Kiran melihat wajah murka ayahnya yang mendapati anak gadisnya ditangkap oleh pihak berwajib sedang pesta narkoba.
Beruntunglah ketika di tes urine, Kiran bukan seorang pemakai hingga ia langsung dibebaskan oleh petugas polisi.
Ayahnya yang datang menjemputnya di kantor polisi, melihat Kiran tampak diam sambil memainkan jari jemarinya.
Wajah Kiran terlihat jengah melihat tampang ayahnya yang nampak gusar menatapnya kelam.
"Apakah kamu puas mempermalukan aku untuk menjatuhkan reputasi ku, hah?"
Semprot tuan Herlan karena sulit sekali mengendalikan kenakalan putrinya.
"Aku bukan pemakai dan aku tidak mempermalukan ayah. Hasil tes urine milikku negatif kenapa ayah meradang seperti itu?"
Balas Kiran acuh di hadapan para polisi muda yang menatapnya kagum dengan kecantikan Kiran.
"Heh polisi! Tidak usah menatapku liar seperti itu. Aku tidak akan pernah naksir kalian, jadi jangan terlalu percaya diri seperti itu."
Semprot Kiran lalu bangun dari kursinya berjalan keluar meninggalkan kantor polisi itu.
Para polisi muda itu hanya menggelengkan kepala mereka walaupun hati mereka mengakui tebakan Kiran memang benar kalau saat ini mereka jatuh cinta dengan putri konglomerat itu.
"Yudi! dengar apa kata gadis itu. Sekelas nona Kiran, kita ini tidak ada apa-apanya. Kita tidak sanggup membeli satu tas yang harganya selangit."
Ujar Joko pada temannya Yudi yang menatap pergi punggung Kiran.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bro. Asalkan kita punya upaya dengan tekad yang kuat, sepuluh gadis yang seperti dia bisa aku dapatkan."
Balas Yudi yang tak ingin diremehkan oleh rekannya.
"Iya sih bisa, tapi dengan cara korupsi."
Ucap Joko dengan tawa menggelegar diikuti teman-temannya yang lain.
"Sudah Yudi! Tidak usah mimpi terlalu tinggi. Kecantikannya cukup menjadi penghibur hati kita hari ini."
Timpal Eko lalu kembali ke tugas mereka masing-masing.
Begitu pula Yudi yang terlihat masih penasaran dengan Kiran.
Setibanya di mansion Tuan Harlan menyeret putrinya lalu di dorong duduk di atas sofa dengan kasar.
"Sampai kapan kamu akan mempermalukan ayahmu, hah?"
"Sampai ayah meninggalkan pelakor itu karena dia lebih pantas seperti kakak bagiku daripada menjadi ibu sambung."
Protes Kiran yang tidak menyetujui pernikahan kedua ayahnya dengan gadis yang lebih muda.
"Ayah dan ibumu tidak akan pernah bersatu lagi karena ibumu yang menginginkan perpisahan kami."
"Harusnya ayah mendukung ibu saat ibu harus melawan penyakit kangker rahim yang dideritanya, bukan mencari ibu baru untukku!"
Plakkkkk.....
Kiran memegang pipinya dan langsung masuk ke kamarnya.
"Harusnya aku lebih memilih tinggal dengan ibu daripada dengan ayahku yang sangat egois dan arogan."
Kiran menangisi keadaan ibunya yang sedang menjalani kemoterapi di Singapura.
"Jika hanya tidak suka dengan ibuku, harusnya tidak perlu menceraikannya.
Apakah seorang pria dewasa hanya memanfaatkan wanita sebagai pabrik anak dan pemuas syahwat mereka? Lebih baik aku tidak perlu menikah seumur hidupku dari pada bernasib buruk seperti ibuku." Gumam Kiran lirih.
Keesokan paginya, Kiran tidak bisa membuka pintu kamar gantinya. Kiran yang sudah mandi hanya mengenakan baju bathtub saja.
"Astaga! Siapa yang berani mengunci pintu kamar ganti ini?"
Kiran keluar mencari pelayannya di dapur sambil berteriak.
"Bibiiii....!"
"Iya non..!"
"Siapa yang mengunci kamar ganti..?"
"Itu non..bibi di perintahkan Tuan untuk...?"
"Hari ini kamu akan pulang ke kampung bibi Ina..!"
"Pulang kampung bibi Ina..? astaga, ayah! Apa-apaan ini ayah."
"Jika kamu tidak mau pulang ke desa itu, kamu tidak akan pernah mendapatkan perusahaan ayah!"
"Ayah! Aku masih kuliah, mana mungkin aku harus tinggal di kampung ayah."
"Sekarang teknologi makin canggih. Kamu bisa melakukan kuliah secara virtual. Kamu bisa mengejar semester singkat. Semua bisa dipermudah dengan uang dalam menempuh pendidikan."
"Astaga! Kenapa ayah tega sekali kepada Kiran, ayah? Kemarin ayah menceraikan ibu karena penyakitan dan sekarang ayah harus mengusirku dengan alasan salah pergaulan. Jelas-jelas aku tidak menggunakan obat terlarang apapun, aku hanya duduk nongkrong dengan mereka saja ayah."
"Iya, kamu hanya dugem dengan mereka, tapi lama kelamaan kamu akan masuk ke sarang mereka dengan menjebakmu agar kamu setara dengan mereka, sama-sama pemakai. Apakah kamu ingin merasakan dulu hidupmu hancur baru menyesali nya, hah?"
"Semua orang ayah atur sesuai dengan kemauan ayah, entah itu Kak Isma dan bang Rahil, ayah kendalikan kami seperti layang-layang sesuai dengan arah yang ayah mau, dan sekarang giliran aku."
Sungut Kiran lalu kembali ke kamarnya untuk menggantikan baju.
Dalam setengah jam mereka sudah siap berangkat ke kampung di antar oleh sopir pribadi Kiran.
"Bibi! Apa yang akan aku lakukan di sana nanti?"
"Kita bisa melakukan banyak hal non. Seperti berkebun, memasak dan membuat anyaman barang-barang rumah tangga."
"Apakah seperti itu orang kampung hidup bibi?"
"Iya non. Lagi pula nona akan melihat perkebunan buah-buahan apa saja yang di tanam pertani. Yang paling memuaskan saat kita panen buah atau sayuran."
"Astaga! Ini sangat membuatku gila. Lama kelamaan orang berpikir aku ini adalah anak petani bukan pengusaha." Umpat Kiran kesal.
"Nona Kiran! Anda di minta tuan untuk tidak menyebutkan diri nona sebagai anak pengusaha dan rahasiakan identitas nona dari orang kampung."
"Iya pak Miko, tidak usah diingatkan lagi. Emang ayahku ingin membuang anak-anaknya supaya ia bisa menikahi pelakor itu."
Mata Kiran terasa panas saat mengingat keluarganya satu persatu menjauh dari rumah sejak perceraian kedua orangtua mereka.
Kedua kakaknya lebih memilih tinggal di Australia dari pada menetap di Indonesia.
...----------------...
Ketika tiba di kampung bibi Ina, sudah pukul sembilan malam. Tubuh Kiran terasa sangat pegal membuat ia ingin tidur.
Sebenarnya rumah yang bibi Ina tempati adalah rumah pribadi tuan Harlan. Tuan Harlan juga memiliki kebun buah dan sayur. Bukan hanya perkebunan saja.
Ia bahkan memiliki peternakan ayam, sapi dan kambing yang dikelola oleh petani setempat.
Rumah seluas lima hektar itu di kelilingi tanaman sayuran, buah dan bunga yang membaur tanpa di atur kerapiannya.
Di dalam pekarangannya ada gazebo dan juga musholla kecil yang di bangun di samping rumah itu. Pagar rumah itu dibuat dari babu yang disusun begitu rapi dan tingginya hampir mencapai tiga meter. Kesan asri yang di dapatkan Kiran yang membuatnya berpikir ulang lagi untuk tinggal di kampung ini.
"Bibi Inna, di mana kamar Kiran? aku sudah ngantuk dan ingin tidur."
Ucap Kiran sambil melempar pandangannya ke segala sudut rumah yang begitu bersih dan rapi.
"Mari ikut bibi Ina, non Kiran!"
Ujar bibi Ina menunjuk kamar yang akan ditempati nona mudanya.
Kamar yang luas lima kali lima ini cukup besar dengan satu tempat tidur yang cukup lega untuk dirinya.
Fasilitas kamar itu sudah dilengkapi juga dengan AC, walaupun begitu tidak begitu bermanfaat karena cuaca di kampung itu sudah sangat dingin.
Dan beberapa perlengkapan lainnya seperti kamar hotel mewah yang benar-benar dirancang untuk memberikan kenyamanan untuk Kiran.
"Kalau rumahnya seperti ini, aku juga betah tinggal lama di sini."
Ucap Kiran merasa sangat puas dengan apa yang ia inginkan.
"Bibi! Apakah ini semua milik ayahku?"
"Iya nona."
"Nanti kalau orang tanya tentang aku, apa yang harus aku jawab?"
"Bilang saja kamu asisten rumah tangga yang bertugas di rumah ini. Kalau non tidak bisa menjelaskan lebih baik diam, biar bibi Ina yang akan mengatakan kepada mereka." Jawab bibi Ina.
"Ya sudah bibi, sekarang aku mau rehat dulu. Besok pagi aku ingin jalan-jalan melihat keadaan kampung ini." Ujar Kiran yang sudah menarik selimutnya.
Bibi Ina keluar dari kamar Kiran seraya mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang bersinar redup.
Keesokan paginya selepas sholat subuh bibi Ina sudah mencari sesuatu yang ada di kulkas untuk memasak sarapan pagi untuk Kiran. Tapi di kulkas belum ada isinya..
"Aduh! Kenapa jadi lupa begini. Sudah tahu baru tinggal di sini. Otomatis kulkas belum ada isinya.
Syukurlah aku bawa roti tawar dan selai coklat kacang dan keju. Jadi sarapan untuk nona Kiran itu saja." Ujar Bibi Ina bicara sendiri di dapur.
Ia mengeluarkan barang bawaannya dari Jakarta dan di rapikan di atas meja makan. Ada susu segar yang masih tersegel di letakkan di dalam kulkas dan juga beberapa makanan ringan di masukkan dalam toples.
Usai sarapan pagi, Kiran sudah berpenampilan rapi dengan baju santainya. Ia ingin mengunjungi kebun buah anggur yang dibicarakan bibi Ina.
Dengan di temani bibi Ina, keduanya sudah tiba di kebun yang di maksud.
"Bibi! Mana buah anggurnya..? Tanya Kiran sambil mendongakkan kepalanya seraya melihat buah anggur yang belum pada matang.
"Yah, ini belum saatnya panen non, kita cari buah yang lain saja." Ujar bibi Ina sambil menggandeng tangan Kinan.
Kinan melihat ada pohon rambutan yang begitu lebat buahnya dan sudah pada matang.
"Bibi! Kinan mau makan rambutan."
"Tapi alat untuk jolok nya tidak ada nona. Nanti saja bibi cari orang untuk manjat."
"Kalau begitu biar Kinan sendiri yang manjat bibi."
"Tapi, nanti nona Kiran bisa di gigit semut."
"Tenang bibi! Kiran akan hati-hati agar tidak menganggu semut nya. "
Kiran memanjat pohon rambutan itu dan mulai memetik beberapa buah rambutan sambil melihat jejak semut. Gadis ini tidak sadar sejak tadi seorang pemuda sedang memperhatikan dirinya.
Bibi Inna yang sedang mencari kayu bakar untuk memasak masuk ke dalam kebun yang luas berhektar-hektar itu.
Kiran yang keasyikan makan buah rambutan di atas pohon, tidak sadar ada semut yang merambah bahunya hendak menuju leher jenjangnya.
"Auhhght!" Teriak Kiran kesakitan hingga membuat posisi tubuhnya tergelincir dari pohon rambutan membuat ia terjatuh.
"Ibuuuu!"
Brukkkk...
Tubuhnya langsung disambut oleh seorang pria tampan berkulit eksotis. Nafas Kiran terengah-engah sambil melihat wajah tampan yang sedang memperhatikan wajahnya.
Deggggg..
"Alhamdulillah..! Siapa kamu...?"
Kiran yang merasa semut yang sudah masuk ke dalam bajunya, membuatnya menggaruk tubuhnya seperti cacing kepanasan.
"Aduh! Kenapa tubuhku seakan penuh dengan semut?" Gumam Kiran hendak membuka bajunya namun diurungkan niatnya karena masih ada pria tampan di depannya.
Kiran menatap wajah tampan itu dengan wajah memerah menahan gatal pada tubuhnya karena gigitan semut yang menggerayangi tubuhnya.
"Apakah kamu bisa berbalik?"
Tanya Kiran yang sudah tidak tahan lagi ingin membuka bajunya saat ini.
"Kamu mau apa?"Pria tampan
yang bernama Kenan ini pura-pura bertanya untuk membuat Kiran makin kesal dengan dirinya.
"Dasar bodoh! Tentu saja aku ingin membuka bajuku, apakah kamu sengaja ingin melihat tubuhku, hah!"
Bentak Kiran dengan manik hitam itu melebar tajam menatap wajah Kenan.
"Apakah kamu tidak malu buka baju di alam terbuka seperti ini?"
Tanya Kenan yang terlihat heran dengan kenekatan Kiran.
"Dari pada tubuhku digigit semut, setidaknya aku tidak perlu memikirkan malu." Protes Kiran.
Rasanya Kenan ingin ngakak saat itu juga namun ia tidak mau memberikan kesan buruk pada gadis kota yang baru dikenalnya ini.
"Cepatlah berbalik dan tolong awasi orang lain, semut sedang merayap di tubuhku!"
Pinta Kiran dengan wajah bersemu merah karena menahan gatal yang makin menjadi.
Kenan segera berbalik sambil menahan tawanya melihat wajah Kiran yang terlihat lucu dan menggemaskan di hadapannya.
"Awas, kalau kamu berbalik kalau belum aku pinta!" Ancam Kiran.
"Cepatlah sebelum aku berubah pikiran, nona cantik!" Goda kenan.
"Cih! Dasar laki-laki mesum!" batin Kiran.
Kiran segera membuka bajunya dan mengibas nya dengan kencang. Ia melihat tubuhnya sudah pada bentol.
"Astaga! kulitku pada bentol semua. Mana masih gatal lagi." Keluh Kiran.
"Apa bentol..?" Tanya Kenan spontan ingin balik tapi sudah di cegah Kiran.
"Awas! Jangan berbalik!" Ingat Kiran pada pemuda bertubuh atletis itu.
"Sebaiknya kamu mandi di sungai untuk mengurangi rasa gatalnya.
"Di mana sungainya? Tolong antar aku ke sana!"
Pinta Kiran yang sudah memakai lagi bajunya.
"Ayo ikut aku!" Ajak Kenan.
Tunggu dulu, ini masih sangat gatal. Apakah kamu bisa menggaruknya dari luar bajuku? Tolonglah!"
"Apakah boleh?"
"Aku mengijinkannya cepatlah!"
Pinta Kiran yang merasa sangat tersiksa dengan gatal pada tubuhnya terutama di punggungnya yang sulit dijangkau oleh tangannya.
Kenan berusaha menggaruk punggung Kiran dari luar kaos gadis ini. Tapi Kiran tetap saja belum merasa puas.
Ia meminta Kenan untuk memasukkan tangan pria itu ke punggungnya dan Kenan menurutinya tanpa melihat punggung mulus Kiran.
Walaupun hanya sentuhan tanpa melihat punggung Kiran, namun sebagai laki-laki normal Kenan begitu gugup melakukannya.
Apa lagi merasakan langsung kulit lembut milik Kiran membuat ia harus menelan ludahnya dengan gugup.
Sang junior dibawah sana ikut berkedut merasakan kelembutan ujung jarinya yang mengenai kulit lembut Kiran.
Gadis ini menikmati garukan lembut Kenan yang sudah mengurangi rasa gatalnya.
"Apakah sudah lebih nyaman, nona?"
"Iya. agak mendingan. Sebaiknya aku mandi saja. Tolong antar aku ke sungai itu!"
Pinta Kiran terlihat sangat malu pada Kenan.
Kenan berjalan duluan sementara Kiran mengikutinya dari belakang. Setibanya di sungai, Kiran begitu senang dan langsung masuk ke dalam kubangan air yang membentuk kolam yang ada di balik batu besar.
"Sekarang kamu mandilah dan aku akan menjagamu!"
Ucap Kenan sambil memperhatikan area sekitarnya.
Tidak lama muncul bibi Ina yang sedang membawa seikat kayu bakar yang diikat di balik punggungnya.
"Ya Allah non! Bibi dari tadi mencari mu di kebun, nggak tahunya kamu malah mandi di sungai."
Bibi Ina terlihat cemas saat melihat Kiran menghilang.
"Kiran digerayangi semut bibi, makanya Kiran langsung di ajak mandi sama...?"
Kiran melihat di sekitarnya ternyata Kenan sudah menghilang begitu saja.
"Ke mana cowok itu? Aduh, mana aku belum sempat berkenalan dengannya lagi."
Batin Kiran kesal dengan Kenan yang menghilang begitu saja.
"Diajak sama siapa non? Dari tadi bibi tidak melihat siapa-siapa di sini."
"Oh, maksud Kiran, tadi Kiran mau mengajak bibi mandi di sungai ini." Ujar Kiran berbohong.
"Ya sudah non! sekarang sudah siang. Kita harus masak makan siang." Ujar bibi Ina.
"Kita makan siang pakai apa bibi?"
"Bibi sudah suruh beberapa pekerja untuk mengantar ayam potong dan ikan gurame ke rumah."
"Ayamnya mau di masak apa bibi?"
"Sesuai dengan kesukaan non Kiran. Ayam bakar dan ikan gurame goreng, sambal dan lalap."
Sahut bibi Ina sambil menelan salivanya karena sudah tergiur dengan masakan yang akan mereka masak untuk makan siang dan makan malam untuk mereka berdua.
Kenan yang sedari tadi bersembunyi di balik batu besar yang agak jauh dari Kiran memperhatikan keduanya sedang ngobrol sementara ia tidak bisa mendengar obrolan itu karena terkecoh suara gemericik air sungai.
Kiran melihat dua wanita beda generasi itu berjalan menuju rumah mereka. Kiran yang masih merasa bingung dengan hilangnya Kenan membuat ia merasa ngeri sendiri.
"Apakah dari tadi aku sedang mengobrol dengan hantu kebun anggur atau jin tampan di kebun itu?"
Ujar Kiran sambil menoleh ke kiri dan kanan karena berharap bertemu lagi dengan Kenan.
Kenan yang begitu senang bisa berkenalan dengan Kiran hanya mengulum senyum membayangkan lagi bagaimana gadis itu menggaruk tubuhnya dengan banyak bentol di leher,
lengan dan mungkin keadaan di badannya juga seperti apa yang pasti banyak sekali bentol bekas gigitan semut yang sudah menghiasi tubuhnya.
...----------------...
Kiran berinisiatif membuat vlog untuk kegiatannya selama berada di kampung. Ia membantu bibi Ina memasak makan siang untuk mereka.
Satu ekor ayam kampung di bagi menjadi dua menu. Ada sup ayam dan ayam bakar madu. Ada juga ikan gurame goreng asam manis dan sayur capcay.
"Bibi! sepertinya kita berhasil menciptakan suasana makan siang ini terasa nikmat."
Kiran yang menyiapkan makan siang mereka di gazebo.
"Makanya non, hidup itu tidak perlu di buat susah. Di manapun kita berada di bawa santai saja."
Bibi Ina sudah duduk bersama Kiran siap menikmati makan siang mereka.
"Apakah non sudah mandi dan memakai salep?"
"Sudah bibi."
"Apakah gatalnya sudah berkurang?"
"Hmm!"
"Nanti habis makan minum obatnya."
"Baik bibi."
Keduanya saling menikmati makan siang mereka dengan video yang sedang merekam kegiatan mereka.
Sementara di atas pohon, Kenan asyik menikmati pemandangan indah wajah Kiran yang terlihat sangat cantik di alat teropong yang dipegangnya.
Seperti yang sudah di programkan tuan Herlan untuk putrinya selama berada di kampung, Kiran juga sedang belajar agama dengan ustazah yang di panggil bibi Ina ke rumah untuk mengajar mereka Al-Qur'an.
Selepas sholat magrib, Kiran belajar membaca Alquran sesuai dengan hukum bacaan yang benar.
Selama ini, Kiran sudah belajar Alquran selama ia duduk di bangku sekolah dasar. Apa lagi sekolah di sekolah berbasis Islam, jadi Alquran bukan hal langka untuknya.
Ia hanya mengulangi lagi bacaannya karena selama ini lebih sibuk dengan dunia ditambah permasalahan keluarganya yang membuatnya makin jauh dengan agama.
"Bacaan mu sungguh bagus Kiran. Al-Qur'an dibaca setiap hari, bukan hanya saat kita belajar. Kamu bisa membacanya kapan saja, apa lagi di saat hatimu sedang terbelit masalah, insya Allah Al-Qur'an solusinya.
Itulah mengapa Al-Quran menjadi mukjizat untuk nabi Muhammad karena kedahsyatannya yang bisa merubah hidup seseorang dan bahkan menyelamatkan hidupnya karena sudah dibimbing langsung oleh Allah melalui perkataaNya dalam Al-Qur'an."
Ucap ustaz Keysa.
"Apakah kita harus tetap membacanya walaupun tidak mengerti artinya?"
"Hmm!"
"Tapi, lebih afdol kalau kita mengkajinya jadi kita bisa memahami Alquran untuk mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nanti saya akan menambahkan pelajaran kita dengan mengkaji tafsirnya."
Imbuh ustazah Keysa.
"Terimakasih ustadzah."
"Kalau begitu saya pamit dulu."
"Biar saya antar ustazah."
Kiran begitu semangat mengantar ustazah Keysa seakan ia mengerti jalan desa.
Setibanya di rumah ustazah yang terlihat sudah sepuh itu, Kiran pamit pulang.
"Ya ampun aku tadi lewat mana ya, saat ke sini? Mana sudah malam dan sepi lagi"
Kiran meremang sendiri berjalan kaki dengan mengandalkan senter di tangannya. Suhu udara begitu dingin malam itu. Kiran yang hanya memakai kaos tangan panjang yang cukup tipis membuatnya kedinginan ditengah cuaca yang sangat dingin menusuk tulangnya.
Kiran mempercepat jalannya karena melewati tempat yang makin jauh dari pemukiman warga dan cenderung ke arah pemakaman.
Angin dingin makin membuat bulu kuduknya berdiri, di tambah kucing yang sedang berantem saling mengeluarkan suara geraman yang menambah suasana horor malam itu.
Kiran menghentikan langkahnya dan mulai menangis karena bingung dengan jalan pulang.
Iapun berjalan mundur untuk kembali ke titik awal di mana rumah ustazah Keysa berada. Suara kucing kawin yang sudah saling bertemu membuat Kiran memutar tubuhnya hendak berlari ketakutan.
Saat tubuhnya berbalik ia menabrak seorang yang membuat Kiran berteriak histeris tapi langsung dibekap mulutnya oleh Kenan.
"Diam! kau akan memancing semua warga kampung menangkap kita di sini."
Ucap Kenan dengan masih membekap mulutnya Kiran.
"Uhhmm!"
Kiran ingin melepaskan diri dari bekapan tangan kekar Kenan.
"Kalau kamu diam akan aku lepaskan." Ujar Kenan.
Kiran mengangguk. Kenan akhirnya melepaskan tangannya dari mulut Kiran.
"Apakah kamu tersesat?"
Kenan membuka jaketnya dan membalut tubuh Kiran.
"Iya, aku bingung dengan jalan pulang kembali ke rumah."
Keluh Kiran terlihat masih takut.
"Jika kamu berjalan terus sampai ke sana, maka kamu akan bertemu dengan rumah masa depan manusia."
"Rumah masa depan manusia...? Maksud kamu apa..?"
"Itu pemakaman umum."
Duaaarrr.....
Sontak Kiran melompat ke tubuh Kenan saking takutnya.
"Gendong aku!" Jangan lepaskan aku!"
Kiran memeluk tubuh Kenan dengan kuat membuat Kenan mengangkat tubuh jenjang itu berkoala kepadanya.
"Dasar gadis ceroboh! selalu saja bertindak seenaknya. Apakah kamu kira ini di kota besar?" Kenan menyembunyikan tawanya sambil menggendong tubuh Kiran.
Kenan menggendong Kiran sampai ke tempat yang sudah mulai terlihat orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Pria tampan ini menurunkan tubuh Kiran agar gadis ini berjalan sendiri.
"Jangan menurunkan aku di sini! Aku masih takut."
"Tapi di sini sudah aman."
"Aman apanya. Rumah warga jaraknya saling berjauhan satu sama lain dan itu membuat aku masih takut.
Tolong gendong aku lagi!"
Rengek Kiran.
"Ok. Tapi nanti kalau sudah ramai kamu turun ya!"
"Hmm!"
"Kenapa kamu sangat nekat mau mengantar orang, tapi kamu sendiri tidak tahu jalan yang akan kamu lewati?"
"Aku pikir tadi itu dekat jalannya dari arah rumahku, ternyata sangat jauh dan berbelit-belit tempat tinggalnya ustazah." Ujar Kiran penuh penyesalan.
"Emang kamu tadi nggak hafal jalannya saat kamu antar ummi Keysa pulang?"
"Tidak! Aku sudah lupa karena ini malam. Lagian tadi aku keasyikan ngobrol jadi tidak sadar kalau aku harus menghafal setiap belokannya.
Rumah di sini terlihat hampir sama bangunannya, jadi tidak bisa dijadikan patokan untuk menandainya."
Ucap Kiran yang merasa sial malam ini.
Kenan membenarkan posisi tangannya agar lebih erat menggendong tubuh Kiran agar tidak mudah melorot.
Wangi parfum aroma bunga pada gadis ini membuat Kenan sangat nyaman menghirupnya.
Ditambah wajah mereka yang berhadapan dibawah cahaya bulan membuat keduanya saling menatap kagum wajah mereka masing-masing.
Debaran jantung keduanya seakan berpacu dengan waktu tapi tak beraturan seperti biasanya.
Entah mengapa Kiran sangat bersyukur bertemu lagi dengan pria tampan ini yang sudah menyita perhatiannya untuk memikirkan wajah tampan Kenan.
Begitu pula dengan Kenan yang tidak bisa tidur belakangan ini karena wajah cantik Kiran yang sudah menghipnotis jiwanya .
"Apakah rumah kamu dekat dari sini?"
Tanya Kiran untuk memecahkan kesunyian diantara mereka.
"Apakah kamu ingin menginap?"
Goda Kenan membuat wajah Kiran terlihat seperti tomat merah.
"Cih! Kau selalu saja menggoda imanku. Apakah kamu selalu menggoda gadis desa?"
"Mereka tidak secantik dan seceroboh kamu. Sementara aku senang gadis yang tipikalnya seperti kamu. Itu sangat membuat aku tertantang."
Ucap Kenan apa adanya.
"Ternyata kamu tipikal perayu wanita yang sangat handal. Kamu memanfaatkan ketampananmu untuk menggodaku." Ujar Kiran.
Kenan melihat di sekitarnya sudah mulai aman dan banyak orang dari kejauhan. Ia segera menurunkan Kiran yang juga merasa nyaman untuk berjalan sendiri.
"Sekarang sudah aman. Sudah ada orang di sekitarmu jadi kamu bisa pulang sendiri ke rumahmu." Ujar Kenan.
"Tapi aku tidak tahu jalan pulang. Tolonglah, apa kamu bisa mengantarkan aku pulang hingga tiba di rumah?"
"Kamu hanya tinggal berjalan lurus saja. Nanti ada dua blok gang yang harus kamu lewati baru kamu bisa menemukan rumahmu."
Ujar Kenan seraya mengarahkan tangannya ke arah Jalan yang akan di lewati Kiran.
"Tapi aku mau di antarkan sama kamu."
Pinta Kiran yang masih belum berani jalan sendiri.
" Baiklah. Aku akan mengantarmu tapi tidak sampai rumah."
Kiran mengangguk setuju. Ia segera berjalan duluan sambil di awasi Kenan untuk menghindari fitnah orang-orang kampung.
Kiran yang baru saja berjalan menuju rumahnya di cegah oleh tiga orang pemuda yang sedang menggodanya.
"Hai non!"
Sapa ketiga pemuda itu namun tidak di gubris oleh Kiran. Kenan yang mengawasi Kiran dari jauh menunggu reaksi dari Kiran, jika gadis ini berteriak, ia akan menolongnya.
"Apakah Abang boleh anterin, non?"
Seorang pemuda mencoba memegang bahu Kiran namun langsung ditepis oleh Kiran.
"Hai, jaga sikap anda!"
Bentak Kiran begitu berani karena tidak ingin dilecehkan.
"Wah! Kalau dia marah makin tambah cantik saja non."
Ujar pemuda yang lainnya yang menghalangi jalannya Kiran.
"Ehm.. ehmm!"
Tegur Kenan sambil berdehem.
Tiga pemuda itu langsung tersentak melihat tampang dingin dengan pandangan membunuh menatap mereka dengan wajah kelam.
"Bang kami minta maaf!"
Tiga pemuda itu langsung kabur karena tidak mau berurusan dengan Kenan yang memiliki aura seperti tampang pembunuh.
"Apakah kamu tidak ingin pulang?" Kenan sedikit menekan suaranya pada Kiran.
"Baik!"
Kiran juga ikut takut melihat perubahan wajah Kenan yang sudah tidak selembut tadi.
Ia berjalan cepat dengan pertanyaan di pikirannya.
"Siapa pria itu? mengapa orang pada takut saat melihat wajahnya? Apakah dia seorang siluman?"
Kiran makin merinding dan memutuskan secepatnya untuk kembali ke rumahnya.
"Nona Kiran!"
Panggil bibi Ina yang menunggu Kiran yang sejak tadi tidak kunjung pulang. Perempuan paruh baya itu menghampirinya.
"Iya bibi!"
"Dari mana saja, kenapa baru pulang?"
"Itu tadi Kiran nyasar malah jalan ke arah pemakaman. Beruntunglah ada pria itu yang ...? Kiran hendak menunjukkan ke arah Kenan, tapi tiba-tiba saja pria itu sudah menghilang.
"Pria siapa non?"
Tanya bibi Ina yang tidak melihat siapapun di jalan itu.
"Ke mana orang itu pergi?" Tanya Kiran lirih.
"Baiklah. Ayo cepat pulang. Di sini kalau malam selepas sholat isya sudah sepi."
"Kenapa pria itu seperti siluman? Ia selalu menghilang tiap kali kalau aku sudah bertemu dengan bibi Ina. Oh iya, ini mantelnya, kenapa aku sampai lupa mengembalikannya."
Gumam Kiran ketika sudah berada di rumahnya.
"Bibi Ina! Apakah desa ini sangat angker?"
"Ah, siapa bilang angker? Biasa saja non. Hanya saja kalau malam itu memang suka sepi kecuali saat masuk musim panen.
Malamnya selalu ada pesta rakyat sebagai luapan kegembiraan mereka atas keberhasilan bisa mendapatkan hasil yang memuaskan dari kerja keras mereka." Jelas bibi Ina.
Tapi jawaban bibi Ina tidak memuaskan Kiran. Masalahnya ia sangat penasaran dengan pria yang sudah dua kali ia bertemu, namun ia belum sempat menanyakan nama pria tampan yang sudah dua kali ia temui.
Kiran bersandar ditempat tidurnya sambil membayangkan wajah tampan Kenan yang sangat membuatnya penasaran.
"Siapa kamu? Mengapa sulit sekali bagiku untuk mengetahui dirimu. Kapan aku bisa bertemu denganmu kamu lagi?"
Kiran berusaha memejamkan matanya dan mengusir rasa takutnya dengan membaca doa apa saja agar hatinya merasakan ketenangan.
Doa itupun manjur untuknya. Ia segera terbang ke alam mimpi untuk bertemu dengan pria Siluman yang membuatnya ingin kepo tentang pria misterius itu.
...----------------...
Semenjak kejadian malam yang mengerikan itu, Kiran tidak berani lagi keluar rumah malam-malam sendirian lagi. Ia membiarkan ustazah Keysa diantar pulang oleh pelayannya usai mengajarnya mengaji.
Satu Minggu berada di dalam rumah dengan menyibukkan dirinya memasak apa saja sesuai dengan dengan petunjuk buku resep dengan tidak lupa membuat vlog.
Kenan mulai merasakan kerinduan pada Kiran yang tidak lagi ia temui.
"Apakah gadis itu sedang sakit? Kenapa dia tidak pernah lagi keluar rumah? Biasanya mereka makan siang di gazebo tapi ini tidak terlihat sama sekali."
Gumam Kenan lirih.
"Tuan! Apakah kita akan mengadakan pesta panen Minggu depan?"
"Nanti saja kita pikirkan lagi." Ucap Kenan pada tiga orang anak buahnya.
"Tapi warga menunggu keputusan Tuan."
"Aku akan memberikan jawabannya kepada mereka secepatnya. Tapi, sebelumnya aku ingin kalian melakukan sesuatu untukku.
Apakah kalian tahu salah satu rumah besar yang ada di desa ini?"
"Oh maksud tuan, rumah punya tuan Herland, pengusaha Jakarta itu?"
"Iya!"
"Ada apa dengan rumah itu tuan? bukankah rumah itu kosong?"
"Rumah itu sudah ada penghuninya. Aku ingin kalian ke rumah itu untuk mengantar kayu bakar."
"Apa hanya itu?"
"Tidak... ! Di dalam rumah itu di huni oleh dua orang wanita dan salah satunya adalah seorang gadis dan namanya Kiran.
Aku ingin kalian menyelidikinya dan antarkan buah anggur ini untuknya."
"Menyelidiki apanya tuan?"
"Apakah saat ini dia sedang sakit? sudah berapa hari ini aku tidak melihatnya. Bahkan tidak bisa melihatnya."
"Oh, jadi tuan kita lagi kasmaran?"
Cibir Agam sambil menatap wajah ketiga temannya yang ikut nyengir.
"Apakah kalian bisa diam, hah?"
"E..iya tuan, maaf!"
Ketiganya buru-buru pergi melakukan permintaan bos mereka.
Agam, Izzat dan Hendra mengantar kayu bakar ke rumah Kiran dengan membawa serta sekeranjang anggur.
Pelayan rumah Kiran merasa heran dengan kedatangan ketiga pemuda itu sambil menjinjing kayu di pundak mereka.
"Maaf mbak, kami di minta sama nona Kiran, untuk mengantar kayu bakar ke rumah ini." Ujar Izzat.
"Nona Kiran yang minta? sejak kapan kalian bertemu dengan nona kami?"
"Maksud kami, nona muda anda yang meminta bos kami untuk mengantar kayu bakar ke rumah ini." Timpal Agam.
"Tunggu sebentar! Biar saya tanyakan nona muda dulu. Oh itu nona muda kebetulan banget ada."
Pelayan Efi menghampiri Kiran.
"Non Kiran!"
Kiran membalikkan tubuhnya.
"Ada apa bibi...?"
"Itu non.. ada orang yang ngantar kayu bakar atas permintaan nona Kiran." Ujar Efi cemas.
"Aku...? pesan kayu bakar? apakah mereka masih di sini..?"
"Iya nona..!"
Kiran berjalan menghampiri anak buahnya Kenan dengan sangat anggun. Wajah cantik itu terlihat segar tanpa polesan makeup menatap ketiga anak buahnya Kenan.
"Wah.. cantiknya! Apakah aku sedang bermimpi?"
Izzat menelan salivanya dengan gugup sambil memperhatikan Kiran dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Begitu juga dengan Agam dan Hendra yang tidak bisa menepikan perasaan mereka begitu saja melihat sosok Kiran seperti boneka dari India.
"Ada apa ini? Siapa kalian? dan kapan saya memesan kayu bakar?"
"Maaf nona Kiran! Kami di suruh oleh tuan Kenan untuk mengantar kayu bakar ini dan dia sangat mencemaskan anda nona
" Ujar Agam lebih tegas.
"Tuan kalian..? Kenan..? Aku bahkan baru mendengar namanya."
"Kata tuan kami anda pernah bertemu dengannya di kebun anggur."
Deggggg...
"Dia..?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!