SAPU TANGAN

Sesederhana sapu tangan, mampu melukiskan kebahagian, dengan hati yang berdebar tak karuan.

***

Berada di antara kerumunan orang-orang, tapi tidak ada sahabatmu di dalamnya, tentu rasanya akan berbeda. Begitupun yang dirasakan Resha. Makan sendirian di tengah banyaknya orang di kantin, Resha merasa sepi. Dalam hati ia merutuk. Delia betah sekali di kampung halamannya. Tidak tahukah bahwa di sini Resha luntang-lantung seperti anak kecil yang kehilangan ibunya? Resha menghela napas. Kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Lain kali kalau ke kantin ngajak gue dong, Res. Gue juga nggak ada temen ngantin, nih,” ucap sebuah suara yang kini berada di samping Resha.

Resha yang tengah mengunyah nasi goreng sontak mendongak. Mendapati gadis cantik berambut sebahu tengah membawa minuman kaleng. Lidia mendudukkan tubuhnya di depan Resha. Resha menelan nasi goreng di mulutnya, lalu menyeruput es teh. "Biasanya lo jarang ke kantin, Lid. Makanya, tadi gue bablas aja. Maaf ya," ucapnya dengan sedikit cengiran.

Lidia mengangguk. "Iya, nggak papa. Gue lihat lo nggak ada Delia kayak kesepian banget, Res," celetuk Lidia. Resha menghembuskan nafasnya sambil menganggukkan kepalanya.

"Iya nih, belahan jiwa gue lagi nggak masuk sekolah," candanya.

Lidia tertawa. "Ah elah, bisa aja lo. Kalau Delia belum masuk sekolah, ngantin sama gue aja. Gue juga nggak punya temen ngantin."

Resha dapat mendengar nada sendu dari ucapan Lidia barusan. Gadis itu bisa merasakan bagaimana perasaan ketua kelas yang ada di depannya ini. Tangan Resha tergerak untuk mengusap bahu Lidia. Seolah menyalurkan ketenangan lewat usapannya. "Gue sama Delia selalu welcome kapanpun lo mau gabung sama kami. Kami nggak membedakan teman. Apalagi, lo orang baik," ungkap Resha tulus.

Lidia justru tersenyum miris. "Gue nyebelin, Res. Buktinya, anak-anak di kelas banyak yang nggak suka sama gue. Katanya, gue sok ngatur lah, gini lah, gitu lah. Tapi kan emang kewajiban gue buat ngatur mereka. Buat jagain mereka. Emang salah, ya?" papar Lidia dengan tatapan kosong pada meja kantin. Genggamannya pada minuman kaleng semakin kuat.

"Lo nggak salah. Mungkin, mereka masih belum ngerti. Udah, jangan sedih. Biasanya galak, tiba-tiba sedih gini, serem," kekeh Resha.

Lidia ikut tertawa begitu saja. Dalam hidup, memang tidak semua orang dapat menangkap maksud yang sebenarnya ingin kita sampaikan. Beberapa justru salah tangkap dan menimbulkan kesalah pahaman. Tentu saja kita tidak bisa memukul rata semua orang untuk paham apa yang sebenarnya kita sampaikan. Kita tidak bisa memaksa, yang bisa kita lakukan adalah menuntun mereka.

Sama halnya Lidia. Sebagai ketua kelas, ia sudah siap dari awal jika beberapa teman menjauhi atau mencelanya. Ada yang mengatakannya sok rajin, cari muka, dan sebagainya. Lidia tidak melawan. Gadis itu hanya tersenyum tipis dan menulikan telinganya.

Suara dari pengeras suara sekolah itu membuat Lidia berdecak pelan. Ketua kelas diminta berkumpul sekarang. Minuman kalengnya bahkan belum habis. Resha yang melihat itu juga bingung. Pada akhirnya yang ia lakukan hanya tersenyum dan menyemangati temannya.

"Tugas negara, nih. Duluan, ya, Res," pamit Lidia sambil berlalu dari hadapan Resha.

Resha terkekeh. Gadis itu mengacungkan kedua tangannya yang terkepal seolah memberi semangat. Setelah Lidia hilang dari pandangannya, Resha menggeleng pelan.

Mungkin jika dirinya yang ada di posisi Lidia, ia tidak akan kuat. Panggilan mendadak tiba-tiba, masih dicela anak-anak kelas pula. Dalam hati Resha berdoa, semoga Lidia selalu baik-baik saja dan diberi kesabaran lebih luas.

"Wah makan sendiri, kelihatan jomblonya, nih." Resha mengerjap begitu suara khas laki-laki terdengar dekat.

Tempat yang semula diduduki Lidia, kini sudah berganti seorang laki-laki. Orang itu tengah tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya.

Gentala, laki-laki tersebut adalah orang yang temuinya beberapa hari lalu.

"Kak Ta?" panggil Resha ragu.

Gentala mengerucutkan bibirnya mendengar panggilan Resha padanya, "Panggil gue Genta, Res. Jangan Ta gitu, kayak cewek," protesnya tak terima jika harus di panggil Tata,

Resha menggaruk pipinya canggung. "Kak Ta itu maksudnya Kak Genta. Kalau dipanggil lengkap kepanjangan, dipanggil Kak Gen juga aneh," jelasnya.

Gentala menjentikkan jarinya. "Gimana kalau huruf n dihilangin. Panggil Kak Ge. Kan lebih uwu, ya nggak?" usul Gentala dengan memainkan alisnya.

Resha justru mengangkat kedua alisnya. Apa katanya? Kak Ge? Itu kan panggilan untuk Genathan. Bagaimana bisa menyebut dua orang yang berbeda dengan satu nama yang sama. Resha menggeleng. "Udah uwu Kak Ta. Kak Ge itu kayak namanya Kak Genathan yang dipanggil Gege."

Gentala menghela napas dan mengangguk samar. Cowok itu berdehem. "Ya bener juga, sih. Kayak si Gege. Oke, gimana kalau panggil sayang aja?" lontarnya dengan terkekeh.

Melihat raut wajah Gentala yang justru terlihat lucu, tidak bisa membuat Resha untuk menahan tawanya. "Wah mulai menjelma jadi kang kerdus ya, Kak? Aku aduin Gadis, nih, kakaknya mau jadi playboy," sahut Resha dengan memicingkan matanya mengancam laki-laki di depannya tersebut.

"Nggak deh. Ampun gue kalau bawa-bawa Gadis. Kuping gue bisa budeg kalau dia ngomel," tolak Gentala dengan menggelengkan kepalanya. Cowok itu memijat pangkal hidungnya.

Gentala adalah sosok yang menyenangkan. Pembawaannya ramah dan santai. Iris mata hitam kecoklatan berbinar menghangatkan, mampu membuat siapapun tersihir. Tapi bagi Resha, binar mata paling meneduhkan tetaplah milik Genathan.

"Lo nggak mau balik ke kelas, Res? Yuk gue anter ke kelas," tawar Gentala begitu melihat piring Resha sudah bersih dari makanan.

"Aku bisa balik sendiri, Kak. Nanti aku diteror penggemarnya Kakak, malah bingung," tolak Resha. Gentala memang sama seperti Genatahan yang memiliki banyak penggemar, orang tampan memang selalu jadi idola mau bagaomanapun kelakuannya.

"Gue sekalian balik ke kelas. Ayok, dah." Gentala berdiri dan memegang tangan kanan Resha. Cowok itu menariknya pelan membuat Resha ikut berdiri.

"Jangan tarik-tarik, Kak," gerutu Resha melepaskan tangannya dari Gentala.

Gentala nyengir sambil mengusap tangan Resha yang tadi ia tarik. "Iya, maaf, ya."

Resha hanya mengangguk. Selanjutnya mereka berdua berjalan beriringan. Gentala yang mengoceh banyak hal, sedangkan Resha diam mendengarkan. Cowok ini seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan.

Semuanya bisa dibahas oleh Genta. Mulai dari kucingnya yang pulang selalu dalam keadaan bunting, sampai berita cinta lokasi antara Pak Rusdi—guru ekonomi dengan Mbak Dini si penjaga kantin. Terlalu asik mendengarkan ocehan Gentala, tak sadar Resha menabrak orang yang berjalan di depannya. Tidak sepenuhnya salah Resha, karena cowok itu juga berhenti mendadak di depannya.

Sialnya, karena tabrakan kecil itu membuat cipratan air dari gelas cup yang dibawa cowok itu terkena tubuh Resha. Refleks, Resha mengaduh pelan.

"Ge, kalau jalan hati-hati. Semua orang lo tabrak kalau jalan," omel Gentala.

"Sorry."

Suara itu. Selama ini, ia hanya mendengar suara itu dari jauh. Sekarang, suaranya terdengar begitu jelas di telinga Resha.

Tentu Resha tahu suara ini. Genathan, laki-laki yang di idolakannya sedari dulu.

"Dek, nggak papa?"

Resha ingin bersuara, tapi seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya hingga akhirnya gadis itu hanya bisa bungkam.

"Res? Lo nggak papa, 'kan?" Gentala ikut bersuara menyadarkan Resha.

Resha masih menunduk walau sebenarnya ingin sekali melihat wajah tampan Genathan.Gadis itu membelalak ketika sesuatu menyapa lengan kanannya. Ragu-ragu, ia mendongak. Serius, rasanya Resha ingin memekik ketika tahu bahwa Genathan dengan telaten sedang mengusap tangan kanan Resha menggunakan sapu tangan biru.

"Maaf, tangannya jadi basah gara-gara kecipratan minuman gue," ucapnya masih membersihkan tangan Resa dengan sapu tangan.

Resha hanya diam. Seolah tubuhnya membatu, ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun. Gadis itu tersihir dengan sikap Genathan yang sangat manis. Deheman dari Gentala membuat Resha sontak mengerjap. Genathan melepaskan tangannya dari lengan Resha. Detak jantung Resha kini sudah berdetak begitu cepat, meronta untuk keluar dari tempatnya.

"Ingat ya, Ge, kalau jalan hati-hati," tegur Gentala lagi, mengingatkan temannya itu.

Genathan tersenyum kecil dan mengangguk sambil berkata, "Iya."

Berikutnya, tatapan Genathan berhenti pada Resha. Cowok itu menyerahkan sapu tangannya di depan Resha. "Bawa dulu," pintanya pelan.

Desiran pelan kembali Resha rasakan. Apalagi, ketika Genathan memegang tangannya dan membuka telapak tangannya.

Cowok itu meletakkan sapu tangan biru di atas telapak tangan Resha sambil berucap, "Maaf ya, Dek, gue nggak sengaja. Sapu tangannya simpan dulu."

***

Alus banget ya rasanya pertemuan mereka.

Kok Aku suka sama orang dalam diam rintangannya kek banyak banget. Mulai dari melewati hutan, danau, laut, pas udah sampek banyak duri dan serpihan belingnya.

Aku balik lagi dengan cerita teenfiction nih, semoga kalian suka ya sama cerita ini. Karena cerita ini juga gak kalah seru dari cerita aku yang lain loh.

So, jangan lupa buat like, koment, vote, dan love untuk menambahkan cerita ini ke perpustakaan ya! Biar kalian gak ketinggalan update tersebaru dari cerita ini.

Cek profil aku juga ya buat baca cerita aku yang lain, dan jangan lupa buat follo akun ini ya.

See you next chapter all.

Thanks for reading all.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!