Aku menoleh dan well, yelp! Tidak mengejutkan sama sekali. Tidak. Tidak. Aku tidak terkejut oleh kehadiran Bang Angga yang tahu-tahu sudah berdiri seperti hantu di belakang kursi yang aku duduki. Aku bahkan tidak punya ide kapan dia sampai di sana.
Dasar Anggarasyah Emilio Addams!
Sudah menjadi rahasia umum, memang, kalau Bang Angga selalu datang dan pergi sesuka hatinya.
Dan dia tidak pernah gagal membuatku jengkel dengan julukan kekanak-kanakan yang masih dipakainya itu. Sialan.
Suara ketukan di mikrofon menyelamatkanku dari keharusan untuk menganggap keberadaan dan membalas ucapan Bang Angga. "Baiklah. Halo, Beniqno." Terdengar sebuah sapaan menggema melalui speaker. "Selamat malam bagi yang baru bergabung. Selamat menikmati hidangan. Lagu selanjutnya adalah permintaan khusus dari Pak Bos Ben untuk gadis yang berulang tahun. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun."
Kualihkan pandangan ke panggung. "Artis baru?" tanyaku tanpa tujuan.
“Yup," aku Om Ben. "Dia datang dua minggu lalu. Baru tampil dua hari, sih, tapi respon pengunjung sangat positif saat melihat penampilannya."
Aku mengangguk sambil terus memperhatikan sosok itu.
“Om minta dia untuk memainkan sesuatu yang istimewa sebagai hadiah. Om harap kamu suka. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Ola Sayang.” Beliau mendaratkan sebuah ciuman lembut di pelipisku. “Oke, deh. Kalian anak muda bersenang-senanglah. Om yang traktir malam ini.”
Sebelum aku sempat memprotes, Om Ben melambaikan tangan dan berjalan ke arah belakang restoran.
Alunan petikan gitar memenuhi ruangan, kembali menghisap perhatianku.
Happy birthday, yeah
Waking up, sun rising
Pemuda itu duduk di atas bangku, dengan gitar akustik di tangan, jari-jarinya memetik senar dengan elegan.
With a big smile on your face
It's here another year
Aku terpaku padanya dan tatapanku dibalas oleh sepasang bola mata gelap yang sangat indah. Kutatap dia, dia balik menatapku, dan sejak pertama kali, kedua manik itu berhasil menawan mata cokelatku.
Sesuatu di dalam diriku bergetar. Aku tidak tahu apa, tetapi yang jelas sesuatu itu memaksaku untuk terus menatapnya.
Dan mendengarkan suaranya yang halus.
Dan aku pikir dia tahu apa yang terjadi dalam diriku, karena di bibirnya terlukis sebuah senyum kecil.
Dan, ya, Tuhan ... sudut bibir itu.
Dia terlihat, terdengar, dan tercium seperti sebuah malapetaka.
****
Aku mendengar suara pintu depan ditutup. "Menurut lo, Angga itu orangnya gimana?"
Deg. Jantungku terbatuk. "Maksud lo?" timpalku, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengemukakan tatapan dan ekspresi tidak mengerti untuk menutupi kegamangan yang sebenarnya terjadi di dalam hati. Setelah melepas high heels pembunuh itu, aku meluruskan kakiku yang sekarat dan menelekan keduanya ke atas meja.
Jelas-jelas bakal sengsara, tetapi tetap aja mau pakai sepatu beginian. Dasar perempuan!
"Please, deh!" Raisa memutar matanya dan menjatuhkan diri di sampingku di sofa. "Kita udah bolak-balik Beniqno dari zaman baheula, ya, Neng Ola, dan selama itu gue lihat cara dia mandangin lo. Masa lo sendiri gak notice, sih?"
Aku tertawa, dipaksakan. “Notice apaan, Raisableng?” Sambil menggelengkan kepala, aku menunjuk hidungnya. "Lo aja yang mengada-ada."
"Enak aja!" Dia menyemprot. "Beneran, Olaaay. Lo buta apa gimana, sih? Heran gue. Masa lo gak sadar dipelototin sama si Anggarasyah yang segede itu?”
Apa-apaan, sih, si Sableng? Kenapa tiba-tiba bahas soal Angga?
Tidak hanya otakku yang protes, jantung dan perasaan juga. Diobok-obok. Jadi kufokuskan saja perhatian untuk meladeni bacotannya. “Gue gak buta, Monyong! Mulut lo kalo ngomong suka freestyle, ya?” balasku sambil mencoba menoyor kepala sahabatku itu.
Sialnya dia pintar mengelak.
Dia menertawakan kegagalanku.
“Raisa, apa pun yang lo pikir lo lihat, lo salah. Kami aja gak pernah beneran ngobrol. Dia bahkan gak menganggap gue ada. Gue yakin dia pasti jijik ngebayangin dia jadian sama gue. Secara, kan, gue adik dari sahabatnya.”
Anggarasyah Emilio Adams. Putra dari Beniqno "Benz" Adams, vokalis band kenamaan asal Amerika Serikat, Eves for Adams, yang legendaris, Angga mewarisi semua ketampanannya dan beberapa hal lainnya. Dia seperti makhluk mistis yang sering kamu baca di dalam legenda. Namun, bedanya, dia ada, nyata. Kehadirannya begitu kuat sehingga kita tidak bisa menolak untuk tidak tertarik ke dalam pusaran pikatannya, terlebih karena ekspresi serius dan kening berkerut di wajahnya itu.
Kombinasi tampang bule yang diwarisi dari sang ayah dan getaran misterius yang berasal dari dalam dirinya membuat Angga memancarkan aura maskulinitas murni yang membikin wanita klepek-klepek ingin mendekati. Kemampuannya untuk menyelinap masuk dan keluar ruangan tanpa disadari membuatnya jauh lebih menarik bagi mereka yang suka mengejar misteri.
Sedangkan bagiku? Sudah kubilang aku lebih suka kisah-kisah roman picisan daripada cerita horor.
Hanya sedikit yang cukup berani untuk mencoba menembus benteng pertahanan Angga dan hidup untuk menceritakan kisah itu, sementara kita-kita para manusia biasa hanya mampu mengaguminya dari jauh dan menjadi orang yang cuma akan mengenal dia sebatas namanya, tidak orangnya.
Itulah Anggarasyah Emilio Adams bagi Anda, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya.
“Tahu dari mana lo? Jangan sok insecure gitu, deh, ah. Gue, kan, cuma mau bantu doang. Kali aja lo juga suka sama dia.” Dia mengangkat bahu, pura-pura tidak bersalah.
Soal ini lagi.
Kuhirup napas dalam-dalam. Lalu kuembuskan. Kuulangi sekali lagi. “Dengar, ya, Raisa Maharani Suryadiningrat, kita udah bahas ini jutaan kali, kan? Gue siap ketika gue siap, jadi gak ada yang perlu dipermasalahkan. Lagipula ini hanya masalah waktu, kok. Gue juga ogah jadi perawan tua keles, Neng!”
"Iyaaa, gue paham." Dia merosot ke arahku, lalu meletakkan kepalanya di atas bahuku. "Gue cuma pengen lo cepat-cepat ngerasain apa yang gue sama Mas Johan punya, La."
Harus kuakui bahwa aku memang iri akan hubungan Raisa dengan pacar sedari SMA-nya, Mas Johan. Di usia yang kedua puluh delapan, dia sudah bertemu cinta sejati dan mulai memetakan masa depan mereka bersama. Hanya masalah waktu sebelum Mas Johan mengajukan pertanyaan itu dan benar-benar membawa Raisa pergi ke pelaminan.
Itulah sebabnya kenapa sulit sekali bagi Raisa untuk menerima pilihanku tentang kehidupan cintaku sendiri. Di matanya, keenggananku untuk bertemu seseorang dan mencoba sesuatu yang baru adalah suatu langkah yang salah untuk menemukan pasangan. Dia mengatakan bahwa relationship sama dengan melakukan olahraga; harus banyak-banyak praktik.
Please, deh.
Aku tidak mengerti entah apa maksud si Sableng ini.
Sayangnya, atau mungkin untungnya, itu bukan keinginanku. Aku tidak mau buang-buang waktu jika dari awal aku sudah tahu bahwa orang itu adalah orang yang salah. Tidak ada percikan-percikan di hati. Tidak ada kupu-kupu di dalam perutku.
Aku tidak mau terburu-buru.
Tidak lagi.
Lebih baik menunggu seseorang yang tepat itu.
Namun, pertanyaannya; siapa dia?
Yeah, isn't that the million dollars question?
****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
рaᷱyͥmͩeꙷnͣᴛ⁰³🇮🇩
Tidak terbiasa pakai high heels memang membuat sakit
2022-12-03
4