Kesempatan Kedua Untuk Angga
"Jangan!"
Ponselku tiba-tiba lepas dari tangan. "Hey!" Aku bangkit dari posisi rebahku.
"Mo, gue tahu lo kesal ama gue, ya, tapi, please, jangan yang dibanting hape gue, dong!"
"Terus? Maksud lo, elo aja yang gue banting, gitu?" timpalnya sambil melotot.
Buset, deh.
"Terserahlah!" sambungnya lagi, melanjutkan aksi mencak-mencaknya.
"Tapi, La, lo harus janji sama gue kalau lo gak bakal pergi ke sana. Mana kelingking lo? Bawa sini!" gertak wanita berambut pirang sebahu yang sudah menjadi sahabatku sejak kecil itu sembari mengulurkan jari kelingking kanannya.
Raisa dan janji jari kelingkingnya. Aku menggelengkan kepala di dalam kepalaku.
Kini kami sedang berada di kamarku. Aku duduk bersila di atas kasur, masih mengenakan baju tidur berupa kaos abu-abu tua yang bolong-bolong di sekitar bagian leher dan celana flanel yang dipenuhi oleh gambar emotikon senyum. Sementara "Nyonya" Raisa yang terhormat berdiri di seberangku dalam balutan gaun musim panas berwarna fuchsia motif bunga-bunga.
Sangat jelas sekali Raisa tidak menyukai rencanaku ini. 'Tidak suka' mungkin ungkapan yang terlalu lemah karena sesungguhnya dia membenci semua itu. Tangannya yang lentik terkepal kuat di kedua sisi tubuh. Bibirnya komat-kamit. Lihat saja dari bagaimana stiletto-nya merusak karpetku dengan setiap langkah mondar-mandirnya. Begitulah cara Raisa mencoba mengendalikan diri agar tidak meledak saat ini juga.
“Tapi, Sa, gue harus melakukan ini. Gue perlu melakukannya. Habis itu gue akan berhenti. Gue janji,” bujukku. Setidaknya, aku bisa menjanjikan itu.
Mendengar nada menyerah dalam suaraku, langkahnya terhenti. Raisa Putri Suryadiningrat, anak dari sahabat sekaligus rekan papa di Handoko, Suryadiningrat, dan Rekan, firma hukum yang mereka dirikan tiga dekade lalu, menatapku dalam.
Kubalas tatapan dalamnya dengan diam.
Aku tahu niatnya baik, dia tidak ingin aku terluka lagi, tetapi dia juga harus mengerti bahwa aku harus melakukan ini, untukku. Untuk diriku sehingga aku bisa menutup lembaran lama dan melanjutkan hidup. Untukku, karena aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Untukku, agar aku bisa mengucapkan selamat tinggal.
Apa yang tidak — setidaknya belum — diketahui Raisa adalah bahwa mulai sekarang, semuanya berubah.
Tak akan lagi sama.
****
Enam bulan yang lalu
Aku memejamkan mata, lalu memijat dahi, berharap sakit kepala — yang ditimbulkan spread sheet yang berserakan di atas meja ini — akan berkurang. Baru pukul sepuluh pagi dan kepalaku rasanya sudah ingin meletus.
Memang, sudah beberapa bulan terakhir aku berkutat dengan proyek untuk sebuah hotel baru di pusat kota. Lembur berjam-jam, bolak-balik kantor dan lokasi, dan berkeliling mengincar interior yang sesuai dengan konsep yang diinginkan klien. Kelelahan tidak terelakkan. Namun, lelah ini akan terbayar oleh penambahan digit di rekening bank-ku setelah semuanya selesai.
Cuan. Cuan. Cuan.
"Apa lagi?" Aku menjawab panggilan dengan enggan setelah melihat foto di layar.
"Selamat ulang tahun!" teriaknya, benar-benar tepat di telinga. Segera kutarik ponsel menjauh. Aku ingin menjaga gendang telingaku tetap aman agar bisa dipakai setidaknya lima puluh tahun lagi.
“Raisa, ini udah ketiga kalinya lo teriak kencang banget dalam tiga jam. Dan untuk ketiga kalinya, gue ucapin terima kasih banget dan please, please, please, udahan. Oke?” pintaku padanya setengah geli, setengah serius.
Bisa kubayangkan Raisa sedang memutar bola matanya sekarang. “Beuh, cemen lo! Baru tiga kali aja udah kendor begitu. Gue, nih, dengan sungguh-sungguh sudah berkomitmen untuk memberikan selamat ultah kepada sahabat tercinta gue sebanyak dua puluh tujuh kali. Ini, kan, ulang tahun lo yang kedua puluh tujuh, Neng!”
Dia berlagak seperti aku tidak tahu kenyataan itu. Kini giliranku yang memutar bola mata. Dasar ratu drama. "Sialan lo! Iya, iya, Raisa Sahabat Terbaik Sepanjang Masa. Terima kasih banyak, ya. Tapi, please banget, lo mau berhenti kalau gue minta baik-baik, kan? Gue lagi pusing ngurusin proyek The Royal, nih."
"Iyee, iyee," jawab Raisa cepat, malas mendengarkan rengekanku. "Asalkan minta baik-baik itu artinya lo mau traktir gue. Barusan pas belanja buat si Nyonya," Si Nyonya adalah julukan yang diberikan Mo untuk salah seorang klien yang merupakan simpanan salah satu bos besar sebuah perusahaan multinasional, "gue lihat Saint Laurent cantiiik sekali."
Tetiba saja denyutan di kepalaku berubah menjadi pukulan setelah mendengar merek itu. Kupiejit dahi lebih keras. "Kayak yang gak bisa beli sendiri aja lo, minta ditraktir," protesku, kali ini lebih banyak seriusnya. "Sekate-kate mau minta traktiran sepatu mehong!"
"Dih, kayak yang gak bisa traktir gue sepatu mahal aja lo!" balasnya tak kalah ngotot.
Terkadang aku pikir "lebay" adalah nama tengah yang lebih cocok buat Raisa dari pada Putri. Gak ada keputri-putriannya ini anak. Aku lagi-lagi memutar bola mata. ****! Bumi rasanya ikut berputar. “Udahan, ih! Gue mau kerja lagi. Nanti juga makan di Beniqno juga gue yang bayarin. Tambah pusing gue ditodong YSL sama lo."
“Yeee, serah lo, deh! Makan di sana cuma berapa doang, tapi repetan lo udah kayak orang susah,” timpalnya lagi. Namun, aku bisa mendengar nada gurauan dalam suaranya. "Sampai jumpa di Beniqno kalau begitu, Neng Ola Olay. Jangan telat, ya. Bye!"
Sambungan telepon seketika terputus.
Dasar sinting.
Aku rasa aku butuh lebih dari satu butir Aspirin untuk mengusir rasa sakit kepala yang tak diundang ini.
****
Beniqno adalah bar sekaligus restoran populer di pusat kota yang sering kami kunjungi untuk makan atau sekadar hangout. Selain suasana yang hangat dan nyaman, Om Ben, sang pemilik, secara konsisten mengadakan pertunjukan musik live tiga hari seminggu untuk pengunjung malam mereka.
Sebagai mantan legenda musik rock dan pemilik bar, Om Ben ingin memberikan makanan yang enak dan musik yang bagus — dua hal penting dalam hidup menurutnya — pada saat yang sama. Dia ingin memberikan kesempatan berjuang para musisi baru di luar sana untuk mencapai impian mereka; sebuah titik untuk memulai, untuk mengembangkan bakat, untuk memperkenalkan diri kepada dunia.
Baru-baru ini Om Ben berencana untuk pensiun dan memberi istrinya liburan yang sudah dia janjikan sejak zaman dahulu kala. Oleh karena itu, dia mulai menyerahkan urusan bisnis pada putra semata wayang mereka, Angga, yang kebetulan adalah sahabat Oliver, kakak laki-lakiku.
Raisa dan beberapa teman kuliah kami sudah menunggu ketika aku menghampiri. Maya, Hesti, Glenn, dan Joshua berdiri lalu bergantian memberiku pelukan dan ciuman ucapan selamat. Glenn bahkan membungkuk sebelum dia meraih kursi untukku. "Silakan duduk, Milady," godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Aku terkekeh dan menggeleng. Sudah tabiatnya seperti itu, jadi kami pun telah kebal terhadap kelakuan genitnya.
Seolah diberi isyarat, Om Ben dan pasukan berjalan dari belakang counter menuju meja kami sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun yang segera diikuti oleh teman-temanku. Hal ini tentu saja menarik perhatian pelanggan lain, yang kemudian tanpa disangka bergabung bersama mereka. Jadilah, seluruh pengunjung Beniqno Bar and Grill sedang menyelamatiku melalui nyanyian.
Salah satu pelayan, Weni, mengikuti di belakang tubuh Om Ben yang besar dengan piring berisi setumpuk makanan yang aku yakin adalah pancake pisang dengan saus coklat. Di tengahnya terdapat sebuah lilin tinggi yang menyala. Aku meraih tangan Raisa di bawah meja dan meremasnya sebagai ucapan terima kasih.
Adalah ritual kami untuk merayakan ulang tahun di sini semenjak Raisa dan aku bisa melarikan diri dari pesta mewah yang dirancang para ibu. Namun, tidak dipungkiri, sebuah kebiasaan pun selalu bisa membuatmu emosional. Dengan mata berkaca-kaca dan hati yang tersentuh, kutiup lilin hingga padam. “Terima kasih banyak, Semua.”
Mereka tersenyum.
“Suguhan spesial untuk gadis spesialku,” jawab Om Ben sambil melingkupiku dengan pelukannya. "Selamat ulang tahun, Olavia."
Sebelum aku sempat berterima kasih kepada Om Ben, terdengar suara yang membuatku bergidik. "Selamat ulang tahun, Olavia."
Suara itu ....
Cara dia menyebut namaku ....
Jangan bilang kalau ....
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🦋 Pika 🦋
wehhh ucapan selamat sampe 27x 🤣🤣 niat banget
2022-12-12
1
Az-Zahra
wah...pake aspirin...kenapa enggak Paramex aja kak...
hahahaha
2022-12-05
1
Az-Zahra
wah...jangan banting gue dong...
takut ah...
2022-12-05
1