Bertemu Gentala

Manik netranya berbinar cerah, mengantarkan bahagia yang merekah, bagi siapapun yang tengah menatapnya.

***

Hari ini Delia tidak masuk sekolah. Ia masih berada di kampung halaman. Lagi-lagi, Resha kesepian. Selama ini ia sudah terbiasa menjalani hari-hari di sekolahnya bersama Delia. Resha memang masih mempunyai teman yang lain. Tetapi, Delia berbeda. Seasik apapun bersama teman baru, tetap sahabat lama yang mengerti kita dan paling cocok dengan kita. Namun, hidup harus terus berjalan. Ada atau tidaknya seseorang yang berharga di samping kita, kita harus melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.

"Resha, ayo buruan ke lab kimia!" Teguran dari Lidia—si ketua kelas membuat Resha terperanjat kecil. Gadis itu mengerjap lalu mengangguk kikuk. Gadis tersebut menoleh ke sekeliling dan ternyata di kelas memang hanya tersisa dirinya juga Lidia.

Tangannya merogoh laci meja. Mencari jas praktik yang memang ia taruh di sana. Usai mendapatkannya, Resha buru-buru memakai jas praktik seperti teman-temannya. Peraturan sebelum masuk lab kimia, murid-murid harus sudah memakai jas praktiknya terlebih dahulu. "Resha ayo, kelasnya mau dikunci," desak Lidia lagi.

"Iya, bentar ini lagi ambil tempat pulpen," jawab Resha terburu-buru. Begitu selesai dengan persiapannya, Resha segera menyusul teman-temannya yang lain untuk keluar kelas.

Baru saja Resha hendak melangkah menuju laboratorium kimia, sebuah suara menghentikan pergerakannya. "Tunggu ngunci pintu, Res. Masa gue sendirian?" rajuk Lidia yang masih berkutat dengan kunci kelas.

Resha mengangguk, dengan sabar menunggu Lidia. Harusnya, ini tugas seksi keamanan. Tetapi, Mahendra yang menjadi seksi keamanan justru sudah berhamburan duluan paling depan.

Setelah mengunci pintu, Lidia segera menyusul Resha dan menepuk bahu gadis itu. "Yuk, jalan!" ajaknya yang mendapat anggukan dan senyuman dari Resha. Sepanjang perjalanan, Resha mendengarkan Lidia yang merutuk. Objek rutukan si ketua kelas kali ini adalah Mahendra.

"Tau gitu, dulu gue nggak pilih dia jadi seksi keamanan. Gaji buta gitu," geram Lidia dengan mencengkram buku di genggamannya kuat.

Resha hanya terkekeh, "Kan enggak digaji, Lid. Sabarin aja, tumbenan itu si Maman antusias sama kimia. Biasanya cari masalah mulu sama Pak Eko," timpal Resha.

Lidia berdehem. "Ya bener juga, sih. Tapi, perasaan gue nggak enak. Takutnya, dia buat ulah di lab. Gue bosen kena tegur Pak Eko terus karena dikira nggak becus ngurus kelas," papar Lidia.

Resha mengerti apa yang dirasakan gadis itu. Resha akui bahwa Lidia adalah perempuan yang tegar dan kuat. Meski sering menjadi bahan celaan anak-anak yang tidak menyukainya, Lidia tetap pasang badan paling depan ketika teman sekelasnya kesusahan.

"GENTALA, SAYA BILANG BERHENTI!"

Resha dan Lidia kompak terkejut mendengar teriakan Bu Mia selaku guru BK. Seorang murid laki-laki dan seorang guru perempuan kini terlihat sedang kejar-kejaran di koridor sekolah.

"Bu Mia, Genta ada ulangan geografi. Nanti nggak bisa nyontek. Istirahat, deh, saya mampir ke ruang BK," jawab pemuda yang dipanggil Gentala tanpa menghentikan langkahnya.

"GENTA!" teriak bu Mia yang sudah tak tahan lagi dengan murid badungnya yang satu itu. Dan baru kali ini dia mendengar ada maling yang mengaku. Biasanya orang mencontek selalu sembunyi-sembunyi namun Gentala malah memaparkannya terang-terangan.

Saking asiknya lari-larian bersama Bu Mia, cowok itu sampai tidak bisa menghentikan langkahnya ketika berada di depan Resha. Resha sudah hampir beranjak untuk menjauh, tetapi terlambat. Tubuh cowok itu sudah lebih dulu menyenggolnya membuat Resha terhuyung jatuh. Sedangkan Gentala tersandung kakinya sendiri.

Lidia segera membantu temannya. Mengulurkan tangannya dan membantu Resha untuk berdiri. "Ada yang lecet nggak, Res?" tanya Lidia khawatir.

Resha berdiri susah payah dengan bantuan Lidia. Lalu menggeleng pelan. "Nggak papa, kok."

Lidia berdecak. Menghampiri cowok bernama Gentala yang juga baru saja bangkit dari jatuhnya. "Hati-hati dong, Kak! Ini koridor sekolah, bukan area lomba lari!" amuk Lidia.

Benar 'kan? Lidia akan menjadi orang yang paling marah ketika temannya terluka.

"Maaf, Dek. Serius gue nggak sengaja. Gue duluan, ya, sebelum dikejar lagi. Sekali lagi maaf, ya!" Gentala lanjut berlari. Masih diiringi oleh pekikan Bu Mia yang terdengar semakin dekat.

"Aduh, sialan!" umpat Gentala keras ketika salah satu pintu kelas terbuka dan ia sedang lewat di depannya. Gentala jatuh lagi. Cowok berkacamata yang menjadi pelaku pembuka pintu, menciut takut. Sepertinya yang dikatakan pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, sedang Gentala hadapi saat ini.

"Kalau buka pintu yang bener!" sewot Gentala dengan memegang sikunya. Cowok berkacamata tersebut menundukkan kepalanya terlalu takut pada Gentala.

"Harus jatuh dulu baru mau berhenti, hm?"

Tidak hanya Gentala yang mendelik, Resha juga sama mendeliknya ketika tiba-tiba saja Bu Mia sudah ada di sana dan menjewer telinga Gentala. Resha terkekeh geli melihat Gentala yang terlihat kesal bercampur cemas.

Hari itu Resha lalui seperti biasa walau paginya, sudah disuguhi dengan pemandangan keributan oleh Gentala. Semua berangsur damai hingga pada malam harinya, rencana Resha untuk tidur lebih awal harus pupus ketika perutnya justru berbunyi. Gadis itu tidak akan bisa tidur nyenyak dengan perut lapar.

Hal itulah yang membuat Resha kali ini berada di minimarket dekat rumah. Mampir sebentar membeli roti untuk mengganjal perut, lalu lanjut ke warung tenda nasi goreng di depan komplek.

"Dek, uangnya kurang lima ribu," ucapan petugas kasir membuat gadis di depan Resha gelagapan. Sepertinya, ia tak membawa uang lagi.

Resha tersenyum tipis. Agak menggeser tubuhnya untuk meletakkan dua buah roti dan satu botol minuman kemasan. "Dijadiin satu sama kurangannya adik ini aja, Mbak," ucap Resha ramah.

Petugas kasir itu mengangguk. Segera memproses belanjaan Resha dan milik gadis itu. Resha menolak saat akan diberi plastik. Setelahnya, ia berjalan lebih dulu dari gadis tadi.

"Kak!" Langkah Resha berhenti. Tubuhnya berbalik untuk menatap gadis yang tingginya mencapai lehernya.

"Makasih, ya, Kak. Ini gara-gara Kak Tata! Dia enak-enakan makan nasi goreng di warung, aku suruh belanja di minimarket. Mana ngasih uang kurang lagi," rutuk gadis itu dengan bibirnya yang sudah mengerucut lucu.

Resha terkekeh. Mengangkat tangannya untuk mengacak gemas rambut gadis itu. "Nama kamu siapa?" tanyanya.

"Aku Gadis, Kak. Kakak mau nggak ikut aku ke warung nasi goreng? Biar aku minta ganti uangnya sama Kak Tata," usul Gadis.

Resha tersenyum. "Nggak usah diganti nggak papa. Tapi, aku memang mau ke warung nasi goreng. Yuk, bareng. Oh, ya, ini buat kamu, buat ganjal perut,"  jawab Resha dengan menyerahkan satu roti yang disambut oleh Gadis.

Selanjutnya, mereka berjalan bersama menuju warung nasi goreng. Memang tidak jauh dari rumah Resha. Ternyata, rumah Gadis juga daerah sini.

"Tuh, Kak, lihat! Dia malah enak-enakan minum es teh. Dasar, kakak nggak ada akhlak!" umpat Gadis sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki yang kini terlihat begitu asik dengan nasi gorengnya..

Resha tertawa. "Gitu-gitu kakak kamu. Samperin sana. Aku mau pesen nasi goreng dulu buat di rumah."

"Eits nggak, Kak! Biar Kak Tata yang mesenin. Ayo, Kak, samperin Kak Tata. Minta ganti uang ke dia." Gadis menarik tangan Resha ke tempat kakaknya dengan paksa, padahal Resha sama sekali tidak keberatan jika Gadis tidak mengganti uang nya karena ia ikhlas membantu gadis tersebut.

"Kak Tata tuh, ya, ngasih uang kurang, malah enak-enakan makan disini! Ganti kak, dua puluh ribu!" omel Gadis begitu sampai di depan cowok yang dipanggil Tata.

Cowok itu mendongak. Tatapannya tak sengaja menangkap Resha yang tengah mengerjap. Mereka sama terkejutnya.

"Loh? Lo yang tadi nggak sengaja gue tabrak, ya?" tunjuk cowok itu kepada Resha.

Resha mengangguk kaku. "Kak—"

"Gentala. Nama gue Gentala. Panggil Genta aja, jangan ikut-ikutan Gadis manggil Tata. Kayak cewek," potongnya dengan menjulurkan tangan bermaksud berkenalan.

Resha menyambut jabatan tangan itu agak kikuk. "Resha," ucapnya memperkenalkan diri.

Resha akui senyuman Gentala memang manis. Dari tatapan matanya yang hitam kecoklatan memantulkan binar kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. Resha mengerjap, lalu menarik tangannya dari kungkungan Gentala.

"Makasih, ya, udah bantu adik gue. Nggak usah dibantu nggak papa, sih, sebenernya," kekeh Gentala yang sontak membuat Gadis memelotot tajam pada kakaknya yang akhlaknya minus itu.

Cowok itu merogoh sakunya, mengeluarkan uang berwarna hijau. "Kata Gadis, dua puluh ribu, ‘kan? Nih." Gentala menyodorkan uang itu.

Resha menggeleng. "Nggak papa, Kak. Sebenernya cuma lima ribu kok."

"Wah, lo mau bohongin gue ya, Dis?" geram Gentala pada Gadis yang menyengir seolah tak berdosa.

"Oke kalau nggak mau diganti pakai uang. Gue ganti pakai nasi goreng, ya. Tunggu bentar gue pesenin."

Resha belum sempat menjawab, tapi Gentala sudah terlebih dulu beranjak.

"KAK TATA, GADIS SEKALIAN!" Teriak Gadis menggelegar, sepertinya gadis tersebut memang hobi tarik suara.

***

Di sini ada yang punya kakak cowok gak sih? Aku tuh pengen punya kakak cowok tapi sayang banget aku malah jadi anak pertama.

Kayaknya seru ya kalau punya kakak cowok, ada temen berantem sekaligus pengawal pribadi gitu.

Aku balik lagi dengan cerita teenfiction nih, semoga kalian suka ya sama cerita ini. Karena cerita ini juga gak kalah seru dari cerita aku yang lain loh.

So, jangan lupa buat like, koment, vote, dan love untuk menambahkan cerita ini ke perpustakaan ya! Biar kalian gak ketinggalan update tersebaru dari cerita ini.

Cek profil aku juga ya buat baca cerita aku yang lain, dan jangan lupa buat follo akun ini ya.

See you next chapter all.

Thanks for reading all.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!