Under The Rain
Selama sembilan tahun berlari, mencari perlindungan dan berjuang memulihkan dirinya sendiri, Reva akhirnya mampu berdamai dengan kehidupan. Sejak sebulan yang lalu, ia disibukkan dengan pembelian apartemen barunya, yang akhirnya mampu ia raih setelah bekerja keras selama bertahun-tahun. Lantai parket kayu solid baru saja selesai dipasang oleh beberapa pekerja bangunan dari sebuah perusahaan desain interior. Kabinet di dapurnya sudah sempurna, sudah seperti yang ia idam-idamkan. Hanya tersisa satu hal saja yang membuatnya tak berhenti berseluncur di internet sejak kemarin lusa: wallpaper.
Reva adalah seorang penulis, dan itu artinya ia sangat pemilih. Memilih satu diksi yang tepat saja kerap kali membuat keningnya berkerut, apalagi memilih wallpaper. Gulungan-gulungan kertas sintetik itu mahal, dan Reva tidak mau membuang-buang tabungannya jika ia sampai salah memilih. Siang itu akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke sebuah toko wallpaper yang sudah ia kunjungi sebanyak tiga kali. Apalagi kalau bukan untuk melihat-lihat sample.
Toko ‘Gorden & Wallpaper Sanjaya’ terletak di sebuah kompleks ruko yang khusus menjual kebutuhan interior rumah dan bahan bangunan. Entah sudah berapa kali Reva berseliweran di area tersebut selama proses serah terima apartemen mungilnya berlangsung. Rasanya selalu saja ada yang kurang. Rasanya selalu saja ada yang belum terbeli. Rasanya seluruh tabungan Reva sudah hampir terkuras habis! Yah, mau bagaimana lagi. Rumah pertama yang ia beli dari hasil keringat sendiri. Reva sangat bersemangat.
Unit milik Reva terletak di lantai tujuh. Sebuah studio dengan pemandangan perbukitan utara Kota Bandung, dipinang Reva dengan harga ratusan juta rupiah. Jika saja ia memiliki uang dua kali lipat lebih banyak, sudah tentu ia akan membeli rumah tapak yang memiliki lahan untuk berkebun. Tak apa. Reva masih melajang dan enggan memiliki tetangga kanan-kiri yang gemar bergosip. Pikirnya, di apartemen itu privasinya jauh lebih terjaga, dan segala hal yang ia butuhkan terletak dalam radius jalan kaki.
Sebelum petang tiba, Reva kembali ke unitnya dengan setumpuk perabot rumah tangga dan benda-benda dekoratif lainnya. Perabot rumah tangga? Reva geli sekali mendengarnya. Sebagai wanita single, ia juga membutuhkan keranjang cucian dan rak bumbu, bukan? Memangnya hanya ibu tiga anak saja yang berurusan dengan sumur dan dapur?
Satu noda lagi terlihat di sudut kamar mandinya. Sepertinya dari cipratan adonan semen yang mengering, sama seperti sebelumnya. Reva sangat perfeksionis. Entah mengapa setiap ia melirik, ada saja noda baru yang ia temukan. Entah itu serbuk kayu atau debu yang menumpuk. Ada saja yang menarik perhatiannya dan menuntut untuk segera dibersihkan. Sepertinya Reva layak mendapatkan medali emas untuk kejuaraan umum rumah bersih. Aksinya sehari-hari sudah seperti vacuum cleaner.
“Silakan masuk, Pak,” sapa Reva ramah kepada dua orang kurir yang tadi mengetuk pintu kamarnya.
“Dipasang di mana ya, Bu?” tanya salah satu kurir.
“Itu, Pak, sudah ada tempatnya, dekat stop kontak,” jawab Reva.
Kemudian kedua kurir tersebut sibuk berkutat mengeluarkan dan memasang sebuah kulkas dua pintu berteknologi canggih dengan double inverter.
“Pak, punten, ini ongkos pasangnya,” ujar Reva seraya menyodorkan beberapa lembar uang.
“Eh, Neng, ini mah gratis, udah bonus dari toko,” elak si kurir.
“Biarin, atuh, Pak. 'Kan, capek tadi angkut kulkas.”
“Nuhun, atuh, Neng! Mudah-mudahan rejekinya tambah berkah, ya.”
“Makasih, Pak. Oh, ya, kalau Bapak mau, kardus kulkasnya boleh dibawa, soalnya di sini sempit.”
“Wah, boleh, Neng. Kalau kardus-kardus yang di situ masih dipakai?”
Pak kurir menunjuk ke tumpukan kardus di dekat pintu kamar mandi, yang ketika dikumpulkan tentu saja masih memiliki nilai jual. Maklum saja, Reva telah berbelanja habis-habisan untuk mengisi apartemennya. Sampah berupa bubble wrap, kertas pembungkus dan plastik bekas packaging masih menumpuk di sana-sini.
“Boleh banget itu, Pak, angkutlah!”
Hari sudah malam. Kedua kurir sudah menyelesaikan tugasnya dan hendak kembali ke mobil pick-up mereka yang terparkir di basement. Reva turut berjalan bersama mereka untuk membuang sampah. Sebenarnya, ia bisa saja menunggu sampai besok pagi ketika petugas kebersihan berkeliling dari koridor ke koridor untuk mengangkut sampah. Namun, bukan Reva jika tak greget ingin segera melenyapkan keberadaan buntelan poly bag yang mengganggu itu dari hadapannya secepat mungkin. Akhirnya ia memilih ikut turun, ke tempat sampah yang terletak di samping parkiran. Kapan lagi ada teman berjalan. Kalau sendirian, tentu ia akan malu membopong poly bag yang hampir setinggi dirinya itu! Beruntunglah kedua kurir baik hati itu mau membantunya.
Satu tugas membuang sampah selesai dilaksanakan, dan Reva tak ingin segera kembali ke kamarnya. Baru kali itu akhirnya ia benar-benar menikmati suasana malam di kompleks apartemennya. Berjalan keluar dari basement, sebuah kolam renang yang dipagari deretan pohon rindang dengan lampu-lampu taman cantik membuatnya terpesona. Bangku-bangku kayu ditata dengan sangat apik di antara tanaman hias dan bunga. Reva sangat menyukai tempat itu, dan bersyukur dapat menjadi bagian di dalamnya.
Rumah baru, kehidupan baru. Hidup yang tenang dan damai serta bahagia, afirmasi tersebut berulang-ulang diteguhkan Reva dalam hati. Reva yang bagai terlahir kembali telah siap melangkah menuju masa depan.
Satu sambaran petir terdengar. Sejak tadi siang mendung memang sudah merengkuh langit Bandung hingga menggelap. Awan-awan hitam mulai mengeluarkan uap panas yang membuat Reva kian berpeluh. Ia segera mengakhiri petualangannya mengitari taman dan kembali ke basement, tempat terdekat untuk menemukan lift saat itu. Sebentar lagi hujan.
Malam itu Reva yakin akan tidur dengan nyenyak. Ia sangat menyukai hujan. Suara rintik air yang berjatuhan dari atmosfir mampu memberinya ketenangan. Raungan guntur sudah seperti senandung lagu pengantar tidur baginya. Pikirannya yang kerap kali berkecamuk berkelana ke berbagai dimensi ruang dan waktu tak bisa damai dalam keheningan. Untuk alasan itulah Reva tidak membeli AC. Ia lebih menyukai kipas angin yang berisik untuk menenangkan isi kepalanya sebelum benar-benar terlelap. Bersyukurlah, sebentar lagi hujan.
Denting lift terdengar, disusul dengan pintunya yang terbuka otomatis seolah mempersilakan Reva masuk. Tak ada siapa pun lagi di dalam situ. Lalu, ia bergegas menekan angka tujuh karena ternyata basement itu sepi sekali menjelang larut malam. Reva ingin benda berbentuk balok itu segera meluncur ke atas untuk mengantarnya pulang.
Saat itu, saat pintu sudah hampir tertutup dengan sempurna, seseorang dari luar dengan cekatan menekan tombol silver dengan nyala segitiga merah di tengahnya. Kemudian pintu lift terbuka kembali, dan pria itu melangkahkan kakinya masuk, menghadap Reva yang sedang terpaku kepada layar ponselnya.
Astaga!
Astaga!
Apakah ini mimpi?
Reva bagai disambar petir saat ia melepaskan pandangan dari ponselnya dan mendongak ke arah pria yang sedang berdiri di hadapannya itu. Petir memang sedang menggelegar bersahut-sahutan di angkasa sana. Namun, bagi Reva, rasanya angin panas itu turut membakar dirinya di dalam situ. Pria itu. Reva tidak mungkin salah. Hanya dengan melihat punggungnya saja, Reva mampu mengenalinya dengan baik. Apalagi berdiri berhadap-hadapan seperti itu, dengan mata-mata terbelalak yang saling memelototi. Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Rafael Arviano, sang mantan kekasih yang hampir saja membuat Reva bunuh diri. Enam tahun Reva habiskan untuk menjalani terapi mental karenanya, ditambah tiga tahun lagi menunaikan proses rehabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya pada obat-obatan anti-depresi. Total sembilan tahun, sampai akhirnya Reva merasa cukup baik untuk melanjutkan hidupnya lagi. Dan seketika mimpi buruk itu hadir kembali di hadapannya, merusak segalanya. Mengapa dia harus hadir di sini pada saat seperti ini?
Pintu lift sudah tertutup. Dan hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tubuh Reva melemas seketika. Lututnya seperti kehilangan energi untuk menopang tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Peluh di dahinya semakin terlihat jelas dan bahkan sudah sampai menetes. Seluruh tubuhnya bergetar. Ah, bukan hanya tubuhnya. Seluruh jiwa dan hatinya seolah meronta ingin melarikan diri dari fisik Reva yang terjebak bersama Rafael di dalam lift. Reva seperti melihat hantu.
Reva bergeser sedikit agar pria itu bisa berdiri di sebelahnya. Masih dengan menundukkan pandangan, dan tanpa mengucap sepatah kata pun. Bagaimana mau berkata-kata, napasnya saja sudah terasa sangat sesak dan berat, serta otot-otot di wajahnya kian menjadi kaku demi menahan gemuruh yang sedang terjadi di dadanya. Beruntungnya Reva diberkati wajah datar tanpa ekspresi dan ketenangan yang luar biasa, seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Tak ayal, Reva mampu menguasai dirinya dengan baik mengingat apa yang telah Rafael lakukan kepadanya sembilan tahun yang lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
salam kenal Thor mampir juga kecerita ku ya👃👃
2023-03-17
0
Mom Yara
wah mulai nih, ayo apa yaang akan terjadi di dalam lift
2023-01-12
2
Penulis Eli
awalan yang bagus ❤
2023-01-08
2