Kedua orang tua Bryan dan juga adiknya berbondong-bondong berlarian di lorong rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa anak sulungnya mengalami kecelakaan.
Tidak bisa digambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Cemas, panik, khawatir, takut, semuanya bercampur aduk menjadi satu.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Nggak parah, kan? Apa banyak luka? Banyak darah yang keluar? Dokter, anak saya takut dengan darah, jangan biarkan dia melihat darah terlalu lama." Bu Marissa langsung memberondong pertanyaan begitu beliau sampai di ruangan sang anak.
Ekspresi dokter itu begitu datar. Dokter laki-laki berkacamata itu menggeleng dengan lemah.
"Maaf Bu, kecelakaan yang dialami oleh anak Ibu menyebabkan pendarahan di otak. Jadi...."
"Diam, jangan katakan anak saya tidak baik-baik saja," potong Bu Marissa lagi dengan histeris.
"Mama sabar, Ma. Jangan begini, Kak Bryan pasti baik-baik saja." Shaka menenangkan sang Ibu dengan memberikan pelukan.
"Dokter, apa bisa kita menjenguknya?" tanya Pak Malik yang nampak tegar, namun hatinya hancur tak berkeping.
"Silakan, Pak."
Tiga orang yang menjadi keluarga inti dari Bryan itu seketika menghamburkan dalam ruangan. Tidak ada hati orang tua yang tidak hancur melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai tempelan alat medis.
Bu Marissa adalah orang pertama yang memeluk anaknya dengan isakan yang memilukan.
"Bryan pasti kamu bisa bertahan, kamu bisa sembuh untuk Mama, Nak. Papa bawa Bryan keluar dari rumah sakit tidak berguna ini. Kita bawa dia keluar negeri, Pa. Dia pasti mendapat penanganan yang baik di sana. Lihatlah, Pa. Anak kita kesulitan bernafas. Bryan, Mama mohon jangan seperti ini, Nak." Bu Marissa nampak sangat terpukul dengan keadaan sang anak.
Nafas Bryan terlihat terengah-engah. Ia sedikit demi sedikit membuka matanya. Semuanya nampak buram di mata pria itu. Ia melihat ibunya yang meraung di sampingnya, ayahnya yang mengelap sudut netranya yang menitikkan air mata, sedangkan sang adik satu-satunya itu hanya dia menatap wajahnya tanpa berkedip.
Bryan merasa sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Berusaha untuk menguatkan diri agar bisa bertahan untuk menikahi kekasihnya, namun nampaknya sang pemilik kehidupan ingin segera berjumpa dengannya.
"Shaka! Ni-mas se-dang ha-mil anakku. To-long nikahi di-a, ja-ga dia se-perti kau ja-ga orang yang kau cin-tai. Ada da-rahku yang me-ngalir di ja-nin yang se-dang di kan-dung. Terima kasih."
Tuuuuuuuuttttt
Alat detak jantung yang terpasang di samping tubuh Bryan berbunyi dengan nyaring dan menampilkan garis lurus yang menandakan bahwa Bryan sudah pergi.
"Shaka panggil dokter, Shaka cepat panggil! Bryan jangan bercanda sama Mama Bryan. Bryan bangun buka matamu! Bryan kalau kamu nggak buka mata Mama marah, ya! Bryan bangun Mama bilang!" Ibu Marissa tak anti hentinya menyentak anaknya seraya menggoyang-goyangkan tubuh pria yang sudah ia lahirkan tiga puluh tahun yang lalu itu.
Semua ibu akan terpukul jika melihat anaknya pergi mendahului dirinya. Bu Marissa dengan sekuat tenaga menggoyang-goyangkan tubuh kaku sang anak agar segera membuka mata. Sangat nampak bahwa beliau tidak siap dan tidak terima dengan kepergian sang anak yang mendadak.
"Mama tenang Ma, Shaka sedang memanggil dokter tenanglah!" Pak Malik yang hatinya juga sama hancurnya dengan sang istri sangat berusaha untuk terlihat tegar.
Beberapa menit berlalu, Dokter pun datang dengan tergesa-gesa lalu memeriksa keadaan Bryan yang sudah tak bernyawa. Dokter itu sudah berusaha untuk memancing detak jantung Bryan agar kembali, namun semuanya sia-sia, Yang Maha Kuasa sudah berkehendak lain.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun, Maaf sekali Bu, Pak, pasien sudah berpulang."
Bagai ditikam peluru yang kecil, namun menyakitkan. Bu Marissa diam seketika ketika mendengar penuturan dari dokter laki-laki itu. Tubuh yang sejak tadi memeluk sang anak seketika luruh ke lantai. Gerakan itu diikuti oleh suaminya, tangannya sejak tadi tak lepas merangkul tubuh sang istri.
Jika Bu Marissa meraung-raung dipelukan sang suami. Berbeda halnya dengan Shaka yang tetap berdiri mematung di tempat seraya menatap kakaknya untuk yang terakhir kali. Air matanya juga mengucur deras membasahi pipinya.
Bukan hanya kepergian yang Bryan yang ia tangisi, tapi amanah yang terakhir yang didengar oleh kedua orang tuanya, namun mereka hiraukan. Kedua orang tuanya terlalu fokus dengan kepergian anak sulungnya, hingga mereka menulikan telinga jika anak sulungnya sudah meninggalkan kekasihnya bersama janin yang sudah tumbuh di rahim gadis yang sama sekali tidak dikenal oleh keluarganya.
Shaka memundurkan langkah hingga kakinya menyentuh sofa. Dirinya terduduk dengan lemas. Kepergian sang Kakak yang mendadak membuat setengah kewarasannya juga ikut pergi dibawa olehnya. Ditambah lagi melihat ibunya yang kacau membuat Shaka benar-benar ingin marah kepada Tuhan. Kenapa Tuhan harus memanggil kakaknya di saat kakaknya itu mempunyai tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di dunia. Kenapa harus sekarang?
***
Di lain tempat Nimas juga merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya. Sejak tadi ia mondar-mandir menunggu kabar dari Bryan. Gadis itu pun sudah menghubungi kekasihnya itu berkali-kali. Namun, nomornya tidak bisa dihubungi, hal itu membuat Nimas berpikir yang tidak-tidak. Ia takut jika Bryan mengingkari janjinya dan melarikan diri dari tanggung jawab yang harusnya ia emban.
Nimas kembali menangis karena hingga sore hari pria itu tak kunjung ada kabar. Gadis itu sudah pesimis dengan kehidupannya, ia sudah berpikir bahwa ia akan menanggung aib ini sendirian.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku, Bryan? Kamu tadi sudah janji sama aku kalau kamu akan tanggung jawab dengan kehamilan ini. Tapi kenapa sampai sekarang kamu nggak datang-datang? Kamu janji sama aku akan membawaku ke dokter, kenapa kamu nggak bisa dihubungi Brian? Kamu ke mana?" ujar Nimas di tengah isakannya.
Tak berselang lama terdengar mobil yang masuk ke dalam halaman kosnya. Nimas segera bangkit dari duduknya seraya menghapus air matanya yang sejak tadi mengalir deras bak hujan.
Nimas membuka pintu dengan perasaan lega dan juga senyuman yang sedikit mengembang. Ia sudah mengira pasti itu mobil Bryan. Sebab dirinya adalah satu-satunya penghuni kos yang selalu mempunyai tamu membawa mobil.
Namun, begitu langkah kaki Nimas dipijakan di teras, ia terkejut karena mobil yang terparkir di halamannya bukan mobil yang biasa dipakai Bryan. Sosok pria yang muncul di balik pintu mobil itu pun bukan pria yang ia kenal.
Nimas kecewa, ia memutar tubuhnya dan ingin masuk ke kamarnya kembali. Ia mengira itu adalah tamu penghuni kos lain.
"Permisi, Mbak maaf bisa saya bertanya?"
Teriakan dari Shaka membuat langkah Nimas terhenti. Ia melihat sekeliling, tidak ada orang yang berada di luar kos selain dirinya, itu artinya pria itu bertanya padanya. Mau tak mau akhirnya gadis itu kembali memutar tubuhnya menghadap halaman.
"Tidak ada orang lain yang ada di luar kos selain aku. Mas manggil aku? Mau tanya apa?"
"Iya, aku ingin bertanya padamu. Aku mencari seseorang yang bernama Nimas."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-03-08
0