Gulungan-gulungan poster yang dibawa Reva nyaris saja terguyur air hujan yang turun secara mendadak jika ia tak cepat mencari tempat berteduh. Hari itu Reva berjanji kepada Kris untuk membantunya mengurusi bisnis posternya, sementara pria itu sudah kembali ke Jakarta untuk bekerja. Kris memang secara rutin menerima pesanan membuat poster custom, baik untuk keperluan bisnis maupun dekorasi ruangan. Dan hari itu Reva ditugaskan untuk mengambil poster-poster tersebut dari sebuah perusahaan percetakan untuk kemudian dikirim ke pemesan.
Apa daya, tanpa peringatan hujan turun dengan begitu derasnya. Padahal, ketika Reva berangkat, langit masih cerah. Toko percetakan itu sebenarnya tidak jauh dari apartemen, sehingga Reva yang bertekad untuk menunaikan program sepuluh ribu langkah per hari memutuskan untuk berjalan kaki saja ke tempat itu. Ia juga sebenarnya bisa saja melanjutkan perjalanan dengan memakai payung. Namun, hujan semakin intens dan Reva khawatir poster-poster yang sedang dibawanya di dalam kantung plastik besar menjadi rusak. Akhirnya, ia memilih untuk menunggu saja di depan sebuah toko roti sambil menimati croissant yang masih hangat.
‘Sunny’s Bakery’, begitu tulisan pada sebuah kotak yang sedang digenggam Reva. Satu buah croissant dan pain au chocolat mengisi box tersebut. Tak ketinggalan, sepotong burnt cheesecake yang merupakan favorit Reva turut memenuhi kotak. Tadinya, ia sungguh tak berniat untuk mencamil seperti itu, tetapi ia membutuhkan tempat berteduh dan akhirnya tergoda juga untuk masuk dan membeli beberapa potong roti, karena aroma yang tercium dari dalam tempat itu wangi sekali!
Toko roti itu memiliki dua kursi, dengan meja bundar kecil berada di antaranya. Letaknya di luar, tak jauh dari pintu masuk. Di situlah Reva menunggu dengan sabar sembari menikmati rintik hujan dengan mulut yang penuh krim keju. Ia tak peduli, karena saat itu tak ada yang bernaung di situ selain dirinya. Masa bodoh jika mulutnya belepotan. Tak akan ada yang memperhatikan juga, pikirnya.
Limpahan air yang seolah mengucur bebas dari langit itu ternyata berlangsung singkat saja. Hanya tersisa gemericik yang hampir tak terasa saat itu, tetapi Reva sudah terlanjur duduk manis dan berniat menghabiskan isi di dalam kotak itu di sana. Ia bahkan kembali ke dalam untuk membeli secangkir thai tea untuk menemani cheesecake-nya. Maklum saja, saat itu sudah hampir jam makan siang dan Reva belum makan apa-apa sejak pagi.
Selagi asyik mengunyah, Reva dikagetkan oleh raungan sebuah naked-bike besar yang secara tergesa masuk ke halaman 'Sunny's Bakery'. Pengendaranya sudah setengah basah. Tidak butuh waktu lama bagi Reva untuk mengenali motor itu. Reva ingat setiap lekukan kendaraan roda dua tersebut dan sudah pasti hafal nomor platnya. Usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Pemiliknya masih sama.
Rafael. Mereka bertemu lagi. Pria itu dengan gegas turun dari motor besarnya untuk mencari titik berteduh, dan tak ada tempat lagi selain di kursi kosong di sebelah Reva.
Reva mendongak ke langit. Tanpa ia sadari, ternyata awan hitam yang terbawa angin kembali menghampiri dan hujan menderas lagi. Pantas saja pria itu kalang kabut, karena sepertinya ia tidak membawa jas hujan. Hujan di Bandung memang membingungkan. Hanya dalam hitungan menit saja intensitasnya berubah-ubah. Kelebat angin besar yang menggerakan awan-awan itu membuat titik hujan berpindah-pindah. Dan begitulah. Hujan deras sesi ke-dua di depan 'Sunny's Bakery'. Rafael telah datang untuk berlindung bersama Reva.
Sejak gerungan motor itu terdengar memasuki lahan parkir, Reva sudah tahu siapa sosok yang akan ia temui. Dan ia sudah siap kali itu. Beberapa hari terakhir itu ia habiskan untuk membulatkan tekad, bahwa pria itu tidak akan mempengaruhi hidupnya lagi. Reva meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah move on, sudah terbebas dari belenggu masa lalunya.
Mereka duduk berdampingan. Tanpa saling menoleh. Tanpa kata. Tanpa sekadar senyum sapa. Tanpa apa pun. Benar-benar seperti dua orang asing yang baru saja bertemu. Padahal, hubungan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
***
Dua puluh empat tahun yang lalu.
“Reva, Sayang, nanti duduk sama Rafa aja, ya!” pinta Wina—ibu dari Rafael—yang sudah mengenal Reva sejak bocah itu masih bayi. Wina bahkan sampai membersamai proses kelahiran bayi mungil itu.
Reva yang masih berusia lima setengah tahun hanya mengangguk dengan canggung. Sejak kecil, Reva memang sangat pemalu dan selalu merasa kesulitan untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
“Boleh, Mama Rafa. Reva juga belum kenal siapa-siapa soalnya,” timpal Tita—ibunda Reva—yang juga merupakan teman baik Wina.
Hari pertama mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar bukan kali pertama Reva dan Rafael bertemu. Mereka bahkan sudah berteman jauh lebih lama dari itu, sejak sama-sama memakai popok dan meminum susu dari botol dot. Mereka telah saling berceloteh bahkan sebelum keduanya lancar berbicara.
Ayah Reva—Adi Wibisana—bekerja di bawah kepemimpinan ayah Rafael yang merupakan seorang managing director dari sebuah perusahaan korporasi besar yang bergerak di bidang manufaktur. Pramudya Darsono, namanya. Ia adalah seseorang yang telah banyak berjasa bagi keluarga Reva. Beliau telah membantu Adi—yang berprofesi sebagai kontraktor pengadaan barang—menjalin koneksi dan membangun relasi terhadap perusahaan-perusahaan besar. Sebagai senior, Pak Pram tak pelit berbagi ilmu dan banyak membagi pengalamannya kepada Adi. Bisa dibilang, Adi adalah orang kepercayaan Pram dalam urusan pekerjaannya.
Pram juga sudah menganggap Reva sebagai anaknya sendiri. Setiap bocah itu berulang tahun, Pram mengiriminya hadiah yang tak tanggung-tanggung banyaknya. Beliau juga sering mengundang Reva ke rumahnya untuk bermain bersama putra sulungnya, Rafael. Jadilah sejak saat itu, kedua bocah yang hanya terpaut beda usia satu tahun itu bersahabat baik.
Selama enam tahun lamanya, Reva dan Rafael duduk bersebelahan di bangku Sekolah Dasar. Murid di kelas mereka saat itu berjumlah empat puluh orang, dengan murid laki-laki dan perempuan yang berjumlah ganjil. Mereka terus berada di dalam satu kelas yang sama melewati fase Sekolah Menengah Pertama hingga lulus Sekolah Menengah Atas. Dua belas tahun mereka selalu berada di ruangan yang sama untuk menimba ilmu. Berdua, tak terpisahkan.
***
Aroma hujan dan wangi tanah basah membawa ingatan Reva ke masa lalu saat ia bersama Rafael kerap kali bermain hujan-hujanan tanpa ampun. Tak peduli jika seluruh badan sudah menggigil sampai membiru, guyuran alami air dari angkasa itu selalu berhasil membawa kebahagiaan bagi mereka berdua.
Tanpa mampu dibendung, alam bawah sadar Reva menjelajah lagi, pada masa-masa di mana Rafael pernah menjadi sahabat terbaiknya, pendengar paling setia baginya, dan seseorang yang selalu mengerti dirinya. Satu-satunya teman berbagi karena tak ada lagi yang mampu memahaminya dengan baik selain pemuda itu.
Waktu mengubah segalanya dan terkadang Reva masih tak mampu mencerna dan menerima hal itu dengan baik.
“Va.” Satu sapaan singkat yang membuat jantung Reva seketika berdegup dengan hebatnya. Suara itu. Reva sangat merindukan suara itu. Suara itu selalu bergaung di telinganya sehingga ia langsung dapat menggambarkan rupa si pemiliknya dengan baik. Hanya dengan mendengar suara itu, Reva dapat langsung merasakan pemiliknya tengah berada sangat dekat dengannya. Reva tak percaya bahwa ia telah menghabiskan waktu sembilan tahun lamanya untuk hidup tanpa mendengar suara itu.
“Va ....” Kali itu panggilan terdengar dengan nada yang lebih memelas. Rafael juga bukan pria yang pandai bercakap. Ia sungguh tak tahu bagaimana cara memulai koneksinya lagi terhadap Reva. Situasi itu bukan hanya menyiksa Reva, tetapi sangat menyiksa dirinya juga. Ia ingin dan ia harus memperbaiki semuanya.
“Va—”
“Apa pun yang mau kamu bilang, aku nggak tertarik.”
Hening menyeruak di relung hati keduanya. Ironis sekali terhadap suara gemuruh hujan dan sambaran petir di hadapan mereka. Demi apa pun, ada banyak sekali yang harus dibicarakan di antara mereka berdua. Segala salah paham dan hal-hal yang tak pernah terungkap mungkin akan teratasi andai keduanya bisa berkomunikasi dengan baik. Namun, terkadang ego manusia memang seperti itu. Banyak yang lebih memilih diam karena situasi yang sudah terlalu rumit dan di luar kendali, seperti Reva contohnya.
“Yiyi ... aku minta maaf,” ujar Rafael dengan lirih. Rasa bersalah penuh penyesalan terdengar dari permohonan maaf barusan. Sepertinya ia memang sudah tergugah untuk mulai mengurai benang kusut di antara dirinya dan Reva. “Yi—”
“Nggak perlu. Nggak usah. Nggak ada gunanya.” Nada tajam terlontar dari mulut Reva. Kerut kekesalan di wajahnya hanya berfungsi untuk membendung air mata yang sudah sampai pelupuk mata. Reva bahkan tak berani berkedip. Kedua mata itu sudah mulai basah. Ia bisa merasakannya. Dan jika ia berkedip, bulir itu akan tertekan dan meleleh sehingga Rafael akan tahu bahwa ia hampir menangis. Itu tidak boleh terjadi. Ia hanya berharap embusan angin kencang segera mengeringkan kedua mata itu sebelum Rafael menyadarinya.
“Kamu benar-benar mau bersikap kayak gini, Va?”
Cukup. Reva segera beranjak dari duduknya. Roti dan minumannya bahkan masih tersisa. Ia tak peduli. Ia segera mengeluarkan payung lipat dari tasnya dan memeluk poster-poster itu lalu pergi begitu saja. Benar-benar meninggalkan Rafael yang semakin tak tahu bagaimana cara membujuk wanita yang sudah sangat sakit hati dibuatnya itu.
Hujan mulai kembali mereda, tetapi masih sanggup menyamarkan suara isak tangis Reva di bawah payung hitam itu, seraya ia berjalan menuju rumahnya dengan setumpuk poster dan kesedihan mendalam yang tak dapat ia ungkapkan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Authophille09
semangat kak💪
2022-12-18
0
golddiamond
cicil dulu ya...
2022-12-10
1