Istana Bawah Sungai

Istana Bawah Sungai

Tenggelam

Hilir mudik perahu lalu lalang, suara mesinnya  pun bisa  terdengar dari kejauhan, saat lewat dia seakan membelah sungai  hingga tercipta gelombang kecil yang menghempas tiang-tiang rumah kayu yang ada di pinggir sungai.

Sorak anak-anak kecil mulai bersahutan, suara ceburan serta teriakan gembira terdengar jelas, aku yang bermukim di pinggiran sungai tentu  sangat menyukai saat-saat seperti ini terlebih menjelang sore hari.

Semua anak-anak di sekitar rumahku berkumpul untuk sekedar bermain atau berenang di sungai termasuk aku.

“Ya? Aya?” terdengar suara Laras sahabatku dari depan pintu.

“Masuk aja Ras,” teriakku dari dalam rumah.

“Kamu sendirian aja? Abah (Ayah) mana?” tanya Laras.

“Lagi di tambak,  ngasih makan ikan,” sahutku.

“Ras kita berenang yuk, yang lain sudah pada berenang tuh di belakang,” ajakku.

“Aku enggak bawa baju Ya, nanti aku diomeli Bang Iyan kalau pulang semua bajuku basah” sahut Laras.

“Udah nanti kamu pulang pakai bajuku saja gimana?” bujukku agar Laras mau berenang di sungai bersamaku.

“Oke deh! Ayo,” Laras berlari ke arah dapur.

Kebetulan sungai tersebut berada di belakang rumahku, kami menuju sungai dengan berjalan di atas papan panjang yang sengaja dibuat untuk jalan menuju sungai, di sungai itu juga Abahku menambak ikan bawal, tidak hanya Abahku saja beberapa tetanggaku juga menernak beberapa jenis ikan air tawar.

“Ya sungainya lagi dalam, kita main di pinggir aja,” ucap Laras sambil menginjakkan kakinya perlahan di sebuah papan yang dibuat khusus menyerupai tangga.

“Kamu takut? Kalau begitu kamu duduk saja di situ, aku mau berenang dulu,” ucapku dengan penuh percaya diri.

“Kamu berenangnya jangan sampai ke tengah bahaya!” seru Laras.

Aku mulai naik ke atas pohon yang ada di pinggir sungai lalu melompat dan berenang ke tepian sungai, aku melakukan hal itu berulang-ulang sambil berteriak kegirangan

Byyuurrr! 

“Woooo! Ayo Ras, kita lompat dari sini!” teriakku pada Laras.

Hari semakin sore, langit biru pun perlahan berubah jingga, anak-anak lain juga sudah pulang ke rumahnya masing-masing namun tidak denganku. Rupanya saat itu sungai semakin dalam arusnya juga  semakin deras, karena kelelahan aku tidak sanggup berenang ketepian dan perlahan terbawa arus, Laras yang melihat hal itu pun berteriak.

“Aya! Aya! Abah Aya hanyut!” teriak Laras.

Perlahan aku terbawa arus sungai, namun aku masih berusaha berenang melawan arus aku juga masih mendengar teriakan Laras, karena panik Laras melompat dan berenang sambil berpegangan di akar-akar pohon bakau yang ada di pinggiran sungai untuk menyelamatkanku.

“Aya! berenang ke pinggir! ” teriak Laras sambil mengulurkan tangannya.

Tubuhku yang saat itu masih kecil tidak mampu melawan arus, aku berusaha meraih tangan Laras hingga  akhirnya aku terseret ke tengah sungai.

“Aya! Tolong! Tolong!” teriak Laras sembari menangis.

Aku tenggelam, aku hanya bisa menggerakkan kedua tanganku, aku banyak terminum air hingga rasanya memenuhi semua ruang di perutku, air masuk melalui hidungku membuat mata dan kepalaku sakit hingga ada sesuatu yang menahanku dari belakang, aku pikir itu adalah batang kayu.

Hal aneh terjadi, tubuhku tiba-tiba terdorong bahkan aku bisa mengangkat kepalaku ke atas hingga aku bisa bernafas.

Tubuhku terus didorong sampai ke tepi sungai, aku langsung meraih akar pohon bakau yang ada di pinggir sungai.

Aku menoleh ke belakang namun tidak ada siapa pun, hanya ada sebuah gerakan aneh serta beberapa pusaran kecil di air. Aku merasa bingung siapa yang mendorongku sampai ke tepi sungai.

Dengan tubuh yang gemetar serta pucat aku berusaha naik, Laras yang melihatku berada di tepian sungai langsung naik melaui jejeran akar pohon dan menghampiriku.

“Aya kamu baik-baik saja?” ucapnya sambil terus menagis.

“Sudah jangan menangis aku nggak apa-apa, kamu jangan bilang ke Abah ya nanti Abah nggak bolehin aku berenang di sungai lagi,” ucapku.

“Kita pulang aja yuk! Sudah mau magrib!” ajak Laras sembari menghapus air matanya.

“Ya sudah, tapi kamu janji ya Laras nggak ngasih tahu Abah?” ucapku memastikan.

“Iya aku janji.”

Aku dan Laras pun kembali ke rumah, tidak lupa aku memberikan baju ganti untuk Laras.

“Ras, kamu pulangnya nanti aja tunggu abangmu jemput,” ucapku.

“Ya sudah kalau gitu,” sahut Laras.

“Ras, tadi ada yang aneh saat aku tenggelam ada yang selamatin aku,” ucapku.

“Siapa? Aku nggak lihat siapa-siapa tadi.”

“Aku juga nggak tahu, dia dorong aku sampai ke pinggir pohon tadi,” ucapku.

“Iya sih aku lihat kamu tadi nggak berenang tapi kamu bisa sampai ke pinggir aneh,” tutur Laras.

“Nah kamu lihat kan? Apa aku diselamatkan putri duyung?” pikirku.

“Putri duyung kan adanya di laut,” sahut Laras.

Hanya hal itu yang terbesit di pikiran kecilku saat itu, aku bahkan berpikir jika di bawah sungai luas itu terdapat sebuah kerajaan putri duyung dengan para ikan sebagai pengawalnya.

Laras pun dijemput oleh kakaknya yang bernama Iyan menggunakan motor, kebetulan rumahku dan Laras berjauhan. Laras tidak sepertiku yang tinggal di pinggiran sungai, Laras tinggal di sebuah perumahan elite. 

Aku dan Laras adalah temas sekelas, ia sangat senang jika aku ajak ke rumahku karena menurutnya lingkungan tempat aku tinggal sangat tenang dan nyaman.

Sejak kejadian itu, aku sedikit takut jika ingin berenang di sungai apalagi jika melihat arus sungai yang cukup deras, sebenarnya itu juga kesalahanku karena telah menghiraukan larangan. Di kotaku terdapat larangan berenang saat akan magrib apalagi jika langit sedang berwarna jingga kemerahan, biasanya jika ada anak  yang berenang di waktu tersebut pasti akan tenggelam dan tubuhnya sukar untuk ditemukan. Namun saat itu aku hanyalah anak kecil yang berpikir berenang di sungai itu sangat menyenangkan tanpa mengeri hal-hal semacam itu. 

Malam hari saat kami tengah asyik menonton TV, perhatian kami teralih oleh obrolan dari Abah dan nenekku, Abah memanggil Nenek dengan sebutan Uma yang berarti Ibu.

“Uma, tadi malam aku bermimpi dalam mimpi itu ada seseorang membawa telur dengan tiga warna hitam, putih, dan kuning lalu orang itu memberikan telur yang berwarna kuning,” tutur Abah. 

“Lalu dalam mimpi itu apa kamu menerima pemberiannya Rahmat?” tanya Nenek.

“Iya Ma aku menerimanya saat itu,” sahut Abah. 

“Kamu sudah dipilih oleh mereka, dan kamu harus merawatnya,” ucap Nenek.

“Tapi aku tidak menginginkannya, harusnya dalam mimpi itu aku meminta yang putih saja,” ucap Abah dengan mengerutkan dahinya.

“Kalau sudah diberi jangan memilih!” celetuk Nenek.

“Memang artinya apa Nek?” tanyaku yang penasaran.

“Sudah kamu masih kecil belum seharusnya tahu dan mengerti,” sahut Nenek.

“Ingat Rahmat, kamu harus tahu kapan waktunya untuk melabuh!” nenek memperingatkan Abah.

Melabuh sendiri adalah proses pemberian makan untuk peliharaan yang bersifat gaib seperti buaya putih dan semacamnya.

Abah hanya terdiam dan menghela nafas ketika mendengar jawaban dari Nenek, sedangkan aku sendiri sangat penasaran apa maksud yang diucapkan oleh Nenek.

Terpopuler

Comments

MashMellow🍭

MashMellow🍭

teringat dengan arwah Aie (sebutan untuk nenek lelaki)
emak saya panggil ayah mereka Uma , kalau kami panggil nenek laki aie. Arwah Aie kami berasal dari Indonesia,
tiba2 hati nie rindu dgn arwah Aie bila baca perkataan uma tu
Al fatehah untuk arwah Aie kami♥️

2024-06-17

0

Putri Minwa

Putri Minwa

waduh Saya kenapa bikin ulah, kan kebawa arus tuh

2023-11-01

0

Kardi Kardi

Kardi Kardi

asalamualaikum. wrwb. bismillahhh. begin to readinggg

2023-01-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!