Hari-hari aku lalui dengan normal seperti anak SMP kebanyakan, rutinitas ku tidak jauh dari bermain, mengerjakan tugas sekolah, membantu Nenek dan menonton serial kartun favoritku. Hingga aku lulus SMP dan duduk di bangku SMA. Kali ini aku terpisah dengan Laras karena kami memilih sekolah yang berbeda namun hal itu tidak memutus hubungan persahabatanku dengan Laras.
Melalui pesan singkat kami terus saling bercerita tentang apa dan bagaimana suasana sekolah kami masing-masing. Hingga suatu hari Laras berkunjung ke rumahku namun kali ini ia tidak sendiri melainkan bersama teman sekelasnya.
“Aya? Aya?” teriakan khas Laras yang melengking.
“Ayo masuk Ras!” sahutku yang langsung keluar.
“Ayo Win!” ajak Laras pada teman yang dibawanya.
“Ini rumah teman kamu yang sering kamu ceritakan?” ucapnya.
“Iya ayo kita masuk!” ajak Laras.
“Aya, kenalin ini teman sekelas aku kebetulan kita tetanggaan juga namanya Winda, tadi aku bilang sama dia mau ke rumahmu terus dia pengen ikut,” tutut Laras sembari memperkenalkan temannya.
“Oh ya. Aku Maya biasa di panggil Aya,” ucapku sambil mengulurkan tanganku kepada Winda.
“Winda. teman sekelas Laras,” sahutnya singkat sembari menjabat tanganku.
Terlihat Winda sedang memperhatikan sekeliling rumahku, dia memandangi lantai yang dia pijak serta dinding-dinding rumahku.
“Kamu kalau tidur nggak digigit nyamuk?” tanya Winda.
“Nggak kok, kami pakai kelambu jadi aman,” sahutku sambil tersenyum.
“Dapurnya memang nggak ada pintunya? Cuma di tutup gorden?” ucapnya sambil melihat ke arah dapurku.
Kebetulan dapurku berada di luar dengan lembaran terpal berwarna biru sebagai dindingnya dapurku juga terhubung langsung dengan pinggiran sungai.
“Iya dari dulu memang begitu,” sahutku sambil menyodorkan seteko es teh manis.
“Kamu ini tanya terus ini minum dulu!” ucap Laras sambil menuangkan minuman ke dalam gelas.
“Abah mana Ya?” tanya Laras.
“Lagi ke luar Ras, paling sebentar lagi pulang. Eh kalian mau ikut aku nggak?” tanyaku.
“Kemana?” tanya Winda.
“Jalan-jalan di sungai,” sahutku.
“Hah? Gimana caranya?”
“Naik jukung.”
Dalam bahasa Banjar jukung artinya perahu tanpa mesin atau bisa dikatakan perahu dayung.
“Kamu bisa?” tanya Laras.
“Bisa dong, aku ahlinya,” sahutku dengan percaya diri.
“Sejak kapan? Kok aku nggak tahu?” Laras ragu dengan ucucapanku.
“Udah ayo! Mumpung sungai lagi sepi nih,” ucapku sambil naik ke atas perahu.
Laras dan Winda pun mengikutiku mereka duduk dengan penuh hati-hati sambil berpegangan dengan erat.
“Win kamu bisa berenang kan?” tanya Laras.
“Bisa kok, kenapa memangnya?” sahut Winda.
“Nggak aku cuma mau memastikan aja, jadi kalau ini perahu karam kita bisa menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Laras.
Aku mulai mendayung menyusuri setiap aliran sungai, jika beruntung terkadang aku bisa bertemu dengan hewan mamalia endemik seperti bekantan walaupun sekarang sudah sangat jarang aku bisa melihatnya.
“Sungainya tenang banget ya,” ucap Winda.
“Iya tapi ada buayanya!” celetuk Laras.
“Memang kamu pernah lihat?” Winda mulai waspada.
“Kata orang-orang sih begitu,” sahut Laras.
“Aya di sini beneran ada buanya?” tanya Winda.
“Ya ... Ada sih.”
“Kita balik aja yuk!” Winda mulai waswas.
“Ya elah baru juga kita naik masa harus balik sih,” protes Laras.
“Winda! Awas di belakang!” teriak Laras.
Dengan spontan Winda berdiri sambil berteriak dan perahu yang kami naiki menjadi bergoyang.
“Laras! Kamu jangan begitu nanti kalau kita jatuh semua ke sungai gimana?” ucapku.
“He-he-he maaf Ya, aku bercanda habis Winda kayaknya tegang banget,” sahut Laras sambil cengengesan.
“Lagian nih ya, ada yang lebih menakutkan dari buanya sungai!” pungkas Laras.
“Apaan memangnya?” tanyaku sambil berusaha menyeimbangkan kembali perahuku.
“Buaya darat! Ha-ha-ha.”
Aku dan Winda hanya bisa saling menatap mendengar candaan garing dari Laras.
“Laras! Ketawamu tolong dikontrol!” ucap Winda.
“Kenapa sih, lagian di sini sepi nggak ada orang !” Laras menghiraukan teguran dari Winda.
Laras terus membuat kegaduhan, dari mulai menggoyang-goyangkan perahu dengan tubuhnya, memukul-mukul air dengan sendalnya membuat Winda terciprat air.
“Eh ... ini kok perahunya goyang sih?” ucap Winda.
“Loh ... Aya. Ini kenapa perahunya?” Laras terkejut karena perahu yang kami naiki berputar dengan sendirinya.
Aku mencoba untuk tetap tenang sambil berusaha menghentikan perahu dengan dayungku. Aku mulai panik ketika dayungku menyentuh sesuatu di bawah air dengan spontan aku mengangkat dayungku.
Aku melihat arus sungai menjadi deras, padahal sebelumnya sangat tenang aku bahkan tidak mampu menggerakkan perahu menuju tepian sungai.
“Aya ini kenapa? Kita makin lama makin jauh,” ucap Winda dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Aku nggak tahu, tiba-tiba arusnya deras aku nggak bisa ke pinggir!” ucapku sambil terus berusaha mendayung.
Arus itu seakan ingin menarik perahu yang kami tumpangi menuju sungai besar, jantungku berdebar kencang karena ketakutan hingga sesuatu mengejutkan kami.
Ada sesuatu yang membentur bagian bawah perahuku dengan keras hal itu membuat kami semua terdiam seribu bahasa, Winda mulai menangis sesegukan begitu pula dengan Laras terlihat sangat pucat dan ketakutan.
“Aya itu apa?” ucap Laras dengan pelan.
“Aku nggak tahu Ras, semoga saja itu Cuma batang kayu,” ucapku yang berusaha menenangkan keadaan.
Benturan itu terjadi beberapa kali, membuat Winda semakin histeris aku juga tidak bisa menepis pikiranku lagi jika di bawah perahu kami sekarang bukanlah batang kayu melainkan makhluk yang menjadi bahan candaan Laras sebelumnya.
Aku terus waspada aku menggengam erat dayungku jika sewaktu-waktu buaya muncul di samping perahu aku bisa memukulnya dengan dayungku, itulah yang bisa aku pikirkan saat itu.
Hingga aku teringat ucapan dari Nenekku, jika sedang berada di sungai kita harus menjaga sikap, perkataan, serta perbuatan dan jika sesuatu terjadi harus segera meminta maaf dengan hati yang tulus. Aku pun berpikir semua ini karena candaan serta ucapan dari Laras.
“Ras cepetan minta maaf!” ucapku kepada Laras.
“Hah? Sama siapa? Memangnya aku berbuat salah sama siapa? Winda?” Laras mengerutkan dahinya.
“Bukan. Sama sungai ini ayo cepetan!” seruku pada Laras.
“Kamu becanda?” Laras memandangiku dengan wajah tidak percaya.
“Aku serius! Ayo Ras!”
“Aya kita ini lagi berada dalam bahaya! Jangan becanda kaya gini!” Laras meninggikan suaranya.
“Aku serius! Nenekku bilang kalau sedang di sungai nggak boleh berbuat dan berkata buruk!” ucapku sambil berusaha mendayung kembali.
“Nggak di ucapin langsung juga nggak apa-apa, ucapin dalam hati aja tapi harus tulus mengakui kesalahan!” sambungku.
Laras terdiam saat mendengar ucapanku, Laras menenangkan dirinya sembari menghela nafas berkali-kali.
“Datu. Laras minta maaf karena Laras sudah bercanda sangat keterlaluan, Laras berjanji tidak akan mengulanginya lagi Laras menyesal,” ucap Laras dengan pelan.
Usai Laras menyesali perbuatannya, arus sungai yang tadinya deras perlahan menjadi tenang seperti awal kami datang aku pun tidak percaya dengan apa yang aku lihat begitu pula dengan Winda dan Laras namun begitulah kenyataanya.
Aku bergegas memutar arah perahu dan mendayung sekuat tenaga menuju rumahku. Laras terlihat terdiam seakan menyesali perbuatannya. Saat sampai, Laras dan Winda dengan cepat keluar dari perahu dan masuk ke dalam rumahku.
“Maafin aku ya, gara-gara aku kita hampir celaka,” ucap Laras.
“Aku juga minta maaf sama kalian, seharusnya aku tidak perlu memaksa kalian ikut denganku,” sahutku dengan penuh sesal.
“Sudahlah, yang penting kita selamat,” sahut Winda sambil memegangi pundakku dan Laras.
“Oh iya Aya, penunggu sungai ini memang namanya Datu?” tanya Winda yang kebetulan bukan asli orang Kalimantan.
“Bukan. Datu itu sebutan buat leluhur, terus bisa juga di pakai untuk sebutan Ibu dari Nenek,” tuturku.
“Oh ... Aku kita itu nama penunggunya.”
Wajah sendu Winda kembali ceria, begitu pula dengan Laras sedangkan aku menganggap kejadian itu sebagai pengalaman serta pembelajaran ketika dimana pun berada kita harus tetap sopan dan tidak sembaranga
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmmm. harus smart and bijak di manapun berada. never give uppp
2023-01-18
1
Jama Sari
wah KK author org Banjar kah?Banjar mn KK?
2022-12-14
0