Perceraian yang Indah
Prapto menatapi hamparan bangunan perkotaan yang menjulang tinggi tanpa berkedip. Ia tidak begitu yakin bahwa kehidupan seperti inilah yang diinginkannya. Kehidupan dimana banyak orang berlomba-lomba dengan tujuan yang sama sekali tidak terkesan untuk mencari nafkah dan bertahan hidup, melainkan serakah dalam mengejar uang.
Tapi desakan kedua orang tuanya membuat Prapto akhirnya memutuskan juga untuk kuliah. Setelah diwisuda, ia pun mendapatkan perkerjaan sebagai seorang manajer pada salah satu perusahaan ternama yang ada di Jakarta.
Banyak tetangga Prapto yang berdecak kagum. Para tetangga itu menyatakan bahwa mereka sangat salut kepada kedua orang tua Prapto atas pencapaian karier yang diraih oleh sang anak.
Namun, jauh di lubuk hati Prapto yang dalam, bahkan lebih dalam dari jurang terdalam yang ada di dunia ini, Prapto sama sekali tidak merasa bahagia dengan karirnya, apalagi merasa bangga, sedikit pun tidak.
Kehidupan yang diimpikan oleh Prapto bukanlah kehidupan mewah di perkotaan, dimana orang-orang berlomba dalam mencari uang dan gelar yang menurut Prapto tidaklah seharusnya dipajang pada deretan nama.
Prapto sendiri tidak mau memakai gelar sarjana ekonominya. Ia bukannya tidak mau menjadi kaya, sama sekali bukan. Namun kaya raya menurut Prapto adalah kaya yang bahagia, kaya dengan melakukan pekerjaan yang ia sukai.
Prapto menyulut rokoknya. Ia menghisap asap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan penuh kegetiran. Usia Prapto dua puluh lima tahun sekarang, dan kedua orang tuanya terus saja mendesaknya untuk segera menikah dengan kekasihnya yang bernama Silvi.
Prapto bukannya tidak mau menikah, ia bukan pula tidak mencintai Silvi, namun keinginan Silvi untuk tetap terus menjadi wanita karier setelah mereka menikah membuat Prapto ragu apakah rumah tangganya akan berlangsung bahagia.
“Aku mencintaimu, Prapto, dan hanya kau lah yang ada di hatiku. Meskipun aku tetap bekerja setelah kita menikah nanti, aku akan tetap memasak serta membuatkan kopi untukmu, sebelum dan setelah aku pulang kerja, Prapto Sayang,” kata Silvi pada suatu hari, ketika mereka membicarakan tentang pernikahan.
Dalam hatinya Prapto sama sekali tidak percaya pada kata-kata Silvi tersebut. Dan yang lebih penting lagi, dengan otaknya yang cerdas, Prapto paham betul bahwa kata-kata calon istrinya itu hanyalah kata-kata manis yang isinya banyak busuk.
Banyak hal yang tidak Prapto sukai dari Silvi. Silvi mengatakan dirinya bisa berteman dengan pria. Ia juga menganut paham feminis, yang dimana dalam paham tersebut dikatakan bahwa kedudukan wanita dalam rumah tangga adalah setara dengan kedudukan pria.
Tiba-tiba ponsel Prapto berdering. Pria yang berambut panjang melewati telinga itu kemudian mengambil ponselnya dengan malas. Prapto bisa menebak dering telepon itu pasti dari Silvi. Ponsel Prapto pun tampak sangat malas untuk menampilkan nama Silvi pada menu panggilan, terlihat dari layarnya yang mendadak jadi redup.
“Halo, Sayang! Pukul lima sore nanti kita jadi melihat gaun pengantin, 'kan?” tanya Silvi dengan nada suara yang manis seperti biasanya.
Prapto diam sejenak. Ia lalu menjawab dengan singkat, “Ya, jadi Sil. Aku tunggu di toko itu saja nanti, Silvi. Aku tidak bisa menjemputmu. kerjaanku banyak.”
Di seberang telepon sana Silvi mengumpat karena Prapto mematikan panggilan itu tanpa mengucapkan see you ataupun bye.
Rini, teman sekantor Silvi memberi tanda dengan tangan kanannya agar Silvi berhenti mengumpat. Perempuan yang menganut paham feminis itu kemudian bangkit untuk duduk di meja Silvi.
“Tak usah mengumpat! Nanti dia akan tunduk padamu setelah kalian menikah. Apakah Prapto masih membahas tentang dia ingin kau berhenti bekerja setelah kalian menikah nanti? Dan juga, apakah dia masih membahas tentang pria dan wanita tidak bisa berteman?” tanya Rini.
Silvi mengangguk. “Ya. Dia masih membahas keduanya. Tapi tenang saja, aku selalu menolak untuk setuju kok. Kita adalah wanita modern yang tidak akan mau menganggap pria sebagai pemimpin rumah tangga. Bukankah kita bisa mencari uang sendiri dan tidak butuh dipimpin oleh suami?”
Rini yang berambut panjang sepunggung itu mengangguk-angguk bangga dengan raut wajah yang angkuh. “Benar sekali. Bagus! Hanya wanita bodoh saja yang mau memasak dan bersih-bersih.”
***
Sebelum berangkat untuk membeli gaun pengantin, Prapto singgah terlebih dahulu ke rumah salah seorang temannya yang bernama Timo. Usia Timo sepantaran dengan Prapto, dan Timo telah menikah dengan seorang wanita karier. Jadi, menurut Prapto, Timo mungkin adalah pria yang tepat untuk ditanyai tentang kegalauan hatinya.
Prapto memarkir mobilnya di halaman rumah Timo yang cukup luas. Ia lalu mengetuk pintu rumah. “Timo! Ini aku, Prapto.”
Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah, yang tak lama kemudian disusul oleh suara pintu dibuka. Penampakan wajah Timo yang selalu tampak sok bijaksana namun banyak kosongnya itu pun muncul. "Masuklah, Prapto!” ajaknya. “Atau kita ngobrol di pendopo saja?’
“Di pendopo saja lah, Timo,” jawab Prapto. Prapto kemudian langsung pergi ke pendopo yang ada di taman tanpa menunggu jawaban dari Timo.
“Tunggu! Kau mau kopi atau teh?” sorak Timo.
“Kopi saja.”
Dalam hatinya Prapto mengumpat, ‘Sial! Sudah kuduga bahwa bertanya kepada Timo tentang pernikahanku dengan Silvi adalah keputusan yang salah. Kakek-ku tak pernah sekalipun bercerita bahwa ia sendiri yang membuatkan minum untuk tamunya.’
Setelah Prapto merokok sejenak, Timo muncul dari balik pintu rumahnya membawa dua gelas kopi panas.
“Minumlah! Istriku masih belum pulang bekerja. Jadi, sangat mungkin sekali kopi buatanku ini rasanya tidak enak, Prapto,” kata Timo tertawa.
Prapto tak menanggapi kata-kata Timo. “Nanti sore aku dan Silvi akan membeli gaun pernikahan, Timo. Orang tuaku terus saja mendesakku untuk menikah. Aku mencintai Silvi, tapi kau 'kan tahu bahwa aku tidak mau punya istri seorang wanita karier,” jelas Prapto.
Prapto melirik pada Timo sejenak. “Aku tidak mau bila kau datang ke rumahku tapi yang membuatkan kopi untukmu adalah aku,” sindirnya.
“Jaman sudah modern, Bro. Dan gagasan tentang istri menjadi ibu rumah tangga itu sudah ketinggalan jaman. Silvi cantik, pekerjaannya pun bergaji besar, sama seperti istriku. Setidaknya kau tak perlu terlalu keras bekerja nanti karena Silvi juga bekerja,” jawab Timo dengan wajah yang sok bijaksana.
Prapto menggeleng. Ia menghembuskan asap rokoknya ke atas seolah-olah asap itu akan menembus langit-langit pendopo. “Suami itu memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah, Timo, dan juga tanggung jawab kepada istri serta anaknya. Maka dari itulah, seorang suami harus mencari nafkah, sedangkan istrinya mengurus anak dan rumah.
"Akan jadi apa anakku nanti bila ibunya saja pulang kerja sore hari? Aku tak akan menitipkan anakku di jasa penitipan anak, karena itu bukanlah tindakan yang mencerminkan kasih sayang dan tanggung jawab, Timo.”
Timo merasa tersindir lagi, namun ia tetap mempertahankan raut wajah sok bijaksananya sambil berkata, “Setidaknya, Prapto, setelah menikah nanti kau bisa mengajak Silvi berkompromi dan mengatakan kepadanya untuk berhenti bekerja.”
Prapto muak karena ia tidak mendapatkan solusi sama sekali dari temanya itu. Ia ingin segera pergi, namun Prapto mengurungkan niatnya ketika ia melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah Timo.
Jelas terlihat dari pendopo bahwa yang mengemudikan mobil tersebut adalah seorang pria. Dari mobil itu turun Tini, istrinya Timo. Setelah Tini melambaikan tangan pada si pengemudi mobil, mobil itu pun berlalu.
Prapto menyeringai. Ia mendapat ide tentang suatu pembahasan yang akan membuat temannya itu kehilangan raut wajah sok bijaksananya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
selalu bagus penulisannya
2022-12-03
1
Dydy Ailee
permulaan yang bagus
2022-11-30
1