Keesokan pagi, seperti setiap pagi sebelum bekerja, aku mengambil dosis harian caramel macchiato di Hola!, kafe kecil di depan gedung kantor kecilku. Eko tersenyum padaku dari belakang konter tempat pemesanan. "Seperti biasa, Mbak Ola?"
"Iyap!" Aku balas tersenyum padanya dan mengedipkan sebelah mata sembari bergurau. Remaja yang wajahnya berjerawat itu tersipu saat dia mencatat pesananku. Setelah membayar kopi dan triple chocolate cupcake favoritku di kafe ini, aku menuju meja di sudut ruangan yang baru saja ditinggalkan oleh dua orang remaja berseragam.
Kusibukkan diri dengan menggulir album foto tadi malam. Setelah memilih beberapa yang aku rasa instagram-able, segera kuunggah ke platform jejaring sosial itu.
Tak lama, ponselku berdenting. Notifikasi di layar menyatakan bahwa Mami baru saja menyukai postinganku. Aku tergelak dan menggeleng. Kalakian aku melakukan perhitungan mundur di dalam hati. Seperti yang diperkirakan, telepon dalam genggamanku mulai berdering, wajah tersenyum Mami memenuhi layar.
"Gimana acara ulang tahunmu semalam, Sayang?"
"Lancar, Mi. Kami ke Beniqno, seperti biasa. Aku dapat segunung pancake pisang, seperti biasa juga," jawabku sambil terkekeh.
Mami ikut-ikutan tertawa. “Kamu dan pancakemu," ujarnya.
Aku mengangkat sebelah bahuku cuek. What can I say? I love me some banana pancakes.
Mami yang jelas tidak dapat melihatku melanjutkan. "Ngomong-ngomong, kamu ingat, kan, kalau kita akan mengadakan makan malam ulang tahunmu di rumah akhir pekan ini? Mami akan bikinkan kue ulang tahun beneran buat kamu. Dan ...." Mami mencerocos.
Aku sudah hafal setiap kata yang sedang Mami ucapkan di luar kepala karena kami selalu melakukan hal yang sama untuk ulang tahunku. Atau Oliver.
Mami akan menyiapkan meja penuh hidangan yang cukup untuk memberi makan satu kompi pasukan TNI. Di tengah-tengah meja akan standby cake ulang tahun dengan flavor favorit aku dan Oliver. Meskipun meja hanya akan dikelilingi oleh kami sekeluarga, Om Joko dan Tante Lina, orang tua Raisa, dan Raisa serta Mas Johan. Sementara, dalam kasus makan malam perayaan ulang tahun Oliver, akan ada Angga. Sepupu kami satu-satunya, Mario, akan muncul jika dia sedang berada di Indonesia — itu pun jika dia sempat — dan ketika dia tidak sibuk berkeliling dunia melakukan tugasnya sebagai salah satu volunteer di program Doctors Without Borders.
Mami masih mengoceh dan aku setengah mendengarkan setengah menonton orang berlalu-lalang melalui jendela ketika sebuah to-go paper cup dan piring muncul di depan pandanganku. Kuikuti jemari yang memeganginya, terus naik, naik, dan naik hingga mataku berbenturan dengan mata cokelat gelap sama dengan yang semalam.
Kedua bola itu lagi-lagi membuat aku tak bisa berkata-kata.
Seorang wanita bermata lebar menatap pria di hadapannya dengan kagum, dan untuk sepersekian detik, dia kehilangan semua kemampuannya untuk berbicara.
Dan, kalian tahu siapa si wanita bermata lebar itu?
Yep. That's me.
Aku yang tengah terbelalak dan mulut megap-megap seperti ikan kehabisan udara.
Aku yakin itu bukan penampakan yang indah.
Bukan kesan yang bagus di depan pria yang sangat sangat sangat bagus ini.
Kurasa aku akan menimbulkan trauma seumur hidup baginya.
"Ola, Sayang, kamu dengar Mami, kan?"
Suara Mami mematahkan mantra yang mengungkung kewarasanku.
Sebuah seringai malas muncul di wajahnya yang tampan, wajah yang aku yakin disukai orang-orang TV itu.
“Eh, iya, Mi. Tentu. Iya, iya. Aku ... uhm.” Aku tergagap. "Aku ...." Mataku masih terkunci dengan kepunyaannya. Bukannya apa-apa, tetapi entah kenapa aku tidak bisa berpaling. Yang bisa kulakukan hanya lah berkedip. Satu kali. Dua kali. “Ma-Mami, u-udahan du-dulu, y-ya. Ola jalan dulu. Love you." Lalu dengan tergesa-gesa kusentuh tanda pemutus sambungan telepon di layar. Mataku masih terpaku padanya.
Sekarang, dengan cahaya yang banyak dan jarak yang dekat, aku bisa melihat warna manik-manik itu. Pupilnya berwarna cokelat gelap nyaris hitam. Sedangkan iris mata itu didominasi oleh warna cokelat agak terang dengan garis-garis pekat. Warna yang sama meragi korneanya.
Wow. Apakah aku baru saja mendetailkan warna mata pemuda ini?
Aku pasti sudah gila.
Matanya yang jernih berkilau dengan kegembiraan, menyatakan bahwa sikap bodohku telah menciptakan hiburan tersendiri bagi dia. "Awalnya aku sangat yakin ini milikmu, tapi sekarang ... aku tidak tahu." Si pemuda tampan bermata cokelat mengangkat bahu. Seringai malas berubah menjadi senyuman dengan kecerahan maksimal, semakin membutakanku. "Ehm, kamu," dia mengecek nama yang tertulis di cup, "beneran Ola, kan? Kalau enggak, kebayang aja awkward-nya kayak apa."
Cara dia menyebut namaku membuat merinding dan jantungku berdebar tak karuan. Namun, mungkin ada baiknya juga karena sekarang otak ini mendapatkan suplai oksigen yang cukup sehingga bisa berfungsi dengan normal kembali. "Ya?"
Tunggu! Mengapa aku malah nanya balik? Bukannya aku harus yakin dengan jawabanku sendiri? Namaku beneran Ola, kan? Duh!
"Pesanan kamu, nih." Dia meletakkan cup dan piring itu di atas meja untuk kemudian duduk di kursi di seberang. "Eh, aku harap kamu gak keberatan." Alisnya terangkat. Senyumnya tidak luntur.
Ya, Tuhaaan.
Aku berdeham, mencoba menenangkan diri setelah dia "agak" mengacaukan sistem ku untuk sementara waktu. "Eh, iya, tentu. Gak apa-apa. Silakan." Aku berdeham lagi. “Dan terima kasih telah mengambilkannya," ucapku sembari menggeser piring dan cup itu lebih dekat. "Pasti mereka manggil pas aku lagi nelepon tadi. Makanya gak kedengaran.”
"Iya, kayaknya. No prob, by the way. Aku juga lagi nungguin pesanku. Aku tadi ngantri di belakang kamu, loh, sebenarnya. Pas lihat kamu, aku lantas kepikiran kayak kenal gitu. Emang beneran kenal ternyata.”
Well .... “Hm, oke.” Aku tidak tahu harus berpikir apa tentang itu.
Dia tertawa. "Aiih, sorry, sorry. Aku baru sadar betapa creepy-nya ucapan aku barusan. Lagian, bisa-bisanya aku mengira kalau kamu ingat sama aku ...."
Teet. Salah. Aku ingat, dong, sama kamu.
"Aku tampil di Beniqno tadi malam ...."
Aku tahu, aku tahu. Aku ada di sana, loh. Lihatin kamu, dengerin suara kamu.
“Aku harap kamu suka sama lagunya. Itu lagu ….”
Hey, Tuan Tampan Bermata Cokelat yang Bikin Aku Pengen Cokelat Panas, aku yakin kamu gak tahu kalau sekarang aku lebih suka versi kamu, kan? Kok bisa, sih, kamu nyanyiin lagu Happy Birthday Song lebih baik dari Gerald the Second?
Ponselku berdenting, menghentikan perkataannya dan mengakhiri monolog internalku. Sebuah notifikasi email masuk dari asistenku, Renata, mengingatkan bahwa ada rapat satu jam lagi. "Sorry. Aku harus cabut dulu." Aku berdiri dan segera mengambil barang-barang yang membawanya kepadaku. "Sekali lagi terima kasih karena udah bantu mengambilkan pesananku."
Tak disangka-sangka dia juga ikut berdiri. "Tentu. Anytime. Dan ngomong-ngomong, nama aku Owen.”
Lalu ada senyum bergelimang hipnotis itu lagi.
Ya, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
"Sampai jumpa, Owen." Aku meninggalkannya di sudut kedai kopi, seribu persen yakin senyum iblis itu akan terus berkeliaran di pikiranku sepanjang hari.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments