Mata Timo membelalak, apalagi setelah ia mendengar perkataan pria tua yang duduk tak jauh di sampingnya tadi. 'Sialan,' ucap Timo dalam hati. Prapto yang tidak ingin acara pernikahannya itu menjadi kusut lalu meminta pembawa acara mengatakan kepada Timo untuk melemparkan kembali bunga itu.
"Baiklah. Banyak sekali yang ingin menikah rupanya," kata sang pembawa acara. "Silakan kembali dilempar bunganya, Bapak Timo!"
Timo melempar bunga tersebut dengan pandangan kosong. Sampai acara pernikahan Prapto selesai Timo tak pernah tersenyum lagi. Begitu pula dengan istrinya, Tini, yang juga merupakan seorang feminis.
***
Hari-hari awal pernikahan Prapto berlangsung sangat bahagia bagi keduanya. Setiap pagi Silvi selalu membuatkan Prapto kopi dan memasak untuknya. Silvi dan Prapto sama-sama mendapatkan cuti bekerja selama dua bulan. Mereka juga mengunjungi beberapa daerah sesekali dalam dua bulan itu.
Mereka tinggal di rumah Prapto, karena sang ibu mendesak agar mereka tinggal di rumahnya saja. Lagi pula rumah Prapto sangat besar dan memiliki sekitar lima buah kamar yang kosong.
Dua bulan terasa berlalu begitu cepat bagi Prapto dan Silvi. Masa cuti mereka pun kini telah habis. Silvi tampak amat bersemangat bekerja, seolah-olah menjadi ibu rumah tangga selama dua bulan itu hanya lah kepura-puraan saja baginya. Berbeda dengan Silvi, Prapto sangat benci masa cutinya itu habis karena istrinya akan kembali bekerja.
Pada suatu malam di balkon kamar, Prapto mengajak Silvi untuk mengobrol serius.
Setelah menyulut rokoknya Prapto berkata, "Sil. Sudah berapa hari ini kau tidak lagi membuatkanku kopi dan kau juga tidak pernah lagi memasak untukku. Dan tadi, aku melihat notif pesan di ponselmu. Isi pesan itu adalah seorang pria mengajakmu untuk bertemu di cafe. Bisa kau jelaskan?"
Silvi menunduk. Ia berpikir keras jawaban apa yang akan ia katakan kepada Prapto. "Aku lelah pulang bekerja, Sayang. Akhir-akhir ini kerjaanku numpuk. Soal notif pesan itu, dia hanya temanku yang sudah lama tidak bertemu, Sayang," katanya.
"Sebelum kita menikah kau telah berjanji bahwa kau akan selalu membuatkanku kopi dan memasak untukku. Tapi kini, bahkan aku sampai meminta kopi dulu padamu tapi kau tetap tidak membuatkannya karena lelah bekerja. Tak ada yang namanya pertemanan antara pria dan wanita, Silvi. Aku tidak mengizinkan kau bertemu dengannya."
Wajah Silvi berubah. "Aku lelah, Prapto. Kerjaanku banyak. Aku tak mau karir yang sudah kubangun jadi merosot karena terlalu sibuk di rumah. Kan ada Bi Asih yang bisa membuatkanmu kopi, Sayang. Aku tak suka kau mengontrol dan cemburu begini. Aku dan dia cuma teman, tidak lebih," jawab Silvi. Ia lalu pergi dari balkon tanpa berkata apa-apa.
Baru enam bulan menikah Prapto sudah bisa merasakan bahwa keputusannya untuk menikahi Silvi benar-benar salah. Silvi tak lagi mengurusnya sebagai suami, bahkan beberapa hari yang lalu Silvi mengatakan kepada Prapto bahwa kedudukan suami dan istri itu adalah setara, yaitu 50:50.
Ditambah dengan notif pesan dari seorang pria di ponsel Silvi itu, sungguh Prapto semakin muak dengan pernikahannya. Bagaimana anaknya nanti? Apakah anaknya akan tumbuh tanpa kasih sayang penuh dari seorang ibu?
Tiba-tiba Prapto menyadari satu hal. Ia lalu menyulut rokoknya sebatang lagi dan duduk di kursi balkon sambil menatapi langit malam yang tanpa bintang.
Prapto merenung. Ia merasa bahwa dirinya telah salah karena selama ini tidak tegas. Sebelum mereka menikah Prapto tidak menegaskan kepada Silvi tentang prinsip hidupnya dan prinsipnya dalam berumah tangga.
Prapto merasa bahwa ia telah menjadi pria yang lemah karena lebih memilih untuk memohon pada Silvi daripada berkata tegas sebelum menikah. Alhasil, istrinya itu sudah tidak menghormatinya lagi, istrinya tetap tidak mau menjadi ibu rumah tangga, dan istrinya tidak setia kepada Prapto.
Prapto paham betul bahwa ia sama sekali tidak mengontrol dan cemburu, melainkan itu hanya lah alasan Silvi saja untuk mendukung ketidak setiaannya sebagai istri. Senyum seringai muncul di sudut bibir Prapto ketika ia kembali berpikir bahwa mereka belum mempunyai anak.
***
Prapto duduk di meja kerjanya dengan wajah kusut, ketika salah seorang anak buahnya yang bernama Nimo datang membawakan kopi panas. "Kenapa, Bos? Akhir-akhir ini Bos tampak kusut sekali," tanya Nimo sambil meletakkan kopi di atas meja.
"Tidak apa-apa, Nimo. Aku hanya capek saja."
Nimo tidak menanggapi jawaban bosnya. Ia tahu apa sebenarnya yang membuat bosnya itu selalu tampak kusut setelah masuk kerja lagi. Nimo akrab dan sering bercerita dengan Prapto, sehingga ia tahu bahwa penyebab utama kekusutan bosnya itu adalah Silvi.
Nimo paham betul bahwa bosnya sangat menginginkan istrinya menjadi ibu rumah tangga. Diam-diam Nimo berpikir keras bagaimana caranya agar ia dapat membantu sang bos.
Setelah Nimo keluar dari ruangannya, Prapto meneguk kopi lalu menyulut rokok. Prapto sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Keputusan Prapto sudah bulat, ia akan menceraikan istrinya malam ini. Persetan dengan protes kedua orang tuanya.
Prapto akan pergi dari rumah dan membeli sebidang tanah di sebuah desa dengan uang pengunduran diri serta tabungannya. Prapto bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan menuju ruangan petinggi perusahaan untuk segera menyatakan pengunduran diri.
***
Sore itu setelah pulang dari kantor, Prapto tidak langsung pulang ke rumah, ia singgah terlebih dahulu di sebuah restoran untuk makan. Prapto memilih meja yang terletak di halaman restoran. Ketika Prapto hendak menyuap makanan, gerakan menyuapnya terhenti karena ia melihat Nimo sedang berjalan santai di trotoar. "Hei, Nimo!" sorak Prapto.
Nimo menoleh lalu pergi ke meja Prapto. "Hai, Bos!"
"Ayo, makan dulu! Aku mau ngobrol denganmu. Kau ada waktu?" tanya Prapto.
"Ada, Bos." Nimo lalu ikut duduk. Mereka mengobrol dan merokok sambil menunggu pesanan Nimo datang.
Pramusaji datang menghidangkan ikan teri lado hijau dan segelas kopi dingin pesanan Nimo. Prapto dan Nimo pun mulai bersantap sambil sesekali mengobrol. Setelah keduanya selesai makan, mereka menyulut rokok. Nimo lalu meminta bosnya itu untuk mulai bercerita.
"Aku tadi sudah mengundurkan diri, Nimo," kata Prapto sambil memperlihatkan surat pengunduran dirinya.
Nimo kaget. Betapa tidak? Posisi Prapto di perusahaan terbilang tinggi dan Prapto juga tidak pernah bermasalah. Bahkan Prapto memiliki banyak prestasi selama bekerja di perusahaan tersebut. "Ke ... kenapa, Bos?" tanya Nimo masih tak percaya.
"Karena sejak dulu aku memang tidak tertarik bekerja di kantor ataupun di perusahaan, Nimo. Dan juga, nanti malam aku akan menceraikan istriku. Karena kedua orang tuaku pasti menentang keras keputusanku untuk bercerai itu, maka aku akan pergi ke suatu desa," terang Prapto.
Prapto melanjutkan, "Di desa itu nanti aku akan membeli tanah dan membangun rumah di sana. Kau tahu? Kakek-ku dulu adalah seorang petani dan peternak. Ketika libur sekolah dan libur kuliah aku selalu berkunjung ke tempatnya.
"Aku selalu bahagia berada di sana, bahkan lebih bahagia dibandingkan dengan ketika aku berada di rumahku sendiri, Nimo. Namun ibuku bersama anak kakek-ku yang lain membuat sebuah keputusan yang amat serakah. Tanah warisan kakek-ku yang luas itu mereka jual semuanya untuk pindah ke kota. Sialan memang."
Nimo mengangguk-angguk, sementara Prapto menghembuskan asap rokoknya dengan wajah yang muram.
"Nenekku adalah seorang ibu rumah tangga sejati yang merasa amat bahagia mengurus suami, anak, serta rumahnya, Nimo. Pada jaman sekarang pasti sudah tidak ada lagi wanita yang seperti Nenek. Pernikahan bahagia di jaman sekarang ini mustahil, Nimo, karena wanita modern menganut paham feminis."
Nimo tak perlu bertanya lagi tentang keputusan bosnya itu. Ia tahu betul apa alasan bosnya ingin bercerai. Nimo juga tahu bosnya itu pria yang seperti apa. Nimo lalu tersenyum karena ia mendapat akal untuk membantu bosnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Airhujan
Semangat up ka jangan mudah down kaya aku😌
2022-12-02
1
Shining Light17
bagus ceritanya, beda dri yg lain, semangat thor
2022-12-01
1