Prapto membalas sapaan Tini yang kini sedang berdiri di dekat suaminya. "Sayang, kamu sudah nyapu rumah? Hari ini 'kan giliran kamu," tanya Tini.
Timo melihat sekilas kepada Prapto. Dari cara melihatnya jelas bahwa Timo merasa malu karena pertanyaan istrinya itu didengar oleh Prapto. "Sudah, Sayang. Kau 'kan pasti capek pulang kerja. Jadi, mana mungkin aku tidak melaksanakan tugasku," jawabnya.
Perut Prapto tiba-tiba menjadi mual mendengar obrolan sepasang suami istri itu. Setelah Tini berlalu masuk ke dalam rumah, Prapto bertanya pada Timo, "Yang membawa mobil mengantar istrimu tadi itu siapa, Timo?"
"Dia adalah teman istriku, dan mereka juga bekerja di perusahaan yang sama. Kenapa, Prapto? Kau kenal dia?"
Prapto menyeringai. "Tidak, aku tidak kenal. Apakah kau percaya bahwa wanita dan pria itu bisa berteman, Timo?"
"Tentu saja," jawab Timo cepat, "sama seperti pertemanan istriku dengan pria yang mengantarnya pulang tadi."
"Kau keliru, Timo!" sanggah Prapto, "apakah kau yakin bahwa sebelum mereka pulang tadi mereka tidak singgah dulu ke cafe untuk makan dan mengobrol sambil tertawa-tawa, sementara kau di rumah menyapu dan memasak? Kau yakin pria itu akan tetap mengantar istrimu pulang jika wajah istrimu seperti kaleng yang berisi aspal?
"Dan apakah istrimu akan mau diantar oleh pria tadi jika wajah pria itu tak jauh beda dengan comberan kering yang baru saja disiram oleh hujan? Mereka saling tertarik, Timo. Aku pergi dulu, terima kasih kopinya."
Prapto amat yakin bahwa kali ini Timo tidak akan mempunyai jawaban yang sok bijaksana lagi.
"Duarrr!"
Seolah-olah ada petir yang menyambar tepat di hadapan Timo. Jangankan untuk menjawab, untuk bergerak pun Timo tidak bisa sekarang. Timo terpaku dan membeku di pendopo menatapi lantai kayu dengan pandangan mata yang kosong. Ia sangat mengerti maksud dari kata-kata Prapto tadi. Ia merasakan kobaran api amarah mulai membara dalam hatinya.
***
"Cantik tidak, Sayang?" tanya Silvi pada Prapto sambil memperlihatkan gaun pengantin pilihannya.
Prapto tersenyum. Ia bisa membayangkan bahwa gaun itu pasti akan terlihat cantik bila dikenakan oleh Silvi. "Cantik. Gaun itu pasti akan cantik sekali bila kau kenakan, Sayang," jawab Prapto jujur, membuat Silvi tersenyum salah tingkah.
Setelah membeli gaun pengantin, Prapto dan Silvi makan di sebuah cafe yang cukup mewah. Mereka mengobrol dan tertawa seperti biasanya. Prapto selalu menyukai saat-saat berdua dengan Silvi.
Silvi adalah wanita yang riang dan cerdas, namun paham feminisnya sering kali membuat Prapto berpikir tidak hanya dua kali, bahkan beratus-ratus kali untuk menikah dengan Silvi. Soal cinta jangan ditanya, Prapto amat mencintai Silvi. Cinta itu juga lah yang akhirnya membuat Prapto memaksakan dirinya untuk menikah.
Silvi singgah terlebih dahulu di rumah Prapto sebelum pulang. Ia disambut hangat oleh ibu Prapto. Ibu Prapto sangat menyukai Silvi karena mereka memiliki pandangan yang sama dan mereka juga sama-sama penganut feminis.
Suatu waktu ketika Prapto menceritakan kegalauan hatinya kepada sang ibu, ibunya berkata, "Ini jaman modern, Nak. Silvi adalah wanita yang sempurna dan dia memiliki karier yang bagus. Jika kau tidak menikah dengan Silvi, kau akan rugi sekali." Perkataan ibunya itu disahuti oleh ayah Prapto dengan anggukan sambil melihat layar ponsel.
Prapto sering bingung. Di rumahnya keputusan sering kali diambil oleh sang ibu, bukan oleh ayahnya yang seharusnya menjadi pemimpin rumah tangga.
Tugas rumah tangga pun dibagi antara ibu dan ayahnya, yang sebenarnya hanya lah merek saja, karena sesungguhnya dalam hal urusan rumah tangga Bi Asih dan Mang Kari lah pemeran utamanya.
Bi Asih adalah wanita paruh baya yang tinggal bersama suaminya, Mang Kari, di rumah kecil yang satu atap dengan rumah Prapto. Bi Asih dan Mang Kari adalah asisten rumah tangga sekaligus orang tua kedua, jika tidak boleh dibilang orang tua utama, bagi Prapto.
Sejak Prapto kecil, ia lebih banyak diurus oleh kedua asisten rumah tangganya, sementara kedua orang tua kandung Prapto lebih memilih untuk sibuk bekerja mengejar kilauan uang.
Setelah Silvi pulang dari rumahnya, Prapto pergi bersantai di kebun kecil Mang Kari yang terdapat di belakang rumah. Mang Kari tampak tengah asyik merapikan tumbuhan dan bunga-bunganya sambil bersiul. Ia baru berhenti ketika dilihatnya Prapto telah duduk santai di bangku panjang sambil merokok.
Mang Kari ikut duduk di bangku panjang tersebut dan ditawari rokok oleh Prapto. Mang Kari yang bagaikan sosok ayah bagi Prapto itu mengernyitkan keningnya, membuat wajah tuanya semakin menampakkan kerutan.
"Apa gerangan yang mengganggu hati dan pikiranmu, Den Prapto?" tanya Mang Kari.
Prapto merasa haru karena asisten rumah tangganya itu lebih memahaminya daripada ayah dan ibunya sendiri. "Tidak ada, Mang. Aku hanya sedang lelah saja," jawab Prapto.
Namun Mang Kari yang sudah menganggap Prapto seperti adiknya sendiri itu tidak mau kalah. Ia tersenyum. "Wajah dan getaran suara Den Prapto menunjukkan bahwa suasana hati dan pikiran Aden sedang tidak tenang. Apakah itu tentang pernikahan Den Prapto dengan Silvi?"
Prapto menghembuskan asap rokoknya sambil menengadah menatap langit yang mendung. "Ya, Mang. Ayah dan Ibu sangat ingin sekali aku menikah dengan Silvi. Aku sudah pernah cerita 'kan ke Mamang bahwa Silvi tidak mau berhenti bekerja setelah menikah?"
Tiba-tiba terdengar ayah Prapto dari arah Garasi bersorak, "Mang Kari, bisa tolong ke sini sebentar?"
Prapto mengangguk sebagai tanda bahwa ia menyarankan Mang Kari untuk menemui ayahnya, meskipun perkataannya belum mendapatkan tanggapan dari Mang Kari. Prapto menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia mencintai Silvi, dan ia berharap setelah menikah nanti Silvi akan bisa diajak berkompromi untuk berhenti bekerja.
***
Tiba lah hari dimana dua insan yang bernama Silvi dan Prapto diikat dalam sebuah ikatan sakral yang disebut pernikahan. Banyak para hadirin yang datang ke acara pesta yang mewah tersebut. Mereka datang untuk mengucapkan selamat serta menyantap hidangan mewah hasil resep luar negeri.
Prapto dan Silvi merasa sangat senang atas pernikahan mereka. Keraguan Prapto sebelumnya menjadi lenyap seketika karena wajah cantik Silvi, dan karena ia mencoba untuk yakin bahwa Silvi akan mau diajak berkompromi nanti.
Prapto telah melakukan kesalahan karena ia tidak menggunakan logikanya. Prapto salah karena ia mengikuti perasaannya tanpa berpikir. Dan itu adalah hasil dari menonton konten yutub semalaman yang membahas hal-hal yang salah tentang dinamika rumah tangga manusia modern.
Acara pernikahan itu pun sampai pada sesi pelemparan bunga, yang menurut kebanyakan orang, apabila bunga itu ditangkap oleh seseorang, maka orang tersebut akan segera menikah juga dalam waktu dekat.
Bunga pun dilempar. Para hadirin yang belum menikah berusaha menangkap bunga tersebut, bahkan ada yang melompat dengan gerakan begitu rupa demi mendapatkan bunga.
Proses pelemparan bunga itu berlangsung dalam gerak waktu yang lambat, seolah-olah alam sengaja memperlambat gerakan waktu agar acara penangkapan bunga itu berlangsung lebih dramatis.
Pria yang melompat tadi hampir saja menangkap bunga, namun ia gagal karena kakinya ditarik oleh pria lain yang juga ingin segera menikah. Alhasil bunga itu terpukul oleh tangannya dan terbang ke arah bangku tamu dimana yang duduk di sana sekarang hanya lah para pasangan yang sudah menikah.
Bunga itu jatuh di pangkuan seorang pria, dan tentu saja pria itu sudah menikah, karena ia duduk di samping istrinya.
Semua orang bungkam. Wajah istri pria itu pucat. "Ini bukanlah pertanda baik. Salah seorang temanku yang telah menikah pernah mendapatkan lemparan bunga, lalu tak lama setelah itu dia bercerai dengan istrinya," ujar seorang pria tua yang juga duduk di bangku tamu sambil menggeleng sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dydy Ailee
tulisannya rapi thor
2022-11-30
1