Ketika Cinta Datang Dan Pergi
"Kenapa makin ke sini, mas Amir makin dingin dan cuek sama aku, ya?"
Kupandangi pantulan diri di dalam cermin. Kusam, kuyu dan lesu. Terdapat lingkaran hitam di kedua mataku. Kuraba kedua pipi, kasar.
"Apa aku udah nggak cantik lagi?"
Aku menunduk, enggan menatap pantulan diri sendiri di dalam cermin. Dia wanita yang buruk rupa, kusam, dekil, tak sedap dipandang. Apakah karena itu suamiku akhir-akhir ini selalu pulang larut malam? Sekarang ini dia bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di rumah bersamaku.
"Apa kabar itu bener, ya?"
Kabar tentang kedatangan seorang gadis yang menjadi sekretarisnya. Kabar tentang kedekatan mereka yang intens bahkan sering terlihat mesra di depan karyawan yang lain.
"Apa aku harus cari tahu?" Perdebatan dalam hati kian membuatku gamang.
"Nggak! Dia nggak mungkin ngelakuin itu. Dia selalu bilang mencintai aku, rasa-rasanya nggak mungkin dia selingkuh," gumamku pada diri sendiri.
Kuangkat pandangan menatap jam di dinding yang berdetak lebih lambat dari biasanya. Jarum pendek di sana telah menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih lima belas menit.
"Harusnya suamiku udah pulang, bukannya cuma tiga hari dia keluar kota? Di mana kamu, Mas? Kenapa nggak kasih kabar aku?"
Kupandangi benda pipih di tangan, berharap dia akan menelpon.
"Kalo aku telpon, dia nggak suka dan pasti marah-marah." Kugigit bibir cemas.
Tanpa sadar sesuatu mengusik relung jiwa, sapuan di ponsel berganti menjadi cengkeraman erat. Aku gelisah? Aku cemas? Aku mengkhawatirkan keadaan rumah tanggaku? Selama ini tak pernah ada masalah, kami baik-baik saja dan hidup dengan bahagia.
"Ya Allah ... astaghfirullah! Astaghfirullah al-'adhiim. Tenangkan hati hamba, ya Allah."
Kuhembuskan napas berkali-kali sebelum beranjak dari meja rias dan turun ke lantai satu. Hanya hening yang ada juga sepi yang kurasa. Kulihat Bi Marni sedang menutup semua jendela juga pintu rumah.
Ia tersenyum ketika berbalik dan melihatku.
"Mau makan malam, Bu? Udah saya siapin," katanya dengan ramah.
Hanya wanita paruh baya itu yang menjadi teman di malam dan siangku. Aku mengangguk dan mengikutinya menuju dapur. Hidangan makan malam telah terhampar di sana, dan seperti malam-malam sebelumnya aku duduk sendiri menikmati setiap makanan.
"Bi, sini duduk. Makan sama-sama," ajakku pada Bi Marni.
Kulihat wajahnya sedikit terkejut karena suamiku melarang untuk terlalu dekat dengan para pekerja di rumah.
"Nggak apa-apa, nggak ada bapak di sini. Aku bosan makan sendirian terus," lanjutku ketika Bi Marni bergeming di depan wastafel.
"Apa nggak apa-apa, Bu, saya makan di sana? Nanti kalo bapak pulang gimana?" tanyanya khawatir.
Aku tersenyum getir, itu juga yang kuharapkan. Jika dia pulang, tak akan aku makan selarut ini. Aku hanya ingin dia pulang dan duduk bersamaku di meja makan. Atau mengajakku makan malam di luar seperti yang kami lakukan saat-saat awal pernikahan.
"Bapak mungkin nggak pulang, Bibi tahu sendiri, 'kan, akhir-akhir ini bapak nggak pernah pulang sore pasti lewat tengah malam aja," kataku lagi mengingatkan.
Kulihat raut wajahnya berubah. Oh, apakah dia sedang mengasihani aku? Tentu saja, aku ini memang menyedihkan. Patut dikasihani karena memiliki suami, tapi selalu sendiri setiap waktu.
Bi Marni mendatangi meja makan dan duduk berseberangan denganku. Ia terus saja menatapku, tatapan keibuan yang aku rindukan. Aku rindu ibuku, aku ingin pulang.
"Yang sabar, Bu. Semua akan ada waktunya, mungkin bapak emang lagi sibuk. Nanti kalo udah senggang bapak pasti akan sering ada di rumah," ucapnya menasihatiku.
Aku memaksakan senyum, seraya mengangguk untuk ucapannya itu. Kuberikan sebuah piring padanya agar ia ikut makan denganku. Ia tampak ragu menatap piring ditangannya juga wajahku.
"Nggak apa-apa, mulai hari ini kita akan makan sama-sama terus. Supaya aku nggak kesepian," ucapku lagi sambil tersenyum.
Bi Marni mengangguk pelan, kulihat bibirnya yang mulai keriput itu tersenyum. Ia menyentong nasi dan mengambil lauk pauk. Makan bersama seperti ini, membuatku sedikit berselera.
Kuharap malam ini, suamiku pulang cepat.
"Biar saya saja, Bu. Ibu istirahat saja, muka Ibu kelihatannya capek banget," sergah Bi Marni seraya merebut piring bekas makanku.
Dengan cekatan ia membereskan meja makan dan aku hanya melihatnya saja. Kutarik diri dari ruang makan menuju kamarku sendiri. Kamar yang kini selalu sepi setiap malamnya. Kamar yang tak lagi sama seperti saat kami baru menikah dulu.
Entah sudah berapa kali kuhembuskan napas berat lagi panjang, rasa sesak selalu merebak ketika mengingat hubunganku dengannya yang kian hari kian merenggang dan jauh. Kurebahkan tubuh, kupandangi figura di atas nakas dengan perasaan sedih.
Foto pernikahan kami yang terlihat bahagia sekali. Kuraihnya dan kupeluk penuh kerinduan. Tak terasa air mata jatuh membasahi sprei putih yang sudah dua hari tak aku ganti.
****
Lamat-lamat kudengar suara langkah juga percakapan seseorang, tapi mataku enggan terbuka. Tak lama, ranjang berderit membuatku tergugah. Aku bergeming, kutahu itu adalah suamiku.
Sebuah sapuan kurasakan di dahi disusul kecupan hangat nan mesra. Aku rindu, ya Allah. Kubiarkan tangannya melingkar di perutku, hembusan napasnya yang hangat menerpa tengkuk membangunkan hasrat yang tertidur selama beberapa waktu ini.
"Maafin Mas, sayang. Maaf karena Mas udah nyakitin kamu. Mas harap kamu masih mau maafin Mas," lirihnya bergetar di telingaku.
Ia mendaratkan kecupan di tengkuk, sedikit menyesapnya membuat tubuhku meremang seketika.
Maaf? Tapi buat apa? Apa karena akhir-akhir ini dia jarang nemenin aku? Ya udahlah.
Beberapa saat kurasakan hangat peluknya, senyumku terkembang tanpa sadar. Sepertinya aku akan mimpi indah malam ini, tapi getaran ponselnya sungguh menganggu. Ia melepas pelukan dan beralih pada benda pipih itu.
Entah apa yang dia lakukan, tapi hal itu cukup membuatku menangis dalam diam.
Apa aku udah nggak penting lagi? Sepenting itu ponsel kamu sekarang, Mas. Ya Allah, aku ngerasa dikhianati.
Berselang, kurasakan kembali pelukannya. Malam ini, terasa lebih hangat dari malam-malam sebelumnya.
****
"Mas, bangun! Kita sholat subuh jama'ah, yuk. Udah lama banget, lho, kita nggak sholat sama-sama."
Kubangunkan Mas Amir dengan pelan dan lembut. Aku rindu menghadap Tuhan bersamanya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, subuh itu suamiku terus terbangun dan mengambil wudhu. Kami sholat subuh berjamaah.
Kutengadahkan tangan mengikutinya, berdoa memintal asa pada sang Kholiq untuk kebaikan rumah tanggaku. Kulirik punggung Mas Amir, berguncang sedikit. Suara tangis menguar lirih darinya. Apakah dia menangis? Tapi kenapa?
Ia berbalik usai mengusap wajahnya sendiri, jatuh tersungkur di pangkuanku sambil menciumi kedua tangan ini. Ibu, ada apa ini? Kenapa dengan Mas Amir?
Segala rasa berkecamuk dalam dada, entah harus apa? Aku sendiri bingung.
"Mas, kenapa?" tanyaku dengan pelan.
Ia menggelengkan kepala, belum berucap sepatah kata pun.
"Mas, jangan begini. Kalo ada masalah mari kita bicarakan baik-baik," ucapku lagi sembari mengangkat tubuhnya pelan-pelan.
Kebingunganku bertambah tatkala melihat matanya memerah, dia menangis.
"Maafin Mas, Mayang. Mas merasa berdosa sama kamu, kamu mau maafin Mas, 'kan?" ujarnya yang semakin membuatku bingung.
"A-apa maksud, Mas? Aku nggak ngerti."
Ia mengangkat wajah, menatapku dengan mata merah dan senyum yang terlihat getir.
"Akhir-akhir ini Mas jarang temenin kamu di rumah. Kamu pasti kesepian. Bukannya Mas nggak mau, tapi karena kerjaan Mas yang menumpuk. Mas harap kamu ngerti dan mau bersabar sampai semuanya selesai. Kamu ngerti, 'kan?" tanyanya memohon.
Sedikit lega perasaanku. Aku sempat berburuk sangka padanya, kupikir dia akan mengakui yang orang-orang katakan tentangnya. Nyatanya, hanya soal waktu. Aku tersenyum haru mendengar itu, dia terlihat tulus.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok. Asal kamu nggak macem-macem aja di luar sana," ucapku.
Sekilas kulihat wajahnya berubah gugup, tapi kemudian ia tersenyum dan mengangguk.
"Nggak akan pernah, sayang. Mas janji. Makasih, ya," janjinya seraya memelukku.
Betapa lega rasa hatiku, kecurigaanku tak beralasan, ketakutan pun mulai pudar. Dia sayang padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
mampir lagi nih thor
2023-12-02
0
🌈Rainbow🪂
Lanjut kesini aja deh
2023-03-17
0
Hafifah Hafifah
jangan mau peryaca siapa tau dia minta maaf karna dia udah selingkuh.
2022-12-01
2