Hangat sinar mentari, menelusup ke dalam kamar yang menjadi saksi panasnya pergulatan kami ba'da subuh tadi. Ya, dia menunaikan kewajibannya setelah sekian lama membuatku menganggur. Sangat panas, liar dan perkasa. Mungkin karena telah lama kami tidak bermain dan saling memendam rindu satu sama lain.
Pagi tadi meskipun singkat saja, tapi aku cukup merasa puas dibuatnya. Kusiram tubuhku dengan air dingin, menenangkan hati yang terus bergejolak dan memanas tatkala membayangkan kejadian tadi.
"Kenapa rasanya berbeda, tapi aku suka."
Senyumku terus berkembang sepanjang guyuran air menimpa kepalaku. Pagi ini rasanya lain, lebih hangat dan ceria dari pagi-pagi sebelumnya. Semangatku kembali bangkit, tenagaku terisi sepenuhnya.
Kubalut tubuh mengenakan handuk, juga rambutku yang basah. Senyum tak pernah lepas dari bibirku, terus mengembang penuh kebahagiaan. Kulirik lelakiku yang masih terlelap, ini hari sabtu tentu saja dia libur. Akan tetapi, aku harus tetap pergi bekerja, ke sekolah tempat aku mengajar.
Aku seorang guru olahraga di sebuah sekolah dasar negeri di kota ini. Meskipun hanya sebatas guru honorer yang gajinya tak seberapa, tak mengapa aku selalu ikhlas menjalaninya. Ini adalah murni keinginanku, impianku sejak aku kecil.
"Sayang!"
Aku menoleh ketika mendengar panggilan Mas Amir. Dia menatapku dengan mata yang sedikit tertutup.
"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil menarik seragam olahraga dari dalam lemari.
"Mumpung Mas libur, nanti Mas antar kamu ke sekolah, ya. Sekalian Mas mau ketemu sama Iyan," ucap Mas Amir tak biasanya.
Aku mengangguk dan berbalik cepat ketika kurasakan rasa hangat menjalar di wajah. Mungkin saja kedua pipiku saat ini tengah merona seperti yang sering dituliskan para penulis di dalam novel.
Segera kukenakan seragam membalut tubuh rampingku. Kuikat rambut dan kututupi dengan hijab. Seperti itulah keseharianku, tidak ada yang istimewa aku lakukan selain bergembira bersama anak-anak di sekolah.
****
"Mau pake mobil atau motor?" tawar Mas Amir ketika tiba di teras rumah.
"Motor aja, Mas. Biar bisa peluk Mas," kataku sambil cengengesan.
Ia terkekeh seraya pergi ke garasi mengambil sepeda motor matic milikku. Ah, sungguh pagi yang indah. Diawali dengan pergulatan mesra lagi panas, sarapan bersama, dan diantar saat berangkat bekerja. Aku bahagia, ya Allah.
Di atas sepeda motor itu, kulingkarkan kedua tangan di perutnya. Kusandarkan kepala di punggungnya, aku tersenyum senang. Inilah yang aku rindukan, kebersamaan seperti ini yang telah lama hilang dari kehidupanku.
Mas Amir menggenggam tanganku ketika berhenti di lampu merah. Ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah kami, tapi aku tidak peduli. Rasanya, aku jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Dia suamiku.
Benar kata bang Roma, semakin lama berpisah semakin mesra saat berjumpa.
Bukan berpisah karena jarak, tapi karena waktu yang menyibukkan diri kami masing-masing. Ada dan bertemu, tapi terasa jauh.
"Mas Amir!"
Sebuah teriakan yang memanggil nama suamiku menyentuh telinga. Kuangkat wajah, dan melilau ke sekitar. Siapa yang memanggil suamiku, dari suaranya dia seperti seorang wanita.
"Mas, denger nggak ada yang manggil-manggil Mas?" tanyaku padanya.
Mas Amir terdiam mungkin sedang menajamkan telinga untuk dapat menangkap suara seseorang yang memanggilnya.
"Nggak ada tuh. Mas nggak denger apa-apa," jawabnya seraya menghidupkan mesin motor dan melaju meninggalkan lampu merah.
Aku menengok ke samping kanan jalan, di sana kulihat seorang wanita berpakaian seksi dengan dandanan menor berdiri sambil menatap ke arah kami. Mungkinkah dia yang memanggil suamiku tadi? Tapi siapa? Kenapa dia berpakaian seperti itu?
Kulirik punggung suamiku, ada getir yang menyapa relung hati. Namun, segera kutepis agar tidak menimbulkan prasangka yang buruk. Mungkin hanya kebetulan semata, wanita itu memanggil temannya dengan nama yang sama seperti nama suamiku. Bukankah nama Amir tak hanya satu?
Yah, pasti begitu.
"Di sini aja, Mas. Jangan masuk, malu," sergahku ketika motor Mas Amir tiba di depan gerbang sekolah.
"Kenapa? Malu sama siapa? Mas ini, 'kan, suami kamu. Kenapa harus malu," sahutnya terdengar tak senang seraya melajukan motor masuk ke dalam sekolah.
Ada banyak mata yang memandang ke arah kami, mungkin mereka penasaran dengan laki-laki yang mengantarku karena setiap harinya aku selalu berangkat sendirian.
"Hati-hati, Mas. Nanti makan siang di luar, ya. Udah lama kita nggak makan siang bareng," pintaku dengan manja.
Mas Amir mencubit hidungku, ia tampak berbeda.
"Iya, sayang. Nanti Mas jemput, ya. Ingat, jangan nakal di sekolah. Kamu udah punya suami."
Ucapan Mas Amir seperti sebuah ancaman bagiku, memangnya siapa yang nakal? Seluruh sekolah tahu kalau aku sudah menikah.
"Iya, Mas. Semua orang juga tahu kalo aku udah nikah. Ya udah, aku masuk, ya. Mas hati-hati," ucapku seraya meraih tangan Mas Amir dan menciumnya.
"Eh!"
"Ada apa, Mas?" Aku berbalik bingung ketika hendak meninggalkan parkiran.
"Ada yang kurang, sini!" katanya.
Aku kembali mendekat dengan perasaan bingung, ia terus saja melambai memintaku semakin mendekat. Apa yang akan dia lakukan, ini sekolah.
Cup!
Sebuah kecupan mendarat di pipiku, aku tertegun dan malu rasanya. Kulirik sekeliling, ada banyak bibir yang tersenyum. Mereka pasti mengejekku.
"Mas!" pekikku malu, tapi senang.
"Mas pergi, ya. Ingat, jangan nakal!" katanya seraya berbelok dan pergi.
Kuusap-usap pipi bekas bibirnya tadi, kugigit bibir menahan rasa yang membuncah. Berlari dengan kepala tertunduk masuk ke toilet siswa yang tak jauh dari kantor guru. Kutarik napas pendek-pendek, kenapa rasa bahagia ini membuat dadaku sesak.
Kutengadahkan wajah, menghadap langit-langit kamar mandi. Dalam hati bersyukur atas kebahagiaan pagi ini.
Alhamdulillah, ya Allah. Engkau telah mengembalikan suamiku. Alhamdulillah.
Kudekati wastafel dan bercermin di sana. Benar saja, kedua pipiku memerah semerah tomat matang. Memang penulis itu tidaklah salah, ketika ada rasa hangat menjalar di wajah ketika itu pula kulitnya memerah.
Kuhembuskan napas ketika lonceng berbunyi. Tanda sekolah akan dimulai. Jantungku masih tak mau berhenti berdetak, terus berdentam-dentam seperti musik disko yang dimainkan. Begitu kata para penulis novel.
Kubuka pintu sedikit, mengintip keadaan di luar kamar mandi. Sepi. Segera aku keluar dan menuju kantor guru.
"Cieh ... mesranya! Aku iri sama kamu, Mayang. Kalian mesra banget, sih," goda Rina teman seperjuangan yang usilnya bukan main.
"Iya, ih. Bikin iri tahu nggak. Pake cium pipi segala lagi. Duh ...." timpal Risa guru kelas satu.
"Ih, apaan, sih, kalian ini. Biasa aja kali, kalian juga suka gitu, 'kan. Udah, deh, nggak usah lebay," kilahku sambil mendaratkan bokong di kursi.
Rina menghampiriku dan memelukku dari belakang.
"Eh, May. Mau denger saran aku nggak?" bisiknya.
"Apa?" Aku melirik bingung.
"Kamu itu, 'kan, cantik, masih muda dan punya suami yang keren. Saran aku, sih, sebaiknya kamu perawatan, deh. Kamu nggak takut apa suami kamu itu tergoda pelakor di luar sana. Sekarang itu pelakor ada di mana-mana. Kita sebagai istri kudu waspada dan jaga-jaga."
Panjang kali lebar Rina menasihati aku. Tercenung diri ini dibuatnya, sudah lama sekali kakiku tidak menyambangi tempat di mana aku biasa melakukan perawatan dulu. Terbersit keinginan kecil dalam hati, tidak ada salahnya, bukan? Toh, niatku untuk membahagiakan suami.
"Baiklah, Nona. Aku terima saran darimu," sahutku setuju.
Kami terkekeh bersama. Rina bukan hanya sekedar rekan guru bagiku, tapi dia sahabat tempatku mencurahkan isi hati.
****
Siang menjelang, tapi aku masih asik duduk di lapangan usai berolahraga bersama anak-anak. Kubiarkan matahari menerpa wajahku, tak ingin beranjak dari sana. Aku menunggu kedatangan suamiku menjemput.
Namun, sesuatu yang dingin menyentuh pipi ketika aku memejamkan mata. Kubuka mata dan melihat senyum seorang laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisinya.
"Haus, minum," katanya seraya duduk di sebelahku.
Kuterima minuman dingin darinya, jus orange yang menyegarkan.
"Belum pulang? Biasanya udah pulang duluan?" tanyanya setelah menenggak minuman itu.
"Belum, aku nunggu suami aku mau jemput," jawabku sambil menoleh padanya.
Kulihat sekilas wajahnya muram, tapi kemudian dia tersenyum dan menatapku.
"Oh, aku temenin sampai dia datang, ya. Nggak apa-apa, 'kan?" katanya lagi.
Aku mengangguk mengizinkan. Dia teman yang baik, laki-laki pendiam dan penuh kasih sayang terhadap anak-anak. Tsabit namanya. Semoga hatinya teguh seteguh nama yang disandangnya.
Berselang, Rina berlari dengan napas tersengal-sengal mendatangi tempat kami.
"Kenapa, Rin?" tanyaku sambil menegakkan tubuh.
"Kamu harus tahu, Mayang. Suami kamu-"
"Bentar!" sergahku ketika ponsel di dalam saku berdering.
Aku tersenyum pada mereka seraya menjauh untuk menerima panggilan.
"Ya, Mas."
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Sepriyanti Adelina
next thorr
2022-12-02
1
‼️n
Sudah banyak berkarya y mb???
Aq baru nemu sekarang stlh karya anda yg terbaru ini.....keren euy, banyak stok cerita ni....
Tankiu......
2022-12-02
1
Bunga Syakila
lanjut
2022-12-02
1