“Jangan merasa terbebani! Kamu sudah diberikan kepercayaan, jadi kamu harus merawatnya,” ucap Nenek.
“Maksud Nenek Abah disuruh merawat telur itu sampai menetas?” aku terus bertanya karena aku masih belum mengeri perkataannya.
“Kamu tidak akan mengerti, nanti kalau kamu sudah dewasa kamu pasti mengerti, cepat tidur ini sudah larut malam nanti kamu telat bangunnya,” pungkas Nenek.
“Iya Nek,” sahutku dengan kecewa karena pertanyaanku tidak dijawab.
Aku berjalan ke kamarku, aku berbaring dan mulai menarik selimutku. Suasana mulai hening, semua orang tengah tertidur nyenyak, begitu pula denganku namun saat aku sudah berada di alam bawah sadarku aku bermimpi aneh.
Aku melihat seorang anak laki-laki berenang di sungai, namun ada yang membuatku heran, sebagian tubuhnya sangat panjang seperti ular, dalam mimpi itu aku sempat melihat matanya warnanya aneh, pupilnya berwarna kuning dengan kornea membentuk garis berwarna hitam. Dia berenang dengan meliuk-liukkan tubuhnya sembari melambaikan tangannya kepadaku.
Perlahan dia mendekatiku, namun tidak bicara sepatah kata apa pun, hingga suara panggilan Nenek membangunkanku.
Sejak Ibu tiada Neneklah yang menggantikan perannya untuk merawatku, tidak jarang Nenek suka mengomeliku ketika aku teledor atau berbuat salah.
“Aya bangun! Sudah jam berapa ini, ayo bangun! Kalau tidak bangun Nenek guyur air nanti kamu!” bentak Nenek.
“Iya Nek,” sahutku sambil mengusap-usap kedua mataku.
Aku berjalan menuju kamar mandi, dinginnya air memaksa mataku terbuka lebar, aku pun cepat-cepat menyudahi mandiku dan memakai seragam.
Saat di sekolah aku bercerita kepada Laras tentang telur itu.
“Ras tadi malam aku dengar Abah cerita ke Nenek kalau Abah mimpi dikasih telur,” ucapku dengan serius.
“Telur? Telur apa? Telur ikan? Anakonda? Atau telur Naga?” sahutnya sambil membereskan mejanya.
“Bukan, jadi kata Abah saat di dalam mimpi ada orang menghampiri Abah sambil membawa tiga biji telur warnanya hitam, kuning sama putih,” tuturku dengan polosnya.
“Jangan-jangan itu pertanda mungkin Abah akan dapat rejeki !” seru Laras.
“Ah ... Masa sih?” aku tidak percaya dengan ucapan Laras.
“Lalu selanjutnya gimana?” tanya Laras.
“Kata Nenekku, Abah sudah diberi kepercayaan dan harus merawatnya, aku bingung apa Abah disuruh mengerami telur dalam mimpi? Tapi mana bisa,” pikirku dengan bingung.
“Ha-ha-ha kamu pikir Abah itu ayam, ada-ada saja kamu ini,” pekik Laras sambil tertawa.
“Tapi Nenekku bilang begitu Ras,” aku mengerutkan dahiku.
“Jangan cemberut dong Aya, aku cuma bercanda,” ucapnya sambil membuat cengiran kuda.
“Oh iya, tadi malam aku juga mimpi lihat ada anak laki-laki berenang di sungai belakang rumahku, badannya panjang kaya ular,” tuturku.
“Itu pasti hantu air!” celetuk Laras.
“Hantu air bukannya cewek Ras, kaya di film-film,” ucapku.
“Ya siapa tahu rambutnya memang gondrong jadi disangka cewek kan?” perkataan Laras mulai keluar jalur.
“Laras aku serius!” aku mengentakkan kakiku ke lantai.
“Ya ... Aku juga serius.”
Obrolan konyol kami terus berlanjut hingga denting bel sekolah terdengar, aku bergegas menyiapkan buku yang berisi tugas-tugas yang sudah aku kerjakan, begitu juga dengan Laras namun kali ini sepertinya Laras sedang tidak beruntung karena ia melupakan PR yang harusnya dikumpul saat jam pertama.
“Laras! Maju ke depan!” suara tegas dari Ibu Guru membuat semua terdiam.
“Aduh! Mampus lah aku!” celetuknya pelan seraya berdiri perlahan dari bangkunya.
“Bukannya kemarin aku kasih tahu kalau ada PR!” bisikku kepada Laras.
“Aku lupa,” Laras masih bisa tertawa di saat seperti ini.
“Ayo Laras cepat kemari!” Ibu Guru memanggil Laras lagi.
“Iya Bu.”
Laras berjalan pelan menuju meja guru, sorot mata yang tajam seakan menusuk itu terlihat jelas dari Ibu Guru, aku sangat yakin kali ini Laras akan berdiri di depan kelas lagi.
“Mana PR kamu? Ibu tidak melihat nama kamu di tumpukkan buku ini!” ucap Ibu Guru dengan tegas.
“Bukunya ketinggalan Bu,” Laras mencoba mencari alasan.
“Ketinggalan? Ini sudah yang ketiga kalinya. Sekali lagi kamu tidak mengerjakan PR Ibu bawa kamu ke kantor! Kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran Ibu selesai,” pungkas Ibu Guru.
“Laras keluar aja deh Bu nggak apa-apa,” sahut Laras.
“Tidak boleh! Terakhir ibu keluarkan kamu malah pergi ke kantin!” tutur Ibu Guru.
Gelak tawa terdengar dari para teman yang lain saat Ibu Guru mengetahui jika Laras pergi ke kantin, aku tidak heran dengan kelakuan Laras, walaupun begitu Laras adalah murid yang pintar jika ia sedang tidak malas memperhatikan pelajaran, saat ulangan ia bisa dengan mudah menjawab soal dibandingkan denganku kecuali pelajaran matematika.
Pelajaran berjalan dengan lancar walau sesekali ada saja kelakuan Laras yang membuat kami tertawa ketika ia berada di depan kelas.
Jam pelajaran terus berganti, hingga sampai pada jam pulang sekolah.
“Aya aku ikut ke rumahmu ya?” ucapnya sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
“Kamu sudah bilang sama Abang mu?” tanyaku.
“Udah, ayo! Aku yang bonceng kamu ya,” Laras menarik tanganku.
“Memang kamu kuat?” ucapku sambil mengikuti dibelakang Laras
“Ya kuat lah, tapi nanti kalau naik jembatan kita turun,” Laras menaiki sepedaku.
“Ya sudah kalau begitu.”
Laras mengayuh sepedaku dengan perlahan, aku merasa sedikit waswas ketika dibonceng Laras, karena terakhir kali ia memboncengku kami berdua jatuh ke kubangan lumpur.
“Oh iya, tadi aku lihat ada anak laki-laki duduk dibangku ku saat aku dihukum,” ucap Laras.
“Mata kamu salah lihat mungkin, aku duduk sendirian Laras, bangku kamu itu kosong!” aku bersikukuh.
“Nggak Aya! Aku lihat tapi sebentar aja lalu dia hilang. Apa itu hantu? Di kelas kita ada hantu!”
“Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Ayo kayuh yang cepat!” teriakku sambil tertawa.
“Hey! Kamu itu berat Aya mana bisa aku mengayuh cepat-cepat!”
“Nggak lah aku ringan kok ha-ha-ha,” aku tertawa senang.
“Ya jangan gerak-gerak dong!” Laras mulai oleng.
Bruuuk!
“Aduh! Sakit!” rengek Laras sambil mencoba berdiri.
“Aduh! Laras bawa sepedanya yang benar dong! Basah semua nih bajuku!” rengekku.
“Kamu sih gerak-gerak ban depannya kan jadi goyang-goyang!” Laras membantuku naik karena aku tercebur ke selokan.
“Ya maaf, kamu nggak luka kan?” tanyaku.
“Lecet sedikit sih tapi nggak masalah,” sahutnya sambil tertawa.
Akhirnya aku dan Laras menuntun sepeda sampai ke rumah, aku juga langsung membersihkan baju seragamku karena kotor akibat terjatuh dari sepeda begitu juga dengan Laras yang bajunya lebih kotor dariku.
Kami menghabiskan waktu untuk menonton kartun kesukaan kami, hingga Laras di jemput oleh Kakaknya.
“Aya aku pulang ya,” ucap Laras.
“Iya kamu hati-hati, Bang Iyan juga hati-hati,” sahutku.
Ada yang aneh dari sikap Bang Iyan, dia terus menatapku dengan tatapan aneh hal itu membuatku tidak nyaman.
“Ada apa Bang?” tanyaku.
“Mata kamu kok beda?” ucap Bang Iyan.
“Beda gimana? Perasaan sama aja,” aku mencoba melihat di cermin yang ada di samping pintu.
“Tadi aku lihat mata kamu warnanya kuning, habis itu berubah lagi,” tutur Bang Iyan.
“Apaan sih Bang, mata Aya perasaan nggak kenapa-kenapa. Ayo cepetan balik!” ucap Laras.
“Ya sudah kalau begitu kami pamit ya,” Bang Iyan menyalakan mesin motornya.
“Iya Bang hati-hati.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Minartie
bagus ceritanya lanjutttt
2025-02-26
0
Nur Bahagia
jangan2 siluman ular masuk ke tubuh Aya 😁
2024-06-20
0
Putri Minwa
mantap ceritanya thor
2023-11-01
0