerus keluarga Narendra. Tolong Shaka, tolong!
"Kak, Kak Bryan jangan pergi, jangan pergi, Kak! Kak Bryan!" teriak Shaka terbangun dari tidurnya.
Pria itu terbangun dari tidurnya dengan nafas yang sudah terengah-engah, dahinya penuh dengan peluh keringat. Beberapa kali ia memejamkan mata untuk menenangkan dirinya sendiri. Untunglah ibunya tidak terbangun karena teriakannya.
Kebingungan dari Shaka seakan terjawab. Ia harus menikahi Nimas untuk ketenangan sang Kakak. Ia mengerti, mungkin saja arwah Bryan tidak akan istirahat dengan tenang jika tidak ada yang menanggung kehidupan kekasih dan juga anaknya.
Anak yang di kandung Nimas juga darah daging keluarga Narendra. Tidak ada yang salah jika ia menikah dengan perempuan yang seharusnya jadi kakak iparnya.
Teringat dengan pesan ayahnya yang ingin bicara empat mata, dengan perlahan ia memindahkan tangan sang Ibu dari tangannya. Lalu menyelimuti ibunya dengan benar dan beranjak pergi.
Hening.
Di rumah sebesar itu terasa hening sekali saat ini. Bahkan pijakan kakinya di lantai terdengar sangat jelas.
Mata Shaka ****** melihat sekeliling mencari keberadaan sang Ayah. Ia berjalan menuju meja bundar yang terletak di tengah teras, terdapat dua kursi yang terpajang di sana.
"Ada apa, Pa?" Shaka tanpa basa basi bertanya ke intinya setelah duduk di depan ayahnya yang sudah mulai nampak guratan keriput.
"Papa yakin kamu mendengar apa yang menjadi pesan Bryan tadi."
Akhirnya ada pembahasan untuk masalah ini.
"Semua orang yang di sana pasti mendengar, Pa. Pesan itu untukku, bagaimana mungkin aku tidak mendengar?"
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Apalagi? Memang apa yang bisa aku lakukan selain menjalankan apa yang sudah diamanahkan? Ya aku akan menikahi Nimas, aku tadi sudah bertemu dengannya. Aku tadi pergi untuk menemui dia. Aku mengatakan padanya untuk berkemas dan pindah ke sini. Akan aku nikahi dia secepatnya."
Mata Pak Malik seketika mendelik. Beliau terkejut dengan apa yang dilakukan anaknya, bertindak sejauh itu tanpa membicarakan padanya adalah sebuah kesalahan.
"Apa kamu berpikir ini masalah sepele sampai kamu bertindak tidak izin ke Papa?" tanya Pak Malik dengan nada penuh penekanan.
"Bukan itu masalahnya, Pa. Aku harus cepat. Kalau tidak segera aku selesaikan, takutnya perempuan itu akan berpikir yang bukan-bukan dan malah akan berujung pada nama baik keluarga yang buruk. Pa, anak yang berada dikandungan Nimas adalah keturunan kita, darah daging kita, kalau kita nggak cepat bertindak aku takut dia akan terlunta-lunta."
"Tapi kita nggak tahu asal usul dia. Bagaimana kamu bisa bertindak gegabah begini?"
"Di saat seperti ini kenapa harus peduli dengan asal usul? Ini sudah genting, Pa."
"Iya kalau dia berkata jujur, kalau nggak? Papa takutnya perempuan itu mengarang cerita bahwa dia hamil anaknya Bryan. Bisa jadi dia hamil dengan laki-laki lain lalu meminta pertanggungjawaban Bryan. Papa percaya anak Papa nggak akan berbuat hal kotor seperti itu."
"Pa, kita hanya melihat Kak Bryan itu di rumah, di luar rumah kita nggak tahu dia bagaimana. Aku juga nggak percaya kalau Kak Bryan bisa melakukan hal itu. Tapi apakah mungkin Kak Bryan mati-matian berusaha bicara di tengah sakaratul mautnya kalau memang dia nggak melakukan itu? Kak Bryan mengakui kalau anak yang di kandung Nimas adalah anaknya, itu artinya Kak Bryan memang pernah melakukannya. Mau bagaimanapun pendapat Papa soal ini, aku akan tetap nikahi Nimas sesuai dengan apa yang sudah di pesankan Kak Bryan padaku."
"Shaka! Apakah ini tidak terlihat konyol? Kamu konyol kalau menikahi dia, apa kata orang kalau kamu tiba-tiba menikah dengan wanita hamil?orang-orang pasti mengira kamu menghamili dia. Nama baik keluarga kita juga akan buruk."
Sudah Shaka duga. Tindakan yang ia ambil tidaklah mudah. Akan ada banyak pertentangan, ujian, cobaan, dan juga rintangan yang sudah menunggu dirinya di depan mata. Ia sadar ini akan terasa sangat sulit. Tapi akan lebih sulit lagi jika ia mengabaikan pesan kakaknya yang sudah berada di dunia yang berbeda. Ia juga akan merasa bersalah pada kakaknya karena tidak menjalankan pesan terakhirnya.
"Nama keluarga kita memang sudah buruk, Pa. Tapi akan jauh lebih buruk, jika kita menelantarkan bayi yang ada di kandungan Nimas yang mau tidak mau, terima atau tidak, itu adalah darah daging kita sendiri. Yang ada di kandungan Nimas itu cucu Papa, loh. Anaknya Kak Bryan."
"Tapi bukan berarti kamu menikahi dia, Shaka! Cukup kita dengan memberinya uang, materi, juga kehidupan yang layak untuk dia dan juga anaknya itu sudah cukup tanggung jawab. Kenapa harus kamu menikahi dia juga? Yang dia butuhkan hanya materi, itu saja."
Shaka menggelengkan kepalanya tak percaya. Sebegitu tidak pedulinya Pak Malik pada Nimas. Di mana kah hati nuraninya? Kenapa sang Ayah bicara seakan tidak punya kesalahan dan dosa? Serendah itukah orang lain di mata Pak Malik? Kenapa ayahnya itu hanya berpikir bahwa semua orang merajakan materi seperti dirinya?
"Dia juga butuh tanggung jawab dari kita, Pa. Kita adalah kelurga laki-laki yang merusak Nimas. Aku di minta menikah dengan Nimas, maka akan tetap aku lakukan."
"Bagaimana dengan Raisa? Kamu tidak peduli dengan perasaan perempuan itu? Papa kenal dengan ayahnya, mau di taruh mana muka Papa kalau kamu memilih menikah dengan wanita lain tanpa sebab?"
"Tanpa sebab? Aku menikah dengan Nimas karena di hamil anak Kak Bryan, itu juga amanah terakhir dari Kak Bryan. Tanpa sebab dari mana, sih Pa?"
"Kamu nggak kenal dia, kita nggak ada yang kenal perempuan itu. Papa nggak akan pernah setuju jika kamu menikah dengan dia. Perempuan yang tidak jelas asal usulnya."
"Apakah Papa berpikir bahwa Kak Bryan akan memacari perempuan yang tidak jelas asal-usulnya? Kita hanya tidak tahu, Pa. Bukan berarti dia nggak jelas asal-usulnya."
"Kamu lebih memilih perempuan itu dari pada Papa? Orang tua kamu sendiri?"
"Papa aku mohon, kalian bukan pilihan. Jangan mengira aku mengambil keputusan ini tanpa berpikir. Jangan kira aku nggak berat melakukan ini, Pa. Aku sangat-sangat sakit dengan jalan hidup yang dipilihkan Tuhan untukku. Aku mencintai Raisa, aku mencintai dia. Tapi Kak Bryan memberiku amanah untuk menikah dengan Nimas, Pa. Aku sendiri berat menjalani ini." Shaka mulai kembali terisak. Ia akui ia sangat cengeng dan lemah saat ini.
"Siapa Nimas?"
Kedua pria itu mendongak dan membelalak begitu melihat siapa yang berada di tengah pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Erlinda
hei pak Malik itu adalah calon cucumu darah daging Bryan ..jadi orang kok seperti ga punya hati..ntar klo cucumu udah lahir dan besar jgn kau akui dia cucumu .seperti kebanyakan novel
2023-06-11
0
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-03-08
0
Serli Ati
ibu brian terjaga dari tidurnya, pasti dia tak setuju juga ya kan?
2022-12-28
0