Kenapa semua diam? Seketika dunia menjadi sunyi setelah kedatanganku. Bukankah mereka sedang membahas sesuatu? Aku melirik bingung pada Mas Amir, lelaki itu pun tak berkedip menatapku. Ingin rasanya terkekeh melihat cairan bening merembes dari salah satu sudut bibirnya.
"Mas ... eces," bisikku sambil menunjuk sudut bibir bagian kiriku sendiri.
Mas Amir gelagapan, buru-buru ia menyusutnya sambil menunduk. Aku ingin terbahak karenanya, tapi tak enak. Segan karena ada Iyan juga seorang laki-laki asing di sampingnya.
Kutatap kedua-duanya terdiam sambil memandang ke arahku. Terlebih lagi Iyan, rekan kerja Mas Amir itu seperti baru pertama kali melihatku.
"Ah, saya Mayang. Istri Mas Amir."
Aku memperkenalkan diri sembari menangkupkan kedua tangan di dada pada laki-laki asing itu. Ia tak menjawab, membulatkan mulutnya dengan alis terangkat dan kepala mengangguk-angguk.
"Istri Pak Amir?" tanyanya sembari menunjukku.
Aku mengangguk sambil tersenyum, kulirik Mas Amir. Ia mencuri pandang ke arahku dengan salah tingkah.
"Nggak disangka ternyata Pak Amir punya istri yang cantiknya luar biasa. Saya Surya, kami sedang membahas soal produk terbaru dari perusahaan," katanya memperkenalkan diri.
Kurasa aku tersipu karena pujiannya, mataku iseng melirik perempuan yang bersama Mas Amir. Ia terlihat kesal, bibirnya mengerucut panjang ingin kukuncir saja dengan karet gelang.
Tak lama tangan Mas Amir merayap dan menggenggam jemariku. Rasa hangatnya menjalar hingga ke relung hati terdalam. Aku ingin melayang ke awang-awang. Berdegup-degup jantung hatiku, tak menentu rasanya.
"Benar, Pak, ini istri saya. Sayang, Pak Surya ini pimpinan di perusahaan tempat Mas bekerja. Beliau sedang mencari ide untuk iklan produksi minuman terbaru kita dan Melina sudah membuat konsepnya," ucap Mas Amir mengakuiku dengan bangga.
Dia boleh berbangga hati karena memiliki konsep iklannya, tapi aku juga bangga karena akulah yang diakui Mas Amir di hadapan pimpinannya.
"Saya berjanji tidak akan menganggu, silahkan dilanjut," ucapku pada mereka.
"Sebenarnya, kalo Mbaknya ini punya ide yang lebih menarik nggak masalah kita bahas di sini. Selama itu memberikan keuntungan pada perusahaan, kenapa nggak?" ujar Pak Surya dengan bijak.
Aku tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dimulailah rapat itu, pasti terasa membosankan. Akan tetapi, demi Mas Amir aku rela mati karena bosan di sini. Lihat saja perempuan gatal itu, berkali-kali mencoba berinteraksi dengan suamiku, tapi Mas Amir sedikit cuek dan mengeratkan genggamannya pada tanganku.
Rasain kamu perempuan gatel, makanya jangan suka godain suami orang. Kamu ngerasa paling cantik dan seksi, kayak nggak ada lagi aja perempuan cantik di kota ini.
Dia menjelaskan konsep miliknya, berkali-kali matanya melirik Mas Amir juga tangan kami yang saling bertaut. Entah mengapa aku rasa ada yang kurang dari konsep ini, tema iklannya mengusung bulan ramadhan. Mungkin akan diluncurkan nanti saat awal bulan suci.
"Gimana, Pak?" tanya perempuan bernama Melina itu setelah menjelaskan konsep iklan miliknya.
Kulirik pak Surya tampak menimbang, berpikir sambil melihat lembaran di depannya. Pandanganku beralih pada Iyan yang langsung berpaling sambil mengusap tengkuk tatkala lirikan kami bertemu. Ada apa dengannya?
"Gimana, Pak? Kalo ada yang kurang kita bisa cari sama-sama supaya iklan kita jadi sempurna," ucap Mas Amir menunggu dengan was-was pendapat pimpinannya itu.
"Hhmm ... ya, sebenarnya udah bagus. Cuma kenapa rasanya ada yang kurang, ya," gumam Pak Surya sama seperti pendapatku.
"Di mana kurangnya, Pak? Biar kami perbaiki." Melina menyambar dengan cepat, kegelisahan jelas terdengar dari nada suaranya yang bergetar. Oh, mungkin dia sedang menahan cemburu.
"Mungkin hanya tinggal diperbaiki sedikit saja dan dibuat berbeda dengan yang lain. Itu saja, selebihnya sudah bagus," ucap Pak Surya.
Dari raut wajahnya ia tidak terlihat puas, aku ingin berpendapat setelah mendengarkan semua konsep itu. Bolehkah?
"Gimana sama Mbak Mayang? Ada ide tambahan?"
Eh?
Aku tersentak kaget, kenapa dia menatapku seperti itu? Aku tidak terbiasa dengan hal ini, dan tangan Mas Amir yang menguat menyadarkan aku dari lamunan. Apa dia cemburu pada pimpinannya sendiri?
"Mmm ... duh, gimana, ya, Pak? Saya kurang ahli di bidang ini, tapi mungkin sedikit saran saja dari saya. Gimana kalo misalnya kita libatkan semua suku juga semua agama dalam iklan ini. Itu artinya produk terbaru dari perusahaan Bapak bisa dinikmati semua orang tak hanya kita sebagai muslim saja. Temanya bisa mengusung toleransi antar bangsa dan agama."
Aku tertawa dalam hati, mungkinkan ideku ini bisa diterima. Aku teringat pada Tsabit seorang guru kelas ahli dalam ilmu sosial. Dia sering membahas soal toleransi antar suku bangsa dan agama. Konyol, aku bahkan menertawakan ideku sendiri.
"Ide yang bagus!" seru Iyan tiba-tiba.
Aku mengangkat alis tak percaya, kulirik Mas Amir yang tersenyum dengan kedua mata berbinar padaku. Apakah ini lelucon? Lalu, perempuan itu tampak cemberut tak senang.
"Yah, boleh juga. Kita akan mencoba keduanya, setelah itu akan tahu mana yang paling cocok untuk iklan produk ini," ucap Pak Surya semakin membuatku canggung.
Benarkah ideku akan dipakai? Meskipun hanya sebagai percobaan, tapi itu tetap membuatku sedikit senang. Aku tertunduk sambil tersenyum, kenapa rasa hatiku lain hari ini. Seperti baru saja mendapatkan rezeki nomplok.
Diskusi hari itu tak berlangsung lama, Pak Surya berpamitan dan tinggallah kami berempat.
"Iyan, kamu antar Melina pulang, ya. Aku masih mau di sini sama istriku," titah Mas Amir tiba-tiba.
Kulihat Iyan membelalak terkejut. Kenapa? Juga wanita itu yang berekspresi tak terima jika Iyan mengantarnya. Apa dia pikir aku akan membiarkan Mas Amir mengantarnya pergi? Tidak akan!
"Tapi-"
"Udah, sana! Nanti kesorean. Aku mau ajak jalan-jalan Mayang, udah lama juga kita nggak jalan berdua," sela Mas Amir sembari melirikku menggoda.
Aku tersipu dibuatnya, kuangkat kepala dan mengangguk ketika Rani berpamitan pulang. Aku sudah baik-baik saja sekarang, tapi belum bisa tenang selama perempuan yang bernama Melina itu masih selalu berada di dekat suamiku.
Perang ini belum berakhir, aku tidak boleh lengah. Jika tidak, maka dia akan merusak semuanya.
"Hah, ya udah. Selamat bersenang-senang," kata Iyan lesu.
Kulambaikan tangan padanya, ia membalas dengan malas. Aku tersenyum penuh kemenangan kala mataku bertatapan dengan Melina. Hari ini dia kalah telak, dan aku pemenangnya. Tidak! Jangan berpuas hati dulu!
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Mas Amir padaku.
Sekarang aja kamu kayak gini, Mas. Nggak tahu besok-besok. Penyakit kamu pasti kambuh.
"Mmm ... ke mana aja, deh. Aku suntuk soalnya di rumah terus," sahutku malas berpikir.
Untuk saat ini ke mana pun Mas Amir membawaku pergi, aku akan menurut. Yah, walaupun hanya sekedar berjalan-jalan di Monas, ataupun kebun binatang. Haha ... tidak apa-apa, tidak apa-apa. Tenang saja, yang penting Mas Amir bersamaku.
"Ya udah, ayo kita pergi. Nonton aja, ya."
Mas Amir menatapku, tidak masalah. Menonton pun jadi. Ayolah, sayang. Kita nikmati waktu berdua ini.
Sepanjang jalan kenangan ....
Eh?
Sepanjang jalan menuju bioskop, Mas Amir sama sekali tak melepaskan tautan tangan kami. Hari ini, kami seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Membeli es krim, berjalan-jalan di mall sebelum masuk ke bioskop dengan membawa popcorn dan minuman cola.
Teringat pada masa-masa pacaran dulu, Mas Amir sering mengajakku pergi meski ayah dan ibu melarang. Kusandarkan kepala di bahunya, aku rindu masa-masa seperti ini. Terima kasih untuk hari ini, suamiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Sepriyanti Adelina
Mayang jangan terlena sesaat karena kebaikan Amir....
hati2 lhoo sekali buaya walaupun kelihatan baik dan sayang tapi kalau lengah sedikit pasti udah berpetualang kemana2😅😅😅😂😂😂
2022-12-05
3
‼️n
Ga jd interogasi ke Amir, May???
Udah gitu aja???
2022-12-05
1
v
mungkin itu ibunya si amir kali ya
2022-12-04
1