CINTA Kandas Di Tengah Perjodohan
Kiran melihat wajah murka ayahnya yang mendapati anak gadisnya ditangkap oleh pihak berwajib sedang pesta narkoba.
Beruntunglah ketika di tes urine, Kiran bukan seorang pemakai hingga ia langsung dibebaskan oleh petugas polisi.
Ayahnya yang datang menjemputnya di kantor polisi, melihat Kiran tampak diam sambil memainkan jari jemarinya.
Wajah Kiran terlihat jengah melihat tampang ayahnya yang nampak gusar menatapnya kelam.
"Apakah kamu puas mempermalukan aku untuk menjatuhkan reputasi ku, hah?"
Semprot tuan Herlan karena sulit sekali mengendalikan kenakalan putrinya.
"Aku bukan pemakai dan aku tidak mempermalukan ayah. Hasil tes urine milikku negatif kenapa ayah meradang seperti itu?"
Balas Kiran acuh di hadapan para polisi muda yang menatapnya kagum dengan kecantikan Kiran.
"Heh polisi! Tidak usah menatapku liar seperti itu. Aku tidak akan pernah naksir kalian, jadi jangan terlalu percaya diri seperti itu."
Semprot Kiran lalu bangun dari kursinya berjalan keluar meninggalkan kantor polisi itu.
Para polisi muda itu hanya menggelengkan kepala mereka walaupun hati mereka mengakui tebakan Kiran memang benar kalau saat ini mereka jatuh cinta dengan putri konglomerat itu.
"Yudi! dengar apa kata gadis itu. Sekelas nona Kiran, kita ini tidak ada apa-apanya. Kita tidak sanggup membeli satu tas yang harganya selangit."
Ujar Joko pada temannya Yudi yang menatap pergi punggung Kiran.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bro. Asalkan kita punya upaya dengan tekad yang kuat, sepuluh gadis yang seperti dia bisa aku dapatkan."
Balas Yudi yang tak ingin diremehkan oleh rekannya.
"Iya sih bisa, tapi dengan cara korupsi."
Ucap Joko dengan tawa menggelegar diikuti teman-temannya yang lain.
"Sudah Yudi! Tidak usah mimpi terlalu tinggi. Kecantikannya cukup menjadi penghibur hati kita hari ini."
Timpal Eko lalu kembali ke tugas mereka masing-masing.
Begitu pula Yudi yang terlihat masih penasaran dengan Kiran.
Setibanya di mansion Tuan Harlan menyeret putrinya lalu di dorong duduk di atas sofa dengan kasar.
"Sampai kapan kamu akan mempermalukan ayahmu, hah?"
"Sampai ayah meninggalkan pelakor itu karena dia lebih pantas seperti kakak bagiku daripada menjadi ibu sambung."
Protes Kiran yang tidak menyetujui pernikahan kedua ayahnya dengan gadis yang lebih muda.
"Ayah dan ibumu tidak akan pernah bersatu lagi karena ibumu yang menginginkan perpisahan kami."
"Harusnya ayah mendukung ibu saat ibu harus melawan penyakit kangker rahim yang dideritanya, bukan mencari ibu baru untukku!"
Plakkkkk.....
Kiran memegang pipinya dan langsung masuk ke kamarnya.
"Harusnya aku lebih memilih tinggal dengan ibu daripada dengan ayahku yang sangat egois dan arogan."
Kiran menangisi keadaan ibunya yang sedang menjalani kemoterapi di Singapura.
"Jika hanya tidak suka dengan ibuku, harusnya tidak perlu menceraikannya.
Apakah seorang pria dewasa hanya memanfaatkan wanita sebagai pabrik anak dan pemuas syahwat mereka? Lebih baik aku tidak perlu menikah seumur hidupku dari pada bernasib buruk seperti ibuku." Gumam Kiran lirih.
Keesokan paginya, Kiran tidak bisa membuka pintu kamar gantinya. Kiran yang sudah mandi hanya mengenakan baju bathtub saja.
"Astaga! Siapa yang berani mengunci pintu kamar ganti ini?"
Kiran keluar mencari pelayannya di dapur sambil berteriak.
"Bibiiii....!"
"Iya non..!"
"Siapa yang mengunci kamar ganti..?"
"Itu non..bibi di perintahkan Tuan untuk...?"
"Hari ini kamu akan pulang ke kampung bibi Ina..!"
"Pulang kampung bibi Ina..? astaga, ayah! Apa-apaan ini ayah."
"Jika kamu tidak mau pulang ke desa itu, kamu tidak akan pernah mendapatkan perusahaan ayah!"
"Ayah! Aku masih kuliah, mana mungkin aku harus tinggal di kampung ayah."
"Sekarang teknologi makin canggih. Kamu bisa melakukan kuliah secara virtual. Kamu bisa mengejar semester singkat. Semua bisa dipermudah dengan uang dalam menempuh pendidikan."
"Astaga! Kenapa ayah tega sekali kepada Kiran, ayah? Kemarin ayah menceraikan ibu karena penyakitan dan sekarang ayah harus mengusirku dengan alasan salah pergaulan. Jelas-jelas aku tidak menggunakan obat terlarang apapun, aku hanya duduk nongkrong dengan mereka saja ayah."
"Iya, kamu hanya dugem dengan mereka, tapi lama kelamaan kamu akan masuk ke sarang mereka dengan menjebakmu agar kamu setara dengan mereka, sama-sama pemakai. Apakah kamu ingin merasakan dulu hidupmu hancur baru menyesali nya, hah?"
"Semua orang ayah atur sesuai dengan kemauan ayah, entah itu Kak Isma dan bang Rahil, ayah kendalikan kami seperti layang-layang sesuai dengan arah yang ayah mau, dan sekarang giliran aku."
Sungut Kiran lalu kembali ke kamarnya untuk menggantikan baju.
Dalam setengah jam mereka sudah siap berangkat ke kampung di antar oleh sopir pribadi Kiran.
"Bibi! Apa yang akan aku lakukan di sana nanti?"
"Kita bisa melakukan banyak hal non. Seperti berkebun, memasak dan membuat anyaman barang-barang rumah tangga."
"Apakah seperti itu orang kampung hidup bibi?"
"Iya non. Lagi pula nona akan melihat perkebunan buah-buahan apa saja yang di tanam pertani. Yang paling memuaskan saat kita panen buah atau sayuran."
"Astaga! Ini sangat membuatku gila. Lama kelamaan orang berpikir aku ini adalah anak petani bukan pengusaha." Umpat Kiran kesal.
"Nona Kiran! Anda di minta tuan untuk tidak menyebutkan diri nona sebagai anak pengusaha dan rahasiakan identitas nona dari orang kampung."
"Iya pak Miko, tidak usah diingatkan lagi. Emang ayahku ingin membuang anak-anaknya supaya ia bisa menikahi pelakor itu."
Mata Kiran terasa panas saat mengingat keluarganya satu persatu menjauh dari rumah sejak perceraian kedua orangtua mereka.
Kedua kakaknya lebih memilih tinggal di Australia dari pada menetap di Indonesia.
...----------------...
Ketika tiba di kampung bibi Ina, sudah pukul sembilan malam. Tubuh Kiran terasa sangat pegal membuat ia ingin tidur.
Sebenarnya rumah yang bibi Ina tempati adalah rumah pribadi tuan Harlan. Tuan Harlan juga memiliki kebun buah dan sayur. Bukan hanya perkebunan saja.
Ia bahkan memiliki peternakan ayam, sapi dan kambing yang dikelola oleh petani setempat.
Rumah seluas lima hektar itu di kelilingi tanaman sayuran, buah dan bunga yang membaur tanpa di atur kerapiannya.
Di dalam pekarangannya ada gazebo dan juga musholla kecil yang di bangun di samping rumah itu. Pagar rumah itu dibuat dari babu yang disusun begitu rapi dan tingginya hampir mencapai tiga meter. Kesan asri yang di dapatkan Kiran yang membuatnya berpikir ulang lagi untuk tinggal di kampung ini.
"Bibi Inna, di mana kamar Kiran? aku sudah ngantuk dan ingin tidur."
Ucap Kiran sambil melempar pandangannya ke segala sudut rumah yang begitu bersih dan rapi.
"Mari ikut bibi Ina, non Kiran!"
Ujar bibi Ina menunjuk kamar yang akan ditempati nona mudanya.
Kamar yang luas lima kali lima ini cukup besar dengan satu tempat tidur yang cukup lega untuk dirinya.
Fasilitas kamar itu sudah dilengkapi juga dengan AC, walaupun begitu tidak begitu bermanfaat karena cuaca di kampung itu sudah sangat dingin.
Dan beberapa perlengkapan lainnya seperti kamar hotel mewah yang benar-benar dirancang untuk memberikan kenyamanan untuk Kiran.
"Kalau rumahnya seperti ini, aku juga betah tinggal lama di sini."
Ucap Kiran merasa sangat puas dengan apa yang ia inginkan.
"Bibi! Apakah ini semua milik ayahku?"
"Iya nona."
"Nanti kalau orang tanya tentang aku, apa yang harus aku jawab?"
"Bilang saja kamu asisten rumah tangga yang bertugas di rumah ini. Kalau non tidak bisa menjelaskan lebih baik diam, biar bibi Ina yang akan mengatakan kepada mereka." Jawab bibi Ina.
"Ya sudah bibi, sekarang aku mau rehat dulu. Besok pagi aku ingin jalan-jalan melihat keadaan kampung ini." Ujar Kiran yang sudah menarik selimutnya.
Bibi Ina keluar dari kamar Kiran seraya mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang bersinar redup.
Keesokan paginya selepas sholat subuh bibi Ina sudah mencari sesuatu yang ada di kulkas untuk memasak sarapan pagi untuk Kiran. Tapi di kulkas belum ada isinya..
"Aduh! Kenapa jadi lupa begini. Sudah tahu baru tinggal di sini. Otomatis kulkas belum ada isinya.
Syukurlah aku bawa roti tawar dan selai coklat kacang dan keju. Jadi sarapan untuk nona Kiran itu saja." Ujar Bibi Ina bicara sendiri di dapur.
Ia mengeluarkan barang bawaannya dari Jakarta dan di rapikan di atas meja makan. Ada susu segar yang masih tersegel di letakkan di dalam kulkas dan juga beberapa makanan ringan di masukkan dalam toples.
Usai sarapan pagi, Kiran sudah berpenampilan rapi dengan baju santainya. Ia ingin mengunjungi kebun buah anggur yang dibicarakan bibi Ina.
Dengan di temani bibi Ina, keduanya sudah tiba di kebun yang di maksud.
"Bibi! Mana buah anggurnya..? Tanya Kiran sambil mendongakkan kepalanya seraya melihat buah anggur yang belum pada matang.
"Yah, ini belum saatnya panen non, kita cari buah yang lain saja." Ujar bibi Ina sambil menggandeng tangan Kinan.
Kinan melihat ada pohon rambutan yang begitu lebat buahnya dan sudah pada matang.
"Bibi! Kinan mau makan rambutan."
"Tapi alat untuk jolok nya tidak ada nona. Nanti saja bibi cari orang untuk manjat."
"Kalau begitu biar Kinan sendiri yang manjat bibi."
"Tapi, nanti nona Kiran bisa di gigit semut."
"Tenang bibi! Kiran akan hati-hati agar tidak menganggu semut nya. "
Kiran memanjat pohon rambutan itu dan mulai memetik beberapa buah rambutan sambil melihat jejak semut. Gadis ini tidak sadar sejak tadi seorang pemuda sedang memperhatikan dirinya.
Bibi Inna yang sedang mencari kayu bakar untuk memasak masuk ke dalam kebun yang luas berhektar-hektar itu.
Kiran yang keasyikan makan buah rambutan di atas pohon, tidak sadar ada semut yang merambah bahunya hendak menuju leher jenjangnya.
"Auhhght!" Teriak Kiran kesakitan hingga membuat posisi tubuhnya tergelincir dari pohon rambutan membuat ia terjatuh.
"Ibuuuu!"
Brukkkk...
Tubuhnya langsung disambut oleh seorang pria tampan berkulit eksotis. Nafas Kiran terengah-engah sambil melihat wajah tampan yang sedang memperhatikan wajahnya.
Deggggg..
"Alhamdulillah..! Siapa kamu...?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Junae Uju
Hadir Thor 🙋♀️ selamat utk karya barunya 😇👏👏
2022-12-01
1