"Kenapa makin ke sini, mas Amir makin dingin dan cuek sama aku, ya?"
Kupandangi pantulan diri di dalam cermin. Kusam, kuyu dan lesu. Terdapat lingkaran hitam di kedua mataku. Kuraba kedua pipi, kasar.
"Apa aku udah nggak cantik lagi?"
Aku menunduk, enggan menatap pantulan diri sendiri di dalam cermin. Dia wanita yang buruk rupa, kusam, dekil, tak sedap dipandang. Apakah karena itu suamiku akhir-akhir ini selalu pulang larut malam? Sekarang ini dia bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di rumah bersamaku.
"Apa kabar itu bener, ya?"
Kabar tentang kedatangan seorang gadis yang menjadi sekretarisnya. Kabar tentang kedekatan mereka yang intens bahkan sering terlihat mesra di depan karyawan yang lain.
"Apa aku harus cari tahu?" Perdebatan dalam hati kian membuatku gamang.
"Nggak! Dia nggak mungkin ngelakuin itu. Dia selalu bilang mencintai aku, rasa-rasanya nggak mungkin dia selingkuh," gumamku pada diri sendiri.
Kuangkat pandangan menatap jam di dinding yang berdetak lebih lambat dari biasanya. Jarum pendek di sana telah menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih lima belas menit.
"Harusnya suamiku udah pulang, bukannya cuma tiga hari dia keluar kota? Di mana kamu, Mas? Kenapa nggak kasih kabar aku?"
Kupandangi benda pipih di tangan, berharap dia akan menelpon.
"Kalo aku telpon, dia nggak suka dan pasti marah-marah." Kugigit bibir cemas.
Tanpa sadar sesuatu mengusik relung jiwa, sapuan di ponsel berganti menjadi cengkeraman erat. Aku gelisah? Aku cemas? Aku mengkhawatirkan keadaan rumah tanggaku? Selama ini tak pernah ada masalah, kami baik-baik saja dan hidup dengan bahagia.
"Ya Allah ... astaghfirullah! Astaghfirullah al-'adhiim. Tenangkan hati hamba, ya Allah."
Kuhembuskan napas berkali-kali sebelum beranjak dari meja rias dan turun ke lantai satu. Hanya hening yang ada juga sepi yang kurasa. Kulihat Bi Marni sedang menutup semua jendela juga pintu rumah.
Ia tersenyum ketika berbalik dan melihatku.
"Mau makan malam, Bu? Udah saya siapin," katanya dengan ramah.
Hanya wanita paruh baya itu yang menjadi teman di malam dan siangku. Aku mengangguk dan mengikutinya menuju dapur. Hidangan makan malam telah terhampar di sana, dan seperti malam-malam sebelumnya aku duduk sendiri menikmati setiap makanan.
"Bi, sini duduk. Makan sama-sama," ajakku pada Bi Marni.
Kulihat wajahnya sedikit terkejut karena suamiku melarang untuk terlalu dekat dengan para pekerja di rumah.
"Nggak apa-apa, nggak ada bapak di sini. Aku bosan makan sendirian terus," lanjutku ketika Bi Marni bergeming di depan wastafel.
"Apa nggak apa-apa, Bu, saya makan di sana? Nanti kalo bapak pulang gimana?" tanyanya khawatir.
Aku tersenyum getir, itu juga yang kuharapkan. Jika dia pulang, tak akan aku makan selarut ini. Aku hanya ingin dia pulang dan duduk bersamaku di meja makan. Atau mengajakku makan malam di luar seperti yang kami lakukan saat-saat awal pernikahan.
"Bapak mungkin nggak pulang, Bibi tahu sendiri, 'kan, akhir-akhir ini bapak nggak pernah pulang sore pasti lewat tengah malam aja," kataku lagi mengingatkan.
Kulihat raut wajahnya berubah. Oh, apakah dia sedang mengasihani aku? Tentu saja, aku ini memang menyedihkan. Patut dikasihani karena memiliki suami, tapi selalu sendiri setiap waktu.
Bi Marni mendatangi meja makan dan duduk berseberangan denganku. Ia terus saja menatapku, tatapan keibuan yang aku rindukan. Aku rindu ibuku, aku ingin pulang.
"Yang sabar, Bu. Semua akan ada waktunya, mungkin bapak emang lagi sibuk. Nanti kalo udah senggang bapak pasti akan sering ada di rumah," ucapnya menasihatiku.
Aku memaksakan senyum, seraya mengangguk untuk ucapannya itu. Kuberikan sebuah piring padanya agar ia ikut makan denganku. Ia tampak ragu menatap piring ditangannya juga wajahku.
"Nggak apa-apa, mulai hari ini kita akan makan sama-sama terus. Supaya aku nggak kesepian," ucapku lagi sambil tersenyum.
Bi Marni mengangguk pelan, kulihat bibirnya yang mulai keriput itu tersenyum. Ia menyentong nasi dan mengambil lauk pauk. Makan bersama seperti ini, membuatku sedikit berselera.
Kuharap malam ini, suamiku pulang cepat.
"Biar saya saja, Bu. Ibu istirahat saja, muka Ibu kelihatannya capek banget," sergah Bi Marni seraya merebut piring bekas makanku.
Dengan cekatan ia membereskan meja makan dan aku hanya melihatnya saja. Kutarik diri dari ruang makan menuju kamarku sendiri. Kamar yang kini selalu sepi setiap malamnya. Kamar yang tak lagi sama seperti saat kami baru menikah dulu.
Entah sudah berapa kali kuhembuskan napas berat lagi panjang, rasa sesak selalu merebak ketika mengingat hubunganku dengannya yang kian hari kian merenggang dan jauh. Kurebahkan tubuh, kupandangi figura di atas nakas dengan perasaan sedih.
Foto pernikahan kami yang terlihat bahagia sekali. Kuraihnya dan kupeluk penuh kerinduan. Tak terasa air mata jatuh membasahi sprei putih yang sudah dua hari tak aku ganti.
****
Lamat-lamat kudengar suara langkah juga percakapan seseorang, tapi mataku enggan terbuka. Tak lama, ranjang berderit membuatku tergugah. Aku bergeming, kutahu itu adalah suamiku.
Sebuah sapuan kurasakan di dahi disusul kecupan hangat nan mesra. Aku rindu, ya Allah. Kubiarkan tangannya melingkar di perutku, hembusan napasnya yang hangat menerpa tengkuk membangunkan hasrat yang tertidur selama beberapa waktu ini.
"Maafin Mas, sayang. Maaf karena Mas udah nyakitin kamu. Mas harap kamu masih mau maafin Mas," lirihnya bergetar di telingaku.
Ia mendaratkan kecupan di tengkuk, sedikit menyesapnya membuat tubuhku meremang seketika.
Maaf? Tapi buat apa? Apa karena akhir-akhir ini dia jarang nemenin aku? Ya udahlah.
Beberapa saat kurasakan hangat peluknya, senyumku terkembang tanpa sadar. Sepertinya aku akan mimpi indah malam ini, tapi getaran ponselnya sungguh menganggu. Ia melepas pelukan dan beralih pada benda pipih itu.
Entah apa yang dia lakukan, tapi hal itu cukup membuatku menangis dalam diam.
Apa aku udah nggak penting lagi? Sepenting itu ponsel kamu sekarang, Mas. Ya Allah, aku ngerasa dikhianati.
Berselang, kurasakan kembali pelukannya. Malam ini, terasa lebih hangat dari malam-malam sebelumnya.
****
"Mas, bangun! Kita sholat subuh jama'ah, yuk. Udah lama banget, lho, kita nggak sholat sama-sama."
Kubangunkan Mas Amir dengan pelan dan lembut. Aku rindu menghadap Tuhan bersamanya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, subuh itu suamiku terus terbangun dan mengambil wudhu. Kami sholat subuh berjamaah.
Kutengadahkan tangan mengikutinya, berdoa memintal asa pada sang Kholiq untuk kebaikan rumah tanggaku. Kulirik punggung Mas Amir, berguncang sedikit. Suara tangis menguar lirih darinya. Apakah dia menangis? Tapi kenapa?
Ia berbalik usai mengusap wajahnya sendiri, jatuh tersungkur di pangkuanku sambil menciumi kedua tangan ini. Ibu, ada apa ini? Kenapa dengan Mas Amir?
Segala rasa berkecamuk dalam dada, entah harus apa? Aku sendiri bingung.
"Mas, kenapa?" tanyaku dengan pelan.
Ia menggelengkan kepala, belum berucap sepatah kata pun.
"Mas, jangan begini. Kalo ada masalah mari kita bicarakan baik-baik," ucapku lagi sembari mengangkat tubuhnya pelan-pelan.
Kebingunganku bertambah tatkala melihat matanya memerah, dia menangis.
"Maafin Mas, Mayang. Mas merasa berdosa sama kamu, kamu mau maafin Mas, 'kan?" ujarnya yang semakin membuatku bingung.
"A-apa maksud, Mas? Aku nggak ngerti."
Ia mengangkat wajah, menatapku dengan mata merah dan senyum yang terlihat getir.
"Akhir-akhir ini Mas jarang temenin kamu di rumah. Kamu pasti kesepian. Bukannya Mas nggak mau, tapi karena kerjaan Mas yang menumpuk. Mas harap kamu ngerti dan mau bersabar sampai semuanya selesai. Kamu ngerti, 'kan?" tanyanya memohon.
Sedikit lega perasaanku. Aku sempat berburuk sangka padanya, kupikir dia akan mengakui yang orang-orang katakan tentangnya. Nyatanya, hanya soal waktu. Aku tersenyum haru mendengar itu, dia terlihat tulus.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok. Asal kamu nggak macem-macem aja di luar sana," ucapku.
Sekilas kulihat wajahnya berubah gugup, tapi kemudian ia tersenyum dan mengangguk.
"Nggak akan pernah, sayang. Mas janji. Makasih, ya," janjinya seraya memelukku.
Betapa lega rasa hatiku, kecurigaanku tak beralasan, ketakutan pun mulai pudar. Dia sayang padaku.
Hangat sinar mentari, menelusup ke dalam kamar yang menjadi saksi panasnya pergulatan kami ba'da subuh tadi. Ya, dia menunaikan kewajibannya setelah sekian lama membuatku menganggur. Sangat panas, liar dan perkasa. Mungkin karena telah lama kami tidak bermain dan saling memendam rindu satu sama lain.
Pagi tadi meskipun singkat saja, tapi aku cukup merasa puas dibuatnya. Kusiram tubuhku dengan air dingin, menenangkan hati yang terus bergejolak dan memanas tatkala membayangkan kejadian tadi.
"Kenapa rasanya berbeda, tapi aku suka."
Senyumku terus berkembang sepanjang guyuran air menimpa kepalaku. Pagi ini rasanya lain, lebih hangat dan ceria dari pagi-pagi sebelumnya. Semangatku kembali bangkit, tenagaku terisi sepenuhnya.
Kubalut tubuh mengenakan handuk, juga rambutku yang basah. Senyum tak pernah lepas dari bibirku, terus mengembang penuh kebahagiaan. Kulirik lelakiku yang masih terlelap, ini hari sabtu tentu saja dia libur. Akan tetapi, aku harus tetap pergi bekerja, ke sekolah tempat aku mengajar.
Aku seorang guru olahraga di sebuah sekolah dasar negeri di kota ini. Meskipun hanya sebatas guru honorer yang gajinya tak seberapa, tak mengapa aku selalu ikhlas menjalaninya. Ini adalah murni keinginanku, impianku sejak aku kecil.
"Sayang!"
Aku menoleh ketika mendengar panggilan Mas Amir. Dia menatapku dengan mata yang sedikit tertutup.
"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil menarik seragam olahraga dari dalam lemari.
"Mumpung Mas libur, nanti Mas antar kamu ke sekolah, ya. Sekalian Mas mau ketemu sama Iyan," ucap Mas Amir tak biasanya.
Aku mengangguk dan berbalik cepat ketika kurasakan rasa hangat menjalar di wajah. Mungkin saja kedua pipiku saat ini tengah merona seperti yang sering dituliskan para penulis di dalam novel.
Segera kukenakan seragam membalut tubuh rampingku. Kuikat rambut dan kututupi dengan hijab. Seperti itulah keseharianku, tidak ada yang istimewa aku lakukan selain bergembira bersama anak-anak di sekolah.
****
"Mau pake mobil atau motor?" tawar Mas Amir ketika tiba di teras rumah.
"Motor aja, Mas. Biar bisa peluk Mas," kataku sambil cengengesan.
Ia terkekeh seraya pergi ke garasi mengambil sepeda motor matic milikku. Ah, sungguh pagi yang indah. Diawali dengan pergulatan mesra lagi panas, sarapan bersama, dan diantar saat berangkat bekerja. Aku bahagia, ya Allah.
Di atas sepeda motor itu, kulingkarkan kedua tangan di perutnya. Kusandarkan kepala di punggungnya, aku tersenyum senang. Inilah yang aku rindukan, kebersamaan seperti ini yang telah lama hilang dari kehidupanku.
Mas Amir menggenggam tanganku ketika berhenti di lampu merah. Ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah kami, tapi aku tidak peduli. Rasanya, aku jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Dia suamiku.
Benar kata bang Roma, semakin lama berpisah semakin mesra saat berjumpa.
Bukan berpisah karena jarak, tapi karena waktu yang menyibukkan diri kami masing-masing. Ada dan bertemu, tapi terasa jauh.
"Mas Amir!"
Sebuah teriakan yang memanggil nama suamiku menyentuh telinga. Kuangkat wajah, dan melilau ke sekitar. Siapa yang memanggil suamiku, dari suaranya dia seperti seorang wanita.
"Mas, denger nggak ada yang manggil-manggil Mas?" tanyaku padanya.
Mas Amir terdiam mungkin sedang menajamkan telinga untuk dapat menangkap suara seseorang yang memanggilnya.
"Nggak ada tuh. Mas nggak denger apa-apa," jawabnya seraya menghidupkan mesin motor dan melaju meninggalkan lampu merah.
Aku menengok ke samping kanan jalan, di sana kulihat seorang wanita berpakaian seksi dengan dandanan menor berdiri sambil menatap ke arah kami. Mungkinkah dia yang memanggil suamiku tadi? Tapi siapa? Kenapa dia berpakaian seperti itu?
Kulirik punggung suamiku, ada getir yang menyapa relung hati. Namun, segera kutepis agar tidak menimbulkan prasangka yang buruk. Mungkin hanya kebetulan semata, wanita itu memanggil temannya dengan nama yang sama seperti nama suamiku. Bukankah nama Amir tak hanya satu?
Yah, pasti begitu.
"Di sini aja, Mas. Jangan masuk, malu," sergahku ketika motor Mas Amir tiba di depan gerbang sekolah.
"Kenapa? Malu sama siapa? Mas ini, 'kan, suami kamu. Kenapa harus malu," sahutnya terdengar tak senang seraya melajukan motor masuk ke dalam sekolah.
Ada banyak mata yang memandang ke arah kami, mungkin mereka penasaran dengan laki-laki yang mengantarku karena setiap harinya aku selalu berangkat sendirian.
"Hati-hati, Mas. Nanti makan siang di luar, ya. Udah lama kita nggak makan siang bareng," pintaku dengan manja.
Mas Amir mencubit hidungku, ia tampak berbeda.
"Iya, sayang. Nanti Mas jemput, ya. Ingat, jangan nakal di sekolah. Kamu udah punya suami."
Ucapan Mas Amir seperti sebuah ancaman bagiku, memangnya siapa yang nakal? Seluruh sekolah tahu kalau aku sudah menikah.
"Iya, Mas. Semua orang juga tahu kalo aku udah nikah. Ya udah, aku masuk, ya. Mas hati-hati," ucapku seraya meraih tangan Mas Amir dan menciumnya.
"Eh!"
"Ada apa, Mas?" Aku berbalik bingung ketika hendak meninggalkan parkiran.
"Ada yang kurang, sini!" katanya.
Aku kembali mendekat dengan perasaan bingung, ia terus saja melambai memintaku semakin mendekat. Apa yang akan dia lakukan, ini sekolah.
Cup!
Sebuah kecupan mendarat di pipiku, aku tertegun dan malu rasanya. Kulirik sekeliling, ada banyak bibir yang tersenyum. Mereka pasti mengejekku.
"Mas!" pekikku malu, tapi senang.
"Mas pergi, ya. Ingat, jangan nakal!" katanya seraya berbelok dan pergi.
Kuusap-usap pipi bekas bibirnya tadi, kugigit bibir menahan rasa yang membuncah. Berlari dengan kepala tertunduk masuk ke toilet siswa yang tak jauh dari kantor guru. Kutarik napas pendek-pendek, kenapa rasa bahagia ini membuat dadaku sesak.
Kutengadahkan wajah, menghadap langit-langit kamar mandi. Dalam hati bersyukur atas kebahagiaan pagi ini.
Alhamdulillah, ya Allah. Engkau telah mengembalikan suamiku. Alhamdulillah.
Kudekati wastafel dan bercermin di sana. Benar saja, kedua pipiku memerah semerah tomat matang. Memang penulis itu tidaklah salah, ketika ada rasa hangat menjalar di wajah ketika itu pula kulitnya memerah.
Kuhembuskan napas ketika lonceng berbunyi. Tanda sekolah akan dimulai. Jantungku masih tak mau berhenti berdetak, terus berdentam-dentam seperti musik disko yang dimainkan. Begitu kata para penulis novel.
Kubuka pintu sedikit, mengintip keadaan di luar kamar mandi. Sepi. Segera aku keluar dan menuju kantor guru.
"Cieh ... mesranya! Aku iri sama kamu, Mayang. Kalian mesra banget, sih," goda Rina teman seperjuangan yang usilnya bukan main.
"Iya, ih. Bikin iri tahu nggak. Pake cium pipi segala lagi. Duh ...." timpal Risa guru kelas satu.
"Ih, apaan, sih, kalian ini. Biasa aja kali, kalian juga suka gitu, 'kan. Udah, deh, nggak usah lebay," kilahku sambil mendaratkan bokong di kursi.
Rina menghampiriku dan memelukku dari belakang.
"Eh, May. Mau denger saran aku nggak?" bisiknya.
"Apa?" Aku melirik bingung.
"Kamu itu, 'kan, cantik, masih muda dan punya suami yang keren. Saran aku, sih, sebaiknya kamu perawatan, deh. Kamu nggak takut apa suami kamu itu tergoda pelakor di luar sana. Sekarang itu pelakor ada di mana-mana. Kita sebagai istri kudu waspada dan jaga-jaga."
Panjang kali lebar Rina menasihati aku. Tercenung diri ini dibuatnya, sudah lama sekali kakiku tidak menyambangi tempat di mana aku biasa melakukan perawatan dulu. Terbersit keinginan kecil dalam hati, tidak ada salahnya, bukan? Toh, niatku untuk membahagiakan suami.
"Baiklah, Nona. Aku terima saran darimu," sahutku setuju.
Kami terkekeh bersama. Rina bukan hanya sekedar rekan guru bagiku, tapi dia sahabat tempatku mencurahkan isi hati.
****
Siang menjelang, tapi aku masih asik duduk di lapangan usai berolahraga bersama anak-anak. Kubiarkan matahari menerpa wajahku, tak ingin beranjak dari sana. Aku menunggu kedatangan suamiku menjemput.
Namun, sesuatu yang dingin menyentuh pipi ketika aku memejamkan mata. Kubuka mata dan melihat senyum seorang laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisinya.
"Haus, minum," katanya seraya duduk di sebelahku.
Kuterima minuman dingin darinya, jus orange yang menyegarkan.
"Belum pulang? Biasanya udah pulang duluan?" tanyanya setelah menenggak minuman itu.
"Belum, aku nunggu suami aku mau jemput," jawabku sambil menoleh padanya.
Kulihat sekilas wajahnya muram, tapi kemudian dia tersenyum dan menatapku.
"Oh, aku temenin sampai dia datang, ya. Nggak apa-apa, 'kan?" katanya lagi.
Aku mengangguk mengizinkan. Dia teman yang baik, laki-laki pendiam dan penuh kasih sayang terhadap anak-anak. Tsabit namanya. Semoga hatinya teguh seteguh nama yang disandangnya.
Berselang, Rina berlari dengan napas tersengal-sengal mendatangi tempat kami.
"Kenapa, Rin?" tanyaku sambil menegakkan tubuh.
"Kamu harus tahu, Mayang. Suami kamu-"
"Bentar!" sergahku ketika ponsel di dalam saku berdering.
Aku tersenyum pada mereka seraya menjauh untuk menerima panggilan.
"Ya, Mas."
"Apa?"
Mengapa kau bermenung
Oh, adik berhati binggung
Mengapa kau bermenung
Oh, adik berhati binggung
****
Lagu Seroja yang dipopulerkan oleh Datuk Jamal Abdillah mengalun syahdu dari sebuah radio di warung tempat kami duduk saat ini. Seolah-olah ia menyindirku yang terus termenung sejak mendapatkan telpon dari Mas Amir.
Es teh yang segar tak menarik minatku untuk menyeruputnya, tanganku berputar-putar di bibir gelas sambil memegangi sedotan. Sungguh, hatiku gelisah tak menentu.
"May, cerita, dong. Kenapa kamu tiba-tiba jadi murung kayak gini?" tegur Rani sambil menyenggol bahuku.
Aku tak berselera, kulirik gelas di meja. Gerakan tanganku terhenti dengan malas. Tidak ada gunanya, duduk di sini tidak membuat kegelisahanku enyah.
"Iya, May. Jangan kayak gini, masih ada kita, lho, di sini. Kita siap dengerin keluh kesah kamu," timpal Tsabit penuh perhatian.
Kuhela napas panjang, kujauhkan gelas dari hadapan seraya kujatuhkan kepala di atas meja tersebut. Lelah rasanya, tak ada tenaga. Setelah aku dibuat melayang, kini dijatuhkan lagi.
"Aku nggak tahu. Baru aja ngerasa seneng sekarang udah kecewa lagi," keluhku tanpa mengangkat wajah dari meja.
"Cerita aja, May. Siapa tahu kita bisa bantu walaupun nggak sepenuhnya."
Suara Tsabit kembali terdengar, tapi aku masih diam. Mereka tak tahu aku sedang menahan gejolak di dalam hati. Mengapa suamiku plin plan sekali?
"May, sebenernya aku pengen cerita sama kamu, tapi aku takut kamu marah sama aku," ujar Rani tiba-tiba.
Mendengar itu hatiku semakin terusik, segera kuangkat wajah dan menatap Rani dengan perasaan yang kalut.
"Apa? Nggak apa-apa, cerita aja. Selama nggak macem-macem aku nggak bakalan marah sama kamu," ucapku penasaran apa yang ingin diceritakannya padaku.
Rani tampak ragu, ia melirik Tsabit yang juga menatap penasaran ke arahnya.
"Mmm ... kamu yakin nggak akan marah sama aku?" tanyanya lagi memastikan.
Ada kecemasan yang terlihat di kedua maniknya, aku mengangguk meyakinkan dia. Ia kembali menatap Tsabit, membuatku curiga. Apa yang mereka sembunyikan dariku?
"Kalian kenapa, sih? Kenapa dari tadi terus tatap-tatapan kaya gitu?" tanyaku kesal.
Kupandangi keduanya dengan tajam, Rani semakin terlihat ragu. Juga Tsabit yang terlihat meneguk ludah sambil mengusap pundaknya. Benar, sesuatu sedang mereka sembunyikan dariku.
"Sekali lagi aku minta, kamu jangan marah sama aku."
Rani menyentuh tanganku, meremasnya pelan menunjukkan kepedulian. Kulirik tangannya yang sedikit bergetar, aku percaya pada mereka. Rani tak pernah berbohong padaku, Tsabit adalah laki-laki yang jujur dan penuh kasih sayang.
Kuhela napas sebelum menepuk lembut tangan Rani, kutatap kedua maniknya untuk meyakinkan bahwa aku tidak akan marah sepahit apapun yang akan diceritakannya padaku.
Rani menghembuskan napas panjang, menunduk sejenak untuk kemudian menatapku kembali.
"Tadi, waktu aku pergi nganter murid pulang, aku nggak sengaja lihat suami kamu sama ...." Rani tak melanjutkan ucapannya, ia melirik Tsabit seolah-olah meminta persetujuan darinya.
"Apa? Sama siapa? Perempuan?" selaku sedikit emosi.
Jantungku telah berdebar menanti segala prasangka yang mulai berdatangan. Berkumpul membentuk gemuruh yang perlahan membuatku sesak.
Rani menatapku sedih, ia mengangguk pelan. Kedua matanya memancarkan ketakutan juga keraguan. Ada juga kesedihan yang ia tujukan padaku.
"Nggak mungkin!"
Kutarik tanganku dari genggaman Rani dengan cepat. Mataku memanas, kupalingkan dari mereka berdua untuk menyembunyikan kelemahanku. Tidak! Ini tidak mungkin, Mas Amir tidak mungkin selingkuh.
"Nggak mungkin Mas Amir selingkuh. Dia udah janji sama aku nggak akan berbuat macam-macam di luar sana. Nggak!" lirihku dengan lisan yang gemetar.
Kedua tanganku bergetar, mengikuti irama detak jantung yang bertalu-talu. Kakiku lemas tak bertenaga, sakit hatiku serasa diremukkan.
"Tenang dulu, May. Kita nggak tahu dia itu selingkuh atau nggak. Bisa aja itu cuma temannya, atau siapa gitu. Kita nggak tahu, 'kan," ucap Tsabit mencoba menenangkan aku.
"Nggak, Tsabit. Aku lihat pake mata kepalaku sendiri, suami Mayang merangkul perempuan itu. Kalo cuma teman nggak mungkin dia sampe kayak gitu. Mana baju yang dipake perempuan itu kekurangan bahan lagi."
Seruan dari Rani sukses menjatuhkan air dari pelupuk mataku. Kutahan agar tidak terisak, sesak dan sakit yang kurasakan di bagian dada kiri. Aku meremasnya kuat-kuat berharap rasa sakit itu akan hilang.
"Kita nggak bisa suudzon dulu, Ran. Siapa tahu itu adiknya suami Mayang. Atau keponakannya barang kali," ujar Tsabit membuka kemungkinan.
"Bener juga, ya. Aku nggak tahu soalnya," sahut Rani.
Mendengar penuturan Tsabit, aku termenung. Sedang mengeja siapa saja keponakan Mas Amir. Adiknya? Seingatku Mas Amir anak bungsu, dia tidak punya adik. Keponakan? Perempuan? Siapa?
"May, maafin aku. Coba kamu inget-inget apa suami kamu punya keponakan perempuan?" tanya Rani.
Sedang kulakukan, aku jarang diajak Mas Amir ke rumah orang tuanya karena ibu mertua tidak menyukai kehadiranku di sana. Keponakan, aku tidak terlalu ingat. Ah, mungkin Maisya? Gadis remaja yang selalu tampil seksi itu.
Kusapu air mata, kutatap Rani.
"Apa kamu lihat muka perempuan itu? Mas Amir ada keponakan yang suka pakai baju seksi, namanya Maisya. Dia anak yang manja dan suka merengek sama aku. Coba kamu inget-inget muka perempuan itu," ucapku pada Rani.
Aku menatap tajam menunggu kepastian jawabannya. Rani menatap ke atas, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri berpikir menggali ingatan.
"Mmm ... nggak terlalu jelas juga, sih, tapi dandanannya menor. Alisnya dibuat hitam kayak ulat bulu, kulitnya nggak putih-putih amat. Rambutnya dicat pirang. Udah, sih, gitu aja," sahut Rani.
Tercenung aku mendengarnya, kemudian mendesah lega sambil terkekeh. Itu Maisya, ciri-ciri yang disebutkan Rani tadi persis seperti Maisya.
"Kenapa?"
"Dia Maisya. Ciri-ciri yang kamu sebutin tadi, sama persis kayak dia. Jadi, aku pikir itu Maisya."
Yang sebenarnya adalah aku sedang menghibur diriku sendiri. Bohong, jika aku tidak gelisah setelah Rani bercerita. Itu sangat kebetulan sekali dengan Mas Amir yang membatalkan janjinya menjemputku. Apakah hanya kebetulan semata? Ataukah memang ada sesuatu yang tidak aku ketahui.
"Ah, syukurlah." Mereka mendesah lega.
"Tapi kenapa Mas Amir batalin janjinya jemput aku? Dia bilang mendadak ada pertemuan dengan klien. Apa ini nggak kebetulan? Di mana kamu lihat mereka?"
Semua ini menganggu pikiran, aku harus memastikan kebenarannya. Apakah perempuan itu memang Maisya ataukah bukan?
"Di depan minimarket yang ada di ujung jalan ini, aku lihat mereka di sana," jawab Rani.
Itu artinya Mas Amir tadi akan menjemputku, tapi kemudian bertemu dengan Maisya yang sedang mengalami masalah. Mengapa dia bilang akan bertemu klien? Ini sangat mencurigakan.
"Kamu bilang tadi dia ada pertemuan, terus kata Rani dia sama perempuan. Ini tanda tanya besar," ujar Tsabit yang sepemikiran denganku.
"Udahlah, jangan terlalu dipikirin. Nanti kamu bisa tanya sama dia di rumah."
Ucapan Tsabit dapat aku terima. Aku akan bertanya padanya saat di rumah nanti. Semoga saja apa yang aku takutkan tidak terjadi. Ya Allah, kenapa aku gelisah sekali?
"Eh, supaya kamu nggak kepikiran terus, gimana kalo kita makan siang? Ada restoran ayam kampung yang baru buka di sekitar sini. Tenang, aku yang traktir," ajak Tsabit sambil tersenyum lembut padaku.
"Wah, asik kalo ditraktir. Ayolah, gaskeun!" seru Rani antusias.
Terpaksa aku ikuti mereka, dengan menumpang di mobil Tsabit kami pergi ke warung makan tersebut. Pengunjung begitu banyak, padahal ini bukan akhir pekan. Di depan warung ada tulisan promo, itulah yang menarik mereka untuk datang.
"Kita duduk di sana aja!" Rani menarikku pada sebuah meja kosong yang berada di pojokan, sedangkan Tsabit memesan makanan.
Aku melilau ke segala arah, menatap para pengunjung yang asik menyantap makan siang mereka. Sampai, tatapanku berpijak pada dua orang yang sedang asik saling menyuapi. Dia ....
"Mas Amir!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!