"Siapa yang masuk rumah sakit?" ulangnya lagi. Bersama suara itu terdengar hentakan langkah kaki yang semakin mendekat.
Hingga akhirnya tubuh tinggi dan berotot itu kini ikut berdiri di samping mejaku, bersebelahan dengan Mbak Lina. Kepala wanita Jawa yang sudah kuanggap sebagai kakak dan menganggapku sebagai adiknya sendiri itu hanya sampai ke dada si pemuda.
Jantungku yang sudah tak karuan saat mendengar namanya saja kini bertalu-talu tak beraturan.
Wait. Kenapa aku tiba-tiba sesak napas? Apakah aku menderita asma? Kok Mama tidak pernah bilang?
"Cewekmu ini, Bos–" Mbak Lina menunjuk ke arahku dengan ibu jarinya.
"Bukan cewek gue," tangkisnya dengan gigi terkatup.
Entah kenapa, setelah mendengar ucapannya itu dadaku semakin terasa sesak. Padahal aku paham jikalau yang dikatakan oleh Tuan Beruang Kutub ini tidak ada yang salah. Namun, kenapa?
Seperti biasa, Mbak Lina tidak menggubris perkataan bosnya itu dan melanjutkan, “Cewekmu pesan satu ton minyak dan gula untuk sekali makan karena dia nge-skip makan siang dan makan malamnya. Lihat aja sekarang jam berapa. Mbak barusan bilangin dia supaya jaga kesehatan diri sendiri. Gak ada gunanya duit banyak kalau badan gak sehat.”
"What?"
"Yaelah, Bos. Kan udah Mbak bilangin kalau–"
"Mbak, please. Buruan ke belakang! Tolong urusin pesanannya, gak pale lama."
Aku cuma bisa menganga menyaksikan ketidaksopanan si Beruang Kurang Ajar ini pada Mbak Lina yang hanya memutar bola mata dan berjalan santai ke arah dapur.
"Kamu ngapain ke sini malam-malam gini?" tanya—bukan, bukan, geramnya padaku.
What the heck?
Rasa-rasa sialan yang sudah dengan susah payah kubenam dalam-dalam kembali mengapung ke permukaan karena keberadaannya. Ditambah dengan rasa tak percaya dan degup jantung yang masih berserakan membuat filter yang ada di mulutku lepas. "Ngapain nanya-nanya?" jawabku ketus.
Si Beruang Raksasa Pemarah ini menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menusukku dengan tatapan tajamnya.
Hening menyergap kami karena aku juga memilih untuk mengadopsi bahasa tubuh pria itu.
"Kenapa kamu di sini selarut ini, Olavia?" ulangnya setelah lima belas detik berlalu tanpa kata. Yep, aku menghitungnya dalam hati.
Hati yang kini semakin kacau setelah mendengar dia menyebut namaku. Hati yang ternyata masih memuja bagaimana lidahnya memproduksi setiap huruf; bagaimana suara berat namun lembutnya mengubah huruf-huruf itu menjadi sebuah lagu.
Aku benci betapa hati ini masih menyukai apa-apa yang berasal dari pria di depanku ini.
Dia masih berdiri di sana, di samping meja. Anggarasyah dengan segala keagungannya menjulang seratus delapan puluh sentimeter lebih di atasku. Aku mencoba memutus efek yang ditimbulkannya dengan memalingkan wajah dan menatap apa saja yang bukan dia. "Aku di sini buat makan," jawabku sia-sia.
Sia-sia karena jawaban itu tidak membuatnya pergi dan meninggalkanku sendiri. Malahan dia mendengkus, lalu mengambil tempat duduk di seberangku, kembali menyilangkan tangannya dan kemudian, diam. Bisa kurasakan matanya menatap lurus padaku.
Membuatku jadi salah tingkah.
Tak lama kemudian diikuti oleh kebingungan.
Apa yang dia lakukan?
Tiga puluh empat, tiga puluh lima, tiga puluh—
Pasai menghitung masa yang pergi dalam hati, aku mengerang dan menghadap padanya. “Please, Bang. Aku gak tahu kenapa Abang melakukan semua ini sama aku. Aku gak tahu aku salah apa sama Abang sampai-sampai Abang pikir aku pantas untuk mendapatkan perlakuan seperti ini dari Abang, tapi yang jelas aku gak bermaksud apa-apa. Aku cuma mau makan dengan tenang dan pulang.”
Aku tidak mendapatkan sahutan apa-apa dari pria bermata gelap itu.
Yang ada hanya lebih banyak keheningan.
Yang kemudian dilapisi oleh rasa canggung yang tidak ketolongan.
Kenapa dia jadi lebih pendiam dan misterius seperti ini, sih? Dulu dia enggak begini, deh.
Well, aku rasa banyak hal yang dapat terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun. Aku rasa–
Dammit, Ola! Jangan mikir ke sana!
Kualihkan lagi pandanganku ke arah konter, di mana pintu dapur terletak di belakangnya, berdoa dan berusaha mengirimkan sinyal telepati supaya Mbak Lina segera membawakan makananku agar kecanggungan ini segera berakhir.
Namun, tidak beruntung. Tidak ada yang namanya keberuntungan untukku malam ini. Banyak hal yang tidak kuketahui di dunia, tapi aku tidak menyangka ketidaktahuan bahwa Angga akan duduk di sana mengawasiku saat makan menjadi salah satu yang masuk daftar.
Aku mencoba usaha terbaik untuk menghindari tatapannya.
Lebih banyak kecanggungan mengelilingi kami.
Aku akhirnya memutuskan untuk meminta Mbak Lina memasukkan makanan-makanan yang hampir tidak tersentuh itu ke dalam kotak take-away.
Kuhela napas dalam-dalam.
Say goodbye untuk kepuasan yang tadi aku harapkan.
Mbak Lina kembali dengan sebuah kantong plastik berlogo Beniqno, meminta maaf padaku melalui tatapannya, dan mengirim lirikan peringatan ke arah Angga. Si Beruang Raksasa yang Bodo Amat tentu saja mengabaikan Mbak Lina. "Ini, La," ucapnya sembari menyodorkan kertas tagihan.
Sebelum aku bisa meraih kertas itu, Angga sudah terlebih dulu merampasnya dari tangan Mbak Lina. Dia kalakian mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribuan dari dompet dan menyerahkannya kembali kepada Mbak yang kini juga ikut ternganga. "Ayo, buruan! Aku antar kamu pulang.”
Aku menatapnya dengan mata selebar bola tenis, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak memberiku kesempatan untuk memproses apa-apa sebelum meraih lengan bawahku dan berjalan, memaksaku untuk membuntutinya di belakang seperti seekor anak anjing.
Tunggu, tunggu, tunggu. Apakah Si Beruang Kutub Raksasa Pemarah dan Kurang Ajar ini sedang menarikku ke luar dari restorannya?
Oh, please. For the love of God!
Aku tidak peduli tentang fakta bahwa cengkeramannya tidak sakit. Aku tidak peduli dengan kenyataan bahwa sesungguhnya sentuhan jemari dan genggaman tangan Angga sangat lembut serta hangat di kulitku, tetapi ... kasar tetap saja kasar.
Dia seharusnya tahu bahwa dia tidak boleh memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
Aku tidak percaya dia berani melakukan itu!
Baru saja melewati pintu depan restoran, aku segera menyentakkan tanganku agar terlepas dari cengkeramannya. Sakit atau tidak, terluka ataupun tidak, dia tetap tidak bisa seenaknya melakukan apa pun yang dia inginkan terhadap makhluk lain, terlebih lagi manusi. Dan terlebih, terlebih lagi, padaku.
"Apa-apaan, sih, kamu, Bang?" Aku bertanya dengan gigi bergemeretak, berusaha keras untuk menahan luapan rasa-rasa yang mulai mendidih.
Dia, dengan sangat berani, mengembuskan napas keras seakan-akan aku tidak berhak untuk bersikap seperti ini. “Aku mau nganterin kamu pulang, Olavia. Kamu gak boleh pulang sama orang gak dikenal selarut ini. ”
Ah, benarkah? “Jadi kamu pikir sah-sah aja menggiringku ke mobil kayak barusan, ha? Kamu pikir aku apa, Bang? Binatang?"
Kerutan muncul di tengah-tengah alis Angga. "Jangan sembarangan ngomong, deh!" bantahnya tak habis pikir. "Gak ada yang salah dengan membantu nganterin adik perempuan sahabat sendiri kembali ke apartemennya dengan selamat. Aku gak mau punya beban mental kalau kamu naik ojek online dan ternyata terjadi apa-apa sama kamu." Dengan itu dia memencet key fob untuk menonaktifkan kunci, membuka pintu penumpang, dan memberi isyarat padaku untuk masuk ke dalam Jeep Wrangler Rubicon berwarna abu-abu gelap itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments