Hilir mudik perahu lalu lalang, suara mesinnya pun bisa terdengar dari kejauhan, saat lewat dia seakan membelah sungai hingga tercipta gelombang kecil yang menghempas tiang-tiang rumah kayu yang ada di pinggir sungai.
Sorak anak-anak kecil mulai bersahutan, suara ceburan serta teriakan gembira terdengar jelas, aku yang bermukim di pinggiran sungai tentu sangat menyukai saat-saat seperti ini terlebih menjelang sore hari.
Semua anak-anak di sekitar rumahku berkumpul untuk sekedar bermain atau berenang di sungai termasuk aku.
“Ya? Aya?” terdengar suara Laras sahabatku dari depan pintu.
“Masuk aja Ras,” teriakku dari dalam rumah.
“Kamu sendirian aja? Abah (Ayah) mana?” tanya Laras.
“Lagi di tambak, ngasih makan ikan,” sahutku.
“Ras kita berenang yuk, yang lain sudah pada berenang tuh di belakang,” ajakku.
“Aku enggak bawa baju Ya, nanti aku diomeli Bang Iyan kalau pulang semua bajuku basah” sahut Laras.
“Udah nanti kamu pulang pakai bajuku saja gimana?” bujukku agar Laras mau berenang di sungai bersamaku.
“Oke deh! Ayo,” Laras berlari ke arah dapur.
Kebetulan sungai tersebut berada di belakang rumahku, kami menuju sungai dengan berjalan di atas papan panjang yang sengaja dibuat untuk jalan menuju sungai, di sungai itu juga Abahku menambak ikan bawal, tidak hanya Abahku saja beberapa tetanggaku juga menernak beberapa jenis ikan air tawar.
“Ya sungainya lagi dalam, kita main di pinggir aja,” ucap Laras sambil menginjakkan kakinya perlahan di sebuah papan yang dibuat khusus menyerupai tangga.
“Kamu takut? Kalau begitu kamu duduk saja di situ, aku mau berenang dulu,” ucapku dengan penuh percaya diri.
“Kamu berenangnya jangan sampai ke tengah bahaya!” seru Laras.
Aku mulai naik ke atas pohon yang ada di pinggir sungai lalu melompat dan berenang ke tepian sungai, aku melakukan hal itu berulang-ulang sambil berteriak kegirangan
Byyuurrr!
“Woooo! Ayo Ras, kita lompat dari sini!” teriakku pada Laras.
Hari semakin sore, langit biru pun perlahan berubah jingga, anak-anak lain juga sudah pulang ke rumahnya masing-masing namun tidak denganku. Rupanya saat itu sungai semakin dalam arusnya juga semakin deras, karena kelelahan aku tidak sanggup berenang ketepian dan perlahan terbawa arus, Laras yang melihat hal itu pun berteriak.
“Aya! Aya! Abah Aya hanyut!” teriak Laras.
Perlahan aku terbawa arus sungai, namun aku masih berusaha berenang melawan arus aku juga masih mendengar teriakan Laras, karena panik Laras melompat dan berenang sambil berpegangan di akar-akar pohon bakau yang ada di pinggiran sungai untuk menyelamatkanku.
“Aya! berenang ke pinggir! ” teriak Laras sambil mengulurkan tangannya.
Tubuhku yang saat itu masih kecil tidak mampu melawan arus, aku berusaha meraih tangan Laras hingga akhirnya aku terseret ke tengah sungai.
“Aya! Tolong! Tolong!” teriak Laras sembari menangis.
Aku tenggelam, aku hanya bisa menggerakkan kedua tanganku, aku banyak terminum air hingga rasanya memenuhi semua ruang di perutku, air masuk melalui hidungku membuat mata dan kepalaku sakit hingga ada sesuatu yang menahanku dari belakang, aku pikir itu adalah batang kayu.
Hal aneh terjadi, tubuhku tiba-tiba terdorong bahkan aku bisa mengangkat kepalaku ke atas hingga aku bisa bernafas.
Tubuhku terus didorong sampai ke tepi sungai, aku langsung meraih akar pohon bakau yang ada di pinggir sungai.
Aku menoleh ke belakang namun tidak ada siapa pun, hanya ada sebuah gerakan aneh serta beberapa pusaran kecil di air. Aku merasa bingung siapa yang mendorongku sampai ke tepi sungai.
Dengan tubuh yang gemetar serta pucat aku berusaha naik, Laras yang melihatku berada di tepian sungai langsung naik melaui jejeran akar pohon dan menghampiriku.
“Aya kamu baik-baik saja?” ucapnya sambil terus menagis.
“Sudah jangan menangis aku nggak apa-apa, kamu jangan bilang ke Abah ya nanti Abah nggak bolehin aku berenang di sungai lagi,” ucapku.
“Kita pulang aja yuk! Sudah mau magrib!” ajak Laras sembari menghapus air matanya.
“Ya sudah, tapi kamu janji ya Laras nggak ngasih tahu Abah?” ucapku memastikan.
“Iya aku janji.”
Aku dan Laras pun kembali ke rumah, tidak lupa aku memberikan baju ganti untuk Laras.
“Ras, kamu pulangnya nanti aja tunggu abangmu jemput,” ucapku.
“Ya sudah kalau gitu,” sahut Laras.
“Ras, tadi ada yang aneh saat aku tenggelam ada yang selamatin aku,” ucapku.
“Siapa? Aku nggak lihat siapa-siapa tadi.”
“Aku juga nggak tahu, dia dorong aku sampai ke pinggir pohon tadi,” ucapku.
“Iya sih aku lihat kamu tadi nggak berenang tapi kamu bisa sampai ke pinggir aneh,” tutur Laras.
“Nah kamu lihat kan? Apa aku diselamatkan putri duyung?” pikirku.
“Putri duyung kan adanya di laut,” sahut Laras.
Hanya hal itu yang terbesit di pikiran kecilku saat itu, aku bahkan berpikir jika di bawah sungai luas itu terdapat sebuah kerajaan putri duyung dengan para ikan sebagai pengawalnya.
Laras pun dijemput oleh kakaknya yang bernama Iyan menggunakan motor, kebetulan rumahku dan Laras berjauhan. Laras tidak sepertiku yang tinggal di pinggiran sungai, Laras tinggal di sebuah perumahan elite.
Aku dan Laras adalah temas sekelas, ia sangat senang jika aku ajak ke rumahku karena menurutnya lingkungan tempat aku tinggal sangat tenang dan nyaman.
Sejak kejadian itu, aku sedikit takut jika ingin berenang di sungai apalagi jika melihat arus sungai yang cukup deras, sebenarnya itu juga kesalahanku karena telah menghiraukan larangan. Di kotaku terdapat larangan berenang saat akan magrib apalagi jika langit sedang berwarna jingga kemerahan, biasanya jika ada anak yang berenang di waktu tersebut pasti akan tenggelam dan tubuhnya sukar untuk ditemukan. Namun saat itu aku hanyalah anak kecil yang berpikir berenang di sungai itu sangat menyenangkan tanpa mengeri hal-hal semacam itu.
Malam hari saat kami tengah asyik menonton TV, perhatian kami teralih oleh obrolan dari Abah dan nenekku, Abah memanggil Nenek dengan sebutan Uma yang berarti Ibu.
“Uma, tadi malam aku bermimpi dalam mimpi itu ada seseorang membawa telur dengan tiga warna hitam, putih, dan kuning lalu orang itu memberikan telur yang berwarna kuning,” tutur Abah.
“Lalu dalam mimpi itu apa kamu menerima pemberiannya Rahmat?” tanya Nenek.
“Iya Ma aku menerimanya saat itu,” sahut Abah.
“Kamu sudah dipilih oleh mereka, dan kamu harus merawatnya,” ucap Nenek.
“Tapi aku tidak menginginkannya, harusnya dalam mimpi itu aku meminta yang putih saja,” ucap Abah dengan mengerutkan dahinya.
“Kalau sudah diberi jangan memilih!” celetuk Nenek.
“Memang artinya apa Nek?” tanyaku yang penasaran.
“Sudah kamu masih kecil belum seharusnya tahu dan mengerti,” sahut Nenek.
“Ingat Rahmat, kamu harus tahu kapan waktunya untuk melabuh!” nenek memperingatkan Abah.
Melabuh sendiri adalah proses pemberian makan untuk peliharaan yang bersifat gaib seperti buaya putih dan semacamnya.
Abah hanya terdiam dan menghela nafas ketika mendengar jawaban dari Nenek, sedangkan aku sendiri sangat penasaran apa maksud yang diucapkan oleh Nenek.
“Jangan merasa terbebani! Kamu sudah diberikan kepercayaan, jadi kamu harus merawatnya,” ucap Nenek.
“Maksud Nenek Abah disuruh merawat telur itu sampai menetas?” aku terus bertanya karena aku masih belum mengeri perkataannya.
“Kamu tidak akan mengerti, nanti kalau kamu sudah dewasa kamu pasti mengerti, cepat tidur ini sudah larut malam nanti kamu telat bangunnya,” pungkas Nenek.
“Iya Nek,” sahutku dengan kecewa karena pertanyaanku tidak dijawab.
Aku berjalan ke kamarku, aku berbaring dan mulai menarik selimutku. Suasana mulai hening, semua orang tengah tertidur nyenyak, begitu pula denganku namun saat aku sudah berada di alam bawah sadarku aku bermimpi aneh.
Aku melihat seorang anak laki-laki berenang di sungai, namun ada yang membuatku heran, sebagian tubuhnya sangat panjang seperti ular, dalam mimpi itu aku sempat melihat matanya warnanya aneh, pupilnya berwarna kuning dengan kornea membentuk garis berwarna hitam. Dia berenang dengan meliuk-liukkan tubuhnya sembari melambaikan tangannya kepadaku.
Perlahan dia mendekatiku, namun tidak bicara sepatah kata apa pun, hingga suara panggilan Nenek membangunkanku.
Sejak Ibu tiada Neneklah yang menggantikan perannya untuk merawatku, tidak jarang Nenek suka mengomeliku ketika aku teledor atau berbuat salah.
“Aya bangun! Sudah jam berapa ini, ayo bangun! Kalau tidak bangun Nenek guyur air nanti kamu!” bentak Nenek.
“Iya Nek,” sahutku sambil mengusap-usap kedua mataku.
Aku berjalan menuju kamar mandi, dinginnya air memaksa mataku terbuka lebar, aku pun cepat-cepat menyudahi mandiku dan memakai seragam.
Saat di sekolah aku bercerita kepada Laras tentang telur itu.
“Ras tadi malam aku dengar Abah cerita ke Nenek kalau Abah mimpi dikasih telur,” ucapku dengan serius.
“Telur? Telur apa? Telur ikan? Anakonda? Atau telur Naga?” sahutnya sambil membereskan mejanya.
“Bukan, jadi kata Abah saat di dalam mimpi ada orang menghampiri Abah sambil membawa tiga biji telur warnanya hitam, kuning sama putih,” tuturku dengan polosnya.
“Jangan-jangan itu pertanda mungkin Abah akan dapat rejeki !” seru Laras.
“Ah ... Masa sih?” aku tidak percaya dengan ucapan Laras.
“Lalu selanjutnya gimana?” tanya Laras.
“Kata Nenekku, Abah sudah diberi kepercayaan dan harus merawatnya, aku bingung apa Abah disuruh mengerami telur dalam mimpi? Tapi mana bisa,” pikirku dengan bingung.
“Ha-ha-ha kamu pikir Abah itu ayam, ada-ada saja kamu ini,” pekik Laras sambil tertawa.
“Tapi Nenekku bilang begitu Ras,” aku mengerutkan dahiku.
“Jangan cemberut dong Aya, aku cuma bercanda,” ucapnya sambil membuat cengiran kuda.
“Oh iya, tadi malam aku juga mimpi lihat ada anak laki-laki berenang di sungai belakang rumahku, badannya panjang kaya ular,” tuturku.
“Itu pasti hantu air!” celetuk Laras.
“Hantu air bukannya cewek Ras, kaya di film-film,” ucapku.
“Ya siapa tahu rambutnya memang gondrong jadi disangka cewek kan?” perkataan Laras mulai keluar jalur.
“Laras aku serius!” aku mengentakkan kakiku ke lantai.
“Ya ... Aku juga serius.”
Obrolan konyol kami terus berlanjut hingga denting bel sekolah terdengar, aku bergegas menyiapkan buku yang berisi tugas-tugas yang sudah aku kerjakan, begitu juga dengan Laras namun kali ini sepertinya Laras sedang tidak beruntung karena ia melupakan PR yang harusnya dikumpul saat jam pertama.
“Laras! Maju ke depan!” suara tegas dari Ibu Guru membuat semua terdiam.
“Aduh! Mampus lah aku!” celetuknya pelan seraya berdiri perlahan dari bangkunya.
“Bukannya kemarin aku kasih tahu kalau ada PR!” bisikku kepada Laras.
“Aku lupa,” Laras masih bisa tertawa di saat seperti ini.
“Ayo Laras cepat kemari!” Ibu Guru memanggil Laras lagi.
“Iya Bu.”
Laras berjalan pelan menuju meja guru, sorot mata yang tajam seakan menusuk itu terlihat jelas dari Ibu Guru, aku sangat yakin kali ini Laras akan berdiri di depan kelas lagi.
“Mana PR kamu? Ibu tidak melihat nama kamu di tumpukkan buku ini!” ucap Ibu Guru dengan tegas.
“Bukunya ketinggalan Bu,” Laras mencoba mencari alasan.
“Ketinggalan? Ini sudah yang ketiga kalinya. Sekali lagi kamu tidak mengerjakan PR Ibu bawa kamu ke kantor! Kamu berdiri di depan kelas sampai pelajaran Ibu selesai,” pungkas Ibu Guru.
“Laras keluar aja deh Bu nggak apa-apa,” sahut Laras.
“Tidak boleh! Terakhir ibu keluarkan kamu malah pergi ke kantin!” tutur Ibu Guru.
Gelak tawa terdengar dari para teman yang lain saat Ibu Guru mengetahui jika Laras pergi ke kantin, aku tidak heran dengan kelakuan Laras, walaupun begitu Laras adalah murid yang pintar jika ia sedang tidak malas memperhatikan pelajaran, saat ulangan ia bisa dengan mudah menjawab soal dibandingkan denganku kecuali pelajaran matematika.
Pelajaran berjalan dengan lancar walau sesekali ada saja kelakuan Laras yang membuat kami tertawa ketika ia berada di depan kelas.
Jam pelajaran terus berganti, hingga sampai pada jam pulang sekolah.
“Aya aku ikut ke rumahmu ya?” ucapnya sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
“Kamu sudah bilang sama Abang mu?” tanyaku.
“Udah, ayo! Aku yang bonceng kamu ya,” Laras menarik tanganku.
“Memang kamu kuat?” ucapku sambil mengikuti dibelakang Laras
“Ya kuat lah, tapi nanti kalau naik jembatan kita turun,” Laras menaiki sepedaku.
“Ya sudah kalau begitu.”
Laras mengayuh sepedaku dengan perlahan, aku merasa sedikit waswas ketika dibonceng Laras, karena terakhir kali ia memboncengku kami berdua jatuh ke kubangan lumpur.
“Oh iya, tadi aku lihat ada anak laki-laki duduk dibangku ku saat aku dihukum,” ucap Laras.
“Mata kamu salah lihat mungkin, aku duduk sendirian Laras, bangku kamu itu kosong!” aku bersikukuh.
“Nggak Aya! Aku lihat tapi sebentar aja lalu dia hilang. Apa itu hantu? Di kelas kita ada hantu!”
“Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Ayo kayuh yang cepat!” teriakku sambil tertawa.
“Hey! Kamu itu berat Aya mana bisa aku mengayuh cepat-cepat!”
“Nggak lah aku ringan kok ha-ha-ha,” aku tertawa senang.
“Ya jangan gerak-gerak dong!” Laras mulai oleng.
Bruuuk!
“Aduh! Sakit!” rengek Laras sambil mencoba berdiri.
“Aduh! Laras bawa sepedanya yang benar dong! Basah semua nih bajuku!” rengekku.
“Kamu sih gerak-gerak ban depannya kan jadi goyang-goyang!” Laras membantuku naik karena aku tercebur ke selokan.
“Ya maaf, kamu nggak luka kan?” tanyaku.
“Lecet sedikit sih tapi nggak masalah,” sahutnya sambil tertawa.
Akhirnya aku dan Laras menuntun sepeda sampai ke rumah, aku juga langsung membersihkan baju seragamku karena kotor akibat terjatuh dari sepeda begitu juga dengan Laras yang bajunya lebih kotor dariku.
Kami menghabiskan waktu untuk menonton kartun kesukaan kami, hingga Laras di jemput oleh Kakaknya.
“Aya aku pulang ya,” ucap Laras.
“Iya kamu hati-hati, Bang Iyan juga hati-hati,” sahutku.
Ada yang aneh dari sikap Bang Iyan, dia terus menatapku dengan tatapan aneh hal itu membuatku tidak nyaman.
“Ada apa Bang?” tanyaku.
“Mata kamu kok beda?” ucap Bang Iyan.
“Beda gimana? Perasaan sama aja,” aku mencoba melihat di cermin yang ada di samping pintu.
“Tadi aku lihat mata kamu warnanya kuning, habis itu berubah lagi,” tutur Bang Iyan.
“Apaan sih Bang, mata Aya perasaan nggak kenapa-kenapa. Ayo cepetan balik!” ucap Laras.
“Ya sudah kalau begitu kami pamit ya,” Bang Iyan menyalakan mesin motornya.
“Iya Bang hati-hati.”
Hari-hari aku lalui dengan normal seperti anak SMP kebanyakan, rutinitas ku tidak jauh dari bermain, mengerjakan tugas sekolah, membantu Nenek dan menonton serial kartun favoritku. Hingga aku lulus SMP dan duduk di bangku SMA. Kali ini aku terpisah dengan Laras karena kami memilih sekolah yang berbeda namun hal itu tidak memutus hubungan persahabatanku dengan Laras.
Melalui pesan singkat kami terus saling bercerita tentang apa dan bagaimana suasana sekolah kami masing-masing. Hingga suatu hari Laras berkunjung ke rumahku namun kali ini ia tidak sendiri melainkan bersama teman sekelasnya.
“Aya? Aya?” teriakan khas Laras yang melengking.
“Ayo masuk Ras!” sahutku yang langsung keluar.
“Ayo Win!” ajak Laras pada teman yang dibawanya.
“Ini rumah teman kamu yang sering kamu ceritakan?” ucapnya.
“Iya ayo kita masuk!” ajak Laras.
“Aya, kenalin ini teman sekelas aku kebetulan kita tetanggaan juga namanya Winda, tadi aku bilang sama dia mau ke rumahmu terus dia pengen ikut,” tutut Laras sembari memperkenalkan temannya.
“Oh ya. Aku Maya biasa di panggil Aya,” ucapku sambil mengulurkan tanganku kepada Winda.
“Winda. teman sekelas Laras,” sahutnya singkat sembari menjabat tanganku.
Terlihat Winda sedang memperhatikan sekeliling rumahku, dia memandangi lantai yang dia pijak serta dinding-dinding rumahku.
“Kamu kalau tidur nggak digigit nyamuk?” tanya Winda.
“Nggak kok, kami pakai kelambu jadi aman,” sahutku sambil tersenyum.
“Dapurnya memang nggak ada pintunya? Cuma di tutup gorden?” ucapnya sambil melihat ke arah dapurku.
Kebetulan dapurku berada di luar dengan lembaran terpal berwarna biru sebagai dindingnya dapurku juga terhubung langsung dengan pinggiran sungai.
“Iya dari dulu memang begitu,” sahutku sambil menyodorkan seteko es teh manis.
“Kamu ini tanya terus ini minum dulu!” ucap Laras sambil menuangkan minuman ke dalam gelas.
“Abah mana Ya?” tanya Laras.
“Lagi ke luar Ras, paling sebentar lagi pulang. Eh kalian mau ikut aku nggak?” tanyaku.
“Kemana?” tanya Winda.
“Jalan-jalan di sungai,” sahutku.
“Hah? Gimana caranya?”
“Naik jukung.”
Dalam bahasa Banjar jukung artinya perahu tanpa mesin atau bisa dikatakan perahu dayung.
“Kamu bisa?” tanya Laras.
“Bisa dong, aku ahlinya,” sahutku dengan percaya diri.
“Sejak kapan? Kok aku nggak tahu?” Laras ragu dengan ucucapanku.
“Udah ayo! Mumpung sungai lagi sepi nih,” ucapku sambil naik ke atas perahu.
Laras dan Winda pun mengikutiku mereka duduk dengan penuh hati-hati sambil berpegangan dengan erat.
“Win kamu bisa berenang kan?” tanya Laras.
“Bisa kok, kenapa memangnya?” sahut Winda.
“Nggak aku cuma mau memastikan aja, jadi kalau ini perahu karam kita bisa menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Laras.
Aku mulai mendayung menyusuri setiap aliran sungai, jika beruntung terkadang aku bisa bertemu dengan hewan mamalia endemik seperti bekantan walaupun sekarang sudah sangat jarang aku bisa melihatnya.
“Sungainya tenang banget ya,” ucap Winda.
“Iya tapi ada buayanya!” celetuk Laras.
“Memang kamu pernah lihat?” Winda mulai waspada.
“Kata orang-orang sih begitu,” sahut Laras.
“Aya di sini beneran ada buanya?” tanya Winda.
“Ya ... Ada sih.”
“Kita balik aja yuk!” Winda mulai waswas.
“Ya elah baru juga kita naik masa harus balik sih,” protes Laras.
“Winda! Awas di belakang!” teriak Laras.
Dengan spontan Winda berdiri sambil berteriak dan perahu yang kami naiki menjadi bergoyang.
“Laras! Kamu jangan begitu nanti kalau kita jatuh semua ke sungai gimana?” ucapku.
“He-he-he maaf Ya, aku bercanda habis Winda kayaknya tegang banget,” sahut Laras sambil cengengesan.
“Lagian nih ya, ada yang lebih menakutkan dari buanya sungai!” pungkas Laras.
“Apaan memangnya?” tanyaku sambil berusaha menyeimbangkan kembali perahuku.
“Buaya darat! Ha-ha-ha.”
Aku dan Winda hanya bisa saling menatap mendengar candaan garing dari Laras.
“Laras! Ketawamu tolong dikontrol!” ucap Winda.
“Kenapa sih, lagian di sini sepi nggak ada orang !” Laras menghiraukan teguran dari Winda.
Laras terus membuat kegaduhan, dari mulai menggoyang-goyangkan perahu dengan tubuhnya, memukul-mukul air dengan sendalnya membuat Winda terciprat air.
“Eh ... ini kok perahunya goyang sih?” ucap Winda.
“Loh ... Aya. Ini kenapa perahunya?” Laras terkejut karena perahu yang kami naiki berputar dengan sendirinya.
Aku mencoba untuk tetap tenang sambil berusaha menghentikan perahu dengan dayungku. Aku mulai panik ketika dayungku menyentuh sesuatu di bawah air dengan spontan aku mengangkat dayungku.
Aku melihat arus sungai menjadi deras, padahal sebelumnya sangat tenang aku bahkan tidak mampu menggerakkan perahu menuju tepian sungai.
“Aya ini kenapa? Kita makin lama makin jauh,” ucap Winda dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Aku nggak tahu, tiba-tiba arusnya deras aku nggak bisa ke pinggir!” ucapku sambil terus berusaha mendayung.
Arus itu seakan ingin menarik perahu yang kami tumpangi menuju sungai besar, jantungku berdebar kencang karena ketakutan hingga sesuatu mengejutkan kami.
Ada sesuatu yang membentur bagian bawah perahuku dengan keras hal itu membuat kami semua terdiam seribu bahasa, Winda mulai menangis sesegukan begitu pula dengan Laras terlihat sangat pucat dan ketakutan.
“Aya itu apa?” ucap Laras dengan pelan.
“Aku nggak tahu Ras, semoga saja itu Cuma batang kayu,” ucapku yang berusaha menenangkan keadaan.
Benturan itu terjadi beberapa kali, membuat Winda semakin histeris aku juga tidak bisa menepis pikiranku lagi jika di bawah perahu kami sekarang bukanlah batang kayu melainkan makhluk yang menjadi bahan candaan Laras sebelumnya.
Aku terus waspada aku menggengam erat dayungku jika sewaktu-waktu buaya muncul di samping perahu aku bisa memukulnya dengan dayungku, itulah yang bisa aku pikirkan saat itu.
Hingga aku teringat ucapan dari Nenekku, jika sedang berada di sungai kita harus menjaga sikap, perkataan, serta perbuatan dan jika sesuatu terjadi harus segera meminta maaf dengan hati yang tulus. Aku pun berpikir semua ini karena candaan serta ucapan dari Laras.
“Ras cepetan minta maaf!” ucapku kepada Laras.
“Hah? Sama siapa? Memangnya aku berbuat salah sama siapa? Winda?” Laras mengerutkan dahinya.
“Bukan. Sama sungai ini ayo cepetan!” seruku pada Laras.
“Kamu becanda?” Laras memandangiku dengan wajah tidak percaya.
“Aku serius! Ayo Ras!”
“Aya kita ini lagi berada dalam bahaya! Jangan becanda kaya gini!” Laras meninggikan suaranya.
“Aku serius! Nenekku bilang kalau sedang di sungai nggak boleh berbuat dan berkata buruk!” ucapku sambil berusaha mendayung kembali.
“Nggak di ucapin langsung juga nggak apa-apa, ucapin dalam hati aja tapi harus tulus mengakui kesalahan!” sambungku.
Laras terdiam saat mendengar ucapanku, Laras menenangkan dirinya sembari menghela nafas berkali-kali.
“Datu. Laras minta maaf karena Laras sudah bercanda sangat keterlaluan, Laras berjanji tidak akan mengulanginya lagi Laras menyesal,” ucap Laras dengan pelan.
Usai Laras menyesali perbuatannya, arus sungai yang tadinya deras perlahan menjadi tenang seperti awal kami datang aku pun tidak percaya dengan apa yang aku lihat begitu pula dengan Winda dan Laras namun begitulah kenyataanya.
Aku bergegas memutar arah perahu dan mendayung sekuat tenaga menuju rumahku. Laras terlihat terdiam seakan menyesali perbuatannya. Saat sampai, Laras dan Winda dengan cepat keluar dari perahu dan masuk ke dalam rumahku.
“Maafin aku ya, gara-gara aku kita hampir celaka,” ucap Laras.
“Aku juga minta maaf sama kalian, seharusnya aku tidak perlu memaksa kalian ikut denganku,” sahutku dengan penuh sesal.
“Sudahlah, yang penting kita selamat,” sahut Winda sambil memegangi pundakku dan Laras.
“Oh iya Aya, penunggu sungai ini memang namanya Datu?” tanya Winda yang kebetulan bukan asli orang Kalimantan.
“Bukan. Datu itu sebutan buat leluhur, terus bisa juga di pakai untuk sebutan Ibu dari Nenek,” tuturku.
“Oh ... Aku kita itu nama penunggunya.”
Wajah sendu Winda kembali ceria, begitu pula dengan Laras sedangkan aku menganggap kejadian itu sebagai pengalaman serta pembelajaran ketika dimana pun berada kita harus tetap sopan dan tidak sembaranga
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!