NovelToon NovelToon

Kesempatan Kedua Untuk Angga

1. Ola : Happy Birthday to Me!

"Jangan!"

Ponselku tiba-tiba lepas dari tangan. "Hey!" Aku bangkit dari posisi rebahku.

"Mo, gue tahu lo kesal ama gue, ya, tapi, please, jangan yang dibanting hape gue, dong!"

"Terus? Maksud lo, elo aja yang gue banting, gitu?" timpalnya sambil melotot.

Buset, deh.

"Terserahlah!" sambungnya lagi, melanjutkan aksi mencak-mencaknya.

"Tapi, La, lo harus janji sama gue kalau lo gak bakal pergi ke sana. Mana kelingking lo? Bawa sini!" gertak wanita berambut pirang sebahu yang sudah menjadi sahabatku sejak kecil itu sembari mengulurkan jari kelingking kanannya.

Raisa dan janji jari kelingkingnya. Aku menggelengkan kepala di dalam kepalaku.

Kini kami sedang berada di kamarku. Aku duduk bersila di atas kasur, masih mengenakan baju tidur berupa kaos abu-abu tua yang bolong-bolong di sekitar bagian leher dan celana flanel yang dipenuhi oleh gambar emotikon senyum. Sementara "Nyonya" Raisa yang terhormat berdiri di seberangku dalam balutan gaun musim panas berwarna fuchsia motif bunga-bunga.

Sangat jelas sekali Raisa tidak menyukai rencanaku ini. 'Tidak suka' mungkin ungkapan yang terlalu lemah karena sesungguhnya dia membenci semua itu. Tangannya yang lentik terkepal kuat di kedua sisi tubuh. Bibirnya komat-kamit. Lihat saja dari bagaimana stiletto-nya merusak karpetku dengan setiap langkah mondar-mandirnya. Begitulah cara Raisa mencoba mengendalikan diri agar tidak meledak saat ini juga.

“Tapi, Sa, gue harus melakukan ini. Gue perlu melakukannya. Habis itu gue akan berhenti. Gue janji,” bujukku. Setidaknya, aku bisa menjanjikan itu.

Mendengar nada menyerah dalam suaraku, langkahnya terhenti. Raisa Putri Suryadiningrat, anak dari sahabat sekaligus rekan papa di Handoko, Suryadiningrat, dan Rekan, firma hukum yang mereka dirikan tiga dekade lalu, menatapku dalam.

Kubalas tatapan dalamnya dengan diam.

Aku tahu niatnya baik, dia tidak ingin aku terluka lagi, tetapi dia juga harus mengerti bahwa aku harus melakukan ini, untukku. Untuk diriku sehingga aku bisa menutup lembaran lama dan melanjutkan hidup. Untukku, karena aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Untukku, agar aku bisa mengucapkan selamat tinggal.

Apa yang tidak — setidaknya belum — diketahui Raisa adalah bahwa mulai sekarang, semuanya berubah.

Tak akan lagi sama.

****

Enam bulan yang lalu

Aku memejamkan mata, lalu memijat dahi, berharap sakit kepala — yang ditimbulkan spread sheet yang berserakan di atas meja ini — akan berkurang. Baru pukul sepuluh pagi dan kepalaku rasanya sudah ingin meletus.

Memang, sudah beberapa bulan terakhir aku berkutat dengan proyek untuk sebuah hotel baru di pusat kota. Lembur berjam-jam, bolak-balik kantor dan lokasi, dan berkeliling mengincar interior yang sesuai dengan konsep yang diinginkan klien. Kelelahan tidak terelakkan. Namun, lelah ini akan terbayar oleh penambahan digit di rekening bank-ku setelah semuanya selesai.

Cuan. Cuan. Cuan.

"Apa lagi?" Aku menjawab panggilan dengan enggan setelah melihat foto di layar.

"Selamat ulang tahun!" teriaknya, benar-benar tepat di telinga. Segera kutarik ponsel menjauh. Aku ingin menjaga gendang telingaku tetap aman agar bisa dipakai setidaknya lima puluh tahun lagi.

“Raisa, ini udah ketiga kalinya lo teriak kencang banget dalam tiga jam. Dan untuk ketiga kalinya, gue ucapin terima kasih banget dan please, please, please, udahan. Oke?” pintaku padanya setengah geli, setengah serius.

Bisa kubayangkan Raisa sedang memutar bola matanya sekarang. “Beuh, cemen lo! Baru tiga kali aja udah kendor begitu. Gue, nih, dengan sungguh-sungguh sudah berkomitmen untuk memberikan selamat ultah kepada sahabat tercinta gue sebanyak dua puluh tujuh kali. Ini, kan, ulang tahun lo yang kedua puluh tujuh, Neng!”

Dia berlagak seperti aku tidak tahu kenyataan itu. Kini giliranku yang memutar bola mata. Dasar ratu drama. "Sialan lo! Iya, iya, Raisa Sahabat Terbaik Sepanjang Masa. Terima kasih banyak, ya. Tapi, please banget, lo mau berhenti kalau gue minta baik-baik, kan? Gue lagi pusing ngurusin proyek The Royal, nih."

"Iyee, iyee," jawab Raisa cepat, malas mendengarkan rengekanku. "Asalkan minta baik-baik itu artinya lo mau traktir gue. Barusan pas belanja buat si Nyonya," Si Nyonya adalah julukan yang diberikan Mo untuk salah seorang klien yang merupakan simpanan salah satu bos besar sebuah perusahaan multinasional, "gue lihat Saint Laurent cantiiik sekali."

Tetiba saja denyutan di kepalaku berubah menjadi pukulan setelah mendengar merek itu. Kupiejit dahi lebih keras. "Kayak yang gak bisa beli sendiri aja lo, minta ditraktir," protesku, kali ini lebih banyak seriusnya. "Sekate-kate mau minta traktiran sepatu mehong!"

"Dih, kayak yang gak bisa traktir gue sepatu mahal aja lo!" balasnya tak kalah ngotot.

Terkadang aku pikir "lebay" adalah nama tengah yang lebih cocok buat Raisa dari pada Putri. Gak ada keputri-putriannya ini anak. Aku lagi-lagi memutar bola mata. ****! Bumi rasanya ikut berputar. “Udahan, ih! Gue mau kerja lagi. Nanti juga makan di Beniqno juga gue yang bayarin. Tambah pusing gue ditodong YSL sama lo."

“Yeee, serah lo, deh! Makan di sana cuma berapa doang, tapi repetan lo udah kayak orang susah,” timpalnya lagi. Namun, aku bisa mendengar nada gurauan dalam suaranya. "Sampai jumpa di Beniqno kalau begitu, Neng Ola Olay. Jangan telat, ya. Bye!"

Sambungan telepon seketika terputus.

Dasar sinting.

Aku rasa aku butuh lebih dari satu butir Aspirin untuk mengusir rasa sakit kepala yang tak diundang ini.

****

Beniqno adalah bar sekaligus restoran populer di pusat kota yang sering kami kunjungi untuk makan atau sekadar hangout. Selain suasana yang hangat dan nyaman, Om Ben, sang pemilik, secara konsisten mengadakan pertunjukan musik live tiga hari seminggu untuk pengunjung malam mereka.

Sebagai mantan legenda musik rock dan pemilik bar, Om Ben ingin memberikan makanan yang enak dan musik yang bagus — dua hal penting dalam hidup menurutnya — pada saat yang sama. Dia ingin memberikan kesempatan berjuang para musisi baru di luar sana untuk mencapai impian mereka; sebuah titik untuk memulai, untuk mengembangkan bakat, untuk memperkenalkan diri kepada dunia.

Baru-baru ini Om Ben berencana untuk pensiun dan memberi istrinya liburan yang sudah dia janjikan sejak zaman dahulu kala. Oleh karena itu, dia mulai menyerahkan urusan bisnis pada putra semata wayang mereka, Angga, yang kebetulan adalah sahabat Oliver, kakak laki-lakiku.

Raisa dan beberapa teman kuliah kami sudah menunggu ketika aku menghampiri. Maya, Hesti, Glenn, dan Joshua berdiri lalu bergantian memberiku pelukan dan ciuman ucapan selamat. Glenn bahkan membungkuk sebelum dia meraih kursi untukku. "Silakan duduk, Milady," godanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku terkekeh dan menggeleng. Sudah tabiatnya seperti itu, jadi kami pun telah kebal terhadap kelakuan genitnya.

Seolah diberi isyarat, Om Ben dan pasukan berjalan dari belakang counter menuju meja kami sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun yang segera diikuti oleh teman-temanku. Hal ini tentu saja menarik perhatian pelanggan lain, yang kemudian tanpa disangka bergabung bersama mereka. Jadilah, seluruh pengunjung Beniqno Bar and Grill sedang menyelamatiku melalui nyanyian.

Salah satu pelayan, Weni, mengikuti di belakang tubuh Om Ben yang besar dengan piring berisi setumpuk makanan yang aku yakin adalah pancake pisang dengan saus coklat. Di tengahnya terdapat sebuah lilin tinggi yang menyala. Aku meraih tangan Raisa di bawah meja dan meremasnya sebagai ucapan terima kasih.

Adalah ritual kami untuk merayakan ulang tahun di sini semenjak Raisa dan aku bisa melarikan diri dari pesta mewah yang dirancang para ibu. Namun, tidak dipungkiri, sebuah kebiasaan pun selalu bisa membuatmu emosional. Dengan mata berkaca-kaca dan hati yang tersentuh, kutiup lilin hingga padam. “Terima kasih banyak, Semua.”

Mereka tersenyum.

“Suguhan spesial untuk gadis spesialku,” jawab Om Ben sambil melingkupiku dengan pelukannya. "Selamat ulang tahun, Olavia."

Sebelum aku sempat berterima kasih kepada Om Ben, terdengar suara yang membuatku bergidik. "Selamat ulang tahun, Olavia."

Suara itu ....

Cara dia menyebut namaku ....

Jangan bilang kalau ....

Bersambung...

2. Ola : Tuan Bermata Cokelat Panas

Aku menoleh dan well, yelp! Tidak mengejutkan sama sekali. Tidak. Tidak. Aku tidak terkejut oleh kehadiran Bang Angga yang tahu-tahu sudah berdiri seperti hantu di belakang kursi yang aku duduki. Aku bahkan tidak punya ide kapan dia sampai di sana.

Dasar Anggarasyah Emilio Addams!

Sudah menjadi rahasia umum, memang, kalau Bang Angga selalu datang dan pergi sesuka hatinya.

Dan dia tidak pernah gagal membuatku jengkel dengan julukan kekanak-kanakan yang masih dipakainya itu. Sialan.

Suara ketukan di mikrofon menyelamatkanku dari keharusan untuk menganggap keberadaan dan membalas ucapan Bang Angga. "Baiklah. Halo, Beniqno." Terdengar sebuah sapaan menggema melalui speaker. "Selamat malam bagi yang baru bergabung. Selamat menikmati hidangan. Lagu selanjutnya adalah permintaan khusus dari Pak Bos Ben untuk gadis yang berulang tahun. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun."

Kualihkan pandangan ke panggung. "Artis baru?" tanyaku tanpa tujuan.

“Yup," aku Om Ben. "Dia datang dua minggu lalu. Baru tampil dua hari, sih, tapi respon pengunjung sangat positif saat melihat penampilannya."

Aku mengangguk sambil terus memperhatikan sosok itu.

“Om minta dia untuk memainkan sesuatu yang istimewa sebagai hadiah. Om harap kamu suka. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Ola Sayang.” Beliau mendaratkan sebuah ciuman lembut di pelipisku. “Oke, deh. Kalian anak muda bersenang-senanglah. Om yang traktir malam ini.”

Sebelum aku sempat memprotes, Om Ben melambaikan tangan dan berjalan ke arah belakang restoran.

Alunan petikan gitar memenuhi ruangan, kembali menghisap perhatianku.

Happy birthday, yeah

Waking up, sun rising

Pemuda itu duduk di atas bangku, dengan gitar akustik di tangan, jari-jarinya memetik senar dengan elegan.

With a big smile on your face

It's here another year

Aku terpaku padanya dan tatapanku dibalas oleh sepasang bola mata gelap yang sangat indah. Kutatap dia, dia balik menatapku, dan sejak pertama kali, kedua manik itu berhasil menawan mata cokelatku.

Sesuatu di dalam diriku bergetar. Aku tidak tahu apa, tetapi yang jelas sesuatu itu memaksaku untuk terus menatapnya.

Dan mendengarkan suaranya yang halus.

Dan aku pikir dia tahu apa yang terjadi dalam diriku, karena di bibirnya terlukis sebuah senyum kecil.

Dan, ya, Tuhan ... sudut bibir itu.

Dia terlihat, terdengar, dan tercium seperti sebuah malapetaka.

****

Aku mendengar suara pintu depan ditutup. "Menurut lo, Angga itu orangnya gimana?"

Deg. Jantungku terbatuk. "Maksud lo?" timpalku, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengemukakan tatapan dan ekspresi tidak mengerti untuk menutupi kegamangan yang sebenarnya terjadi di dalam hati. Setelah melepas high heels pembunuh itu, aku meluruskan kakiku yang sekarat dan menelekan keduanya ke atas meja.

Jelas-jelas bakal sengsara, tetapi tetap aja mau pakai sepatu beginian. Dasar perempuan!

"Please, deh!" Raisa memutar matanya dan menjatuhkan diri di sampingku di sofa. "Kita udah bolak-balik Beniqno dari zaman baheula, ya, Neng Ola, dan selama itu gue lihat cara dia mandangin lo. Masa lo sendiri gak notice, sih?"

Aku tertawa, dipaksakan. “Notice apaan, Raisableng?” Sambil menggelengkan kepala, aku menunjuk hidungnya. "Lo aja yang mengada-ada."

"Enak aja!" Dia menyemprot. "Beneran, Olaaay. Lo buta apa gimana, sih? Heran gue. Masa lo gak sadar dipelototin sama si Anggarasyah yang segede itu?”

Apa-apaan, sih, si Sableng? Kenapa tiba-tiba bahas soal Angga?

Tidak hanya otakku yang protes, jantung dan perasaan juga. Diobok-obok. Jadi kufokuskan saja perhatian untuk meladeni bacotannya. “Gue gak buta, Monyong! Mulut lo kalo ngomong suka freestyle, ya?” balasku sambil mencoba menoyor kepala sahabatku itu.

Sialnya dia pintar mengelak.

Dia menertawakan kegagalanku.

“Raisa, apa pun yang lo pikir lo lihat, lo salah. Kami aja gak pernah beneran ngobrol. Dia bahkan gak menganggap gue ada. Gue yakin dia pasti jijik ngebayangin dia jadian sama gue. Secara, kan, gue adik dari sahabatnya.”

Anggarasyah Emilio Adams. Putra dari Beniqno "Benz" Adams, vokalis band kenamaan asal Amerika Serikat, Eves for Adams, yang legendaris, Angga mewarisi semua ketampanannya dan beberapa hal lainnya. Dia seperti makhluk mistis yang sering kamu baca di dalam legenda. Namun, bedanya, dia ada, nyata. Kehadirannya begitu kuat sehingga kita tidak bisa menolak untuk tidak tertarik ke dalam pusaran pikatannya, terlebih karena ekspresi serius dan kening berkerut di wajahnya itu.

Kombinasi tampang bule yang diwarisi dari sang ayah dan getaran misterius yang berasal dari dalam dirinya membuat Angga memancarkan aura maskulinitas murni yang membikin wanita klepek-klepek ingin mendekati. Kemampuannya untuk menyelinap masuk dan keluar ruangan tanpa disadari membuatnya jauh lebih menarik bagi mereka yang suka mengejar misteri.

Sedangkan bagiku? Sudah kubilang aku lebih suka kisah-kisah roman picisan daripada cerita horor.

Hanya sedikit yang cukup berani untuk mencoba menembus benteng pertahanan Angga dan hidup untuk menceritakan kisah itu, sementara kita-kita para manusia biasa hanya mampu mengaguminya dari jauh dan menjadi orang yang cuma akan mengenal dia sebatas namanya, tidak orangnya.

Itulah Anggarasyah Emilio Adams bagi Anda, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya.

“Tahu dari mana lo? Jangan sok insecure gitu, deh, ah. Gue, kan, cuma mau bantu doang. Kali aja lo juga suka sama dia.” Dia mengangkat bahu, pura-pura tidak bersalah.

Soal ini lagi.

Kuhirup napas dalam-dalam. Lalu kuembuskan. Kuulangi sekali lagi. “Dengar, ya, Raisa Maharani Suryadiningrat, kita udah bahas ini jutaan kali, kan? Gue siap ketika gue siap, jadi gak ada yang perlu dipermasalahkan. Lagipula ini hanya masalah waktu, kok. Gue juga ogah jadi perawan tua keles, Neng!”

"Iyaaa, gue paham." Dia merosot ke arahku, lalu meletakkan kepalanya di atas bahuku. "Gue cuma pengen lo cepat-cepat ngerasain apa yang gue sama Mas Johan punya, La."

Harus kuakui bahwa aku memang iri akan hubungan Raisa dengan pacar sedari SMA-nya, Mas Johan. Di usia yang kedua puluh delapan, dia sudah bertemu cinta sejati dan mulai memetakan masa depan mereka bersama. Hanya masalah waktu sebelum Mas Johan mengajukan pertanyaan itu dan benar-benar membawa Raisa pergi ke pelaminan.

Itulah sebabnya kenapa sulit sekali bagi Raisa untuk menerima pilihanku tentang kehidupan cintaku sendiri. Di matanya, keenggananku untuk bertemu seseorang dan mencoba sesuatu yang baru adalah suatu langkah yang salah untuk menemukan pasangan. Dia mengatakan bahwa relationship sama dengan melakukan olahraga; harus banyak-banyak praktik.

Please, deh.

Aku tidak mengerti entah apa maksud si Sableng ini.

Sayangnya, atau mungkin untungnya, itu bukan keinginanku. Aku tidak mau buang-buang waktu jika dari awal aku sudah tahu bahwa orang itu adalah orang yang salah. Tidak ada percikan-percikan di hati. Tidak ada kupu-kupu di dalam perutku.

Aku tidak mau terburu-buru.

Tidak lagi.

Lebih baik menunggu seseorang yang tepat itu.

Namun, pertanyaannya; siapa dia?

Yeah, isn't that the million dollars question?

****

Bersambung...

3. Ola : Sampai Jumpa, Owen

Keesokan pagi, seperti setiap pagi sebelum bekerja, aku mengambil dosis harian caramel macchiato di Hola!, kafe kecil di depan gedung kantor kecilku. Eko tersenyum padaku dari belakang konter tempat pemesanan. "Seperti biasa, Mbak Ola?"

"Iyap!" Aku balas tersenyum padanya dan mengedipkan sebelah mata sembari bergurau. Remaja yang wajahnya berjerawat itu tersipu saat dia mencatat pesananku. Setelah membayar kopi dan triple chocolate cupcake favoritku di kafe ini, aku menuju meja di sudut ruangan yang baru saja ditinggalkan oleh dua orang remaja berseragam.

Kusibukkan diri dengan menggulir album foto tadi malam. Setelah memilih beberapa yang aku rasa instagram-able, segera kuunggah ke platform jejaring sosial itu.

Tak lama, ponselku berdenting. Notifikasi di layar menyatakan bahwa Mami baru saja menyukai postinganku. Aku tergelak dan menggeleng. Kalakian aku melakukan perhitungan mundur di dalam hati. Seperti yang diperkirakan, telepon dalam genggamanku mulai berdering, wajah tersenyum Mami memenuhi layar.

"Gimana acara ulang tahunmu semalam, Sayang?"

"Lancar, Mi. Kami ke Beniqno, seperti biasa. Aku dapat segunung pancake pisang, seperti biasa juga," jawabku sambil terkekeh.

Mami ikut-ikutan tertawa. “Kamu dan pancakemu," ujarnya.

Aku mengangkat sebelah bahuku cuek. What can I say? I love me some banana pancakes.

Mami yang jelas tidak dapat melihatku melanjutkan. "Ngomong-ngomong, kamu ingat, kan, kalau kita akan mengadakan makan malam ulang tahunmu di rumah akhir pekan ini? Mami akan bikinkan kue ulang tahun beneran buat kamu. Dan ...." Mami mencerocos.

Aku sudah hafal setiap kata yang sedang Mami ucapkan di luar kepala karena kami selalu melakukan hal yang sama untuk ulang tahunku. Atau Oliver.

Mami akan menyiapkan meja penuh hidangan yang cukup untuk memberi makan satu kompi pasukan TNI. Di tengah-tengah meja akan standby cake ulang tahun dengan flavor favorit aku dan Oliver. Meskipun meja hanya akan dikelilingi oleh kami sekeluarga, Om Joko dan Tante Lina, orang tua Raisa, dan Raisa serta Mas Johan. Sementara, dalam kasus makan malam perayaan ulang tahun Oliver, akan ada Angga. Sepupu kami satu-satunya, Mario, akan muncul jika dia sedang berada di Indonesia — itu pun jika dia sempat — dan ketika dia tidak sibuk berkeliling dunia melakukan tugasnya sebagai salah satu volunteer di program Doctors Without Borders.

Mami masih mengoceh dan aku setengah mendengarkan setengah menonton orang berlalu-lalang melalui jendela ketika sebuah to-go paper cup dan piring muncul di depan pandanganku. Kuikuti jemari yang memeganginya, terus naik, naik, dan naik hingga mataku berbenturan dengan mata cokelat gelap sama dengan yang semalam.

Kedua bola itu lagi-lagi membuat aku tak bisa berkata-kata.

Seorang wanita bermata lebar menatap pria di hadapannya dengan kagum, dan untuk sepersekian detik, dia kehilangan semua kemampuannya untuk berbicara.

Dan, kalian tahu siapa si wanita bermata lebar itu?

Yep. That's me.

Aku yang tengah terbelalak dan mulut megap-megap seperti ikan kehabisan udara.

Aku yakin itu bukan penampakan yang indah.

Bukan kesan yang bagus di depan pria yang sangat sangat sangat bagus ini.

Kurasa aku akan menimbulkan trauma seumur hidup baginya.

"Ola, Sayang, kamu dengar Mami, kan?"

Suara Mami mematahkan mantra yang mengungkung kewarasanku.

Sebuah seringai malas muncul di wajahnya yang tampan, wajah yang aku yakin disukai orang-orang TV itu.

“Eh, iya, Mi. Tentu. Iya, iya. Aku ... uhm.” Aku tergagap. "Aku ...." Mataku masih terkunci dengan kepunyaannya. Bukannya apa-apa, tetapi entah kenapa aku tidak bisa berpaling. Yang bisa kulakukan hanya lah berkedip. Satu kali. Dua kali. “Ma-Mami, u-udahan du-dulu, y-ya. Ola jalan dulu. Love you." Lalu dengan tergesa-gesa kusentuh tanda pemutus sambungan telepon di layar. Mataku masih terpaku padanya.

Sekarang, dengan cahaya yang banyak dan jarak yang dekat, aku bisa melihat warna manik-manik itu. Pupilnya berwarna cokelat gelap nyaris hitam. Sedangkan iris mata itu didominasi oleh warna cokelat agak terang dengan garis-garis pekat. Warna yang sama meragi korneanya.

Wow. Apakah aku baru saja mendetailkan warna mata pemuda ini?

Aku pasti sudah gila.

Matanya yang jernih berkilau dengan kegembiraan, menyatakan bahwa sikap bodohku telah menciptakan hiburan tersendiri bagi dia. "Awalnya aku sangat yakin ini milikmu, tapi sekarang ... aku tidak tahu." Si pemuda tampan bermata cokelat mengangkat bahu. Seringai malas berubah menjadi senyuman dengan kecerahan maksimal, semakin membutakanku. "Ehm, kamu," dia mengecek nama yang tertulis di cup, "beneran Ola, kan? Kalau enggak, kebayang aja awkward-nya kayak apa."

Cara dia menyebut namaku membuat merinding dan jantungku berdebar tak karuan. Namun, mungkin ada baiknya juga karena sekarang otak ini mendapatkan suplai oksigen yang cukup sehingga bisa berfungsi dengan normal kembali. "Ya?"

Tunggu! Mengapa aku malah nanya balik? Bukannya aku harus yakin dengan jawabanku sendiri? Namaku beneran Ola, kan? Duh!

"Pesanan kamu, nih." Dia meletakkan cup dan piring itu di atas meja untuk kemudian duduk di kursi di seberang. "Eh, aku harap kamu gak keberatan." Alisnya terangkat. Senyumnya tidak luntur.

Ya, Tuhaaan.

Aku berdeham, mencoba menenangkan diri setelah dia "agak" mengacaukan sistem ku untuk sementara waktu. "Eh, iya, tentu. Gak apa-apa. Silakan." Aku berdeham lagi. “Dan terima kasih telah mengambilkannya," ucapku sembari menggeser piring dan cup itu lebih dekat. "Pasti mereka manggil pas aku lagi nelepon tadi. Makanya gak kedengaran.”

"Iya, kayaknya. No prob, by the way. Aku juga lagi nungguin pesanku. Aku tadi ngantri di belakang kamu, loh, sebenarnya. Pas lihat kamu, aku lantas kepikiran kayak kenal gitu. Emang beneran kenal ternyata.”

Well .... “Hm, oke.” Aku tidak tahu harus berpikir apa tentang itu.

Dia tertawa. "Aiih, sorry, sorry. Aku baru sadar betapa creepy-nya ucapan aku barusan. Lagian, bisa-bisanya aku mengira kalau kamu ingat sama aku ...."

Teet. Salah. Aku ingat, dong, sama kamu.

"Aku tampil di Beniqno tadi malam ...."

Aku tahu, aku tahu. Aku ada di sana, loh. Lihatin kamu, dengerin suara kamu.

“Aku harap kamu suka sama lagunya. Itu lagu ….”

Hey, Tuan Tampan Bermata Cokelat yang Bikin Aku Pengen Cokelat Panas, aku yakin kamu gak tahu kalau sekarang aku lebih suka versi kamu, kan? Kok bisa, sih, kamu nyanyiin lagu Happy Birthday Song lebih baik dari Gerald the Second?

Ponselku berdenting, menghentikan perkataannya dan mengakhiri monolog internalku. Sebuah notifikasi email masuk dari asistenku, Renata, mengingatkan bahwa ada rapat satu jam lagi. "Sorry. Aku harus cabut dulu." Aku berdiri dan segera mengambil barang-barang yang membawanya kepadaku. "Sekali lagi terima kasih karena udah bantu mengambilkan pesananku."

Tak disangka-sangka dia juga ikut berdiri. "Tentu. Anytime. Dan ngomong-ngomong, nama aku Owen.”

Lalu ada senyum bergelimang hipnotis itu lagi.

Ya, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

"Sampai jumpa, Owen." Aku meninggalkannya di sudut kedai kopi, seribu persen yakin senyum iblis itu akan terus berkeliaran di pikiranku sepanjang hari.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!