Selama sembilan tahun berlari, mencari perlindungan dan berjuang memulihkan dirinya sendiri, Reva akhirnya mampu berdamai dengan kehidupan. Sejak sebulan yang lalu, ia disibukkan dengan pembelian apartemen barunya, yang akhirnya mampu ia raih setelah bekerja keras selama bertahun-tahun. Lantai parket kayu solid baru saja selesai dipasang oleh beberapa pekerja bangunan dari sebuah perusahaan desain interior. Kabinet di dapurnya sudah sempurna, sudah seperti yang ia idam-idamkan. Hanya tersisa satu hal saja yang membuatnya tak berhenti berseluncur di internet sejak kemarin lusa: wallpaper.
Reva adalah seorang penulis, dan itu artinya ia sangat pemilih. Memilih satu diksi yang tepat saja kerap kali membuat keningnya berkerut, apalagi memilih wallpaper. Gulungan-gulungan kertas sintetik itu mahal, dan Reva tidak mau membuang-buang tabungannya jika ia sampai salah memilih. Siang itu akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke sebuah toko wallpaper yang sudah ia kunjungi sebanyak tiga kali. Apalagi kalau bukan untuk melihat-lihat sample.
Toko ‘Gorden & Wallpaper Sanjaya’ terletak di sebuah kompleks ruko yang khusus menjual kebutuhan interior rumah dan bahan bangunan. Entah sudah berapa kali Reva berseliweran di area tersebut selama proses serah terima apartemen mungilnya berlangsung. Rasanya selalu saja ada yang kurang. Rasanya selalu saja ada yang belum terbeli. Rasanya seluruh tabungan Reva sudah hampir terkuras habis! Yah, mau bagaimana lagi. Rumah pertama yang ia beli dari hasil keringat sendiri. Reva sangat bersemangat.
Unit milik Reva terletak di lantai tujuh. Sebuah studio dengan pemandangan perbukitan utara Kota Bandung, dipinang Reva dengan harga ratusan juta rupiah. Jika saja ia memiliki uang dua kali lipat lebih banyak, sudah tentu ia akan membeli rumah tapak yang memiliki lahan untuk berkebun. Tak apa. Reva masih melajang dan enggan memiliki tetangga kanan-kiri yang gemar bergosip. Pikirnya, di apartemen itu privasinya jauh lebih terjaga, dan segala hal yang ia butuhkan terletak dalam radius jalan kaki.
Sebelum petang tiba, Reva kembali ke unitnya dengan setumpuk perabot rumah tangga dan benda-benda dekoratif lainnya. Perabot rumah tangga? Reva geli sekali mendengarnya. Sebagai wanita single, ia juga membutuhkan keranjang cucian dan rak bumbu, bukan? Memangnya hanya ibu tiga anak saja yang berurusan dengan sumur dan dapur?
Satu noda lagi terlihat di sudut kamar mandinya. Sepertinya dari cipratan adonan semen yang mengering, sama seperti sebelumnya. Reva sangat perfeksionis. Entah mengapa setiap ia melirik, ada saja noda baru yang ia temukan. Entah itu serbuk kayu atau debu yang menumpuk. Ada saja yang menarik perhatiannya dan menuntut untuk segera dibersihkan. Sepertinya Reva layak mendapatkan medali emas untuk kejuaraan umum rumah bersih. Aksinya sehari-hari sudah seperti vacuum cleaner.
“Silakan masuk, Pak,” sapa Reva ramah kepada dua orang kurir yang tadi mengetuk pintu kamarnya.
“Dipasang di mana ya, Bu?” tanya salah satu kurir.
“Itu, Pak, sudah ada tempatnya, dekat stop kontak,” jawab Reva.
Kemudian kedua kurir tersebut sibuk berkutat mengeluarkan dan memasang sebuah kulkas dua pintu berteknologi canggih dengan double inverter.
“Pak, punten, ini ongkos pasangnya,” ujar Reva seraya menyodorkan beberapa lembar uang.
“Eh, Neng, ini mah gratis, udah bonus dari toko,” elak si kurir.
“Biarin, atuh, Pak. 'Kan, capek tadi angkut kulkas.”
“Nuhun, atuh, Neng! Mudah-mudahan rejekinya tambah berkah, ya.”
“Makasih, Pak. Oh, ya, kalau Bapak mau, kardus kulkasnya boleh dibawa, soalnya di sini sempit.”
“Wah, boleh, Neng. Kalau kardus-kardus yang di situ masih dipakai?”
Pak kurir menunjuk ke tumpukan kardus di dekat pintu kamar mandi, yang ketika dikumpulkan tentu saja masih memiliki nilai jual. Maklum saja, Reva telah berbelanja habis-habisan untuk mengisi apartemennya. Sampah berupa bubble wrap, kertas pembungkus dan plastik bekas packaging masih menumpuk di sana-sini.
“Boleh banget itu, Pak, angkutlah!”
Hari sudah malam. Kedua kurir sudah menyelesaikan tugasnya dan hendak kembali ke mobil pick-up mereka yang terparkir di basement. Reva turut berjalan bersama mereka untuk membuang sampah. Sebenarnya, ia bisa saja menunggu sampai besok pagi ketika petugas kebersihan berkeliling dari koridor ke koridor untuk mengangkut sampah. Namun, bukan Reva jika tak greget ingin segera melenyapkan keberadaan buntelan poly bag yang mengganggu itu dari hadapannya secepat mungkin. Akhirnya ia memilih ikut turun, ke tempat sampah yang terletak di samping parkiran. Kapan lagi ada teman berjalan. Kalau sendirian, tentu ia akan malu membopong poly bag yang hampir setinggi dirinya itu! Beruntunglah kedua kurir baik hati itu mau membantunya.
Satu tugas membuang sampah selesai dilaksanakan, dan Reva tak ingin segera kembali ke kamarnya. Baru kali itu akhirnya ia benar-benar menikmati suasana malam di kompleks apartemennya. Berjalan keluar dari basement, sebuah kolam renang yang dipagari deretan pohon rindang dengan lampu-lampu taman cantik membuatnya terpesona. Bangku-bangku kayu ditata dengan sangat apik di antara tanaman hias dan bunga. Reva sangat menyukai tempat itu, dan bersyukur dapat menjadi bagian di dalamnya.
Rumah baru, kehidupan baru. Hidup yang tenang dan damai serta bahagia, afirmasi tersebut berulang-ulang diteguhkan Reva dalam hati. Reva yang bagai terlahir kembali telah siap melangkah menuju masa depan.
Satu sambaran petir terdengar. Sejak tadi siang mendung memang sudah merengkuh langit Bandung hingga menggelap. Awan-awan hitam mulai mengeluarkan uap panas yang membuat Reva kian berpeluh. Ia segera mengakhiri petualangannya mengitari taman dan kembali ke basement, tempat terdekat untuk menemukan lift saat itu. Sebentar lagi hujan.
Malam itu Reva yakin akan tidur dengan nyenyak. Ia sangat menyukai hujan. Suara rintik air yang berjatuhan dari atmosfir mampu memberinya ketenangan. Raungan guntur sudah seperti senandung lagu pengantar tidur baginya. Pikirannya yang kerap kali berkecamuk berkelana ke berbagai dimensi ruang dan waktu tak bisa damai dalam keheningan. Untuk alasan itulah Reva tidak membeli AC. Ia lebih menyukai kipas angin yang berisik untuk menenangkan isi kepalanya sebelum benar-benar terlelap. Bersyukurlah, sebentar lagi hujan.
Denting lift terdengar, disusul dengan pintunya yang terbuka otomatis seolah mempersilakan Reva masuk. Tak ada siapa pun lagi di dalam situ. Lalu, ia bergegas menekan angka tujuh karena ternyata basement itu sepi sekali menjelang larut malam. Reva ingin benda berbentuk balok itu segera meluncur ke atas untuk mengantarnya pulang.
Saat itu, saat pintu sudah hampir tertutup dengan sempurna, seseorang dari luar dengan cekatan menekan tombol silver dengan nyala segitiga merah di tengahnya. Kemudian pintu lift terbuka kembali, dan pria itu melangkahkan kakinya masuk, menghadap Reva yang sedang terpaku kepada layar ponselnya.
Astaga!
Astaga!
Apakah ini mimpi?
Reva bagai disambar petir saat ia melepaskan pandangan dari ponselnya dan mendongak ke arah pria yang sedang berdiri di hadapannya itu. Petir memang sedang menggelegar bersahut-sahutan di angkasa sana. Namun, bagi Reva, rasanya angin panas itu turut membakar dirinya di dalam situ. Pria itu. Reva tidak mungkin salah. Hanya dengan melihat punggungnya saja, Reva mampu mengenalinya dengan baik. Apalagi berdiri berhadap-hadapan seperti itu, dengan mata-mata terbelalak yang saling memelototi. Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Rafael Arviano, sang mantan kekasih yang hampir saja membuat Reva bunuh diri. Enam tahun Reva habiskan untuk menjalani terapi mental karenanya, ditambah tiga tahun lagi menunaikan proses rehabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya pada obat-obatan anti-depresi. Total sembilan tahun, sampai akhirnya Reva merasa cukup baik untuk melanjutkan hidupnya lagi. Dan seketika mimpi buruk itu hadir kembali di hadapannya, merusak segalanya. Mengapa dia harus hadir di sini pada saat seperti ini?
Pintu lift sudah tertutup. Dan hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tubuh Reva melemas seketika. Lututnya seperti kehilangan energi untuk menopang tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Peluh di dahinya semakin terlihat jelas dan bahkan sudah sampai menetes. Seluruh tubuhnya bergetar. Ah, bukan hanya tubuhnya. Seluruh jiwa dan hatinya seolah meronta ingin melarikan diri dari fisik Reva yang terjebak bersama Rafael di dalam lift. Reva seperti melihat hantu.
Reva bergeser sedikit agar pria itu bisa berdiri di sebelahnya. Masih dengan menundukkan pandangan, dan tanpa mengucap sepatah kata pun. Bagaimana mau berkata-kata, napasnya saja sudah terasa sangat sesak dan berat, serta otot-otot di wajahnya kian menjadi kaku demi menahan gemuruh yang sedang terjadi di dadanya. Beruntungnya Reva diberkati wajah datar tanpa ekspresi dan ketenangan yang luar biasa, seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Tak ayal, Reva mampu menguasai dirinya dengan baik mengingat apa yang telah Rafael lakukan kepadanya sembilan tahun yang lalu.
Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Apa yang sedang dia lakukan di sini?
Reva mematung, menatap tajam ke layar digital kecil yang terletak di atas pintu lift yang berfungsi untuk menunjukkan kode lantai. Kode tersebut terus berubah, meski bagi Reva itu terasa puluhan tahun lamanya. Dari ‘LG’ ke ‘GF’. Dari ‘GF’ ke ‘1’, ‘2’, dan seterusnya. Setiap tarikan ke atas semakin mendekatkan Reva kepada rumah. Namun, astaga, perpindahan itu mendadak menjadi lamban sekali!
Pintu lift terbuka di lantai tiga, tetapi tak ada siapa pun di sana hingga akhirnya pintu secara otomatis menutup kembali. Saat itu, sungguh, rasanya Reva ingin sekali menyeruak keluar dan berlari sekencang mungkin menjauhi Rafael yang auranya masih saja terasa mencekam baginya. Pria itu bagi Reva sudah terlihat seperti seorang pembunuh berantai yang suka bermain-main dengan nyawa korbannya.
Reva tidak mengerti mengapa seluruh tubuhnya seolah membeku dan tak menuruti perintah di otaknya untuk bergerak. Jangankan melangkahkan kaki, melirik dan menoleh pun ia tak sanggup! Hanya jari-jemarinya saja yang kian bergetar seraya mengeluarkan keringat dingin yang tak ada habisnya. Reva mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Tidak. Rafael tidak boleh menyadari bahwa dirinya sedang terguncang karena harus bertemu lagi dengannya. Reva baik-baik saja.
Rafael berdiri di sebelah kanan Reva. Dari bahasa tubuhnya, ia seperti mengerti apa yang Reva rasakan saat itu. Masalah di masa lalu itu bukan hanya milik Reva, tetapi miliknya juga. Ketika ia berlari untuk mengejar lift, ia tak bisa melihat dengan jelas siapa yang tengah berdiri di dalamnya, karena wanita itu sedang menunduk. Ia baru menyadari rupa sosok tersebut setelah pintu menutup dan lift bergerak ke atas. Dan semua sudah begitu terlambat untuk dihindari. Kalau boleh memilih, mungkin Rafael juga tak mau melihat Reva lagi untuk seumur hidupnya. Wanita itu sungguh mengingatkannya atas segala dosa-dosanya di masa lalu.
Dalam keheningan yang tak tertahankan, Rafael melirik ke arah Reva. Astaga! Wanita itu tampak pucat pasi, seperti seseorang yang baru saja meregang nyawa. Tak tahu harus berbuat apa, Rafael hanya bisa sesekali menoleh sembari berharap bahwa Reva baik-baik saja, setidaknya janganlah sampai pingsan di lift itu karenanya. Ia memang terlalu kaku untuk berkata-kata saat itu, karena sikap Reva terasa bagai benteng kabut gelap yang membuat nyalinya menciut, tak berani bertegur sapa.
Angka enam! Dalam hitungan detik, pintu itu akan terbuka dan Reva mulai mengumpulkan segenap kekuatan di kedua kakinya untuk melesat kabur dari situasi yang serba canggung dan menakutkan itu. Hanya dalam hitungan detik, tetapi satu detik saja terasa sepuluh menit lamanya. Reva tak tahan lagi!
Ding! Pintu terbuka.
Tidak. Ternyata Reva tak sanggup berlari menuruti rencana di benaknya. Ternyata kedua lututnya sudah terlalu lemas untuk adegan dramatis seperti itu. Namun, ia tetap berusaha tenang mengendalikan dirinya. Perlahan tapi pasti, ia melangkah ke luar sebelum pintu baja itu tertutup dan mengurungnya lagi.
Langkah demi langkah Reva jejakkan untuk menuju ke rumah barunya, menelusuri koridor yang entah mengapa terasa menjadi lebih sempit seolah ingin mengimpitnya hidup-hidup hingga hancur lebur. Kepalanya menjadi sangat pusing karena sejak tadi ia terus berkeringat, dengan jantung yang kian berdebar kencang. Saat itu ia hanya berharap agar Rafael keluar di lantai yang lain dan tak lagi membayanginya.
Harapan Reva tak terkabul, karena Rafael—sang hantu dari masa lalunya—turun di lantai yang sama dengan dirinya. Tepat di lantai tujuh, ia juga melenggang ke luar mengikuti Reva dari belakang. Meski begitu, Rafael berusaha berjalan dengan menjaga jaraknya hingga tak kurang dari tiga meter. Sungguh, ia tak bermaksud menganggu Reva, atau membuat wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu ketakutan setengah mati. Pertemuan tersebut benar-benar tak terduga. Itu semua juga di luar kendalinya.
Reva menyadari bahwa dirinya sedang dibuntuti. Langkah gentarnya mulai berpacu hingga akhirnya pintu menuju rumah terlihat dalam jangkauan pandangannya. Pintu dengan nomor A07122 itu terasa bagai perisai baginya, melindungi rumah idaman yang baru saja ia tempati hari itu, hari di mana ia kembali melihat wajah menyeramkan dari trauma masa lalunya.
Sesaat setelah Reva masuk ke kamarnya, ia menutup pintu rapat-rapat dan langsung menguncinya. Lalu, ia bersandar di baliknya dan mendengus kasar, melepas ketegangan. Seketika seluruh tubuhnya merosot ke lantai. Adegan pertemuan singkat tadi berlangsung tak lebih dari lima belas menit. Namun sepertinya itu mampu menguras seluruh energi Reva hingga ke setiap inti sel dalam tubuhnya. Saat itu ia sampai terkulai lemas di atas lantai dekat pintu masuk, tanpa memiliki daya tersisa lagi untuk berpindah tempat ke atas kasur. Ia benar-benar seperti habis bertemu hantu.
Tidak. Reva tidak sampai menangis. Sudah habis air mata yang ia luruhkan untuk meratapi kisah pilunya bersama dengan Rafael yang telah melakukan kekerasan yang sangat luar biasa kepadanya. Saat itu, yang tersisa hanyalah rasa trauma berkepanjangan yang membuat sekujur tubuhnya merinding setiap kali ia mendengar nama itu disebut.
Tanpa sadar, Reva memutar kembali adegan yang terjadi sembilan tahun yang lalu di kepalanya. Cerita bersama pria itu bahkan sudah dimulai jauh lebih awal dari itu. Dan Reva masih dapat mengingat secara rinci setiap luka dan derita yang dihasilkan dari hubungan bersamanya.
Malam itu Reva menyadari satu hal, bahwa ia tidak pernah benar-benar bisa melupakan Rafael, tak peduli seberapa keras pun ia mencoba. Lamanya terapi dan banyaknya obat-obatan tak mampu menutup lubang menganga di hatinya. Bahkan sebaliknya, sosok itu benar-benar sudah jauh tertanam di dalam alam bawah sadar Reva, meruntuhkan tembok pertahanan yang sudah susah payah ia bangun hanya dengan satu tatapan mata.
***
Pukul 02.00 dini hari. Reva benar-benar tak bisa tidur. Kasur orthopedic berbahan lateks yang sangat nyaman itu bahkan terlihat tak menggoda lagi baginya. Sejak satu jam yang lalu, ia hanya mondar-mandir tak karuan di ruangannya yang bahkan panjangnya tak sampai tujuh meter. Sudah begitu, ia kerap kali tersandung kaki kursi pula!
Apa yang dia lakukan di sini?
Karena matanya tak kunjung terpejam, Reva berusaha merunut lagi adegan saat keluar dari lift. Berdasarkan ingatannya, tak lama setelah ia masuk dan langsung mengunci pintu, ia mendengar suara pintu di sebelah kamarnya juga dibuka, kemudian ditutup kembali. Hal itu jadi membuatnya bertanya-tanya, apakah tadi Rafael yang masuk ke dalam situ, ke unit yang terletak persis di sebelah unitnya. Jika benar, apa maksudnya? Apakah ia tinggal di situ? Ataukah ia hanya berkunjung?
Sial! Reva merasa kecolongan. Sebelum benar-benar membeli rumah pertamanya, Reva merasa sudah sangat teliti melakukan riset mendalam. Ia menghitung harga, jarak tempuh, keamanan sekitar, serta setiap akses dan fasilitas yang bisa ia terima untuk setiap rupiah yang ia keluarkan. Reva pikir pilihannya sudah yang terbaik.
Hanya satu saja yang luput dari perhatian Reva, yaitu para calon tetangganya. Ya, tentu saja ia tidak mengetuk satu per satu pintu di kanan-kiri untuk mendata nama. Sehingga, mana ia tahu siapa penghuni yang sedang tinggal di sampingnya, dan sebetulnya ia juga tak mau terlalu peduli. Ternyata, bagi Reva itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Apakah dia benar-benar masuk ke kamar di sebelah itu?
Reva tidak tahu dan tidak mau tahu, tetapi separuh dari firasatnya berkata bahwa Rafael memang masuk ke sana. Ia memang tak berani menoleh untuk menyaksikan, tetapi ia yakin bahwa saat itu Rafael berjalan di belakangnya untuk waktu yang cukup lama. Kamar Reva memang berjarak cukup jauh dari lift, letaknya di ujung sayap kanan Tower Hindia.
Malam itu Reva sangat tersiksa. Bagaimana tidak, tubuhnya seharian tadi ia paksa bekerja keras untuk merapikan setiap sudut apartemen tipe studio itu. Ia benar-benar lelah, dan ia tak mau berhenti sampai semuanya selesai. Pikirnya, saat malam tiba, barulah ia bisa menikmati waktu istirahatnya di kamar yang sudah bersih mengkilat dan wangi. Apa daya, untuk sekadar duduk tenang pun jadinya sulit sekali setelah kemunculan Rafael yang tiba-tiba, apalagi memejamkan mata hingga terlelap. Memikirkan bahwa pria itu mungkin sedang berada tak lebih dari lima meter darinya sungguh membuatnya gila!
Hujan masih turun mengguyur malam itu. Seberapa deras pun ia membasuh bumi, ia tak pernah benar-benar menghayutkan kenangan buruk Reva dalam ingatannya. Tak peduli seberapa hebat pun wanita itu menyanjungnya, ia seolah tak mau berbelas kasih meluruhkan semua duka lara di hatinya. Gelegar yang seharusnya menjadi pengiring mimpi indah malah menjadi saksi kilatan mimpi buruk yang akan dihadapi Reva sebentar lagi.
Lengkaplah sudah penderitaan Reva pagi itu. Kombinasi antara kepalanya yang berdenyut-denyut hebat, perut lapar dan mata sepat membuatnya muak bahkan sebelum harinya dimulai. Matahari tak muncul sejak kemarin. Jendela di kamarnya masih basah bekas hujan tadi malam. Saat itu udara sangat dingin dan perut Reva mulai keroncongan. Kulkas yang baru saja ia beli kemarin masih kosong melompong tak berisi.
“Aaargh! Lapar!” Reva mengumpat kepada dirinya sendiri, tetapi urung keluar dari kamarnya untuk membeli makanan. Hantu yang semalam ia jumpai masih lekat menggelayuti pikirannya.
Untuk memuaskan hasrat, Reva mulai mengulir layar ponsel, mendambakan sesuatu untuk memenuhi perutnya pagi itu. Beberapa menu makanan favoritnya terlihat dari balik layar ponsel. Sepertinya lontong kari atau sup pangsit ayam lezat sekali dinikmati. Namun, tetap masih enggan juga rasanya ia turun ke bawah, apalagi kalau harus berpapasan dengan pria angker itu lagi. Reva benar-benar paranoid!
Ah, cukuplah sudah! Reva tak tahan lagi. Ia akhirnya menekan tombol ‘ORDER’ pada sebuah layanan pesan-antar makanan, kemudian ia bersiap untuk mengambil pesanannya di meja resepsionis yang terletak di lobby apartemen. Lima belas menit adalah tenggat yang tertera di aplikasi tersebut. Waktu yang dibutuhkan sampai pesanan Reva tiba di tujuan. Selama itu, ia menunggu dengan sangat gelisah.
Rasanya tak karuan sekali. Entah tiba-tiba perutnya mulas, entah tiba-tiba ingin buang air kecil, entah itu jantung yang berdebar intens. Apa pun itu, perasaan Reva rasanya tak baik. Meski begitu, ia tetap berusaha berdamai dengan masalahnya sembari menarik napas panjang berkali-kali.
Lima menit waktu tersisa. Reva membuka pintu kamarnya untuk segera menuju ke resepsionis.
Saat itu, saat Reva hendak mengunci pintu sebelum meninggalkan kamarnya, ia mendengar suara pintu di sebelahnya juga dibuka oleh penghuni di dalamnya.
Unit A07121—unit yang terletak persis di sebelah A07122 milik Reva—pintunya perlahan terbuka dan seseorang dari dalam melangkah ke luar.
“Hati-hati, Sayang,” ujar seorang wanita sehabis menyalami pria yang terlihat sebagai pasangannya.
Nadia! Nadia Citra Melvi, berdiri di samping seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah Rafael. Ternyata, dugaan Reva tepat sekali. Rafael memang masuk ke kamar di sebelahnya tadi malam.
Rafael sekilas menoleh ke arah Reva yang berdiri memunggunginya. Dari tampilannya, sepertinya ia hendak berangkat ke kantor. Di sisi lain, Reva yang masih memegangi gagang pintu terus menundukkan kepalanya sampai pria itu benar-benar beranjak pergi.
Nadia—wanita cantik yang ternyata tinggal bersama Rafael—untungnya tak melihat Reva karena posisi tubuhnya masih berada di dalam rumahnya. Hanya lengannya yang tadi menjulur keluar untuk melambai ke arah Rafael. Namun begitu, Reva sudah sangat mengenal wanita itu. Suaranya sangat khas dan Reva sangat peka. Ia jarang sekali melupakan seseorang, apalagi mahkluk keji seperti Nadia yang sudah memporak-porandakan hidupnya.
Astaga! Reva membatin. Apa lagi ini? Bertemu Rafael dan Nadia di tempat yang sama, di waktu yang bertepatan, bagi Reva terasa seperti sudah jatuh tertimpa tangga.
***
Reva baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan dapur saat ia melihat seorang anak perempuan yang terlihat cemas di depan unit A07121, si tetangga sebelah. Anak itu memakai seragam Sekolah Dasar dan sepertinya usianya masih sangat kecil. Ia mondar-mandir dengan resah sambil terus memegangi botol minum yang ia kalungkan di leher. Ketika melihat Reva datang, anak itu terus saja menatapnya seperti ingin meminta tolong tetapi merasa enggan karena ia tak kenal.
“Kamu sendirian?” tanya Reva yang menyadari bahwa anak itu sedang gelisah.
Bocah cilik itu hanya mengangguk dengan kedua manik mata yang terus saja berusaha menilik ke sana kemari.
“Rumahmu di mana?” tanya Reva lagi, masih dengan kantung belanja di tangan kanan dan kirinya.
“Di sini,” tunjuk anak itu ke pintu dengan plakat berkode A07121.
Hah? Di situ? Tunggu dulu!
Reva terperangah, lalu ia menatap anak itu lekat-lekat. Setelahnya, yang ia temukan adalah sambaran kenyataan yang sangat menyakitkan.
Tanpa sadar, Reva mulai memetakan setiap garis lekukan di wajah anak itu dan berusaha menghubungkannya dengan dua sosok yang terus saja berkelana di kepalanya. Setiap rincian fitur anak itu dicocokkan dengan fitur dari dua wajah yang selama itu menghantui hidup Reva. Mata mirip ayah. Hidung mirip ibu. Alis mirip ibu. Bibir mirip ayah. Rahang mirip ayah. Itulah yang Reva temukan. Anak ini benar-benar buah hati mereka. Kombinasi yang seimbang antara Rafael dan Nadia. Reva sangat yakin akan hal itu.
“Ibumu di mana?” tanya Reva lirih. Ia sebenarnya ingin sekali bersikap masa bodoh saja dan meninggalkan anak itu sendirian untuk membuat kue. Namun, apa daya hati kecilnya sungguh tak tega.
Sebelum anak itu sempat menjawab, seorang wanita menjerit kepadanya dari ujung koridor, “KAIA!” Wanita itu, Nadia, dengan gegas menghampiri si anak sembari kerepotan mencari kunci kamarnya dari tas yang ia kenakan di pundaknya. “Ayo, masuk, Kaia!” bentaknya tanpa mau melirik Reva yang sedang berdiri tak jauh darinya. “Masuk! Sekarang!”
Reva hanya bisa geleng-geleng saja menyaksikan tingkah Nadia yang sama sekali belum berubah sejak dahulu. Sedetik kemudian Reva tersentak karena perempuan dengan rambut sebahu itu masuk sambil membanting pintu.
Cewek gila! Reva memaki dalam hati. Anak itu mungkin tak lebih dari delapan tahun. Bisa-bisanya dibiarkan menunggu seorang diri seperti itu!
***
Seharian itu sepertinya Reva hanya akan bersantai manja menikmati waktu luangnya. Bahaya jika ia membiarkan dirinya terlalu kelelahan, bisa-bisa ia jatuh sakit lagi. Setelah tubuhnya semerbak mewangi dan perutnya terisi penuh, Reva menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan menonton film-film favoritnya. Namun, tak peduli seberapa keras pun ia mencari pengalihan, otaknya tetap berpusat pada satu hal; apalagi kalau bukan tentang tetangga barunya ... atau lamanya?
Jadi dia memilihnya?
Jadi dia benar-benar menikahinya?
Jadi mereka benar-benar menikah setelah semua itu?
Jadi mereka sudah punya anak?
Jadi mereka tinggal di sebelah?
Jadi kami benar-benar bertetangga?
Sial!
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Reva yang kian terasa berat. Ia tak habis pikir, dari delapan milyar manusia di bumi, mengapa harus dua mahkluk keparat itu yang tinggal di sebelahnya? Reva sangat berharap bahwa mereka hanya menyewa unit itu tanpa benar-benar membelinya, dan mereka akan segera pindah. Karena jika tidak, Reva-lah yang akan pindah. Ah, belum apa-apa Reva sudah berpikir untuk pindah. Sial sekali!
Reva juga menyesal mengapa ia bisa begitu terlambat mengetahui hal itu. Andai ia tahu siapa tetangganya. Andai ia bertanya-tanya terlebih dahulu. Andai ia bertemu dua orang itu sebelum proses pembelian terjadi. Andai ia memilih apartemen yang lain. Andai, andai, dan andai yang tak kunjung usai hingga gelap kembali datang memayungi langit Bandung. Sudahlah, tak ada gunanya pula terus berandai-andai seperti itu.
Sementara Reva melamun, seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.
“Kris!” pekik Reva ketika ia melihat siapa tamunya.
“Halo, Va,” ujar pria itu, Kris, yang baru saja kembali dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. “Bagus, lho, interiornya.”
“Makasih, Kris. Tabunganku habis tapi,” jawab Reva dengan wajah cemberut sembari melangkah ke dapur hendak membuatkan minuman untuk Kris.
“Habis ini semangat kerja lagi, ya,” tukas Kris seraya menaruh ransel dan membuka sepatunya. “Kamu betah di sini, Va?”
“Kayaknya besok aku jual lagi.”
“APA KAMU GILA?”
“Ternyata aku nggak betah.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya, begitu, deh, aku mau rumah yang ada halamannya.”
“Kamu, ‘kan, udah mikirin itu sebelum eksekusi beli apartemen ini! Tumben, kok, labil?"
“Ah, udahlah, kamu nggak ngerti.”
“Bukan gitu, Va, kamu itu habis-habisan banget beli tempat ini. Nggak sayang sama perjuangan kamu kemarin-kemarin kalau cepat-cepat dijual?”
“Aku udah nggak punya apa-apa lagi sekarang. Dana darurat pun aku pakai kemarin."
“Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih? Aku boleh tahu, ‘kan? Kamu nggak punya siapa-siapa lagi, lho, selain aku.”
Reva tak menjawab pertanyaan itu. Ia sendiri merasa tak yakin lagi dengan kapasitas berpikirnya. Di satu sisi, ia sangat ingin melarikan diri. Namun, di sisi lain, ia sangat menyukai rumah barunya. Segalanya pas baginya. Angin dinginnya, suasananya, fasilitasnya, mungkin tak ada lagi tempat yang seperti itu dalam jangkauan budget Reva. Ia tak bisa dan tak ingin ke mana-mana lagi.
“Va, kayaknya kamu kelelahan. Katanya, tempat baru memang auranya bikin nggak betah, dan bikin kamu menyesal. Tapi, lama-lama kamu pasti bisa adaptasi, kok!”
Bukan, Kris. Bukan aura tempat ini alasannya, tapi aura tetangga sebelah!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!