Hatiku bergetar saat melihat lelaki yang aku cintai duduk di sana bersama seorang wanita. Siapakah gerangan?
"Mas Amir?" lirihku dengan lisan yang gemetar.
Tubuhku terguncang, mematung di tempat untuk beberapa saat lamanya. Dia asyik masyuk dengan perempuan, dan mengabaikan janjinya padaku. Hatiku hancur begitu saja, dinding kepercayaan yang aku bangun dengan kokoh perlahan mulai retak.
"May!" Rani mengusap bahuku yang bergetar, mungkin dia mendengar suara lirihku yang menyebut nama Mas Amir.
Mataku berkabut, tapi enggan berpaling dari dua insan yang berada tepat di jarak sepuluh meter dari mejaku. Luruh air mataku, terlepas dari pertahanan. Kurasakan sapuan berulang-ulang di punggung dilakukan Rani sahabatku.
"Dia jahat banget, Ran. Apa perempuan itu yang kamu maksud tadi?" tanyaku terbata dan sesak.
"Iya, dia yang aku lihat," jawab Rani semakin membuat hatiku tercabik.
"Kenapa? Apa dia bukan Maisya?" tanya Rani selanjutnya.
Aku menggelengkan kepala. Bukan, dia bukan Maisya. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus pergi, ataukah bertahan menonton mereka berdua yang tak biasa.
"Sabar, May. Mungkin mereka cuma temen aja, kita nggak tahu, 'kan? Tenangin hati kamu, ya." Rani masih mengusap punggungku.
Aku mencoba untuk menenangkan diri juga hatiku. Selera makanku telah hilang, kusapu air di pipi dan kutepis segala kesedihan. Air di atas meja menggugah rasa hausku, dengan cepat kusambar jus milik Rani dan kureguk hingga tandas.
"Eh?"
Rani ikut berdiri ketika tiba-tiba tubuhku bangkit.
"Kamu mau ngapain?" tanyanya panik.
Aku tersenyum sinis, tak ingin menampakkan kelemahan di depan lelaki itu. Jangan pikir aku akan menyerah begitu saja. Tidak!
"Katanya mau lihat mereka cuma temen biasa atau temen jadi-jadian. Kamu di sini aja tunggu Tsabit, aku mau nemuin suamiku dulu. Perempuan itu tadi aku lihat di lampu merah, dia kayak lihatin aku dan manggil Mas Amir. Aku pergi dulu, ya," ucapku dengan pelan sambil menahan getar dalam dada.
"Kamu jangan nekad, May. Ini tempat umum, banyak orang. Lihat, kamu juga pakai seragam olahraga sekolah. Ingat profesi kita." Rani menahanku untuk tidak pergi.
Aku menoleh padanya dan mengembangkan senyum termanisku.
"Siapa juga yang mau marah-marah? Aku cuma mau duduk nenemin suami aku makan. Itu aja. Kamu tenang aja, ya. Aku masih waras, kok," ucapku seraya mulai meniti langkah mendekati meja suamiku.
Sembari menahan segala rasa yang bergejolak dalam jiwa, aku terus menghitung langkah. Menenangkan hati bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kuukir senyum semanis mungkin, wanita itu biasa saja jika tidak berdandan.
Benar kata Rani, aku harus mulai memperhatikan diriku sendiri. Melakukan perawatan untuk menjaga kesehatan kulitku. Yah, aku tidak boleh kalah begitu saja.
"Mas! Kamu makan di sini juga?" tegurku sambil mendaratkan bokong di kursi samping Mas Amir.
Coba lihat wajah mereka? Mas Amir terbatuk hebat karena aksiku.
"Minum, Mas!" Kuberikan air padanya sembari melirik perempuan itu.
Ia nampak terkejut, tertunduk sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga ketika pandang kami beradu. Aku mencibir, dari segi fisik akulah pemenangnya. Dia lebih pendek dariku, kulitnya tidaklah putih, perut berisi dan tidak ada bodi. Hanya saja polesan make-up tebal di wajah itu yang membuatnya terlihat menarik.
Berbeda denganku, meski aku tidak melakukan perawatan, tapi tubuhku ramping. Itu karena setiap hari aku bergerak bersama anak-anak. Tak jarang juga aku mendapat panggilan untuk menjadi instruktur senam di sebuah acara.
"Ka-kamu, kenapa di sini?" tanya Mas Amir terlihat gugup.
Wajahnya memerah, menatap cemas padaku. Sesekali kudapati ia melirik wanita yang bersamanya.
"Tuh, aku diajak makan Rani di sini. Katanya ini baru buka. Karena Mas nggak jadi ajak aku makan siang, jadi aku ikut mereka aja ke sini. Nggak nyangka kita bisa ketemu," ucapku berpura-pura tak merasakan perih.
"O."
Mas Amir membulatkan bibir sembari berpaling dan mengusap peluh di dahi.
"Mas, aku ikut makan di sini boleh, 'kan? Aku mau makan sama kamu. Nggak apa-apa, deh, sama perempuan ini juga," rengekku sambil menempelkan kepala di lengan Mas Amir.
Kulirik perempuan itu mengangkat wajah menatapku, aku tersenyum tajam mengancamnya.
"Iya, sayang. Boleh, kok. Kebetulan Mas juga belum makan. Dia sekretaris Mas, sebenarnya kita lagi nunggu Iyan datang sama klien. Jadi, makan dulu nggak apa-apa," jawab Mas Amir sembari merangkul bahuku.
Hmm ... klien dia bilang? Klien yang mana di hari libur seperti ini? Baiklah, aku ingin melihat apakah dia berkata jujur atau hanya berkilah. Awas kamu, Mas. Aku akan buat kamu menyesal karena udah selingkuh dari aku.
Hatiku menggeram marah, tapi aku harus tetap berakting seolah-olah tak tahu apapun. Pandanganku berpijak pada Rani dan Tsabit yang tengah memperhatikan aku. Pandangan keduanya sulit kuartikan. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka saat ini.
Mas Amir memesan makanan, tiga porsi dengan perempuan itu. Dengan manja aku minta disuapi makan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bermanja dengannya. Setelah dua tahun pernikahan kami ini.
"Sayang, nanti abis makan kamu langsung pulang, ya. Mas pulang cepat nanti malam, kamu masakin mas pindang bandeng. Mas kangen masakan kamu," pinta Mas Amir secara tidak langsung mengusirku.
Kamu ngusir aku, Mas. Kamu pikir aku akan pergi? Nggak! Aku mau tetap di sini.
"Tapi aku masih mau di sini sama kamu. Nggak apa-apa, ya, sekali-kali aku ikut ketemu klien kamu itu. Ngga apa-apa, ya," rengekku sambil terus menempel padanya.
Kulihat kedua orang itu tampak kesal, aku tidak peduli.
"Tapi kamu pakai seragam. Coba lihat," katanya berkilah.
Aku melirik tubuhku sendiri, kemudian tersenyum padanya.
"Mas tunggu di sini, ya. Aku ganti baju dulu. Itu di seberang sana ada butik, aku mau ganti di sana. Jam berapa klien Mas datang?" tanyaku antusias.
Ia melirik jam yang melingkar di tangannya dan menjawab, "Sekitar jam dua nanti."
Masih ada setengah jam, cukup untukku mengganti pakaian.
"Baik, aku nggak akan lama. Tunggu di sini, ya." kukecup pipi suamiku dan berlari mengajak Rani ke butik di seberang jalan, sedangkan Tsabit mengawasi suamiku.
"Kita mau ke mana?" tanya Rani.
"Ke butik. Mereka mau ketemu klien katanya dan aku harus mengganti pakaian. Kamu bawa make-up, 'kan? Aku pinjem dulu," jawabku sambil terus menarik tangan Rani memasuki butik.
Jika perempuan itu berhasil merebut hati suamiku dengan dandannya yang seksi dan menor itu, maka aku akan merebutnya kembali dengan penampilanku sendiri.
Kuambil sebuah celana berwarna pastel, kemeja, juga cardigan untuk melengkapi penampilanku hari ini. Sepatu olahraga kubiarkan terpasang, tidak masalah. Terakhir aku ganti kerudungku dengan pashmina. Sempurna.
"Waw! Kamu kelihatan beda, May. Coba tiap hari dandan kayak gini, suami kamu itu dijamin nggak akan berpaling dari kamu," puji Rani sembari memutari tubuhku. Beruntung, temanku yang satu itu selalu membawa make-up ke mana pun pergi.
"Ayo!" ajakku.
Kutitipkan pakaian pada Rani, sedangkan aku terus berjalan menghampiri meja suamiku yang kini telah terisi oleh empat orang.
"May?" tegur Tsabit saat langkahku melewati kursinya.
"Kenapa?"
"Kamu beneran Mayang? Gila! Beda banget!"
Aku hanya terkekeh seraya melanjutkan langkah pada tujuanku. Kupasang senyum tatkala mata Mas Amir tertuju padaku. Ia berkedip dengan mulut terbuka, ternganga melihat istrinya ini.
Kamu kaget, 'kan, Mas? Hhmm ... aku juga bisa cantik kayak orang-orang itu.
"Maaf, aku terlambat," ucapku seraya duduk di samping Mas Amir.
Mereka tertegun termasuk perempuan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Sepriyanti Adelina
matamu Mirr arep copot..
ngerti nek bojomu ayu taaa
makane punya istri itu diperhatikan,diragati
ojo bingung nglirik wedokan liyoo
huuuhhh gemesshh aku pengen tak hakdess😡😡😡
2022-12-04
1
‼️n
O iya meski kulitnya ga kinclong, pasti body si Mayang ok....guru or!!!
PD aja May...libas tu si pelakor menor.
Smooth tp ga kan bsa dilupain ma suami lucknut mu!!!!!
2022-12-04
1