Prapto menatapi hamparan bangunan perkotaan yang menjulang tinggi tanpa berkedip. Ia tidak begitu yakin bahwa kehidupan seperti inilah yang diinginkannya. Kehidupan dimana banyak orang berlomba-lomba dengan tujuan yang sama sekali tidak terkesan untuk mencari nafkah dan bertahan hidup, melainkan serakah dalam mengejar uang.
Tapi desakan kedua orang tuanya membuat Prapto akhirnya memutuskan juga untuk kuliah. Setelah diwisuda, ia pun mendapatkan perkerjaan sebagai seorang manajer pada salah satu perusahaan ternama yang ada di Jakarta.
Banyak tetangga Prapto yang berdecak kagum. Para tetangga itu menyatakan bahwa mereka sangat salut kepada kedua orang tua Prapto atas pencapaian karier yang diraih oleh sang anak.
Namun, jauh di lubuk hati Prapto yang dalam, bahkan lebih dalam dari jurang terdalam yang ada di dunia ini, Prapto sama sekali tidak merasa bahagia dengan karirnya, apalagi merasa bangga, sedikit pun tidak.
Kehidupan yang diimpikan oleh Prapto bukanlah kehidupan mewah di perkotaan, dimana orang-orang berlomba dalam mencari uang dan gelar yang menurut Prapto tidaklah seharusnya dipajang pada deretan nama.
Prapto sendiri tidak mau memakai gelar sarjana ekonominya. Ia bukannya tidak mau menjadi kaya, sama sekali bukan. Namun kaya raya menurut Prapto adalah kaya yang bahagia, kaya dengan melakukan pekerjaan yang ia sukai.
Prapto menyulut rokoknya. Ia menghisap asap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan penuh kegetiran. Usia Prapto dua puluh lima tahun sekarang, dan kedua orang tuanya terus saja mendesaknya untuk segera menikah dengan kekasihnya yang bernama Silvi.
Prapto bukannya tidak mau menikah, ia bukan pula tidak mencintai Silvi, namun keinginan Silvi untuk tetap terus menjadi wanita karier setelah mereka menikah membuat Prapto ragu apakah rumah tangganya akan berlangsung bahagia.
“Aku mencintaimu, Prapto, dan hanya kau lah yang ada di hatiku. Meskipun aku tetap bekerja setelah kita menikah nanti, aku akan tetap memasak serta membuatkan kopi untukmu, sebelum dan setelah aku pulang kerja, Prapto Sayang,” kata Silvi pada suatu hari, ketika mereka membicarakan tentang pernikahan.
Dalam hatinya Prapto sama sekali tidak percaya pada kata-kata Silvi tersebut. Dan yang lebih penting lagi, dengan otaknya yang cerdas, Prapto paham betul bahwa kata-kata calon istrinya itu hanyalah kata-kata manis yang isinya banyak busuk.
Banyak hal yang tidak Prapto sukai dari Silvi. Silvi mengatakan dirinya bisa berteman dengan pria. Ia juga menganut paham feminis, yang dimana dalam paham tersebut dikatakan bahwa kedudukan wanita dalam rumah tangga adalah setara dengan kedudukan pria.
Tiba-tiba ponsel Prapto berdering. Pria yang berambut panjang melewati telinga itu kemudian mengambil ponselnya dengan malas. Prapto bisa menebak dering telepon itu pasti dari Silvi. Ponsel Prapto pun tampak sangat malas untuk menampilkan nama Silvi pada menu panggilan, terlihat dari layarnya yang mendadak jadi redup.
“Halo, Sayang! Pukul lima sore nanti kita jadi melihat gaun pengantin, 'kan?” tanya Silvi dengan nada suara yang manis seperti biasanya.
Prapto diam sejenak. Ia lalu menjawab dengan singkat, “Ya, jadi Sil. Aku tunggu di toko itu saja nanti, Silvi. Aku tidak bisa menjemputmu. kerjaanku banyak.”
Di seberang telepon sana Silvi mengumpat karena Prapto mematikan panggilan itu tanpa mengucapkan see you ataupun bye.
Rini, teman sekantor Silvi memberi tanda dengan tangan kanannya agar Silvi berhenti mengumpat. Perempuan yang menganut paham feminis itu kemudian bangkit untuk duduk di meja Silvi.
“Tak usah mengumpat! Nanti dia akan tunduk padamu setelah kalian menikah. Apakah Prapto masih membahas tentang dia ingin kau berhenti bekerja setelah kalian menikah nanti? Dan juga, apakah dia masih membahas tentang pria dan wanita tidak bisa berteman?” tanya Rini.
Silvi mengangguk. “Ya. Dia masih membahas keduanya. Tapi tenang saja, aku selalu menolak untuk setuju kok. Kita adalah wanita modern yang tidak akan mau menganggap pria sebagai pemimpin rumah tangga. Bukankah kita bisa mencari uang sendiri dan tidak butuh dipimpin oleh suami?”
Rini yang berambut panjang sepunggung itu mengangguk-angguk bangga dengan raut wajah yang angkuh. “Benar sekali. Bagus! Hanya wanita bodoh saja yang mau memasak dan bersih-bersih.”
***
Sebelum berangkat untuk membeli gaun pengantin, Prapto singgah terlebih dahulu ke rumah salah seorang temannya yang bernama Timo. Usia Timo sepantaran dengan Prapto, dan Timo telah menikah dengan seorang wanita karier. Jadi, menurut Prapto, Timo mungkin adalah pria yang tepat untuk ditanyai tentang kegalauan hatinya.
Prapto memarkir mobilnya di halaman rumah Timo yang cukup luas. Ia lalu mengetuk pintu rumah. “Timo! Ini aku, Prapto.”
Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah, yang tak lama kemudian disusul oleh suara pintu dibuka. Penampakan wajah Timo yang selalu tampak sok bijaksana namun banyak kosongnya itu pun muncul. "Masuklah, Prapto!” ajaknya. “Atau kita ngobrol di pendopo saja?’
“Di pendopo saja lah, Timo,” jawab Prapto. Prapto kemudian langsung pergi ke pendopo yang ada di taman tanpa menunggu jawaban dari Timo.
“Tunggu! Kau mau kopi atau teh?” sorak Timo.
“Kopi saja.”
Dalam hatinya Prapto mengumpat, ‘Sial! Sudah kuduga bahwa bertanya kepada Timo tentang pernikahanku dengan Silvi adalah keputusan yang salah. Kakek-ku tak pernah sekalipun bercerita bahwa ia sendiri yang membuatkan minum untuk tamunya.’
Setelah Prapto merokok sejenak, Timo muncul dari balik pintu rumahnya membawa dua gelas kopi panas.
“Minumlah! Istriku masih belum pulang bekerja. Jadi, sangat mungkin sekali kopi buatanku ini rasanya tidak enak, Prapto,” kata Timo tertawa.
Prapto tak menanggapi kata-kata Timo. “Nanti sore aku dan Silvi akan membeli gaun pernikahan, Timo. Orang tuaku terus saja mendesakku untuk menikah. Aku mencintai Silvi, tapi kau 'kan tahu bahwa aku tidak mau punya istri seorang wanita karier,” jelas Prapto.
Prapto melirik pada Timo sejenak. “Aku tidak mau bila kau datang ke rumahku tapi yang membuatkan kopi untukmu adalah aku,” sindirnya.
“Jaman sudah modern, Bro. Dan gagasan tentang istri menjadi ibu rumah tangga itu sudah ketinggalan jaman. Silvi cantik, pekerjaannya pun bergaji besar, sama seperti istriku. Setidaknya kau tak perlu terlalu keras bekerja nanti karena Silvi juga bekerja,” jawab Timo dengan wajah yang sok bijaksana.
Prapto menggeleng. Ia menghembuskan asap rokoknya ke atas seolah-olah asap itu akan menembus langit-langit pendopo. “Suami itu memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah, Timo, dan juga tanggung jawab kepada istri serta anaknya. Maka dari itulah, seorang suami harus mencari nafkah, sedangkan istrinya mengurus anak dan rumah.
"Akan jadi apa anakku nanti bila ibunya saja pulang kerja sore hari? Aku tak akan menitipkan anakku di jasa penitipan anak, karena itu bukanlah tindakan yang mencerminkan kasih sayang dan tanggung jawab, Timo.”
Timo merasa tersindir lagi, namun ia tetap mempertahankan raut wajah sok bijaksananya sambil berkata, “Setidaknya, Prapto, setelah menikah nanti kau bisa mengajak Silvi berkompromi dan mengatakan kepadanya untuk berhenti bekerja.”
Prapto muak karena ia tidak mendapatkan solusi sama sekali dari temanya itu. Ia ingin segera pergi, namun Prapto mengurungkan niatnya ketika ia melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah Timo.
Jelas terlihat dari pendopo bahwa yang mengemudikan mobil tersebut adalah seorang pria. Dari mobil itu turun Tini, istrinya Timo. Setelah Tini melambaikan tangan pada si pengemudi mobil, mobil itu pun berlalu.
Prapto menyeringai. Ia mendapat ide tentang suatu pembahasan yang akan membuat temannya itu kehilangan raut wajah sok bijaksananya.
Prapto membalas sapaan Tini yang kini sedang berdiri di dekat suaminya. "Sayang, kamu sudah nyapu rumah? Hari ini 'kan giliran kamu," tanya Tini.
Timo melihat sekilas kepada Prapto. Dari cara melihatnya jelas bahwa Timo merasa malu karena pertanyaan istrinya itu didengar oleh Prapto. "Sudah, Sayang. Kau 'kan pasti capek pulang kerja. Jadi, mana mungkin aku tidak melaksanakan tugasku," jawabnya.
Perut Prapto tiba-tiba menjadi mual mendengar obrolan sepasang suami istri itu. Setelah Tini berlalu masuk ke dalam rumah, Prapto bertanya pada Timo, "Yang membawa mobil mengantar istrimu tadi itu siapa, Timo?"
"Dia adalah teman istriku, dan mereka juga bekerja di perusahaan yang sama. Kenapa, Prapto? Kau kenal dia?"
Prapto menyeringai. "Tidak, aku tidak kenal. Apakah kau percaya bahwa wanita dan pria itu bisa berteman, Timo?"
"Tentu saja," jawab Timo cepat, "sama seperti pertemanan istriku dengan pria yang mengantarnya pulang tadi."
"Kau keliru, Timo!" sanggah Prapto, "apakah kau yakin bahwa sebelum mereka pulang tadi mereka tidak singgah dulu ke cafe untuk makan dan mengobrol sambil tertawa-tawa, sementara kau di rumah menyapu dan memasak? Kau yakin pria itu akan tetap mengantar istrimu pulang jika wajah istrimu seperti kaleng yang berisi aspal?
"Dan apakah istrimu akan mau diantar oleh pria tadi jika wajah pria itu tak jauh beda dengan comberan kering yang baru saja disiram oleh hujan? Mereka saling tertarik, Timo. Aku pergi dulu, terima kasih kopinya."
Prapto amat yakin bahwa kali ini Timo tidak akan mempunyai jawaban yang sok bijaksana lagi.
"Duarrr!"
Seolah-olah ada petir yang menyambar tepat di hadapan Timo. Jangankan untuk menjawab, untuk bergerak pun Timo tidak bisa sekarang. Timo terpaku dan membeku di pendopo menatapi lantai kayu dengan pandangan mata yang kosong. Ia sangat mengerti maksud dari kata-kata Prapto tadi. Ia merasakan kobaran api amarah mulai membara dalam hatinya.
***
"Cantik tidak, Sayang?" tanya Silvi pada Prapto sambil memperlihatkan gaun pengantin pilihannya.
Prapto tersenyum. Ia bisa membayangkan bahwa gaun itu pasti akan terlihat cantik bila dikenakan oleh Silvi. "Cantik. Gaun itu pasti akan cantik sekali bila kau kenakan, Sayang," jawab Prapto jujur, membuat Silvi tersenyum salah tingkah.
Setelah membeli gaun pengantin, Prapto dan Silvi makan di sebuah cafe yang cukup mewah. Mereka mengobrol dan tertawa seperti biasanya. Prapto selalu menyukai saat-saat berdua dengan Silvi.
Silvi adalah wanita yang riang dan cerdas, namun paham feminisnya sering kali membuat Prapto berpikir tidak hanya dua kali, bahkan beratus-ratus kali untuk menikah dengan Silvi. Soal cinta jangan ditanya, Prapto amat mencintai Silvi. Cinta itu juga lah yang akhirnya membuat Prapto memaksakan dirinya untuk menikah.
Silvi singgah terlebih dahulu di rumah Prapto sebelum pulang. Ia disambut hangat oleh ibu Prapto. Ibu Prapto sangat menyukai Silvi karena mereka memiliki pandangan yang sama dan mereka juga sama-sama penganut feminis.
Suatu waktu ketika Prapto menceritakan kegalauan hatinya kepada sang ibu, ibunya berkata, "Ini jaman modern, Nak. Silvi adalah wanita yang sempurna dan dia memiliki karier yang bagus. Jika kau tidak menikah dengan Silvi, kau akan rugi sekali." Perkataan ibunya itu disahuti oleh ayah Prapto dengan anggukan sambil melihat layar ponsel.
Prapto sering bingung. Di rumahnya keputusan sering kali diambil oleh sang ibu, bukan oleh ayahnya yang seharusnya menjadi pemimpin rumah tangga.
Tugas rumah tangga pun dibagi antara ibu dan ayahnya, yang sebenarnya hanya lah merek saja, karena sesungguhnya dalam hal urusan rumah tangga Bi Asih dan Mang Kari lah pemeran utamanya.
Bi Asih adalah wanita paruh baya yang tinggal bersama suaminya, Mang Kari, di rumah kecil yang satu atap dengan rumah Prapto. Bi Asih dan Mang Kari adalah asisten rumah tangga sekaligus orang tua kedua, jika tidak boleh dibilang orang tua utama, bagi Prapto.
Sejak Prapto kecil, ia lebih banyak diurus oleh kedua asisten rumah tangganya, sementara kedua orang tua kandung Prapto lebih memilih untuk sibuk bekerja mengejar kilauan uang.
Setelah Silvi pulang dari rumahnya, Prapto pergi bersantai di kebun kecil Mang Kari yang terdapat di belakang rumah. Mang Kari tampak tengah asyik merapikan tumbuhan dan bunga-bunganya sambil bersiul. Ia baru berhenti ketika dilihatnya Prapto telah duduk santai di bangku panjang sambil merokok.
Mang Kari ikut duduk di bangku panjang tersebut dan ditawari rokok oleh Prapto. Mang Kari yang bagaikan sosok ayah bagi Prapto itu mengernyitkan keningnya, membuat wajah tuanya semakin menampakkan kerutan.
"Apa gerangan yang mengganggu hati dan pikiranmu, Den Prapto?" tanya Mang Kari.
Prapto merasa haru karena asisten rumah tangganya itu lebih memahaminya daripada ayah dan ibunya sendiri. "Tidak ada, Mang. Aku hanya sedang lelah saja," jawab Prapto.
Namun Mang Kari yang sudah menganggap Prapto seperti adiknya sendiri itu tidak mau kalah. Ia tersenyum. "Wajah dan getaran suara Den Prapto menunjukkan bahwa suasana hati dan pikiran Aden sedang tidak tenang. Apakah itu tentang pernikahan Den Prapto dengan Silvi?"
Prapto menghembuskan asap rokoknya sambil menengadah menatap langit yang mendung. "Ya, Mang. Ayah dan Ibu sangat ingin sekali aku menikah dengan Silvi. Aku sudah pernah cerita 'kan ke Mamang bahwa Silvi tidak mau berhenti bekerja setelah menikah?"
Tiba-tiba terdengar ayah Prapto dari arah Garasi bersorak, "Mang Kari, bisa tolong ke sini sebentar?"
Prapto mengangguk sebagai tanda bahwa ia menyarankan Mang Kari untuk menemui ayahnya, meskipun perkataannya belum mendapatkan tanggapan dari Mang Kari. Prapto menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia mencintai Silvi, dan ia berharap setelah menikah nanti Silvi akan bisa diajak berkompromi untuk berhenti bekerja.
***
Tiba lah hari dimana dua insan yang bernama Silvi dan Prapto diikat dalam sebuah ikatan sakral yang disebut pernikahan. Banyak para hadirin yang datang ke acara pesta yang mewah tersebut. Mereka datang untuk mengucapkan selamat serta menyantap hidangan mewah hasil resep luar negeri.
Prapto dan Silvi merasa sangat senang atas pernikahan mereka. Keraguan Prapto sebelumnya menjadi lenyap seketika karena wajah cantik Silvi, dan karena ia mencoba untuk yakin bahwa Silvi akan mau diajak berkompromi nanti.
Prapto telah melakukan kesalahan karena ia tidak menggunakan logikanya. Prapto salah karena ia mengikuti perasaannya tanpa berpikir. Dan itu adalah hasil dari menonton konten yutub semalaman yang membahas hal-hal yang salah tentang dinamika rumah tangga manusia modern.
Acara pernikahan itu pun sampai pada sesi pelemparan bunga, yang menurut kebanyakan orang, apabila bunga itu ditangkap oleh seseorang, maka orang tersebut akan segera menikah juga dalam waktu dekat.
Bunga pun dilempar. Para hadirin yang belum menikah berusaha menangkap bunga tersebut, bahkan ada yang melompat dengan gerakan begitu rupa demi mendapatkan bunga.
Proses pelemparan bunga itu berlangsung dalam gerak waktu yang lambat, seolah-olah alam sengaja memperlambat gerakan waktu agar acara penangkapan bunga itu berlangsung lebih dramatis.
Pria yang melompat tadi hampir saja menangkap bunga, namun ia gagal karena kakinya ditarik oleh pria lain yang juga ingin segera menikah. Alhasil bunga itu terpukul oleh tangannya dan terbang ke arah bangku tamu dimana yang duduk di sana sekarang hanya lah para pasangan yang sudah menikah.
Bunga itu jatuh di pangkuan seorang pria, dan tentu saja pria itu sudah menikah, karena ia duduk di samping istrinya.
Semua orang bungkam. Wajah istri pria itu pucat. "Ini bukanlah pertanda baik. Salah seorang temanku yang telah menikah pernah mendapatkan lemparan bunga, lalu tak lama setelah itu dia bercerai dengan istrinya," ujar seorang pria tua yang juga duduk di bangku tamu sambil menggeleng sedih.
Mata Timo membelalak, apalagi setelah ia mendengar perkataan pria tua yang duduk tak jauh di sampingnya tadi. 'Sialan,' ucap Timo dalam hati. Prapto yang tidak ingin acara pernikahannya itu menjadi kusut lalu meminta pembawa acara mengatakan kepada Timo untuk melemparkan kembali bunga itu.
"Baiklah. Banyak sekali yang ingin menikah rupanya," kata sang pembawa acara. "Silakan kembali dilempar bunganya, Bapak Timo!"
Timo melempar bunga tersebut dengan pandangan kosong. Sampai acara pernikahan Prapto selesai Timo tak pernah tersenyum lagi. Begitu pula dengan istrinya, Tini, yang juga merupakan seorang feminis.
***
Hari-hari awal pernikahan Prapto berlangsung sangat bahagia bagi keduanya. Setiap pagi Silvi selalu membuatkan Prapto kopi dan memasak untuknya. Silvi dan Prapto sama-sama mendapatkan cuti bekerja selama dua bulan. Mereka juga mengunjungi beberapa daerah sesekali dalam dua bulan itu.
Mereka tinggal di rumah Prapto, karena sang ibu mendesak agar mereka tinggal di rumahnya saja. Lagi pula rumah Prapto sangat besar dan memiliki sekitar lima buah kamar yang kosong.
Dua bulan terasa berlalu begitu cepat bagi Prapto dan Silvi. Masa cuti mereka pun kini telah habis. Silvi tampak amat bersemangat bekerja, seolah-olah menjadi ibu rumah tangga selama dua bulan itu hanya lah kepura-puraan saja baginya. Berbeda dengan Silvi, Prapto sangat benci masa cutinya itu habis karena istrinya akan kembali bekerja.
Pada suatu malam di balkon kamar, Prapto mengajak Silvi untuk mengobrol serius.
Setelah menyulut rokoknya Prapto berkata, "Sil. Sudah berapa hari ini kau tidak lagi membuatkanku kopi dan kau juga tidak pernah lagi memasak untukku. Dan tadi, aku melihat notif pesan di ponselmu. Isi pesan itu adalah seorang pria mengajakmu untuk bertemu di cafe. Bisa kau jelaskan?"
Silvi menunduk. Ia berpikir keras jawaban apa yang akan ia katakan kepada Prapto. "Aku lelah pulang bekerja, Sayang. Akhir-akhir ini kerjaanku numpuk. Soal notif pesan itu, dia hanya temanku yang sudah lama tidak bertemu, Sayang," katanya.
"Sebelum kita menikah kau telah berjanji bahwa kau akan selalu membuatkanku kopi dan memasak untukku. Tapi kini, bahkan aku sampai meminta kopi dulu padamu tapi kau tetap tidak membuatkannya karena lelah bekerja. Tak ada yang namanya pertemanan antara pria dan wanita, Silvi. Aku tidak mengizinkan kau bertemu dengannya."
Wajah Silvi berubah. "Aku lelah, Prapto. Kerjaanku banyak. Aku tak mau karir yang sudah kubangun jadi merosot karena terlalu sibuk di rumah. Kan ada Bi Asih yang bisa membuatkanmu kopi, Sayang. Aku tak suka kau mengontrol dan cemburu begini. Aku dan dia cuma teman, tidak lebih," jawab Silvi. Ia lalu pergi dari balkon tanpa berkata apa-apa.
Baru enam bulan menikah Prapto sudah bisa merasakan bahwa keputusannya untuk menikahi Silvi benar-benar salah. Silvi tak lagi mengurusnya sebagai suami, bahkan beberapa hari yang lalu Silvi mengatakan kepada Prapto bahwa kedudukan suami dan istri itu adalah setara, yaitu 50:50.
Ditambah dengan notif pesan dari seorang pria di ponsel Silvi itu, sungguh Prapto semakin muak dengan pernikahannya. Bagaimana anaknya nanti? Apakah anaknya akan tumbuh tanpa kasih sayang penuh dari seorang ibu?
Tiba-tiba Prapto menyadari satu hal. Ia lalu menyulut rokoknya sebatang lagi dan duduk di kursi balkon sambil menatapi langit malam yang tanpa bintang.
Prapto merenung. Ia merasa bahwa dirinya telah salah karena selama ini tidak tegas. Sebelum mereka menikah Prapto tidak menegaskan kepada Silvi tentang prinsip hidupnya dan prinsipnya dalam berumah tangga.
Prapto merasa bahwa ia telah menjadi pria yang lemah karena lebih memilih untuk memohon pada Silvi daripada berkata tegas sebelum menikah. Alhasil, istrinya itu sudah tidak menghormatinya lagi, istrinya tetap tidak mau menjadi ibu rumah tangga, dan istrinya tidak setia kepada Prapto.
Prapto paham betul bahwa ia sama sekali tidak mengontrol dan cemburu, melainkan itu hanya lah alasan Silvi saja untuk mendukung ketidak setiaannya sebagai istri. Senyum seringai muncul di sudut bibir Prapto ketika ia kembali berpikir bahwa mereka belum mempunyai anak.
***
Prapto duduk di meja kerjanya dengan wajah kusut, ketika salah seorang anak buahnya yang bernama Nimo datang membawakan kopi panas. "Kenapa, Bos? Akhir-akhir ini Bos tampak kusut sekali," tanya Nimo sambil meletakkan kopi di atas meja.
"Tidak apa-apa, Nimo. Aku hanya capek saja."
Nimo tidak menanggapi jawaban bosnya. Ia tahu apa sebenarnya yang membuat bosnya itu selalu tampak kusut setelah masuk kerja lagi. Nimo akrab dan sering bercerita dengan Prapto, sehingga ia tahu bahwa penyebab utama kekusutan bosnya itu adalah Silvi.
Nimo paham betul bahwa bosnya sangat menginginkan istrinya menjadi ibu rumah tangga. Diam-diam Nimo berpikir keras bagaimana caranya agar ia dapat membantu sang bos.
Setelah Nimo keluar dari ruangannya, Prapto meneguk kopi lalu menyulut rokok. Prapto sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Keputusan Prapto sudah bulat, ia akan menceraikan istrinya malam ini. Persetan dengan protes kedua orang tuanya.
Prapto akan pergi dari rumah dan membeli sebidang tanah di sebuah desa dengan uang pengunduran diri serta tabungannya. Prapto bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan menuju ruangan petinggi perusahaan untuk segera menyatakan pengunduran diri.
***
Sore itu setelah pulang dari kantor, Prapto tidak langsung pulang ke rumah, ia singgah terlebih dahulu di sebuah restoran untuk makan. Prapto memilih meja yang terletak di halaman restoran. Ketika Prapto hendak menyuap makanan, gerakan menyuapnya terhenti karena ia melihat Nimo sedang berjalan santai di trotoar. "Hei, Nimo!" sorak Prapto.
Nimo menoleh lalu pergi ke meja Prapto. "Hai, Bos!"
"Ayo, makan dulu! Aku mau ngobrol denganmu. Kau ada waktu?" tanya Prapto.
"Ada, Bos." Nimo lalu ikut duduk. Mereka mengobrol dan merokok sambil menunggu pesanan Nimo datang.
Pramusaji datang menghidangkan ikan teri lado hijau dan segelas kopi dingin pesanan Nimo. Prapto dan Nimo pun mulai bersantap sambil sesekali mengobrol. Setelah keduanya selesai makan, mereka menyulut rokok. Nimo lalu meminta bosnya itu untuk mulai bercerita.
"Aku tadi sudah mengundurkan diri, Nimo," kata Prapto sambil memperlihatkan surat pengunduran dirinya.
Nimo kaget. Betapa tidak? Posisi Prapto di perusahaan terbilang tinggi dan Prapto juga tidak pernah bermasalah. Bahkan Prapto memiliki banyak prestasi selama bekerja di perusahaan tersebut. "Ke ... kenapa, Bos?" tanya Nimo masih tak percaya.
"Karena sejak dulu aku memang tidak tertarik bekerja di kantor ataupun di perusahaan, Nimo. Dan juga, nanti malam aku akan menceraikan istriku. Karena kedua orang tuaku pasti menentang keras keputusanku untuk bercerai itu, maka aku akan pergi ke suatu desa," terang Prapto.
Prapto melanjutkan, "Di desa itu nanti aku akan membeli tanah dan membangun rumah di sana. Kau tahu? Kakek-ku dulu adalah seorang petani dan peternak. Ketika libur sekolah dan libur kuliah aku selalu berkunjung ke tempatnya.
"Aku selalu bahagia berada di sana, bahkan lebih bahagia dibandingkan dengan ketika aku berada di rumahku sendiri, Nimo. Namun ibuku bersama anak kakek-ku yang lain membuat sebuah keputusan yang amat serakah. Tanah warisan kakek-ku yang luas itu mereka jual semuanya untuk pindah ke kota. Sialan memang."
Nimo mengangguk-angguk, sementara Prapto menghembuskan asap rokoknya dengan wajah yang muram.
"Nenekku adalah seorang ibu rumah tangga sejati yang merasa amat bahagia mengurus suami, anak, serta rumahnya, Nimo. Pada jaman sekarang pasti sudah tidak ada lagi wanita yang seperti Nenek. Pernikahan bahagia di jaman sekarang ini mustahil, Nimo, karena wanita modern menganut paham feminis."
Nimo tak perlu bertanya lagi tentang keputusan bosnya itu. Ia tahu betul apa alasan bosnya ingin bercerai. Nimo juga tahu bosnya itu pria yang seperti apa. Nimo lalu tersenyum karena ia mendapat akal untuk membantu bosnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!