Anak Laki-laki di Kelas

Denting bel berbunyi berkali-kali tanda jika waktu pelajaran berakhir. Satu per satu murid telah keluar kecuali aku dan salah satu murid yang duduk di barisan pojok kanan paling belakang.

Aku memasukkan buku-buku serta peralatan menulisku ke dalam tas lalu menutupnya. Aku beranjak dari bangku dan bersiap pulang, aku melihat seorang murid laki-laki masih duduk diam tanpa pergerakan.

'Kenapa dia? Apa dia ada masalah?' gumamku.

Aku menghampirinya dan berniat untuk mengajak pulang bersama, aku merasa sedikit asing dengan murid tersebut.

“Kamu nggak pulang?” tanyaku.

Anak itu tidak menyahut, dia hanya diam dengan tatapan kosong.

“Kok diam? Kamu ada masalah di rumah ya?” 

Anak itu menggelengkan kepalanya, membuatku semakin bingung. 

“Kamu jangan sendirian di sini, ayo kita pulang,” aku memegangi tangannya.

'Dingin banget, apa dia sakit?' pikirku.

“Kamu sakit ya?” tanyaku.

Dia kembali menggelengkan kepalanya.

“Oh iya ... Aku baru tahu kalau ada murid lain di kelas ini,” ucapku.

Aku mengingat-ingat kembali jika sebenarnya di kelasku tidak ada murid baru bahkan biasanya kursi di pojok belakang itu tidak diisi karena sudah rusak.

Aku sedikit ragu dengannya, saat aku menarik tangannya pun dia sama sekali tidak mau bergerak hanya duduk diam termangu.

Aku pun melepaskan tangannya dan berpamitan terlebih dahulu dengannya.

“Ya sudah. Kalau begitu aku pulang duluan ya,” ucapku sambil berbalik.

“Hati-hati,” sahutnya dengan pelan.

Mendengar hal itu aku berbalik dan aku benar-benar terkejut dibuatnya, anak itu menghilang dalam hitungan detik. Aku bergegas keluar kelas dan berlari menuju gerbang sekolah dengan nafas yang tersengal-sengal aku berusaha lari sejauh mungkin dari sekolahku itu.

“Astaga! Sepedaku!” pekikku saat ingat jika sepedaku masih berada di sekolah.

Aku berlari dan masuk kembali ke dalam gerbang sekolah dan mengambil sepedaku yang terparkir di dalam sekolah.

Aku menggoes sepeda lamaku itu dengan santai sambil terus memikirkan sosok anak laki-laki itu.

'Apa dia hantu?' pikirku.

'Untung saja dia tidak menculikku?' aku bermonolog sembari menggoes sepeda.

'Tapi, untuk apa juga dia menculikku? Ah ... Sudahlah?' gumamku lagi.

Sesampainya di rumah aku memarkir sepedaku di depan rumah lalu masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Aku mengambil Hp dan memberi tahukan Laras lewat pesan singkat tentang kejadian yang aku alami. Aku memberitahukan Laras jika aku baru saja bertemu sosok hantu yang ada di kelasku. Rupanya Laras tertarik dengan apa yang aku ceritakan dan ia berencana untuk ke rumahku.

Satu jam kemudian, Laras datang ke rumahku sambil membawa beberapa makanan serta snack.

“Aya!” ucap Laras.

“Masuk sini Ras,” ajakku.

“Kamu sendiri? Nini (nenek) sama abah mana?” tanya Laras.

“Nini lagi di kamar, kalau abah seperti biasa lagi nongkrong di tambak belakang, kamu tunggu di sini dulu aku bikinkan minum.”

“Oke.”

Aku berjalan menuju dapur sederhanaku yang berdinding terpal biru itu aku mengambil es batu dari dalam kulkas untuk membuat es teh. 

“Nih diminum dulu,” ucapku sambil menyodorkan gelas dan satu teko es teh.

“Kamu banyak banget bawa makanannya,” ucapku.

“Buat teman kita ngobrol kan di sini ada nini sama abah juga,” sahut Laras.

“Eh ... Gimana?” tanya Laras.

“Gimana apanya?”

“Itu cerita kamu lihat hantu di kelasmu.”

“Oh iya. Jadi waktu itu pas jam pulang ada murid duduk di pojokan aku ajak pulang bareng malah nggak mau, aku ajak ngomong juga nggak nyahutin.”

“Terus kamu tahu dia hantu dari mana?”

“Gini. Pertama seingatku di kelas nggak ada murid baru, kedua kursi itu nggak pernah ada yang ngisi karena sudah rusak dan ketiga ini yang paling nggak masuk akal!”

Laras mengerutkan keningnya dan fokus kepadaku. “Nggak masuk akal gimana?”

“Dia kan nggak mau aku ajak pulang, ya udah aku balik badan buat pulang dan pas aku baru beberapa langkah pergi dia baru bicara.”

“Dia bilang apa menangnya Ya?” tanya Laras.

“Hati-hati. Dan pas aku balik badan dia udang nggak ada!”

“Duh ... Kok aku merinding sih tuh liat bulu tanganku pada berdiri!” Laras memperlihatkan tangannya kepadaku.

“Apa jangan-jangan dia ke sini!” Laras mendekat dan duduk merapat ke padaku.

“Iya bisa jadi sih. Biasanya kata nini kalau kita nyeritain tentang ‘mereka’ itu bisa datang tanpa diundang,” sahutku.

“Aya udah ah! Mana mau magrib lagi!” ucap Laras.

“Ya sudah kita nonton TV aja deh,” ucapku sambil menyalakan TV.

Aku menutup semua jendela dan pintu, Abah juga sudah pulang dari tambaknya sambil membawa beberapa ekor ikan bawal.

“Nah ... Pas ada Laras!” ucap abah.

“Kenapa Bah? Mau ngasih duit kah?” ucap Laras sambil tertawa.

“Nanti kalau panen Abah beri duit. Nih bawa bawal buat mama,” ucap abah.

“Wiiihhh ... makasih Bah,” ucap Laras senang.

“Mama kamu bisa makan ikan ini kan?” tanyaku.

“Nggak tahu. Tapi lumayan dapat ikan gratis masih hidup pula walaupun aku belum pernah makan ini ikan,” ucapnya.

“Enak kok apa lagi di bakar walau banyak tulangnya.”

“Nanti aku kasih tahu mamaku.”

“Oh iya. Akhir-akhir ini kakakku selalu nanyain kamu Ya,” sambungnya.

“Nanyain aku? Buat apa?”

“Nggak tahu aku juga bingung.”

“Udahlah nggak usah dipikirin. Oh iya kamu mau mangga nggak?” tanyaku.

“Mau lah. Mana?” tanya Laras.

“Kita metik dulu lah.”

“Memang ada pohonnya?” 

“Ya ada banyak bahkan. Nanti habis magrib aku sama tetanggaku mau metik,” sahutku.

“Gas lah! Kapan lagi makan mangga hasil petikan sendiri,” sahut Laras.

Aku pun menunggu waktu sehabis magrib hingga tetangga yang juga teman sepermainanku yang bernama Odi itu datang ke rumahku.

“Aya! Ayo kita kemon!” ucapnya.

“Aku ajak temanku nggak apa-apa kan Di?” tanyaku.

“Nggak apa-apa. Makin rame,” sahut Odi.

Aku, Laras dan Odi pun berjalan ke luar rumah untuk menuju tempat yang kami tuju dengan berjalan kaki sekitar 500 meter hingga kami masuk ke sebuah rumah kosong dengan pohon mangga yang sedang lebat-lebatnya.

“Ini rumah siapa?” tanya Laras.

“Rumah orang Ras,” sahutku.

“Lah ... Aku kira rumah dia atau saudaranya,” ucap Laras sambil menunjuk Odi.

“Ya bukan. Mumpung nggak ada orangnya ayo naik!” sahutku.

“Tapi ini namanya mencuri!” ucap Laras.

“Tapi di situlah tingkat keseruannya,” sahut Odi.

Aku mulai memanjat bersama Odi sedangkan Laras berada di bawah. Saat berada di atas pohon aku dan Odi sempat berbincang tentang pemilik pohon mangga itu.

“Aya. Kamu tahu nggak yang punya rumah baru beberapa hari yang lalu meninggal?” ucap Odi.

“Gila. Kenapa kamu baru bilang?” ucapku sambil memetik mangga yang ada di atas kepalaku.

“Kalau aku beri tahu kamu pasti nggak mau!”

Terpopuler

Comments

Putri Minwa

Putri Minwa

Hm kenapa?

2023-11-07

0

One Tea

One Tea

Berasa metik mangga di kebon sdri 😅😅😅

2023-02-19

0

Kardi Kardi

Kardi Kardi

hmmm. mangga orang oiiiiii

2023-01-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!