I'm dead on my feet.
Jadwal meeting back-to-back dengan klien membuat sakit kepala yang baru hilang kembali dengan dua kali lipat lebih hebat. Ditambah lagi aku harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain menggunakan high heels pembunuh sialan ini. Percayalah padaku, kombinasi kepala berdenyut-denyut dan usaha untuk menyeimbangkan bada di atas heels berujung runcing setinggi sepuluh sentimeter merupakan definisi sesungguhnya dari rasa sakit di level yang berbeda.
So, ketika aku bilang I'm dead on my feet, aku rasanya benar-benar akan mati.
Lelah sekali.
Aku langsung menuju sofa dan menghempaskan tubuhku ke sana begitu sampai di apartemen. Dilihat dari suasana hening di sekitar, sepertinya Raisa masih di luar. Lagi. Hal yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini.
Hm.
Bunyi getaran ponsel memecah lamunan. Dengan sangat terpaksa kuhentikan pijatan di dahi demi menjangkau benda ofensif itu. Setelah melihat siapa yang menghubungi, segala kedongkolanku surut. Sebuah senyum serta-merta mengembang di bibir.
"Hei, you!" Wajah Mario memenuhi layar.
"Hai, Yo!” balasku seraya memperbaiki posisi bantal di bawah kepala.
"Sibuk lo?"
"Enggak, ah." Aku membantah. "Baru pulang kerja gue."
"Ooh, oke, oke. Gue gak lama, kok. Cuma mau bilang selamat ulang tahun untuk sepupu terbaik gue di dunia dan akhirat.”
Aku memutar mataku. Please, Mario memang si yang paling lebay sedunia akhirat.
"Dan untuk ngingetin kalau bakal ada paket yang nunggu lo weekend ini," tambahnya seraya mengedipkan mata.
"Lo sadar, kan, kalau gue bakal memburu lo ke ujung dunia mana pun lo berada sekarang jika paket ini gak seperti yang gue harapkan, Yo?" Kucoba memasang raut yang paling kejam untuk mengancamnya. Namun, semua orang tahu tidak akan ada yang bisa menakuti cowok si yang paling nekat di seberang sana.
"Ngelawak lo, Cuy?" ejeknya.
"Itu wajah serem gue, Dodol!" Aku balas menyindir.
Suara tawa nyaring menembus jarak melalui speaker. “Lo tu gak punya satu tulang serem pun di dalam tubuh lo, La. Jadi serem dan badass itu kekuatan super gue,” balasnya.
"Heleeh, lagak lo!" Aku mencibir. "Lo kejamnya cuma sama gue, yang lo akui sebagai sepupu terbaik lo. Sama pasien atau korban-korban gombalan lo kayaknya gak pernah, tuh."
"Idih, ngambek?" Mario malah menggodaku sambil cengengesan.
Ini adalah cara kami berinteraksi. Dia akan kejam padaku, dengan sengaja, dan aku hanya akan cemberut ketika aku berusia 5 tahun. Atau berteriak padanya ketika aku berusia 9 tahun. Menendang tulang keringnya ketika aku berusia 12 tahun dan mengabaikannya ketika aku berusia 15 tahun. Wanita dewasa berusia 27 tahun? Aku tidak akan ragu untuk mengembalikan semua ejekannya.
“Atututu, jangan ngambek dong, Ola Cepupuku Tercuyung," bujuk Mario dengan bibir monyong lima senti. "Bikin gue tambah kangen aja."
Sambungan seketika dipenuhi senyap. Dia lalu mengembuskan napas panjang. "Gue kangen rumah, La," akunya akhirnya. "Mungkin gue bakal ngambil cuti beberapa bulan sebelum nugas lagi. Cuma, ya, itu. Belum pasti gimana-gimananya, makanya gue juga belum bilang ke Mama.”
Suasana yang penuh candaan tiba-tiba berubah sendu. Rindu yang selama hampir delapan bulan ini didekapnya sendiri sekonyong-konyongnya ke luar dari setiap pori-pori lelaki berusia tiga puluh tahun itu. Pekat. Hingga, meski terhalang ribuan kilometer antara Indonesia dan Afrika, aku bisa merasakannya.
Aku melihat kantung di bawah matanya yang besar dan gelap, tetapi tidak berkomentar tentang itu. Aku tahu Mario senang dengan pekerjaannya menjadi dokter sukarela di MSF (Médecins Sans Frontières), tapi sepertinya hal itu mulai berdampak pada Mario.
“Really?" tanyaku semringah, tak dapat menyembunyikan sentum yang mengembang di bibir. "Serius, Yo, gue harap lo benar-benar bisa ngambil libur dulu. Soalnya gue juga kangen banget sama lo. Apalagi bokap-nyokap lo sendiri. Lagian, itu mata kayaknya minta dikasih yang hijau-hijau plus bening-bening."
Dia terkekeh. "Anjir, pake ngatain gue lo. Ya udah. Sampein aja salam dari gue buat Om Arif sama Tante Yuni. Terus, kalau lo ketemu Oliver, bilang sama dia kalau sekali-kali ngangkat telepon dari gue gak bakalan bikin dia mampus juga. Oke? Again, happy birthday, La. Love ya. Bye!"
Sembari melambaikan tanganku ke layar, aku berkata, "Love you too, Yoyo. Bye!"
Dan kemudian Mario menghilang dari layar.
Setelah mencoret nama Mario dari daftar yang telah mengucapkan selamat ulang tahun padaku, tibalah saatnya aku bertanya; di mana dan ke mana Bang Oli? Kok dia belum ngasih selamat sama sekali?
****
Beberapa orang masih mengisi kursi-kursi di Beniqno ketika aku sampai pada pukul sebelas lewat sepuluh malam. Meeting terakhir memakan waktu lebih lama dari yang kukira, memaksa aku untuk melewatkan makan siang dan jam pulang normal orang kantoran lainnya.
Sekarang aku sangat, sangat, sangat menginginkan greasy food andalan Om Ben.
Meskipun rasa lelah merembes dari tulang belulang, aku benar-benar girang proyek hotel bertema artsy yang aku yakin hasilnya akan menjadi very instagramable ini hampir selesai.
Mbak Lina melambai dan membawaku ke meja yang tersedia di sudut. "Pulang malam ceritanya, nih, yee?" guraunya sembari menuangkan segelas air putih. “Kamu pasti gak mau pesan yang lain, kan?"
Aku terkekeh. "Ah, Mbak tahu aja. Apa gunanya aku tengah malam ke sini kalau bukan buat itu?"
"Herman, deh, ih! Makanan isi minyak semua itu malah jadi kesukaan kamu." Dia melanjutkan repetannya.
"Mbaaak, ayolaaaaah." Aku mencoba membujuk wanita berusia akhir tiga puluhan itu dengan mencibir dan merajuk. "Aku lapar. Belum makan dari tadi pagi."
"Ya ampun, Ola! Kebangetan kamu, ya!" Tiba-tiba saja kain lap yang ada di tangan Mbak Lina melayang ke lenganku yang masih terbungkus blazer. Belum sempat aku memprotes, dia sudah mencerocos lagi. "Tunggu sini, biar Mbak suruh Mas Joko ngebut masaknya. Cheese burger, french fries, sama milkshake cokelat, kan? Tunggu. Tunggu."
"Thank you, ya, Mbaak," ucapku di balik kikihan dan bibir yang tertarik hingga ke telinga.
"Jangan cengengesan kamu! Pantes badan segini-gini aja. Makannya suka gak teratur. Sekalinya makan malah kayak orang lupa diri. Gak sehat, tahu, La!"
Well, sepertinya Mbak Lina kini benar-benar kesal. Tatapan matanya yang tajam menyulut rasa bersalah di dalam diriku. "Gak selalu, kok, Mbak." Aku membela diri. "Biasanya makan siang di-handle Renata, kok, kalau aku lagi di kantor. Tadi itu aku harus ke lapangan dan ngurusin beberapa furniture juga. Jadi, yaa, kebablasan, deh."
"Iya, Mbak tahu kamu sibuk. Tapi, mbok ya, badan sendiri juga diperhatikan, La. Apa gunanya duit banyak kalau kamu gak bisa menikmatinya, kan? Malah nanti habis buat biaya rumah sakit."
"Iya, Mbak, iya. Ola paham. Terima kasih banyak Mbak udah perhatian banget sama aku. Tapi, kan–"
"Siapa yang masuk rumah sakit?"
Tubuhku menegang mendengar suara berat yang khas itu. Kenapa? Kenapa dia harus ada di sini? Malam ini?
Kenapa takdir memperlakukanku seperti ini?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments