Sebelum pulang dari restoran, Nimo menawari Prapto untuk ikut ke desanya, karena seminggu lagi ia akan mengambil cuti. Nimo akan tinggal di desanya selama tiga bulan.
Selama tiga bulan itu Nimo berjanji bahwa ia akan menanggung makan, minum, serta tempat tinggal untuk bosnya. Prapto tidak menjanjikan kepada Nimo bahwa ia akan ikut, namun Prapto menyatakan bahwa ia tertarik.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Prapto melihat Silvi sedang asyik mengobrol sambil tertawa-tawa di sebuah cafe bersama seorang pria. Prapto tersenyum. Ia bisa menebak bahwa pria yang tengah makan bersama istrinya itu pastilah pria yang mengirimi SIlvi pesan kemarin. Hati Prapto semakin mantap untuk bercerai.
***
Hujan turun begitu lebat menyirami kota Jakarta malam ini. Trotoar jalan sepi, hanya terlihat beberapa orang saja yang berjalan membawa payung.
Orang-orang yang membawa payung itu tampaknya adalah orang-orang yang baru saja pulang bekerja, atau orang-orang yang ingin ke minimarket untuk membeli rokok dan bahan makanan. Siapa pula yang akan keluar rumah hanya untuk membuang sampah saat hujan deras begini, bukan?
Jakarta adalah tempat dimana banyak orang datang untuk mengadu nasib. Tapi sayangnya, nasib yang mereka adu-adu itu sering kali kalah. Banyak dari para pengadu nasib itu yang akhirnya pulang ke kampung halaman dengan kepala tertunduk sambil membawa ijazah sarjana di tangan mereka.
Banyak pula dari para pengadu nasib itu yang mendapatkan pekerjaan, namun tak lama kemudian mereka akhirnya pulang juga, karena gaji yang mereka dapat tidak cukup untuk menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak, apalagi untuk pergi ke Ancol dan Dufan.
Sebenarnya bukanlah nasib yang salah, karena nasib bukanlah suatu ketentuan. Nasib adalah hasil ciptaan manusia, hasil usaha manusia. Jakarta juga tidak bisa disalahkan, karena Jakarta sendiri tidak pernah mengajak para pengadu nasib itu untuk datang.
Jakarta tidak pernah menawarkan, apalagi menjanjikan kekayaan kepada mereka. Para pengadu nasib itu sendiri lah yang datang ke Jakarta dengan penuh harapan dan impian menjadi kaya.
Jika memang harus ada yang disalahkan, maka, mungkin sistem pendidikan lah yang bersalah kepada para pengadu nasib yang berguguran itu. Betapa tidak? Sejak bersekolah para siswa selalu ditanya, "Jika telah tamat nanti kalian ingin kerja di mana?"
Kenapa para siswa itu tidak ditanya begini saja, "Jika tamat sekolah nanti kalian ingin membuka usaha apa?" Kedua pertanyaan itu bila dipikirkan dengan dalam akan menghasilkan jawaban dan pola pikir yang amat berbeda.
Selanjutnya para siswa itu akan diarahkan oleh guru dan orang tua mereka untuk berkuliah, sehingga dalam kebanyakan lingkungan masyarakat, kuliah telah menjadi suatu gengsi. Yang berkuliah dianggap telah pasti sukses, dan yang tidak berkuliah dianggap akan hidup dalam ekonomi yang suram.
Namun nyatanya kuliah tetap tidak menjamin kesejahteraan ekonomi, apalagi menjamin kebahagiaan hidup, sama sekali tidak.
Sistem pendidikan juga lah, terutama perkuliahan, yang membuat para wanita feminis semakin menyebarkan paham sesat mereka, sehingga saat ini banyak sekali rumah tangga yang kacau, karena kebanyakan istri tidak lagi menghormati suami mereka.
Paham feminis semakin merajalela di dunia melalui kebanyakan film serta novel cinta yang laris terjual di pasaran, dimana dalam film dan novel tersebut para pria merendahkan harga diri agar wanita mau menerima cinta mereka. Akibatnya, polaritas energi maskulin dan energi feminin menjadi terbalik.
Hujan semakin deras. Prapto berdiri di balkon kamarnya sambil menatapi mobil lewat dan orang-orang berpayung yang berjalan di trotoar. Prapto lalu melihat seekor katak hijau yang agaknya terlambat pulang ke sarang.
Katak hijau itu basah kuyup sambil terus melompat-lompat. Prapto lega ketika katak itu akhirnya melompat ke dalam lubang trotoar. Ia senang katak itu tidak kehujanan lagi. Prapto menyulut rokoknya.
Prapto telah bercerita kepada Mang Kari dan Bi Asih ketika ia pulang tadi. Prapto mengatakan kepada mereka bahwa malam ini ia akan menceraikan istrinya dan akan pindah ke sebuah desa. Prapto menyalami Bi Asih lalu memeluk Mang Kari. "Ini nomer ponsel baruku, Mang Kari. Jangan beritahu Ayah dan Ibu, ya!"
***
"Sayang, ada apa? Tumben kau tidak mengajakku mengobrol di balkon?" tanya Silvi setelah masuk kamar. Ia baru saja menemani ibu Prapto nonton sinetron.
"Asyik sekali obrolanmu dengan pria itu tadi, Silvi," sahut Prapto tertawa.
Silvi terdiam sejenak. "Kau di cafe itu tadi, Prapto?" tanyanya.
"Tidak, aku hanya lewat. Dengar, Silvi! Aku mencintaimu, namun aku tidak menyukai kepribadian, sikap, prinsip, serta cara pandangmu. Dan ... kau tidak setia padaku," kata Prapto dengan lancar tanpa tergagap sedikit pun.
Silvi menatap Prapto dalam-dalam. Ia merasa takut mendengar kata-kata suaminya itu, ketakutan yang tak pernah ia bayangkan selama ia berpacaran dan menikah dengan Prapto. Air mata Silvi jatuh. "A ... apa maksud kata-katamu itu, Prapto?"
Silvi adalah wanita yang cerdas. Ia tahu akan mengarah ke mana pembahasan Prapto. Silvi tak mau mendengar suaminya itu mengatakan kata-kata yang tak mau ia dengar, kata-kata yang tiba-tiba membuatnya menjadi amat takut. Prapto tampak sama sekali berbeda di mata Silvi malam ini.
Prapto bukan lagi pria yang bisa Silvi beri ancaman ataupun alasan agar suaminya itu tidak protes dan tunduk kepadanya. Prapto bukan lagi pria lemah yang bisa Silvi kendalikan. Prapto yang ada di hadapan Silvi sekarang adalah Prapto yang tampak begitu tegas serta memiliki kepribadian yang lebih kuat daripada batu karang.
Perlahan rasa hormat Silvi kepada suaminya itu muncul. Lalu rasa hormat itu membuat rasa cinta Silvi pada Prapto juga muncul. Silvi ingin meminta maaf kepada Prapto, namun ia menahan kata-kata maaf itu agar tidak keluar dari mulutnya.
Silvi adalah wanita feminis yang tidak mau berkedudukan lebih rendah dari suami. Silvi adalah wanita moderen yang tidak mau dipimpin oleh suaminya. Karena bagi Silvi, kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga adalah 50:50. Namun, kalaupun kata-kata maaf itu Silvi ucapkan, Prapto tidak akan memberinya maaf sedikit pun.
Prapto menyeringai. "Maksudku ... Aku menceraikanmu, Silvi," kata Prapto tegas.
"A ... apa ... apa salahku, Prapto?" tanya Silvi lemah. Air mata terus mengalir di pipinya.
"Kau adalah wanita yang cerdas, Silvi. Jadi, tidak mungkin kau tidak tahu apa salahmu," jawab Prapto singkat lalu pergi.
"Duarrrr! Duarrr! Duarr Duarr!
Petir serasa menyambar empat kali tepat di depan wajah Silvi. Tangis Silvi semakin menjadi hingga terdengar oleh kedua mertuanya. Ayah dan ibu Prapto langsung pergi ke kamar anaknya untuk melihat Silvi. Silvi menceritakan semuanya kepada sang mertua, dan kedua mertuanya itu pun berpihak pada SIlvi.
Prapto baru selesai memasukkan kopernya ke bagasi mobil untuk segera pergi ke tempat Nimo, ketika kedua orang tuanya keluar dari pintu rumah sambil berlari kecil.
Ibu Prapto mendamprat, "Sudah kubilang padamu, Prapto, bahwa pemikiran dan prinsipmu itu kuno! Ini jaman modern! Kau akan menyesal karena menceraikan Silvi! Kembalilah ke dalam dan minta maaf padanya! Jika tidak, kau tak akan kami akui lagi sebagai anak!" Dampratan ibu Prapto itu diiringi oleh anggukan ayahnya.
Prapto menatap tajam pada ayah dan ibunya. "Aku, anak Ayah dan Ibu, merasa bahwa Bi Asih dan Mang Kari lah orang tua utamaku, karena kalian lebih memilih untuk sibuk mengejar kilauan uang daripada mengurusku. Kalian egois! Persetan denga Silvi! Aku pamit, Yah, Bu."
Ibu dan ayah Prapto terdiam. Mereka pun sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa kepada Prapto, karena mobil sedan hitam milik anak mereka sudah melesat dalam gelapnya malam dan dalam derasnya suara nyanyian hujan.
***
Nimo heran melihat bosnya datang malam-malam dalam derasnya hujan. Setelah Nimo menyajikan kopi, Prapto lalu menceritakan bahwa ia telah menceraikan Silvi dan telah pamit pada ayah dan ibunya.
Nimo kaget. Meskipun Nimo senang dengan keputusan keren yang dibuat oleh bosnya itu, tetap saja ia tidak menyangka. Nimo lalu menyulutkan rokok Prapto. Setelah Prapto menghembuskan asap rokoknya, ia menatap Nimo lama.
"Kenapa, Bos?" tanya Nimo.
"Tabunganku tidak terlalu banyak, Nimo. Dan uang pengunduran diriku pun juga tidak terlalu banyak. Selain sebagai anak buahku di kantor ketika aku masih bekerja, kau adalah sahabatku. Berapa usiamu sekarang?"
Nimo mengernyitkan keningnya. "Ada apa, Bos? Tumben Bos berkata begini. Umurku dua puluh tiga tahun, Bos."
Prapto meneguk kopinya. "Aku punya penawaran untukmu, Nimo. Tapi ini bukanlah penawaran antara bos dan anak buah, ini adalah penawaran seorang sahabat. Soal umurmu, aku hanya ingin bertanya karena aku lupa," jawab Prapto tertawa.
Nimo menatap Prapto sejenak. Ia mencoba menduga-duga, namun Nimo tetap tidak mempunyai ide tentang penawaran bosnya itu. "Apa penawaranmu, Bos?" tanya Nimo.
Prapto berkata, "Aku ingin menjadi seperti kakekku, Nimo. Bahkan aku ingin melebihi Kakek. Aku ingin punya pertanian dan peternakan yang luas. Maka dari itu, aku ingin mengajakmu bekerja sama. Apakah kau mau berhenti bekerja di perusahaan lalu menjadi petani dan peternak bersamaku?
"Sistemnya bagi hasil, dan kau hanya perlu memberi modal seberapa kau bisa saja. Mungkin gaji awal kita jauh lebih sedikit dibandingkan dengan gaji di perusahaan, Nimo. Namun, jika usaha kita maju, tentu kita bisa kaya."
"Lagi pula," sambung Prapto, "harta kekayaan itu bagiku tidaklah penting, Nimo. Yang penting kita bisa memenuhi kebutuhan makan, pakaian, serta rumah. bertani dan beternak itu pasti sangat menyenangkan dan membuat kita bahagia."
Prapto tersenyum. Nimo belum memberikan jawabannya, ia terlebih dahulu bertanya pada Prapto, "Di mana tempatnya, Bos?"
"Aku akan melihat desamu dulu, Nimo. Jika desamu cocok, maka aku akan membeli tanah yang cukup luas di sana. Aku numpang di rumahmu, ya, sampai aku punya rumah nanti."
"Beres, Bos. Kapan kita berangkat?" tanya Nimo sambil mengangkat gelas kopi.
"Besok pagi, Nimo. Besok pagi kita ke kantor dulu untuk kau mengundurkan diri lalu kita akan langsung pergi ke desamu."
Kopi yang sudah Nimo teguk menyembur ke lantai. Prapto tertawa melihatnya. "Kenapa mendadak sekali, Bos?" tanya Nimo.
"Aku tidak mau kedua orang tuaku atau Silvi menemukanku, setidaknya sampai aku punya tanah dan rumah nanti, Nimo. Kenapa? Kau tidak bisa berangkat besok?"
"Ooh. Bisa, Bos. Mari berangkat besok! Aku hanya kaget saja tadi." Nimo kembali meneguk kopinya.
***
Setelah Nimo selesai mengurus pengunduran dirinya dari perusahaan, mereka pun melesat menuju ke desa Nimo yang jauh dari Jakarta. Di perjalanan mereka mengobrol sambil mendengarkan lagu rock.
Prapto bercerita bahwa ia ingin melajang sampai mati, karena menurut Prapto di jaman sekarang ini sudah tidak ada lagi kriteria istri yang ia cari. Dalam hatinya Nimo bersyukur bahwa bos sekaligus sahabatnya itu akhirnya pergi juga ke desanya. Rencananya untuk membantu Prapto berjalan dengan lancar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments