Waktu itu ... ketika senyummu yang tak kepalang manisnya masih lah lembut, selalu kulihat potretmu sebelum tidur
Matahari pagi pun selalu kusambut dengan lagu yang katamu syahdu, lagu yang aku nyanyikan ketika kita meilhat matahari terbenam dari tepi dermaga
Saat itu, kau adalah bunga dalam hatiku, yang mekar dan menebar wangi dalam setiap helaan nafasku
Kau mungkin tidak tahu betapa hatiku bahagia dan tenteram, sungguh
Tapi, cintamu padaku ternyata tidak seindah dalam film dan novel yang sering kau baca itu
Aku tidak mau jatuh cinta lagi. Bukan karena kau, tapi karena dunia ini sudah kehilangan sosok wanita sejati
Arfiz Y
Nimo menemukan di rak mobil secarik kertas yang ditulisi syair oleh Prapto. Ia menggeleng-geleng setelah membaca syair tersebut. 'Syair yang sedih,' kata Nimo dalam hati. Nimo cepat-cepat meletakkan kertas itu setelah dilihatnya Prapto keluar dari mesin ATM yang ada di sebuah tempat pengisian bahan bakar. Mereka pun lalu melanjutkan perjalanan.
Hari sudah siang ketika Prapto dan Nimo berhenti di sebuah kedai makan untuk bersantap. Mereka memilih duduk di meja yang letaknya dekat dengan jendela. Pengunjung kedai makan itu bisa dihitung jumlahnya dengan jari. Mungkin karena masih jam kerja, jadi, belum banyak pengunjung yang datang untuk mengisi perut mereka.
Prapto memperhatikan meja-meja yang ada di sekitarnya. Pada sebuah meja yang terletak agak di tengah, tampak seorang bapak-bapak bersama anaknya. Bocah itu tengah makan dengan lahap.
"Ayah, kenapa Ibu tidak memasak saja untuk kita di rumah? Aku lebih suka makan di rumah," tanya sang anak. Menurut taksiran Prapto, usia bocah itu sekitar empat tahunan.
Prapto penasaran jawaban seperti apa yang akan dilontarkan oleh ayah bocah tersebut. Sang ayah yang tampak kebingungan untuk menjawab sengaja memperlambat tegukan kopinya.
"Ibu harus berangkat kerja, Nak. Bapak nanti juga akan berangkat ke kantor. Setelah makan, bapak antar kau ke rumah Pak Inu, ya. Nanti pulang kerja akan Bapak jemput."
Raut wajah bocah itu berubah murung seketika. Ia meletakkan kembali sendok berisi nasi goreng yang tadi hendak disuapnya. Bocah itu sudah malas makan. "Sampai kapan aku harus terus menunggu Ayah dan Ibu di rumah penitipan itu?"
Jelas terlihat oleh Prapto bahwa ayah dari bocah itu pura-pura tidak mendengar, malah ia mengalihkan pembicaraan. Prapto begitu benci melihatnya. Ia lalu menoleh ke pada Nimo yang sudah selesai makan. "Seperti apa desamu itu, Nimo?"
Prapto menyulut rokoknya. Mereka baru saja selesai menyantap ayam panggang dan kerupuk emping yang disiram dengan kuah gulai daun ubi, yang menurut Nimo, aromanya bisa membuat orang yang sedang tidur langsung berdiri.
"Desaku itu adalah desa yang paling indah yang ada di dunia ini, Bos. Bos lihat saja lah sendiri nanti! Susah untuk menjelaskannya, Bos, karena desaku itu terlalu indah," jawab Nimo. Ia pun menyulut rokoknya.
Prapto menggeleng-geleng. "Lagakmu, Nimo ... Nimo. Mengatakan nama desamu saja kau tak mau. Pukul berapa kita akan sampai di sana?"
Nimo melihat jam tangannya. "Paling sekitar pukul empat kita sudah tiba, Bos."
"Kau punya pacar, Nimo?" tanya Prapto setelah ia meneguk es teh lemon.
"Tidak, Bos. Tapi, tak lama setelah tinggal di desa nanti, rencananya aku ingin melamar salah satu warga desaku." Nimo menghembuskan asap rokoknya sambil membayangkan senyum sang pujaan hati.
Prapto memandangi wajah Nimo dengan serius. "Kau yakin? Pernikahan di jaman sekarang ini mustahil bisa bahagia, Nimo," katanya.
Nimo mengangguk mantap. "Tentu saja aku yakin, Bos. Bos nanti akan mengerti mengapa aku bisa seyakin ini."
"Kenapa kata-katamu menjadi serba nanti bos terus sejak pagi tadi, Nimo? Aku turunkan juga kau di jalan," sahut Prapto.
Nimo tertawa. "Yang mengemudi 'kan aku, Bos. Ngomong-ngomong, ayo kita berangkat sekarang, Bos!" ajak Nimo.
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan ke desa NImo yang tidak mau ia sebutkan namanya itu.
***
Mobil sedan Prapto telah keluar sepenuhnya dari kawasan kota. Prapto dan Nimo membuka kaca mobil. "Tak perlu pakai AC, Bos. Udara di sini sangat segar, tidak seperti di Jakarta," kata Nimo.
Mereka tiba di sebuah perempatan. Nimo lalu membelokkan mobil ke kanan. Prapto memperhatikan suasana di daerah yang mereka lalui tersebut. Di sebelah kiri mobil adalah hamparan sawah luas yang padinya sudah menguning.
Hamparan sawah itu bagaikan permadani alam yang sangat menyegarkan mata. Di jalan-jalan kecil yang membatasi sawah-sawah tersebut, Prapto melihat sebuah gerobak melaju dibawa oleh sapi.
Prapto juga melihat pak tani dan bu tani yang tengah merawat sawah mereka. Terdapat juga pondok-pondok di persawahan itu, dimana bocah-bocah yang berusia paling tinggi lima tahun, duduk bermain seruling dan harmonika. Prapto menduga bahwa bocah-bocah tersebut pastilah anak dari pak tani dan bu tani.
Pada sebuah persimpangan Nimo membelokkan mobil ke arah kiri. "Sebentar lagi kita akan sampai, Bos," katanya.
Prapto meluruskan duduknya. Ia kembali menyulut rokok. Mobil Prapto memasuki sebuah desa yang gapuranya terbuat dari bambu. Namun, meskipun terbuat dari bambu, gapura desa itu tampak indah. "Kita sudah sampai, Bos," kata Nimo.
Prapto mengangguk. Ia tidak menoleh, karena Prapto sedang memperhatikan tulisan pada gapura tersebut.
Selamat Datang di Desa Kejora
"Nama desamu bagus juga, Nimo," puji Prapto.
Di sepanjang jalan menuju rumah Nimo, Prapto melihat beberapa pasang suami istri dan anak-anak mereka yang tengah berjalan. Agaknya mereka baru pulang bekerja, karena ada yang memanggul cangkul, ada yang membawa buah-buahan dan sayur hasil panen dengan keranjang, dan ada juga yang menggiring ternak.
Pekarangan rumah warga di desa itu tampak sejuk dan asri. Selalu ada saja pohon pelindung di halaman rumah mereka dan pagar-pagar hidup yang berbunga. Ada juga pekarangan rumah yang pekarangannya kecil, namun tetap saja terlihat sejuk dipandang oleh mata Prapto.
Prapto pun sampai di depan rumah Nimo. Rumah Nimo tidak besar namun juga tidak kecil. Ketika mereka baru turun dari mobil, Prapto langsung bertanya kepada Nimo, "Nimo, kenapa di desa ini ibu-ibunya tidak ada yang kulihat memakai seragam kantor? Katamu 'kan ada kota yang dekat dari desa ini."
Nimo tersenyum penuh arti. "Bos akan mendapatkan jawabannya nanti. Sekarang mari kuperkenalkan Bos kepada Ibu dan Bapak, lalu kita akan pergi ke rumah pak kepala desa untuk melaporkan kedatangan Bos." Prapto kembali menggeleng-geleng mendengar jawaban nanti Nimo.
Prapto diperkenalkan oleh Nimo kepada kedua orang tuanya. Ternyata Nimo adalah anak tunggal. Ayah dan Ibu Nimo tidak diragukan lagi adalah orang yang baik, Prapto bisa melihat jelas dari wajah mereka yang ceria dan tenteram.
Prapto mengernyitkan keningnya. Ia heran melihat betapa ibu Nimo yang rambut panjangnya bergerai itu, setiap kali bicara kepada suaminya, selalu memberi kesan bahwa ibunya itu sangat menghormati ayah Nimo. Apalagi tatapan ibu Nimo pada ayahnya, jelas sekali tampak penuh kasih.
"Minumlah kopinya, Nak Prapto! Kami mau ke belakang dulu menyelesaikan panen bawang," kata Ayah Nimo memecahkan perenungan Prapto.
"Iya, Pak, silakan!" jawab Prapto mengangguk hormat.
"Kenapa melamun, Bos?" tanya Nimo.
Prapto malas untuk mengatakan kepada Nimo apa yang tengah ia pikirkan, karena sudah pasti Nimo akan menjawab seperti tadi. "Tak apa, Nimo," jawabnya. "Kebunmu jauh dari sini?"
"Tidak, Bos. Di belakang rumah kami adalah kebun. Minumlah kopinya, Bos! Setelah itu kita akan ke rumah pak kepala desa.
***
Di teras sebuah rumah yang pagarnya merupakan tanaman hidup berbunga merah jambu, seorang pria berusia lima puluh lima tahun sedang merokok cangklong. Pria tua itu berdiri melihat lima ekor ayamnya yang bermain di halaman. Kepala orang tua itu menoleh ketika ia melihat Nimo berjalan dengan Prapto memasuki pintu pagar.
"Bu, tolong buatkan kopi tiga, ya! Nimo dan temannya yang dia ceritakan pada Bapak sudah datang. Kopi yang untuk Bapak tak usah pakai gula, Bu!" kata pria itu kepada istrinya.
Wanita paruh baya yang rambutnya disanggul itu bangkit dari duduknya. Ia memandang suaminya heran. "Kenapa tidak pakai gula, Pak?" tanyanya.
"Kau 'kan sudah manis, Bu. Apalagi kalau tersenyum, bidadari pun kalah. Jadi, aku tak butuh gula lagi," jawab pria itu. Ia lalu tertawa.
Wanita itu mencubit bahu suaminya. "Benar-benar tidak aku kasih gula kopi Bapak baru tahu rasa!" sahutnya sebelum masuk ke rumah untuk membuat kopi.
Nimo memeluk pria tua itu. "kenalkan, Pak, ini Prapto, sahabat saya yang saya ceritakan kemarin." Nimo lalu menoleh kepada Prapto. "Bos, ini Pak Oscar. Beliau adalah kepala desa Kejora."
Prapto menyalami Pak Oscar. Mereka lalu duduk di bangku teras.
Pak Oscar menyulut kembali cangklongnya yang tadi padam. "Jadi, Nak Prapto, Nimo telah mengatakan kepadaku bahwa Nak Prapto sedang mencari lahan dan ingin melihat-lihat desa ini. Nimo juga mengatakan bahwa Nak Prapto baru saja bercerai."
"Jangan salah paham, Nak Prapto! Nimo hanya ingin membantumu. Ia prihatin pada Nak Prapto yang tidak percaya ada wanita sejati di dunia ini," kata kepala desa tersebut. Ia lalu menghisap cangklongnya.
Prapto menatap Nimo penuh tanda tanya. Nimo yang berhutang penjelasan kepada Prapto segera angkat bicara.
"Begini, Bos. Aku sangat prihatin kepada Bos yang selalu tampak kusut. Apalagi setelah bos bercerai, Bos jadi berpendapat bahwa pernikahan itu tidak akan bisa bahagia. Itulah alasanku mengajak Bos berkunjung ke desa Kejora, agar bos bisa melihat bahwa pernikahan bahagia itu ternyata masih ada," terang Nimo.
Nimo melanjutkan, "Bos tadi lihat sendiri tidak ada ibu-ibu kantoran maupun ibu-ibu dengan seragam perusahaan di desa ini, kan? Di desa Kejora ini, para istri hanya bekerja membantu suami mereka di kebun, di sawah, atau berdagang di rumah.
"Di desa ini tak pernah ada perceraian, Bos, karena rumah tangga di desa ini berjalan dengan bahagia. Pak Oscar saja nanti yang menjelaskannya kepada Bos."
Nimo meneguk kopinya. Prapto terharu dengan kepedulian anak buah sekaligus sahabatnya itu. Ia tersenyum. "Terima kasih, Nimo," ucap Prapto.
Istri Pak Oscar datang membawakan tiga cangkir kopi. "Ini adalah istriku, Nak Prapto. Namanya Inari. Tak pakai gula, kan, Bu?" tanya Pak Oscar pada istrinya, yang dijawab oleh Bu Inari dengan membelalakkan matanya sambil tersenyum.
Setelah cangkir-cangkir dan teko kopi selesai dihidangkan, Prapto menyalami Bu Inari. Seperti yang dilihatnya pada ayah dan ibu Nimo, Bu Inari pun menatap suaminya dengan hormat dan penuh kasih. Meskipun Pak Oscar dan Bu Inari sudah tua, mereka masih tampak sangat mesra.
Bu Inari kembali masuk ke dalam rumah untuk menonton TV. Pak Oscar menatap Prapto sambil mengangguk-angguk dengan bijaksana.
"Dengar, Nak Prapto! Akan kujelaskan kepadamu tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang-orang di kota. Tidak hanya di kota, bahkan orang-orang di desa lain pun tidak banyak yang tahu tentang ini. Kau tahu? Bila dilihat dari data statistik perceraian di negara kita, banyak juga warga desa yang bercerai."
Prapto dan Nimo menyulut rokok mereka cepat-cepat agar mereka bisa fokus sepenuhnya mendengarkan petuah bijaksana Pak Oscar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments